Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Arti
Keraton atau dalam bahasa aslinya disebut Karaton berlokasi di pusat kota Yogyakarta. Karaton artinya tempat dimana raja dan ratu tinggal, atau dalam kata lain Kadaton yang artinya sama. Dalam pembelajaran tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam.
Arsitektur
Arsitektur istana ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono I sendiri, yang merupakan pendiri dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda - Dr.Pigeund dan Dr.Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek dari saudara Pakubuwono II Surakarta".
Bagian Ruangan
Umum
Bagian-bagian keraton dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag (sudah tidak ada), Gapura Pangurakan nJawi/luar, Gapura Pangurakan Lebet/dalam, Alun-alun Utara, Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil, Gerbang Brojonolo, Kompleks Kamandhungan Lor/utara, Gerbang Sri Manganti, Kompleks Sri Manganti, Gerbang Donopratopo, Kompleks Kedhaton (kediaman resmi dan pusat istana), Gerbang Kamagangan, Kompleks Kamagangan, Gerbang Gadhung Melati, Kompleks Kamandhungan Kidul/selatan, Gerbang Kamandhungan, Sapit Urang/pamengkang, Kompleks Siti Hinggil Kidul/selatan (sekarang disebut Sasana Hinggil), Alun-alun Selatan, Gerbang Besar Nirbaya (Biasa disebut Plengkung Gadhing). Di sekeliling Kraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding.
Tembok/Dinding Kraton
Tembok atau dinding pertahanan di Kraton terdapat dua bagian/macam. Pertama adalah dinding luar/dinding kota tua. Pertahanan ini disebut dengan Benteng Baluwerti (bermakna hujan peluru). Kedua adalah dinding istana biasa disebut dengan Benteng Cepuri (bermakna dinding istana).
Baluwerti
Dinding ini dibangun atas prakarsa Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangku Negoro yang kelak menjadi Hamengkubuwono II pada 1785-1787. Dinding ini melingkari kota tua beserta istana di dalamnya dengan luas kira-kira 3,5 mil persegi. Baluwerti memanjang dari Alun-alun Utara ke timur sampai Gondomanan dan berbelok ke selatan sampai Pujokusuman. Kemudian ke arah barat sampai nDaengan dan membelok ke utara sampai Suronatan/Notoprajan dan mengakhiri ke arah timur sampai sebelah barat Alun-alun Utara. Tinggi Baluwerti bervariasi kira-kira 3-4,5 meter. Ketebalannya pun beragam antara 3-5 meter. Dinding ini memiliki anjungan yang cukup untuk dilewati oleh kuda maupun senjata berat artileri. Pada keempat sudutnya memiliki bastion. Saat ini tinggal 3 buah dan dalam keadaan rusak. Sebuah bastion di timur laut (Gondomanan) telah hancur di ledakkan oleh Inggris pada 1812.
Baluwerti memiliki 5 Pintu Gerbang Kota atau sering disebut Plengkung. Sebelah utara ada dua yaitu Gerbang Jogosuro di sebelah barat Alun-alun Utara dan Gerbang Tarunosuro di sebelah timur Alun-alun Utara. Gerbang Jogosuro sering juga disebut dengan Plengkung Ngasem. Gerbang ini mulai pemerintahan Hamengkubuwana VIII telah berubah bentuk menjadi gapura bentar. Gerbang Tarunosuro sering dikenal dengan Plengkung Wijilan dan masih utuh hingga sekarang (april 2007). Pada zamannya gerbang ini adalah pintu resmi istana putra mahkota nDalem Sawojajar. Di sebelah barat terdapat Gerbang Jogoboyo atau disebut Plengkung Taman Sari. Gerbang ini juga telah berubah bentuk menjadi gapura bentar. Disebelah timur terdapat Gerbang Madyosuro. Gerbang ini sering disebut dengan Pelngkung Buntet/tersumbat. Gerbang ini pernah ditutup oleh Hamengkubuwana II semasa serangan Inggris tahun 1812. Dan pada pemerintahan Hamengkubuwana VIII dibuka kembali. Sekarang sudah hampir tidak ada bekas yang tersisa dari gerbang ini. Sebelah selatan terdapat Gerbang Nirboyo atau dikenal dengan plengkung Gadhing. Gerbang ini merupakan tempat keluarnya jenazah sultan yang wafat untuk dimakamkan di Imogiri. Gerbang ini termasuk gerbang yang masih utuh.
Dinding Cepuri
Dinding ini mengelilingi kompleks seluruh istana dan bagian (kompleks) khusus serta memisahkannya dengan bagian kota tua yang lain. Ketebalan dinding bervariasi begitu pula ketinggiannya. Dinding ini tidak memiliki anjungan sebagaimana dengan Baluwerti. Dinding ini memiliki pintu yang cukup besar dan biasanya memiliki atap yang bergaya semar tinandu.
Gladhag dan Pangurakan
Dahulu Kompleks Istana dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Gerbang (Plengkung) Nirboyo di selatan. Sekarang ini (mei 2007) gapura gladhag sudah tidak ada. Dahulu gapura ini bertempat di ujung jalan trikora sebelah utara (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46). Bagian selanjutnya adalah Gapura Pangurakan nJawi (luar). Gapura ini sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Kraton dari utara. Setelah Gapura Pangurakan nJawi terdapat lapangan pangurakan yang sekarang sudah menjadi jalan trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet (dalam). Gapura ini sekarang juga masih berdiri. Selepas dari gapura terdapat Kompleks Alun-Alun Lor (Lapangan Utara)
Alun-alun Lor
Alun-alun Lor (Utara) adalah alun-alun di bagian Utara Keraton Yogyakarta. Tanah yang lebar dan lapang ini dahulu digunakan sebagai tempat latihan mental dan ketangkasan prajurit kraton. Alun-alun Lor juga menjadi tempat penyelenggaraan acara Sekaten, tempat berkumpulnya rakyat untuk menghadap sultan, dan tempat penyelenggaraan berbagai upacara kenegaraan.
Secara fisik Alun-alun ini adalah tanah lapang berbentuk persegi/bujursangkar berumput (aslinya berpasir) dikelilingi oleh tembok yang cukup tinggi. Sekarang tembok ini tidak kelihatan lagi kecuali di bagian timur sisi selatan. Di pinggir alun-alun ditanami pohon beringin dan ditengah-tengahnya terdapat dua pohon beringin yang diberi pagar. Tanaman ditengah lapangan ini disebut dengan Ringin Kurung. Pada zaman kerajaan hanya Pepatih Dalem (Chief of Adminstrative Officer) yang boleh melewati/berjalan di antara pohon beringin yang dipagari ini. Pejabat lain apalagi rakyat tidak diperbolehkan melewatinya dan harus berjalan memutar. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan Tapa Pepe (secara harfiah berarti menjemur diri) sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah (zaman sekarang mungkin disebut sebagai demonstrasi). Pejabat Tinggi di istana bahkan kalau perlu Sultan sendirilah yang akan menerima mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Hamengkubuwono VIII ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh Pepatih Dalem bersama Gubernur Belanda.
Disela-sela pohon beringin di bagian tepi utara timur dan barat terdapat pendopo kecil tempat menginap para tamu kerajaan. Bagunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap.Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Sekarang alun-alun ini dipersempit hanya bagian tengah-tengahnya saja. Dibagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum. Gambaran yang relatif masih seperti aslinya (mei 2007) ada di Alun-Alun Kidul (selatan) dimana dinding yang mengelilingi masih dapat disaksikan secara utuh.
Pagelaran
Bangunan utama yang ada adalah Bangsal Pagelaran serta dua bangsal pengapit di timur dan barat serta sebuah bangsal di tenggara untuk melantik Pepatih Dalem.
Siti Hinggil Lor
Siti Hinggil Lor (utara) memiliki bangunan utama: Bangsal Manguntur Tangkil, Bangsal Witono, Bale Angun-angun dan Bale Bang. Bangsal Manguntur Tangkil terletak ditengah-tengah Siti Hinggil dibawah atau didalam sebuah hall besar yang disebut Tratag Sitihinggil. Manguntur Tangkil adalah sebuah bangunan tempat meletakkan singgasana Sultan, Dampar Kencono (Kursi Emas), pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti Pelantikan Raja (jw: Jumenengan Dalem). Di bangsal ini pula pada Desember 1949 Ir Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Dari segi fisik bangsal ini lebih besar dari Manguntur Tangkil. Fungsi bangsal Witono adalah tempat meletakkan Lambang-lambang kerajaan atau Pusaka Kerajaan pada saat acara resmi kerajaan. Bale Bang pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat gamelan Sekaten. Bale Angun-angun pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, Kanjeng Kyahi Suro Angun-angun.
Kamandhungan Lor
Sering disebut keben. Bangunan utama: Bangsal Ponconiti. Antara Kompleks Siti Hinggil dan Kamandhungan Lor (utara) terdapat Pintu Gerbang Brojonolo. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan. Hari-hari lain pintu raksasa ini selalu dalam keadaan tertutup. Bangsal Ponconiti berada ditengah-tengah Kompleks. Pada zaman Hamengkubuwono I - Hamengkubuwono III bangsal ini digunakan sebagai pengadilan tingkat tertinggi dimana Sultan sendiri yang akan menjadi Hakim. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat.
Sri Manganti
Bangunan utama: Bangsal Sri Manganti di sebelah barat dan Bangsal Traju Mas di sebelah timur (runtuh karena gempa 2006)
Pintu Gerbang Donopratopo
Pintu Gerbang Donopratopo berarti "seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu". Dua patung raksasa yang terdapat di samping, salah satunya menggambarkan kejahatan dan yang lain menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jahat ".
Kedhaton
Pelataran Kedhaton
Bangunan utama: Bangsal Kencono, nDalem Ageng Proboyakso, Gedhong Jene, Gedhong Purworetno, Bangsal Manis.
Keputren
Bangunan utama: Pendopo Kraton Kilen
Ksatrian
Bangunan utama: Bangsal Kesatriyan
Magangan
Bangunan utama: Bangsal Magangan, Pawon Sekullanggen dan Gebulen
Kamandhungan Kidul
Bangunan utama: Bangsal Kamandhungan/Pendopo Karang Nongko
Siti Hinggil
"Siti Hinggil Kidul" atau "Sasana Hinggil Dwi Abad" terletak di sebelah Utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 sentimeter dari permukaan tanah di sekitarnya. Bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I (1755-1792).
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII kompeks bangunan Siti Hinggil Kidul mengalami perbaikan serta ditambah jumlah bangunannya. Siti Hinggil Kidul ini untuk saat sekarang lebih terkenal dengan nama Sasana Hinggil Dwi Abad.
Siti Hinggil Kidul digunakan oleh raja untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg dan pada zaman dulu juga digunakan untuk tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan). Pada saat sekarang, Siti Hinggil Kidul juga digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya. Bangunan-bangunan terpenting yang terdapat dalam kompleks Siti Hinggil Kidul di antaranya; Tratag Rambat dan Bangsal Siti Hinggil.
Alun-alun Kidul
Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton.
Taman Sari
Taman Sari berarti taman yang indah, di mana zaman dahulu merupakan tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman Sari, yakni Taman Ledoksari dimana tempat ini merupakan tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan.
Bangunan yang menarik adalah Sumur Gemuling yang berupa bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini merupakan semacam surau tempat Sultan melakukan ibadah sholat. Bagian ini dapat dicapai melalui lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang lain, yang merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan penyelamat bila sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh
Bagian-bagian lain
Bagian Keraton yang lain adalah Kemandungan, Regol Gadungmlati, Regol Brojonolo, Bangsal Witono, Bangsal Manguntur Takil, Bangsal Trajumas, Bangsal Kencono, Praba Yeksa dan Gedong Kuning.