Tempat Pengasingan Boven Digoel
Boven Digoel adalah penjara alam di Pulau Papua yang buas dan terpencil.[1][2] Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan oleh pemerintah kolonial untuk mematahkan perlawanan kaum pergerakan.[1] Sumber lain menjelaskan bahwa Boven Digoel adalah tempat pembuangan/pengasingan/hukuman bagi orang-orang yang dianggap membahayakan pemerintahan kolonial Belanda.[3] Kamp Bouven Digul terletak di hilir tepi sungai Digul dan Kamp tersebut dipersiapkan dengan tergesa-gesa untuk mengatasi kebijakan akhir pemerintah kolonial terhadap orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan komunis 1926.[4] Luas wilayah kawasan itu hampir 10.000 hektar, dan terkenal sangat terasing dari dunia luar.[4] Sedangkan menurut buku Ensiklopedia Digul atau Digul Atas (Belanda: Boven Digoel) adalah sebuah daerah hutan lebat, sebelah timur sungai Digul Hilir, Irian jaya, tempat ini terkenal sebagai tempat pembuangan pejuang-pejuang kemerdekaan.[5] Tempatnya ini terasing dari beradaban masyarakat.[5]
Gubernur Jendral Hindia Belanda memiliki senjata andal dalam membatasi ruang gerak kaum pergerakan nasional.[1] Gubernur Jendral berhak membuang dan memenjarakan seseorang yang dinilai membahayakan keamanan dan ketertiban tanpa melalui pengadilan.[1] Selama pemerintah Gubernur Jenderal De Jogne, banyak tokoh nasionalis Indonesia dijerat hak ini.[1] Tidak ada tempat pengasingan yang lebih menghancurkan semangat selain Bouven Digul di Papua.[1]
Sejarah Pembangunan Penjara Bouven Digul
Awalnya tempat pembuangan tokoh-tokoh Indonesia pada zaman Belanda ini terdapat di Luar Negeri, bebarapa tokoh-tokoh Indonesia telah dibuang dan diasingkan di Luar Indonesia, tokoh Indonesia yang terakhir dibuang di Luar Negeri adalah Semaun dan Darsono (dua orang ini adalah pemimpin pemogokan kaum buruh pada tahun 1923).[6] Sebelas tahun sebelumnya dibuang ke Eropa tiga pemimpin partai politik pertama di Indonesia antara lain E.F.E Douwes Deker, Suwardi Suryaningrat, Tjipto Mangunkusumo.[6] Kemudian karena di Bouven Digul diperkuat administrasinya oleh Belanda sehingga dibangunlah pengasingan oleh kekuasaan militer pada saat itu.[6] Bouven Digul sebenarnya tidak dirancang sebagai sebuah kamp konsentrasi karena tidak ada penyiksaan atau pembunuhan terhadap tawanan di tempat itu.[4] Pemerintahan kolonial hanya membiarkan tawanan sampai mati, gila atau menjadi hancur.[4] Dengan adanya pembangunan kamp Bouven Digul ini maka pengasingan di Luar Negeri dihentikan.[6] Pembangunan Penjara Bouven Digul ini dibangun untuk pengasingan orang-orang yang dianggap terlibat ataupun bersimpati dalam pemberontakan pada tahun 1926-1927, tanpa melalui keputusan pengadilan.[6] Pemberontakan pada masa itu tercatat dalam sejarah menjadi pemberontakan Nasional pertama di Indonesia karena 2 alasan.[6] Pertama, berbagai pemberontakan terjadi di Kariseidenan-karisidenan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang digerakkan oleh tokoh-tokoh dari berbagai aliran politik dan pemeluk agama.[6] Kedua, Sebelumnya tidak pernah terjadi pemberontakan besar di wilayah yang demikian luas tanpa membedakan suku maupun agama, walaupun tanpa koordinasi Nasional, dengan Partai Komunis Indonesia sebagai ujung tombak dan menjadi pemula dalam pemberontakan itu.[6] Pemberontakan ini bermuara di Digul Hulu atau Bouven Digul.[6] Gubernur Jendral de Graef berhadap dengan mengirimkan para pemberontak ke kamp Bouven Digul itu mereka tidak akan mengulangi kelakuannya lagi pada masa selanjutnya.[4] Sebenarnya kompleks penjara ini dibangun oleh Belanda secara bertahap-tahap dan merintis administrasi secara kuat, agar para tawanan sulit untuk melarikan diri, kemudian ketika penjara ini sudah jadi, kemudian beberapa tokoh Indonesia yang fenomenal dibuang oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1935, tokoh-tokoh tersebut adalah Mohammad Hatta (wakil Presiden 1945), Sultan Syahir, dan para tokoh perjuangan lainnya.[7]
Tempat Terpencil
Bouven Digul merupakan tempat terpencil, terletak di tengah hutan belantara dekat hulu sungai Digul, di selatan Papua.[1] Di sebelah utara, timur, dan selatan, tempat ini dikelilingi hutan lebat yang sangat sulit ditembus dan tempatnya sangat jauh terisolasi, sehingga para tawanan akan kesulitan untuk melarikan diri dari penjara alam ini.[1] Disebelah barat terdapat Sungai Digul. [1][8] Bukan hanya karena alamnya yang demikian keras, namun juga ada beberapa siksaan kaum kolonialis, ada tangisan kesedihan dari para tawanan, dan juga kegeraman dan kertakan gigi, bahkan darah yang tertumpah untuk sebuah perjuangan membebaskan diri dari belenggu kolonialis.[8]
Keterkucilan Digul menjadi pertimbangan utama pemerintah kolonial ketika memilih lokasi ini sebagai permukiman bagi para tawanan pada tahun 1927.[1] Di Digul terdapat dua permukiman, yaitu Tanah Merah dan Tanah Tinggi.[1] Di Tanah Merah terdapat pusat administrasi dan militer serta tempat penahan utama.[1] Tanah Tinggi merupakan lokasi penampungan bagi para tawanan yang dianggap tidak dapat diatur.[1] Sewaktu rombongan pertama datang, Digoel sama sekali belum merupakan daerah permukiman.[7] Rombongan pertama sebanyak 1.300 orang yang sebagian besar dari Banten, diberangkatkan pada Januari 1927.[7] Kemudian rombongan pertama tawanan tiba di Digul pada Maret 1927.[1] Pada akhir Maret 1927, menyusul ratusan orang lain dari Sumatera Barat.[7] Mula-mula mereka ditempatkan di Tanah Merah.[7] Dua tahun kemudian, melalui seleksi ketat, sebagian dipindahkan ke Tanah Tinggi.[7] Sebagian besar adalah mereka yang terlibat atau dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI 1926.[1] Setelah itu, rombongan tahanan politik lainnya menyusul.[1] Sekarang tempat ini sudah menjadi pemukiman penduduk papua, untuk menjangkau penjara ini yang tepatnya berada di kabupaten Boven Digul, orang bisa menggunakan penerbangan pesawat Twin Otter sekitar 90 menit dari Bandara Moppa, Merauke.[9] Namun saat musim kemarau bisa pula ditempuh melalui jalan darat sepanjang 500 kilometer dari Kota Merauke ke Tanah Merah.[9] Selain itu dengan kapal laut dari Marauke ke laut lepas kemudian menyusuri Sungai Digul.[9]
Penderitaan Tawanan
Meski berstatus sebagai tahanan politik, para tawanan diperlakukan layaknya penjahat biasa.[1] Setiba di lokasi pengasingan, para tawanan digeledah dan surat pribadi mereka disita.[1] Setiap pagi mereka harus berkumpul, kemudian digiring ke hutan atau rawa-rawa untuk melakukan kerja paksa.[1] Kondisi ini mendorong aksi protes para tawanan.[1] Sebagaian besar tawanan adalah bekas pegawai pemerintah atau pekerja swasta yang tidak terbiasa dengan pekerjaan kasar.[1] Mempertimbangkan protes tersebut, kebijakan ini akhirnya dihapus.[1]
Dalam perkembangannya, para tawanan terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu golongan yang bersikap kooperatif, golongan non-kooperatif tetapi tidak memerlihatkan sikap menentang.[1] Kelompok terakhir ini kemudian diasingkan ke Tanah Tinggi.[1]
Para tawanan di Digul sebenarnya tidak mengalami penyiksaan fisik. Namun, Digul merupakan neraka alam.[1] Di daerah ini terdapat beragam perangkat alami penyiksaan yang menghancurkan kesehatan jasmani dan rohani para tawanan, diantaranya adalah iklim yang buruk, serangan nyamuk penjangkit malaria, keterasingan dari peradaban manusia, juga diserang demam yang tinggi hingga kencing hitam yang diderita oleh para tawanan ini dan juga rasa rindu kepada keluarga.[1] Selain itu, masih ada ancaman serangan dari suku-suku liar yang menghuni kawasan itu.[1] Sehingga penjara di Bouven Digul ini merupakan penjara alam yang dapat mematikan manusia, ibarat penjara tanpa bilik yang menggambarkan kondisi Boven Digoel pada saat itu yang sepi dan memberikan cekaman kebosanan bagi mereka para tawanan yang dibuang ke daerah ini.[10] Akibat stres yang berkepanjangan, sejumlah tawanan menderita gangguan jiwa.[1] Bahkan, ada beberapa kasus bunuh diri di antara para tawanan tersebut.[1] Akibat dari lingkungan yang seperti itu, sehingga meminta korban.[5] Kondisi di penjara ini juga terbilang sangat mengerikan, karena antar tawanan dengan tawanan sering bertengkar, bermusuhan, hingga saling membunuh, sehingga terlihat seperti hukuman mati dalam jangka panjang.[5] Di luar suku Irian yang masih primitif tersebut itulah yang membuat mereka para suku Irian tidak mempunyai rasa bersahabat dengan para tawanan, dan pada akhirnya para tawanan yang bermaksud untuk lari dari penjara yang dibuat oleh Belanda ini tidak akan berhasil melewati para suku lokal yang tidak bersahabat ini.[5]
Pelarian Diri oleh Tawanan
Kehidupan keras di Bouven Digul mendorong sejumlah tawanan berusaha melarikan diri.[1] Umumnya, upaya ini menemui kegagalan akibat medan yang sulit, serangan penduduk lokal, dan ancaman binatang buas yang banyak menghuni wilayah tersebut.[1] Beberapa orang berhasil melarikan diri dan mencapai wilayah Papua yang dikuasai Australia. Mereka ditangkap oleh pihak Australia dan dikembalikan lagi ke tangan Belanda.[1] Kehidupan keras di Bouven Digul berlangsung hingga pecahnya Perang Pasifik.[1] Ketika tentara Jepang menyerbu Papua, Belanda mengirim para tawanan ke Australia.[1]
Pecahnya Perang pasifik
Pada saat Jepang meduduki Indonesia dan juga pecahnya perang pasifik, para tawanan Boven Digul diungsikan oleh Belanda ke Australia.[11] Pemindahan itu dikarenakan pihak Belanda kekhawatiran tahanan akan memberontak jika tetap berada di Boven Digul.[11] Belanda berharap orang-orang Indonesia yang menjadi tawanannya dan kemudian dibawa ke Australia akan membantu Belanda.[11] Akan tetapi keadaan malah berbalik, tahanan politik itu dapat mempengaruhi serikat buruh Australia untuk memboikot kapal-kapal Belanda yang mendarat di Benua Kanguru.[11] Akhirnya setelah Sekutu berhasil memperoleh kemenangan, tawanan itu dikembalikan ke tempat asalnya di Indonesia.[11]
Koleksi Foto
-
Suasana Penjara Digul saat tawanan diperintah
-
pagar-pagar pembatas penjara Digul
-
Ruang Tidur para tawanan di penjara Bouven Digul
-
Tempat pembuangan Bung Hatta di Bouven Digul
-
Penjara Bouven Digul terlihat dari atas
-
tanah merah bouven digul
-
Sarang nyamuk malaria di daerah Bouven Digul
-
Camp-camp Bouven Digul dekat sungai Digul
Rujukan
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Di Bawah Kolonialisme Barat Sejarah Nasional Indonesia jilid 7. Jakarta: Lentera Abadi. 2009. hlm. 180. ISBN 9789793535494. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "muatanlokal" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Rosihan Anwar (2010). Mengenang Sjahrir: Seorang Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Terisisihkan dan Terlupakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 405. ISBN 9789792250091.
- ^ Afrandi Adya. "Kisah Para Tahanan Digul". Diakses tanggal 12 Mei 2014.
- ^ a b c d e Langgeng Sulistyo Budi (2004). "Pendidikan Bagi Dawanan di Bouven Digul 1926-1942, Volume 6, Nomor 1, dalam Jurnal Sejarah". Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- ^ a b c d e Van Hoeve. Ensiklopedia Indonesia, Jilid 7. Jakarta: Ichtiar Baru. hlm. 820. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "bukubebaskan" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ a b c d e f g h i D. E. Manu Turoe (2001). Cerita dari Digul. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. XXI. ISBN 9789799023490.
- ^ a b c d e f (Indonesia) Jaringan Kerja Cepat Papua. "Penjara DIGOEL di Tanah Merah, Terlupakan". Diakses tanggal 27 Juni 2014.
- ^ a b Gabriel Maniagasi. "Boven Digoel, Kota Bersejarah yang Terlupakan". Diakses tanggal 27 Juni 2014.
- ^ a b c "Penjara Boven Digoel, Situs sejarah yang terlupakan". Diakses tanggal 27 Juni 2014.
- ^ "Boven Digul kota sejarah yang terlupakan, yang merupakan tempat penjara tua di papua". Diakses tanggal 23 Juni 2014.
- ^ a b c d e "Boven Digoel". Diakses tanggal 27 Juni 2014.