Terapi berpusat pada orang

Terapi berpusat pada orang adalah bentuk terapi humanistik yang dikembangkan oleh Carl Rogers pada pertengahan abad ke-20.[1]Tujuan dari terapi ini adalah untuk membantu klien mengenali dan emahami perasaan sesungguhnya.[1] Asumsi pada terapi ini didasarkan bahwa klien merupakan ahli yang paling baik tentang dirinya sendiri dan mampu mencari pemecahan atas permasalahannya sendiri.[2] Tugas terapis adalah memberikan suasana yang hangat dan mendukung untuk meningkatkan konsep diri klien serta mendorong klien memperoleh pemahaman terhadap masalah.[1] Cara untuk mencapai tujuan ini dengan mendengar secara aktif dan pembicaraan reflektif, sebuah teknik yang memposisikan terapis sebagai cermin untuk perasaan yang dialami klien.[1]

Terapi berpusat pada orang

Sejarah Terapi Berpusat Pada Orang

 
Carl Rogers, penemu terapi berpusat pada orang

Dari latar belakang pekerjaannya yang berfokus pada klinis anak, Rogers mengembangkan sebuah pendekatan bernama nondirective counseling.[3] Pada masa itu aliran psikoanalisis sangat dominan, dengan tujuan membuat sadar hal-hal yang tidak disadari dan menekankan pada masa lalu.[3] Rogers mencoba menekankan pada masa kini dan membantu klien memperjelas persepsi mereka mengenai diri sendiri dengan interpretasi dari terapis.[3] Pada tahun 1950 ia mengubah nama pendekatannya menjadi terapi client-centered dan kemudian mengubahnya lagi menjadi person-centered.[3] Sebagai seorang terapis ia ingin bertindak seperi cermin bagi kliennya dengan mengatakan bagaimana gambaran permasalahannya.[3] Dengan demikian, klien secara sedikit demi sedikit mengenal dirinya dan pada akhirnya ia mulai menerima dirinya sendiri.[3]

Teknik Terapi Berpusat Pada Orang

Terapi berpusat pada orang dapat digambarkan secara agak sederhana, tetapi dalam prakteknya membutuhkan keterampilan tinggi dibandingkan dugaan awalnya.[2] Terapis mulai dengan menjelaskan sifat wawancara.[2] Tanggung jawab untuk memecahkan masalah berada di tangan klien.[2] Ia bebas untuk keluar kapan saja dan menentukan apakah ia akan kembali atau tidak.[2] Hubungan antara klien dan terapis bersifat pribadi dan rahasia.[2] Klien bebas berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi tanpa merasa takut dicela atau dibocorkan kepada orang lain.[2] Karena situasi ini telah terstruktur, klien dapat berbicara sebanyak-banyaknya. Pada terapi ini, terapis adalah pendengar yang penuh perhatian dan sabar.[2] Jika klien berhenti berbicara, terapis akan mengetahui dan menerima perasaan yang diekspresikan oleh klien.[2] Sebagai contoh, jika klien bercerita tentang ibunya yang suka mengomel, maka terapis mungkin mengatakan,"Anda rasa ibu Anda menguasai Anda." [2] Tujuannya adalah untuk memperjelas perasaan yang diungkapkan klien, bukan menilainya.[2]

Kualitas Terapis Menurut Rogers

Melalui penelitian dan pengalamannya, Rogers merumuskan tiga macam elemen kualitas terapis yang saling berkaitan satu sama lain.[3][4] Tiga macam elemen kualitas itu adalah penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard), empati dan ketulusan (genuineness).[1] Tiga elemen dari perkembangan kepribadian ini dicerminkan dalam pendekatannya pada terapi.[1]

Terapis pada saat terapi menunjukkan penghargaaan positif tanpa syarat yaitu menciptakan lingkungan yang hangat, peduli secara penuh menerima dan tidak pernah menolak klien sebagai manusia.[1] Rogers percaya bahwa penerimaan positif tanpa syarat ini berguna untuk pertumbuhan pribadi dan penerimaan diri.[1] Memberikan penghargaan positif tanpa syarat tidak berarti terapis harus menyetujui apapun yang dikatakan atau dilakukan oleh klien.[5] Namun terapis perlu melakukan komunikasi bahwa mereka peduli, tidak menilai dan empati yakni memahami pengalaman emosional seseorang. [5]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h (Indonesia)A. King, Laura (2010). Brian Marwensdy, ed. Psikologi Umum : Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika. hlm. 362. ISBN 978-602-8555-07-4. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k (Indonesia)L. Atkinson, Rita (2010). Lyndon Saputra, ed. Pengantar Psikologi, Jilid 2. Tangerang: Interaksara. hlm. 510. 
  3. ^ a b c d e f g (Indonesia)D. Sundberg, Norman (2007). Psikologi Klinis : Perkembangan Teori, Praktik, Dan Penelitian. Yogyalarta: Pustaka Pelajar. hlm. 214. ISBN 978-979-1277-61-7. 
  4. ^ (Indonesia)Pomerantz, Andrew M. (2011). Clinical psychology: Science, practice and culture 2nd ed. London: Sage Publication. hlm. 275. ISBN 978-1-4129-7763-0. 
  5. ^ a b (Indonesia)Feldman, Robert S. (2011). Pengantar Psikologi. Salemba Humanika. hlm. 315. ISBN 978-602-8555-56-2.