Lie Kim Hok

penulis Tionghoa-Indonesia

Lie Kim Hok (Hanzi: 李金福; Pinyin: Lǐ Jīnfú, 1 November 1853 – 6 Mei 1912), adalah seorang penulis Indonesia, perintis Sastra Melayu Tionghoa yakni Masa Rintisan (19875-1895), pada periode ini telah ditulis karya-karya sastra berbahasa Melayu Rendah baik oleh orang-orang Belanda maupun Tionghoa peranakan. Namun hasilnya masih berupa terjemahan atau saduran dari karya-karya sastra barat atau Cina. Termasuk dalam periode ini adalah Lie Kim Hok. [1]

Lie Kim Hok
Lie, ca 1900
Lahir(1853-11-01)1 November 1853
Belanda Buitenzorg, Hindia Belanda
Meninggal6 Mei 1912(1912-05-06) (umur 58)
Belanda Batavia, Hindia Belanda
Sebab meninggalTifus
PekerjaanPenulis, jurnalis
Tahun aktif1870-an – 1912
Karya terkenal
GayaRealisme
Suami/istri
  • Oey Pek Nio (1876–1881)
  • Tan Sioe Nio (1891–meninggal)
Anak4

Ikhtisar

Lie Kim Hok memperoleh pendidikan bahasa Melayu dari seorang pendeta Belanda. Berkat pendidikannya tersebut, ia mampu menyajikan karya-karyanya dengan bahasa yang rapi. Bahkan, Lie mampu mendokumentasikan berbagai peraturan dan cara menggunakan bahasa Melayu Rendah, yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Karyanya tersebut diberi judul Malajoe Batawi: Kitab deri hal Perkataan-Perkataan Malajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar Malajoe dan Hal Pernahkan Tanda-Tanda Batja dan Hoeroef-Hoeroef Besar (1884) serta Kitab Eja. [2]

Lie Kim Hok juga terkenal pandai melukis. Dinding rumahnya terhias gambar-gambar lukisannya, hingga menarik perhatian ahli lukis terkenal Raden Saleh Sjarif Bastaman (1914-1880) pada waktu itu tinggal di Bogor, menerima Lie Kim Hok sebagai muridnya, setelah melihat dua lukisan pemuda itu, sebuah potret sebatas dada dari Kaisar Thong Tie dan sesisir pisang emas di sebuah piring. Raden Saleh menganjurkannya untuk belajar menggambar di Eropa. Tapi ibu Lie Kim Hok berkeberatan berpisah dengan anaknya. [3]

Lie mendirikan perusahaan percetakan Drukkerij Loe KimHok & Co. (1885) di Bogor. Banyak buku-buku cerita Tionghoa dicetak dan diterbitkan percetakannya. Buku-buku terbitannya banyak dibicarakan oleh dan dipuji oleh segolongan kecil pembaca Melayu rendah. Ia pindah ke Jakarta bergabung sebagai wartawan pada Pemberita Betawi (1886) kemudian menjadi pemimpin redaksinya. Lie juga banyak membantu surat-surat kabar dengan menerbitkan dan membuat tulisan. Pada akhir tahun hidupnya, ia hanya membantu dua surat kabar yang terbit di Jakarta, yakni Perniagaan (Siang Po) (1903-1942) dan Sin Po (sejak 1910). [4]

Lie juga berperan penting dalam pendirian Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada 1900. Organisasi ini bertujuan menyiarkan ajaran Konfusius, memperbaiki adat istiadat orang keturunan Tionghoa, dan mengembangkan sistem pendidikan baru dalam bahasa Tionghoa Mandarin. [5]

Atas perannya yang begitu besar terhadap perkembangan kebudayaan Melayu Tionghoa, khususnya di bidang kesusastraan, ia diberi gelar Bapak Melayu-Tionghoa. [2]

Kehidupan awal

Lie lahir di Buitenzorg (sekarang Bogor), Jawa Barat, pada tanggal 1 November 1853 sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara yang lahir dari Lie Hian Tjouw dan istri keduanya Oey Tjiok Nio. Lie tua memiliki empat anak dari pernikahan sebelumnya, dengan putra sulungnya Lie Kim Hok dari pernikahan barunya.

Pada usia tujuh tahun, ia mulai dapat membaca bacaan dalam bahasa Sunda dan bahasa Melayu.[6]

 
Lie belajar melukis dengan Raden Saleh.

Lie, seperti halnya kebanyakan pelajar, tidak berpindah agama,[7]

Lie dan keluarganya pulang ke Buitenzorg pada tahun 1866.

Pada waktu di Buitenzorg, ia belajar menulis dibawah pengarahan Raden Saleh, seorang teman dari ayahnya. Meskipun ia dilaporkan menunjukan kemampuannya, ia tak melanjutkan hobinya karena ibunya menentangnya.

Ketika Sierk Coolsma membuka sebuah sekolah misionaris di Buitenzorg pada 31 Mei 1869

Setelah sekolah yang dijalankan oleh pemerintah dibuka pada 1872, kebanyakan teman sekolah Lie adalah orang-orang yang beretnis Tionghoa; para pelajar Sunda, kebanyakan Muslim

Ketika Sierk Coolsma membuka sebuah sekolah misionaris di Buitenzorg pada 31 Mei 1869, Lie berada di kelas satu dari sepuluh kelas. Ia kembali belajar dengan menggunakan bahasa Sunda, subyek yang sama yang ia dapatkan waktu ia berada di Cianjur. Pada waktu itu, ia mulai mempelajari bahasa Belanda. Setelah sekolah yang dijalankan oleh pemerintah dibuka pada 1872, kebanyakan teman sekolah Lie adalah orang-orang yang beretnis Tionghoa; para pelajar Sunda, kebanyakan Muslim, yang ditransfer ke sekolah baru untuk dikonversi ke agama Kristen.[8] Pada 1873, Coolsma dikirim ke Sumedang untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Sunda dan menggantikan misionaris D. J. van der Linden.[a]

Dua tahun kemudian, ia bekerja di sekolah van der Linden dan mendirikan rumah dan menyebarkan pemahaman mengenai teater tradisional, termasuk wayang.[9]

Guru dan penerbit

Pada usia dua puluh tahun, Lie fasih berbahasa Sunda dan bahasa Melayu; ia juga fasih berbicara dalam bahasa Belanda, suatu hal yang jarang untuk etnis Tionghoa pada waktu itu.[10] Lie assisted van der Linden di sekolah misionaris, dan pada pertengahan 1870an, ia mengoperasikan sebuah sekolah umum untuk anak-anak Tionghoa yang miskin. Ia juga bekerja pada tempat percetakan milik misionaris, Zending Press, dengan gaji empat puluh gulden per bulan sementara ia menjabat sebagai penyunting dua majalah keagamaan, mingguan berbahasa Belanda De Opwekker dan dwiminggu berbahasa Melayu Bintang Djohor.[11] Ia menikahi Oey Pek Nio, yang berjarak tujuh tahun, pada 1876.[12]

 
Sampul Sair Tjerita Siti Akbari, syair pertama yang diterbitkan oleh Lie

Anak tersebut wafat pada 1886.[13] Lie menerbitkan buku pertamanya pada 1884. Dua diantaranya, Kitab Edja dan Sobat Anak-Anak, diterbitkan oleh Zending Press.

Ia juga menulis karya opini di berbagai surat kabar, termasuk Bintang Betawi dan Domingoe.[14]

Yang terakhir adalah novel pertamanya, Tjhit Liap Seng.[15] Novel tersebut menceritakan tentang sekelompok orang terdidik di daratan utama Tiongkok, Tjhit Liap Seng yang dianggap sebagai novel Tionghoa Melayu pertama.[16]

Lie melanjutkan penerbitan 5 novel yang berlatar belakang Tiongkok sampai 1887. Beberapa kisahnya berdasarkan pada cerita-cerita Tiongkok yang diceritakan oleh teman-temannya yang dapat berbicara dalam bahasa Mandarin.[17]

Tiong Hoa Hwe Koan, penerjemahan, dan kematian

Pada tahun 1890, Lie mulai bekerja di sawah yang dioperasikan oleh temannya Tan Wie Siong sebagai seorang petinggi

Pada tahun berikutnya, ia menikahi Tan Sioe Nio, juniornya yang berumur dua puluh tahun.

Ia mendorong Lie agar kembali melakukan penerjemahan, bahasa Belanda ke bahasa Melayu atau sebaliknya. Terkadang ia menerjemahkan surat tanah atau dokumen sah lainnya. Di lain waktu, ia menerjemahkan karya-karya sastra.[18] Karya-karya tersebut meliputi De Graaf de Monte Cristo, sebuah terjemahan dari Le Comte de Monte-Cristo pada tahun 1894 karya Alexandre Dumas, yang ia selesaikan dalam kerjasamanya dengan jurnalis Indo F. Wiggers.[15]

 
Bekas teman sekolah Lieyang bernama Phoa Keng Hek, salah satu pendiri Tiong Hoa Hwe Koan

Dengan sembilan belas orang beretnis Tionghoa lainnya, termasuk bekas teman sekolah-nya yang bernama Phoa Keng Hek, Lie adalah seorang pembentukan keanggotaan sistem sekolah dan organisasi sosial Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada tahun 1900.[19] Berusaha untuk memperjuangkan hak asasi etnis Tionghoa pada waktu itu ketika mereka dianggap sebagai warga kelas dua[b] dan menetapkan standardisasi pendidikan formal kepada para pelajar beretnis Tionghoa dimana Belanda tidak melakukannya, organisasi tersebut berdasarkan pada pengajaran Konghucu dan sekolah-sekolah yang terbuka untuk laki-laki dan perempuan. THHK bergerak cepat dan masuk ke dalam bidang-bidang yang berbeda, dan Lie membantu pembentukan kelompok debat, kelompok olahraga, dan acara amal dan konser.[20] Dari 1903 sampai 1904 Lie menjadi anggota pada badan tersebut, utamanya bertugas sebagai bendaharanya.[21]

Lie meninggalkan THHK pada 1904, namun ia tetap aktif dalam karya sosial. Meskipun kesehatannya buruk,[22] ia menulis opini untuk harian Sin Po dan Perniagaan.[23] Ia juga melakukan penerjemahan secara ekstensif. Pada 1905, Lie menerbitkan volume pertama dari novel bertemakan Tionghoa terakhir buatannya, Pembalasan Dendam Hati. Diikuti oleh Kapitein Flamberge, sebuah terjemahan dari Le Capitaine Belle-Humeur karya Paul Saunière, pada tiga tahun kemudian. Pada tahun-tahun setelahnya, ia menerjemahkan beberapa buku yang menampilkan karakter petualang fiktif yang bernama Rocambole karya Pierre Alexis Ponson du Terrail, dimulai dengan Kawanan Pendjahat pada 1910. Dua terjemahan terakhir diterbitkan di surat kabar dan diluncurkan sebagai sebuah novel setelah kematian Lie: Geneviève de Vadans, dari sebuah buku yang berjudul De Juffrouw van Gezelschap, dan Prampoean jang Terdjoewal, dari Dolores, de Verkochte Vrouw karya Hugo Hartmann. Sisa-sisa terjemahan diselesaikan oleh seorang jurnalis bernama Lauw Giok Lan.[15]

Di malam hari pada tanggal 2 Mei 1912, Lie diterpa penyakit, dan dua hari kemudian dokternya mendiagnosanya mengidap tipus. Kondisinya semakin memburuk dan pada 6 Mei 1912, ia wafat. Ia dimakamkan di Kota Bambu, Batavia. Sekolah-sekolah THHK di seluruh kota tersebut mengibarkan bendera mereka dalam keadaan setengah tiang. Lie meninggalkan istrinya dan empat anak: Soan Nio (kelahiran 1892), Hong Nio (kelahiran 1896), Kok Hian (kelahiran 1898), dan Kok Hoei (kelahiran 1901). Tan Sioe Nio wafat pada tahun setelahnya.[24]

Warisan

Dari perspektif para linguis, Kasijanto Sastrodinomo dari Universitas Indonesia menyatakan Malajoe Batawi sebagai buku teks berbahasa Melayu pertama yang ditulis oleh non-Melayu yang "luar biasa".[25]

 
Salah satu lembaran Siti Akbari karya Wong bersaudara, yang dikatakan berdasarkan pada puisi Lie

Adam berpendapat bahwa Lie paling diingat karena kontribusinya pada sastra Indonesia[26]

Tio menyatakan bahwa "Tua-muda membaca dengan mesra tulisan-tulisannya, jang dipudji gaja-bahasanja jang sederhana, berirama, jernih, hidup, segar dan kuat. Cermat dan tepat dipilihnya kata-kata, tertib dan rapi disusunnja kalimat-kalimat. ... Dikatakan orang, ia terlahir mendahului zaman. Ia diibaratkan sebuah bintang besar berkilau-kilauan, suatu kontras tajam terhadap bintang-bintang kecil yang muram diangkasa yang gelap-gulita."[c][27] Pujian selanjutnya was awarded by kontemporer lainnya, baik itu etnis pribumi dan etnis Tionghoa, seperti Ibrahim gelar Marah Soetan dan Agus Salim.[28]

Beberapa buku Lie, meliputi Sair Tjerita Siti Akbari, Kitab Edja, Orang Prampoewan, dan Sobat Anak-anak, telah berkali-kali dicetak, meskipun Tio sudah tidak tercatat lagi setelah 1920an.[15] Pada 2000. Kitab Edja dicetak ulang dari volume perdana Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, sebuah antologi sastra Tionghoa Melayu.[29] Sair Tjerita Siti Akbari, yang menurutnya merupakan salah satu karya terbaik-nya, yang diadaptasi pada drama panggung selama beberapa waktu. Lie menggunakan versi sederhana dari sebuah kelompok aktor remaja, yang sukses di Jawa Barat.[30] Pada 1922, cabang Sukabumi Shiong Tih Hui menampilkan adapatasi panggung lainnya Pembalesan Siti Akbari, yang ditampilkan oleh kelompok teater Miss Riboet pada 1926.[d][31] Wong bersaudara menyutradarai sebuah film yang berjudul Siti Akbari, yang dibintangi Roekiah dan Rd. Mochtar. Film 1940 tersebut dibuat berdasarkan pada puisi Lie, meskipun pengaruhnya diragukan.[32]

Beberapa buku Lie, meliputi Sair Tjerita Siti Akbari, Kitab Edja, Orang Prampoewan, dan Sobat Anak-anak, telah berkali-kali dicetak, meskipun Tio sudah tidak tercatat lagi setelah 1920an.[15]

Kontroversi

Menulis untuk sebuah surat kabar milik orang beretnis Tionghoa yang bernama Lay Po pada tahun 1923, Tio menyatakan bahwa Sair Tjerita Siti Akbari sebetulnya dipengaruhi oleh sebuah puisi pada tahun 1847 yang berjudul Sjair Abdoel Moeloek

Kritikus sastra Indonesia Jakob Sumardjo menyatakan bahwa Lie "Boleh dikatakan ia asli dalam gaya tetapi tidak asli dalam bahan yang digarapnya".[33]

Hasil karya

 
Malajoe Batawi, 1884
 
Hikajat Khonghoetjoe, 1897

Beberapa karya Lie yang menonjol antara lain Siti Akbari (1884) dan Graaf de Monte Cristo (terjemahan, 1894-99).

Siti Akbari yang dipentaskan dalam drama pertunjukan dengan pengaruh Komedi Bangsawan masih sangat kuat. Di awal setiap pertunjukan, nyanyian selalu ditampilkan untuk menunggu waktu dan penonton; nyanyian juga dilantunkan di tengah pementasan untuk menunggu penataan panggung dan persiapan pemain di belakang layar. Siti Akbari bisa dianggap sebagai hal khusus dalam perkembangan awal drama kita sebab ditulis berdasarkan sebuah syair dan pementasannya bisa dibayangkan hanya semacam poetry reading atau dramatisasi puisi. [34]

Karya-karyanya yang lain, yakni:

Puisi

  • Sair Tjerita Siti Akbari. Batavia: W. Bruining & Co. 1884.  (200 halaman dalam 2 jilid)
  • Orang Prampoewan. Buitenzorg: Lie Kim Hok. 1885.  (4 halaman dalam 1 jilid)

Fiksi

  • Sobat Anak-anak. Buitenzorg: Zending Pers. 1884.  (kumpulan cerita anak-anak; 40 halaman dalam 1 jilid)
  • Tjhit Liap Seng. Batavia: Lie Kim Hok. 1886.  (novel; 500 halaman dalam 8 jilid)
  • Dji Touw Bie. Batavia: Lie Kim Hok. 1887.  (novel; 300 halaman dalam 4 jilid)
  • Nio Thian Lay. Batavia: Lie Kim Hok. 1887.  (novel; 300 halaman dalam 4 jilid)
  • Lok Bouw Tan. Batavia: Lie Kim Hok. 1887.  (novel; 350 halaman dalam 5 jilid)
  • Ho Kioe Tan. Batavia: Lie Kim Hok. 1887.  (novelette; 80 halaman dalam 1 jilid)
  • Pembalasan Dendam Hati. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1905.  (novel; 239 halaman dalam 3 jilid)

Non-fiksi

  • Kitab Edja. Buitenzorg: Zending Pers. 1884.  (38 halaman dalam 1 jilid)
  • Malajoe Batawi. Batavia: W. Bruining & Co. 1885.  (116 halaman dalam 1 jilid)
  • Aturan Sewa-Menjewa. Batavia: Lie Kim Hok. 1886.  (bersama W. Meulenhoff; 16 halaman dalam 1 jilid)
  • Pek Hauw Thouw. Batavia: Lie Kim Hok. 1886. 
  • Hikajat Khonghoetjoe. Batavia: G. Kolff & Co. 1897.  (92 pages in 1 jilid)
  • Dactyloscopie. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1907. 

Terjemahan

  • 1001 Malam. Batavia: Albrecht & Co. 1887.  (at least nights 41 to 94)
  • Graaf de Monte Cristo. Batavia: Albrecht & Co. 1894.  (dengan F. Wiggers; setidaknya 10 dari 25 jilid diterbitkan)
  • Kapitein Flamberge. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1910.  (560 halaman dalam 7 jilid)
  • Kawanan Pendjahat. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1910.  (560 halaman dalam 7 jilid)
  • Kawanan Bangsat. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1910.  (800 halaman dalam 10 jilid)
  • Penipoe Besar. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1911.  (960 halaman dalam 12 jilid)
  • Pembalasan Baccorat. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1912.  (960 halaman dalam 12 jilid; posthumous)
  • Rocambale Binasa. Batavia: Hoa Siang In Kiok. 1913.  (1250 halaman dalam 16 jilid; posthumous)
  • Geneviere de Vadana. Batavia: Sin Po. 1913.  (bersama Lauw Giok Lan; 960 halaman dalam 12 jilid; posthumous)
  • Prampoewan jang Terdjoeal. Surabaya: Laboret. 1927.  (240 halaman dalam 3 jilid; posthumous)

Referensi

  1. ^ (Indonesia) 100 tahun Kwee Tek Hoay: dari penjaja tekstil sampai ke pendekar pena. Penyunting Myra Sidharta. Sinar Harapan, 1989, Jakarta. Halaman 90.
  2. ^ a b (Indonesia) Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Jilid 1. Penyunting Marcus A.S.; Pax Benedanto. Myra Sidharta. Sinar Harapan, 1989, Jakarta. Halaman 59.
  3. ^ Tio Ie Soei. Lie Kim Hok (1853-1912). Bandung, 1958, L.D. Good Luck. halaman 41
  4. ^ Tio Ie Soei. Lie Kim Hok (1853-1912). Bandung, 1958, L.D. Good Luck. halaman 49-51
  5. ^ Tio Ie Soei. Lie Kim Hok (1853-1912). Bandung, 1958, L.D. Good Luck. halaman 63
  6. ^ Tio 1958, hlm. 22.
  7. ^ Sumardjo 2004, hlm. 101.
  8. ^ Tio 1958, hlm. 32–34, 36.
  9. ^ Setiono 2008, hlm. 234–235.
  10. ^ Setiono 2008, hlm. 233.
  11. ^ Suryadinata 1995, hlm. 81–82.
  12. ^ Tio 1958, hlm. 44.
  13. ^ Tio 1958, hlm. 46–47.
  14. ^ Tio 1958, hlm. 51.
  15. ^ a b c d e Tio 1958, hlm. 84–86.
  16. ^ Salmon 1994, hlm. 126.
  17. ^ Tio 1958, hlm. 72–73.
  18. ^ Tio 1958, hlm. 57–59.
  19. ^ Adam 1995, hlm. 72.
  20. ^ Tio 1958, hlm. 63–71.
  21. ^ Setyautama & Mihardja 2008, hlm. 253–254.
  22. ^ Tio 1958, hlm. 59.
  23. ^ Tio 1958, hlm. 58–59, 82–83.
  24. ^ Setyautama & Mihardja 2008, hlm. 253–254; Tio 1958, hlm. 58–59, 82–83.
  25. ^ Sastrodinomo 2009, Teringat akan Lie.
  26. ^ Adam 1995, hlm. 64–66.
  27. ^ Tio 1958, hlm. 3–4.
  28. ^ Setiono 2008, hlm. 244.
  29. ^ Lie 2000, hlm. 59.
  30. ^ Tio 1958, hlm. 42–43.
  31. ^ Lontar Foundation 2006, hlm. 155; De Indische Courant 1928, Untitled
  32. ^ Filmindonesia.or.id, Siti Akbari; Bataviaasch Nieuwsblad 1940, Cinema: Siti Akbari
  33. ^ Sumardjo 2004, hlm. 99.
  34. ^ (Indonesia) Antologi Drama Indonesia. Jilid 1: 1895-1930. Penyunting Eko Endarmoko; Sonya Sondakh. Amanah Lontar, 2006. Jakarta. Halaman xxiii.

Kutipan karya

Templat:Link FA
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan