Politik Minangkabau

Revisi sejak 1 September 2014 10.38 oleh Afandri (bicara | kontrib)

Politik Minangkabau adalah suatu sistem politik masyarakat Minangkabau yang telah berkembang sejak berabad-abad lalu. Sistem ini berlandaskan kepada dua sistem adat di Minangkabau, yakni sistem Koto Piliang serta Bodi Caniago.[1] Dalam perkembangannya, kedua sistem yang bertolak belakang ini melahirkan sistem politik Minangkabau yang berlandaskan filosofi demokrasi, egalitarian, dan keadilan sosial.

Istana Pagaruyung, simbol politik tertinggi kerajaan Minangkabau.

Di Malaysia, sistem politik dan adat yang menganut sistem Koto Piliang dikenal dengan adat Temenggong. Sedangkan sistem politik dan adat yang menganut sistem Bodi Caniago disebut dengan adat Perpatih. Sistem Perpatih hanya berlaku di Negeri Sembilan dan bagian utara Malaka saja, sedangkan kerajaan-kerajaan lainnya menganut sistem Temenggong.[2] Di Indonesia, sistem politik Minangkabau yang mengedepankan demokrasi, persamaan hak, dan keadilan sosial itu dirangkum dalam dasar negara Pancasila.[3]

Filosofi

Filosofi politik orang Minang berakar dari kebudayaan Minangkabau yang telah berkembang sejak berabad-abad lalu. Menurut tambo Minangkabau, terdapat dua orang tokoh legendaris yang menyusun sistem adat di Minangkabau, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan menyusun sistem adat Koto Piliang yang memiliki filosofi "berjenjang naik bertangga turun" (bajanjang naiak batanggo turun). Dalam nagari-nagari yang menganut sistem politik ini dikenal adanya kedudukan penghulu yang bertingkat-tingkat. Dari penghulu andiko, penghulu suku, sampai penghulu pucuk. Penghulu pucuk juga disebut sebagai pucuk nagari yang tertuang dalam filosofi adat "berpucuk bulat berurat tunggang" (bapucuak bulek, baurek tunggang). Dalam sistem ini gelar pusaka (penghulu) tidak bisa digantikan, sebelum penyandang gelar meninggal.

Tokoh legendaris lainnya Datuk Perpatih Nan Sebatang, menyusun sistem adat Bodi Caniago dengan filosofinya "membersit dari bawah" (mambasuik dari bawah). Sistem ini merupakan anti-tesis dari konsep Koto Piliang yang hierarkis. Konsep Bodi Caniago lebih mengedepankan konsep berdasarkan musyawarah mufakat. Dalam nagari-nagari yang menerapkan sistem Bodi Caniago, kedudukan semua penghulu memiliki derajat yang sama. Filosofinya "duduk sehamparan berdiri sepematang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi" (duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo tinggi).[4]

Karena adanya pertentangan dari dua sistem adat dan politik di Minangkabau itu, maka timbulah suatu sintesis politik yang mengambil corak kedua-duanya itu. Sehingga dalam perkembangannya, para politisi Minang bisa menerapkan sistem Koto Piliang yang hierarikis serta sistem Bodi Caniago yang egaliter.

Untuk konsep kepemimpinan politik, masyarakat Minangkabau tidak memposisikan pemimpinnya sebagai orang yang luar biasa dan tak terjangkau. Sehingga ketika pemimpin itu tidak amanah atas jabatannya ia bisa disanggah ataupun diganti melalui dewan adat. Hal ini berdasarkan kepada filosofi Minangkabau yang menempatkan pemimpin itu "ditinggikan seranting didahulukan selangkah" (ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah). Atau juga berdasarkan kepada filosofi "raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah" (rajo adil rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah).

Sejarah

Zaman Pra-kemerdekaan Indonesia

Jauh sebelum kedatangan kolonialis Belanda, sistem sosial dan politik dalam masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip-prinsip politik yang demokratis, egaliter, dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistem Nagari yang otonom, dimana suatu kelompok masyarakat yang berhimpun dalam suatu nagari (setingkat kelurahan/desa) dikelola secara bersama oleh sebuah triumvirat yang disebut Tigo Tungku Sajarangan dalam sebuah limbago (lembaga) yang disebut Kerapatan Adat Nagari.

Tigo Tungku Sajarangan terdiri dari tiga unsur masyarakat yang mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai dan kaum ulama.

  • Kaum Adat diwakili oleh beberapa orang penghulu dari suku/klan yang ada dalam sistem adat Minangkabau, seperti suku Koto dan Piliang, Bodi dan Caniago serta berbagai suku pecahan baru lainnya. Setiap suku/klan diwakili oleh beberapa orang datuk yang merupakan kepala kaum atau keluarga besar.
  • Kaum Ulama diwakili oleh orang-orang yang menguasai ilmu agama Islam, tapi tidak memegang posisi dalam struktur adat.
  • Kaum Cerdik Pandai diwakili oleh orang-orang yang dianggap punya pengetahuan yang luas, pintar dan pandai, tapi juga tidak memegang posisi dalam struktur adat.

Ketiga unsur ini saling berinteraksi, berdialektika, bahkan juga berkonflik dalam suatu sistem politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di dalam lembaga inilah diperdebatkan dan dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati oleh semua pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Keputusan lembaga ini bersifat otonom tanpa harus meminta persetujuan dari otoritas politik yang lebih tinggi seperti raja.

Era Kemerdekaan Indonesia

Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir; tiga orang tokoh politik penting Indonesia dari Minangkabau.

Sistem politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter merupakan anti-tesis bagi sistem politik besar lainnya di Indonesia yang diusung oleh budaya Jawa yang cenderung sentralistik, patron klien, dan feodalistik. Dalam sejarah Indonesia merdeka, kedua sistem politik ini saling berinteraksi, bersaing, dan berdialektika dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.

Pada awal-awal kemerdekaan, sistem politik Minangkabau yang termanifestasi dalam lakon politik dari tokoh-tokoh politik yang berasal dari Minangkabau, seperti Hatta, Syahrir, Natsir, Agus Salim, dan lain-lain, mendapatkan tempat yang lebih luas dengan berlakunya sistem parlementer yang diwarnai dengan beragam partai politik. Bagi sebuah negara yang masih muda, ternyata sistem ini sering menimbulkan kegaduhan politik, sehingga berakibat pada jatuh bangunnya pemerintahan dan seringnya pergantian kabinet.

Sistem ini berlaku sampai keluarnya Dekrit Presiden pada tahun 1959. Sistem politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistem politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas sampai tahun 1965, dimana akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Soeharto. Selama sekitar 32 tahun selanjutnya, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistem yang hampir sama dengan pendahulunya. Barulah pada tahun 1998, dengan adanya reformasi, perpolitikan Indonesia kembali ke sistem demokrasi, walaupun masih bersifat prosedural.

Referensi

  1. ^ Audrey R. Kahin, Rebellion to Integration, West Sumatra and the Indonesian Polity 1926-1998
  2. ^ Michael G. Peletz, Reason and Passion: Representations of Gender in a Malay Society, Los Angeles, 1996
  3. ^ Prosiding Kongres Pancasila IV: Srategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalitas di Indonesia, Yogyakarta, 2012
  4. ^ Sangguno Diradjo, Dahler Abdul Madjid, Radjo Mangkuto (Datuk); Mustika Adat Alam Minangkabau‎; Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979

Rujukan

  • Graves, Elizabeth E. (2007). Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Adat Minangkabau & Merantau Tsuyoshi Kato. Diakses 6 Juni 2013.

Pranala luar