Ki Ageng Suryomentaram
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP87Laurentius (bicara). Untuk sementara waktu (hingga l5 Mei 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 27 April 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP87Laurentius (Kontrib • Log) 3847 hari 1141 menit lalu. |
Ki Ageng Suryomentaram (lahir tanggal 20 Mei 1892 - meninggal tanggal 18 Maret 1962) adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI.[1] Ki Ageng Suryomentaram memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji dan setelah umur 18 tahun diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram. [1] Ki Ageng Suryomentaram menjadi guru dari suatu aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja yang memiliki arti ilmu bahagia.[2] Salah satu ajaran moral dari Ilmu Begja yang sangat populer pada masa itu adalah Aja Dumeh yang artinya jangan menyombongkan diri, jangan membusungkan dada, jangan mengecilkan orang lain karena diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.[2]
Riwayat Hidup Ki Ageng Suryomentaram
Pada awalnya Ki Ageng Suryomentaram bergelar Pangeran Surya Mataram tetapi kemudian ia menanggalkan gelar kepangeranannya itu dan menyebut diri Ki Ageng Suryomentaram.[2] Hal ini bermula ketika BPH Suryomentaram pernah turut dalam rombongan jagong manten ke Surakarta dan dalam perjalanan dengan kereta api melihat petani yang sedang bekerja di sawah.[1] Apa yang dilihat oleh BPH Suryomentaram ini menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani.[1] Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya seperti Gua Langse, Gua Semin dan Parangtritis.[1] Lalu BPH Suryomentaram keluar istana, pergi mengembara di daerah Kroya, Purworejo sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani dan kuli.[3]
Pada saat itu utusan kraton mencoba mencarinya dan menemukan keberadannya di Kroya ketika sedang bekerja menggali sumur dengan memakai nama samaran Natadangsa.[3] Utusan kraton itu kemudian mengajak Natadangsa untuk kembali ke istana.[1] Hidup BPH Suryomentaram di istana menjadi gelisah, tidak puas dan memuncak ketika kakeknya Patih Danurejo VI dibebaskan dari tugasnya dan ibunya dikembalikan kepada kakeknya.[1] Tidak lama kemudian isteri BPH Suryomentaram sendiri dan meninggal dunia, lalu ia mengambil sikap melepaskan kedudukan kebangsawanannya untuk hidup menjadi rakyat biasa.[1] Ketika Sultan Hamengkubuwono VII telah diganti oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, Sultan baru ini mengijinkan BPH Suryomentaram meninggalkan kraton Yogyakarta.[1] BPH Suryomentaram memilih untuk hidup sebagai petani di sebuah desa yang bernama Bringin di daerah [[Salatiga[[, Jawa Tengah.[1] Di sana ia menjad guru aliran kebatinan yaitu Kawruh Begja yang berarti ilmu bahagia.[2] Penganutnya cukup banyak dan tersebar di seluruh Jawa, meskipun tanpa ada organisasi atau propaganda seperti yang dilakukan oleh aliran-aliran yang lain.[2]
Sepanjang masa hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.[2] Banyak hasil penyelidikannya tentang diri sendiri yang berupa buku-buku, karangan-karangan atau ceramah-ceramah.[2] Pengajaran Ki Ageng Suryomentaram biasanya berupa ceramah-ceramah yang ditujukan kepada kalangan terbatas dan diberikan dengan cara yang khas yakni dengan duduk di lantai (lesehan).[2] Kebanyakan tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain : Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa?.[2] Cara hidup Ki Ageng Suryomentaram cukup menampakkan kesederhanaan dengan mengenakan celana pendek, sarung yang diselempangkan pada pundaknya dan memakai kaos.[2] Rambutnya dicukur sampai pendek dan kepalanya dibiarkan tidak tertutup serta kakinya pun dibiarkan tanpa alas.[2]
Ajaran Ki Ageng Suryomentaram
Pemahaman Ki Ageng Suryomentaram tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap dirinya sendiri.[2] Ia menggunakan metode empiris yang didasarkan pada percobaan-percobaan yang dilakukannya pada dirinya sendiri.[2] Dengan cara merasakan, menggagas dan menginginkan sesuatu, menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia.[2] Ki Ageng Suryomentaram mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia yang dilihatnya sebagai sumber yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.[2] Dari analisisnya, dihasilkan suatu citra manusia yang lebih menunjukkan seperti apa manusia daripada siapa manusia itu tanpa lepas dari dunia yang melingkupinya.[2] Manusia selalu bergaul dengan dunia di sekitarnya dan selalu terkait dengan dunianya.[2] Ki Ageng juga menunjukkan dasar bagi perilaku manusia dalam dunianya, sehingga antara dirinya dengan dunia yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan.[2]
- ^ a b c d e f g h i j Psikologi Kepribadian Timur. Pustaka Pelajar. 2003. hlm. 152. ISBN 979-3477-15-6.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Ki Ageng Suryomentaram Tentang Citra Manusia. Pustaka Filsafat. 1986. hlm. 23.
- ^ a b "Kethoprak Ki Ageng Suryomentaram Pentas". www.tempo.co. Diakses tanggal 12 Mei 2014.