Bagi hasil merupakan suatu bentuk skema pembiayaan alternatif, yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dibandingkan bunga. Sesuai dengan namanya, skema ini berupa pembagian atas hasil usaha yang dibiayai dengan kredit/pembiayaan. Dalam berkontrak bagi hasil, perlu didesain suatu skema bagi hasil yang optimal, yakni yang secara efisien dapat mendorong entrepreneur (debitur) untuk melakukan upaya terbaiknya dan dapat menekan terjadinya falsifikasi. Bagi hasil dapat diaplikasikan baik pada pembiayaan langsung maupun pada pembiayaan melalui bank syariah (dalam bentuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah).[1]

Bentuk skema bagi hasil

  1. Profit sharing (disebut pula profit-and-loss sharing), yang dijadikan dasar perhitungan adalah profit, yang merupakan selisih antara penjualan/pendapatan usaha dan biaya-biaya usaha, baik berupa harga pokok penjualan/biaya produksi, biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi. Ada pula yang mendefinisikan profit sharing sebagai sistem pemberian keuntungan yang didapat dari suatu usaha.[2]
  2. Gross profit sharing, yang dijadikan dasar perhitungan adalah gross profit (laba kotor), yakni penjualan/pendapatan usaha dikurangi dengan harga pokok penjualan/biaya produksi.
  3. Revenue sharing, yang dijadikan dasar perhitungan adalah penjualan/pendapatan usaha.

Referensi

  1. ^ Tarsidin, 2010, Bagi Hasil: Konsep dan Analisis. (Jakarta, Lembaga Penerbit FEUI)
  2. ^ Muhammad, 2001, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah. (Yogyakarta, UII Press)