Maba Anak Ku Lau
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP25Vanya (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 27 Juni 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 16 Mei 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP25Vanya (Kontrib • Log) 3870 hari 285 menit lalu. |
Maba anak ku lau adalah salah satu acara adat dalam suku Karo.[1] Ritus ini merupakan ritus membawa anak ke permandian (pancuran atau sungai), yang dilaksanakan oleh rakut sitelu si anak.[1] Ritus ini diadakan setelah anak berusia 4-7 hari.[1] Waktu pelaksanaannya ditentukan oleh Guru Perkatika.[1] Adapun peralatan untuk itu adalah pundang empat potong, abu dapur, upih (pelepah pinang), bulung sukat sitokih (daun keladi), page penuruhen ( beras khusus yang sudah disiapkan khusus), kampil (tas kecil terbuat dari anyaman janur) yang berisi belo penurungi (sirih, gambir, tembakau, buah pinang), uis arinteneng (kain berukuran panjang), dan uis kapal(kain tebal yang digunakan seusai mandi).[1]
Selain itu, anak perempuan diberi uis nipes oleh neneknya dan bekah buluh untuk anak laki-laki.[2] Sewaktu anak berangkat ku lau (pemandian), ia digendong oleh mami (jika anak laki-laki) atau bibi (jika anak perempuan).[2] Urutan keberangkatan ke lau tersebut diawali oleh Guru Simaba Katika membawa upih (jika anak laki-laki) atau bulung sukat sitokih (jika anak perempuan), yang berisi pundang empat potong, abu dapur, page penuruhen, dan apar manuk (ayam).[2] Fungsi dari barang-barang tersebut antara lain untuk sesaji atau dikenakan kepada sang anak selama ritual berlangsung.[2] Sewaktu berangkat ke pemandian, empat pundang diletakan diempat tempat antara lain, sepotong pundang itu diletakkan di dapur, sepotong pundang lagi diletakan di belakang guru perkatika, lalu dibelakang sang ibu dari anak tersebut yang dibarengi dengan memegang tongkat beski atau purih tonggal dan diikuti anggota keluarga lainnya.[2] Satu pundang terakhir dibagi lagi menjadi tiga bagian: