Samatha-vipassanā

Revisi sejak 23 Mei 2014 16.35 oleh Bthohar (bicara | kontrib) (listed)

Samatha (Pali), (Sanskerta: शमथ, śamatha) adalah praktik meditasi Buddhis (bhavana) mengenai penenangan pikiran (citta) dan “formasi”-nya (sankhara). Hal ini dilakukan dengan berlatih meditasi fokus-tunggal yang pada umumnya dilakukan melalui kesadaran pernapasan. Samatha umum ditemukan pada semua tradisi Buddhis.

Istilah

Istilah Tibet untuk samatha adalah shyiné (Wylie: zhi-Gnas). Menurut Jamgon Kongtrul, wawasan dapat dikumpulkan melalui penafsiran etimologi samatha dan shyiné:

Istilah Tibet (untuk samatha adalah) shyiné [shi-ne] (shi-Gnas) dan Sanskerta adalah Shamatha. Dalam istilah bahasa Tibet, suku kata pertama, shi, dan dalam istilah bahasa Sansekerta, dua suku kata pertama, shama, mengacu pada "kedamaian" dan "keamanan". Arti kedamaian atau keamanan dalam konteks ini adalah bahwa biasanya pikiran kita seperti gemuruh topan. Gemuruh tersebut adalah kecemasan pikiran. Pikiran kita pada dasarnya merupakan suatu perhatian obsesif terhadap masa lalu, konseptualisasi tentang masa kini, dan terutama perhatian yang obsesif terhadap masa depan. Ini berarti bahwa biasanya pikiran kita tidak mengalami saat sekarang sama sekali.[1]

Bidang semantik dari shi dan shama adalah "keamanan", "perlambatan atau pendinginan", "istirahat". Bidang semantik adalah "untuk mematuhi atau tetap" dan hal ini serumpun atau setara dengan suku kata akhir istilah dalam bahasa Sanskerta, tha.[2]

Penerapan

Samatha (ketenangan) dianggap sebagai prasyarat konsentrasi. Dalam hal praktek meditatif, samatha mengacu pada teknik yang membantu dalam menenangkan pikiran. Salah satu teknik utama yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam hal ini adalah kesadaran pernapasan (Pali: anapanasati). Praktek ini juga digunakan untuk memusatkan pikiran. Dengan demikian, meditasi samatha dan meditasi konsentrasi sering dianggap identik. Tujuannya adalah pendirian perhatian seperti yang digunakan dalam hubungannya dengan praktik wawasan (P: vipassanā; S: vipaśyanā), penyelidikan sifat benda, seperti yang ditemui dalam tradisi dzogchen, sehingga menghasilkan kebijaksanaan (P: panna, S:prajna). Samatha umumnya dilakukan sebagai awal untuk dan dalam hubungannya dengan praktik kebijaksanaan.[3]

Melalui pengembangan meditatif dari kediaman yang tenang, seseorang dapat menekan munculnya lima rintangan. Dengan penekanan terhadap rintangan-rintangan ini, pengembangan meditatif wawasan menghasilkan kebijaksanaan yang membebaskan.[4]

Dalam tradisi Theravada, terdapat empat puluh obyek meditasi. Kesadaran (sati) pernafasan (Anapana: anapanasati; S. ānāpānasmṛti) adalah praktek samatha yang paling umum. Samatha dapat mencakup praktek-praktek samadhi lainnya juga.

Beberapa praktek meditasi seperti perenungan objek kasina mendukung pengembangan samatha, praktek lainnya seperti kontemplasi kelompok yang kondusif untuk pengembangan vipassana, sementara praktek yang lainnya seperti perhatian pada pernapasan secara klasik digunakan untuk mengembangkan kedua kualitas mental tersebut.[5]

Asal Mula

Sang Buddha dikatakan telah mengidentifikasi dua kualitas mental yang penting yang muncul dari praktek meditasi yang sehat: 

  • Samatha, kediaman yang tenang, yang memantapkan, menyusun, menyatukan dan memusatkan pikiran;
  • Vipassana, wawasan, yang memungkinkan seseorang untuk melihat, mengeksplorasi dan melihat "formasi" (fenomena yang terkondisi berdasarkan lima kelompok).[6]

Sang Buddha dikatakan telah memuji ketenangan dan wawasan sebagai sarana untuk mencapai keadaan nibbana (Pali; Skt.: Nirwana.) yang tidak terkondisi. Sebagai contoh, dalam Kimsuka Tree Sutta, Sang Buddha memberikan kiasan yang rumit di mana ketenangan dan wawasan adalah "sepasang pembawa berita yang cepat" yang menyampaikan pesan dari nibbana melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.[7]

Dalam Four Ways to Arahantship Sutta, Ven. Ānanda melaporkan bahwa orang-orang mencapai tingkat kesucian arahat menggunakan kekekalan dan wawasan yang tenang melalui salah satu dari tiga cara berikut: 

  1. Mereka mengembangkan kediaman yang tenang dan kemudian wawasan (Pali: samatha-pubbangamam vipassanam)
  2. Mereka mengembangkan wawasan dan kemudian kediaman yang tenang (Pali: vipassana-pubbangamam samatham)
  3. Mereka mengembangkan kediaman yang tenang dan wawasan secara tandem (Pali: samatha-vipassanam yuganaddham), misalnya, memperoleh jhana pertama dan kemudian melihat kelompok terkait tiga tanda keberadaan sebelum melanjutkan ke jhana kedua.[8]

Dalam kanon Pali, Sang Buddha tidak pernah menyebutkan praktik meditasi samatha dan vipassana secara terpisah; sebagai gantinya, samatha dan vipassana adalah dua "kualitas pikiran" untuk dikembangkan melalui meditasi. Seperti yang Bhikkhu Thanissaro tulis,

Ketika [sutta Pali] menggambarkan sang Buddha yang sedang memberitahu siswa-siswanya untuk bermeditasi, mereka tidak pernah mengutipnya dengan mengatakan 'lakukanlah vipassana,' tetapi selalu ‘lakukanlah jhana'. Dan mereka tidak pernah menyamakan kata "vipassana" dengan teknik kesadaran. Dalam beberapa kasus di mana mereka menyebutkan vipassana, mereka hampir selalu memasangkannya dengan samatha - bukan sebagai dua metode alternatif, tetapi sebagai dua kualitas pikiran yang seseorang mungkin 'peroleh' atau 'akan diberkahi dengan’, dan hal itu harus dikembangkan secara bersama-sama.[9]

Demikian pula, mengacu pada MN 151, ay. 13-19, dan AN IV, 125-27, Ajahn Brahm (yang, seperti Bhikkhu Thanissaro, dalam Tradisi Hutan Thailand) menulis bahwa

“Beberapa tradisi berbicara tentang dua jenis meditasi, meditasi wawasan (vipassana) dan meditasi ketenangan (samatha). Bahkan keduanya adalah aspek tak terpisahkan dari proses yang sama. Ketenangan adalah kebahagiaan yang damai yang lahir dari meditasi; wawasan adalah pemahaman yang jelas yang lahir dari meditasi yang sama. Ketenangan mengarah pada wawasan dan wawasan menyebabkan ketenangan.”[10]

Faktor-faktor dalam samatha

Sembilan kediaman mental

Dalam formulasi yang berasal dari Asanga (4 Masehi), praktik samatha dikatakan untuk peningkatan melalui sembilan "kediaman mental" atau Sembilan tahapan melatih pikiran (Sans. navākārā cittasthiti, Tib. Sem Gnas dgu), yang mengarah ke samatha yang benar (setara dengan "konsentrasi akses" dalam sistem Theravada), dan dari sana ke keadaan konsentrasi meditasi yang disebut dhyana pertama (Pali: jhāna; Tib. Bsam gtan) yang sering dikatakan sebagai keadaan ketenangan atau kebahagiaan.[11][12] Asanga melukiskan sembilan kediaman mental dalam Abhidharmasamuccaya-nya dan dalam bab Śrāvakabhūmi dari Yogācārabhūmi-sastra-nya. Hal ini juga ditemukan dalam Mahayanasutralankara dari Maitreyanātha.

Sembilan Kediaman Mental (navākārā cittasthiti, sem-gnas dgu) tersebut adalah:[13]

  1. Penempatan pikiran (S. cittasthāpana, Tib འཇོག་པ - sem 'jog-pa) terjadi ketika praktisi mampu menempatkan perhatiannya pada obyek meditasi, tetapi tidak dapat mempertahankan perhatiannya tersebut untuk waktu yang lama. Gangguan, kebodohan pikiran dan rintangan lainnya merupakan hal yang umum terjadi.
  2. Perhatian yang berkelanjutan (S. samsthāpana, Tib རྒྱུན་དུ་འཇོག་པ - rgyun-du'jog-pa) terjadi ketika praktisi mengalami saat-saat perhatian yang terus-menerus pada objek sebelum akhirnya terganggu. Menurut B Alan Wallace, ini adalah ketika Anda bisa mempertahankan perhatian Anda pada obyek meditasi selama sekitar satu menit.
  3. Perhatian yang diulang (S. avasthāpana, Tib བླན་ཏེ་འཇོག་པ - slan-te 'jog-pa) adalah ketika perhatian praktisi terpaku pada objek selama sebagian besar sesi latihan dan dia mampu segera menyadari ketika dia telah kehilangan pegangan mentalnya pada objek dan mampu mengembalikan perhatiannya dengan cepat. Sakyong Mipham Rinpoche menunjukkan bahwa kemampuan untuk mempertahankan perhatian untuk 108 tarikan napas adalah tolak ukur yang baik ketika kita telah mencapai tahap ini.
  4. Perhatian yang Seksama (S. upasthāpana, Tib ཉེ་བར་འཇོག་པ - nye-bar 'jog-pa) terjadi ketika praktisi mampu mempertahankan perhatiannya sepanjang seluruh sesi meditasi (satu jam atau lebih) tanpa kehilangan pegangan mentalnya pada objek meditasi sama sekali. Dalam tahap ini, praktisi mencapai kekuatan kesadaran. Namun demikian, tahap ini masih mengandung bentuk halus kesenangan dan kebodohan atau kelemahan.
  5. Perhatian yang dijinakkan (S. damana, Tib དུལ་བར་བྱེད་པ - dul-bar byed-pa), pada tahap ini praktisi mencapai ketenangan dalam pikiran, tetapi harus mewaspadai terhadap bentuk-bentuk halus dari kelemahan atau kesuraman, keadaan pikiran yang damai yang bisa rancu dengan kediaman yang tenang. Dengan berfokus pada manfaat masa depan dari mendapatkan Shamatha, praktisi dapat mengangkat (gzengs-bstod) pikirannya dan menjadi lebih fokus dan jelas.
  6. Perhatian yang ditenangkan (S. Samana, Tib ཞི་བར་བྱེད་པ་ - zhi-bar byed-pa) adalah tahap di mana kebodohan mental atau kelalaian yang halus tidak lagi menjadi kesulitan yang besar, tapi sekarang praktisi rawan terhadap kesenangan halus yang timbul di ujung perhatian meditatif. Menurut B. Alan Wallace tahap ini hanya akan tercapai setelah ribuan jam pelatihan yang ketat.
  7. Perhatian yang sepenuhnya ditenangkan (S. vyupaśamana, Tib རྣམ་པར་ཞི་བར་བྱེད་པ་ - nye-bar-bar zhi byed-pa), meskipun praktisi mungkin masih mengalami kegembiraan atau kesuraman yang halus, hal tersebut jarang terjadi dan ia dapat dengan mudah mengenali dan menenangkannya.
  8. Perhatian fokus-tunggal (S. ekotīkarana, Tib རྩེ་གཅིག་ཏུ་བྱེད་པ་ - Rtse-gcig-tu byed-pa) dalam tahap ini praktisi dapat mencapai tingkat konsentrasi yang tinggi dengan hanya sedikit usaha dan tanpa terganggu bahkan oleh kelemahan atau kegembiraan halus selama seluruh sesi meditasi.
  9. Keseimbangan Pikiran (S. samādhāna, Tib མཉམ་པར་འཇོག་པ་བྱེད་པ་ - Mnyam-par 'jog-pa) meditator sekarang mudah mencapai konsentrasi yang diserap (ting-nge-'dzin, S. samadhi) dan bisa mempertahankannya selama sekitar empat jam tanpa gangguan apapun.
(10. samatha, Tib ཞི་གནས་, shyiné- puncaknya, kadang-kadang disebut sebagai tahap kesepuluh) 

Rujukan

  1. ^ Ray, Reginald A. (Ed.)(2004). In the Presence of Masters: Wisdom from 30 Contemporary Tibetan Buddhist Teachers. Boston, Massachusetts, USA: Shambhala Publications. ISBN 1-57062-849-1 (pbk.: alk. paper) hal.69.
  2. ^ Ray, Reginald A. (Ed.)(2004). In the Presence of Masters: Wisdom from 30 Contemporary Tibetan Buddhist Teachers. Boston, Massachusetts, USA: Shambhala.ISBN 1-57062-849-1 (pbk.: alk. paper) hal.70.
  3. ^ Wallace, A. (2006) The Attention Revolution. Wisdom Publications, ed. 1. hal.164
  4. ^ AN 2.30.
  5. ^ Lihat, misalnya, Bodhi (1999) dan Nyanaponika (1996), hal. 108
  6. ^ AN 4.94
  7. ^ Thanissaro Bhikkhu (1998). Kimsuka Sutta: The Riddle Tree. Diakses pada 22-05-2014
  8. ^ Bodhi (2005), hal. 268, 439 nn. 7, 9, 10. Lihat pula Thanissaro (1998)
  9. ^ Thanissaro Bhikkhu (1997) One Tool Among Many: The Place of Vipassana in Buddhist Practice. Diakses 22-05-2014
  10. ^ Brahm (2006). Mindfulness, Bliss, and Beyond. Wisdom Publications, Inc. hal. 25. ISBN 0-86171-275-7.
  11. ^ Wallace, A. 'The Attention Revolution', Wisdom Publications, 1st ed., 2006, hal.6
  12. ^ The Practice of Tranquility & Insight: A Guide to Tibetan Buddhist Mediation by Thrangu Rinpoche. Snow Lion Publications; 2 edition. 1998 ISBN 1-55939-106-5 hal.19
  13. ^ Meditative States in Tibetan Buddhism By Lati Rinpoche, Denma Locho Rinpoche, Leah Zahler, Jeffrey Hopkins Wisdom Publications: December 25, 1996. ISBN 0-86171-119-X halaman 53-85

Lihat pula

Pranala luar