Tumpang negeri
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP34Itang (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 27 Juni 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 1 Juni 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP34Itang (Kontrib • Log) 3872 hari 1111 menit lalu. |
Tumpang Negeri merupakan kegiatan yang berawal dari kearifan lokal orang Melayu atau orang laut di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.[1]
Pelaksanaan
Upacara Tumpang Negeri meliputi buang telur ke air, antar bubur abang, mencuci barang pusaka Keraton Ismahayana Landak, membuat dan mengantar tumpeng, sedekah kampung selama tiga hari berturut-turut, yasinan, ziarah ke makam Raden Abdul Khara, Ratu Bongkok, dan Riam Serawak.[2] Dalam prosesi ini Pangeran Landak yang ke-39 dibantu seorang pawang menghaturkan sesajian nasi pulut atau nasi kuning untuk mencegah pengaruh buruk dari ritual Tumpang Negeri.[3] Tumpang Negeri sebagai lambang penghormatan dan permohonan kepada leluhur mereka dengan membuang sesajian di sungai.[3] Masyarakat percaya akan hal ini dengan membuang tujuh macam makanan di sungai sebagi sesaji.[3] Sesaji tersebut dipercayai masyarakat Landak sebagai simbol kesuburan tanah yang dibawa oleh air sungai.[3] Beberapa persembahan disediakan dengan maksud meminta keselamatan bagi seluruh umat.[3] Wujud keselamatan tersebut dalam bentuk perahu rakit.[3] Dalam kepercayaan masyarakat Landak, roh-roh jahat yang singgah perlu diantar pergi agar tak menimbulkan malapetaka.[3] Ini adalah sebuah permohonan halus, agar roh gaib tak murka.[3] Perahu rakit yang ditaruh makanan atau sesaji tersebut dihanyutkan di muara sungai Landak dan Munggu, yakni sungai pertemuan di antara pusat bekas Kerajaan Landak dahulu.[3]
Tumpang Negeri mempunyai dua dimensi, yakni sebagai doa agar terhindar dari segala malapetak, bencana, dan penyakit.[2] Selain itu, Tumpang Negeri juga sebagai permohonan keselamatan dan kesejahteraan agara di masa depan, masyarakat Landak diberi kehidupan yang lebih baik.[2]