Catur (wayang kulit)
Catur (dalam pewayangan) merupakan semua wujud wacana atau bahasa yang diucapkan oleh dalang dalam pentas pewayangan.[1] Kata catur sendiri memuat makna perbincangan dan pembicaraan. [2] Maka perbincangan para tokoh wayang dibawakan oleh dalang disebut catur.[3] Catur memuat nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam sebuah lakon wayang dan menjadi unsur yang penting dalam seni pedalangan. [4] [5] Catur dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu janturan, pocapan, dan ginem.[1]
Perkembangan dan Pengertian Catur
Catur adalah konsep yang diciptakan oleh perguruan tinggi ISI Surakarta yang kemudian dipakai secara luas dalam dunia pedalangan khususnya di daerah Jawa.[3] Generasi dalang jaman dulu menyebut catur dengan beberapa istilah yang berbeda-beda, seperti antawecana, pocapan, kocapan, kandha, gunem, dan ginem.[3] Pada tahun 1975, Humardani memunculkan istilah tutur untuk menyebut narasi dan dialog wayang. Beberapa tahun kemudian para mahasiswa dan dosen STSI (sekarang ISI) Surakarta menggunakan istilah catur yang kemudian meluas ke kalangan para dalang.[3]
Catur meliputi pemilihan dan pemakaian kosa kata sesuai dengan sastra pedalangan.[3] Catur disesuaikan dengan karakter dan kedudukan tokoh wayang, suasana adegan, dan latar.[3] Pemikiran dan ide dalang disampaikan melalui catur supaya mudah dipahami oleh penonton.[3]
Jenis-jenis Catur
Rujukan
- ^ a b Bambang Murtiyoso, dkk (2007). Teori Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta. ISBN 979-8217-60-8.
- ^ "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Diakses tanggal 5 Mei 2014.
- ^ a b c d e f g Soetarno, dkk (2007). Estetika Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta. ISBN 979-8217-59-4.
- ^ I Ketut Muada (2013). Pakeliran Wayang Inovatif Lakon Dalem Sidakarya (Tesis). Denpasar: ISI Denpasar. p. 16.
- ^ Amirul Sholihah (2008). Makna Filosofis Punakawan dalam Wayang Jawa (Tesis). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. p. 25.