Gereja Katolik Roma
Bagian dari seri tentang |
Gereja Katolik |
---|
Ikhtisar |
Portal Katolik |
Gereja Katolik, yang juga disebut Gereja Katolik Roma,[note 1] adalah Gereja Kristen terbesar di dunia, dan mengklaim memiliki semilyar anggota, yakni kira-kira setengah dari seluruh umat Kristiani[note 2] dan seperenam dari populasi dunia. Gereja Katolik adalah sebuah komuni (persekutuan) dari Gereja Katolik Ritus Barat (Gereja Katolik Roma) dan 22 Gereja Katolik Timur, yang membentuk 2.795 keuskupan pada 2008. Ke-23 Gereja-Gereja ini disebut sebagai gereja-gereja partikular). Gereja Partikular dengan jumlah umat terbesar dalam Gereja Katolik adalah Gereja Katolik Ritus Barat/Ritus Latin/Gereja Katolik Roma. Gereja Partikular dengan jumlah umat ke-2 terbesar dalam Gereja Katolik adalah Gereja Katolik-Yunani Ukraina.
Otoritas duniawi tertinggi Gereja ini dalam perkara iman, moral dan pemerintahannya adalah Sri Paus,[15] saat ini Paus Fransiskus, yang memegang otoritas tertinggi bersama-sama Dewan Uskup, yang diketuainya.[16][17][18] Komunitas Katolik terdiri atas seorang pelayan-umat tertahbis (rohaniwan) dan umat awam; baik rohaniwan maupun umat awam dapat pula menjadi anggota dari komunitas-komunitas religius.[19]
Gereja ini mendefinisikan bahwa misinya adalah memberitakan Injil Yesus Kristus, memberikan pelayanan sakramen-sakramen dan melakukan karya amal.[20] Gereja ini menjalankan program-program dan lembaga-lembaga sosial di seluruh dunia, termasuk juga sekolah-sekolah, universitas-universitas, rumah-rumah sakit, misi-misi dan perumahan, serta organisasi-organisasi seperti Catholic Relief Services, Caritas Internationalis dan Catholic Charities yang membantu kaum papa, keluarga-keluarga, orang-orang jompo, dan orang-orang sakit.[21]
Melalui suksesi apostolik, Gereja ini percaya bahwa dirinya merupakan kelanjutan dari komunitas Kristiani yang didirikan oleh Yesus dengan mentahbiskan Santo Petrus, sebuah pandangan yang juga dianut oleh banyak sejarawan.[22] Gereja ini menetapkan doktrin-doktrinnya melalui berbagai konsili ekumenis, meneladani para rasul pertama dalam Konsili Yerusalem.[23] Atas dasar janji-janji Yesus pada rasul-rasulNya yang tertera dalam Injil, Gereja ini percaya bahwa dia dituntun oleh Roh Kudus dan oleh karena itu terlindungi dari terjadinya kesalahan doktrin.[24][25][26]
Keyakinan-keyakinan Katolik didasarkan atas deposit iman (mencakup baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci) yang diwarisi dari zaman Rasul-Rasul, dan yang diinterpretasi oleh Otoritas Pengajaran Gereja. Keyakinan-keyakinan tersebut terangkum dalam Kredo Nicea, dan secara resmi dirinci dalam Katekismus Gereja Katolik. Peribadatan Katolik yang formal, yang disebut liturgi, diatur oleh otoritas Gereja. Ekaristi, salah satu dari tujuh sakramen Gereja dan bagian penting dari setiap Misa Katolik atau Liturgi Suci Katolik Timur, adalah pusat dari peribadatan Katolik.
Dengan sejarah yang membentang sepanjang dua ribu tahun, Gereja ini adalah salah satu lembaga tertua di dunia[27] dan telah berperan penting dalam sejarah peradaban Barat sekurang-kurangnya sejak abad ke-4.[28] Pada abad ke-11, sebuah perpecahan besar, yang kadang-kadang disebut Skisma Akbar, terjadi antara Kristianitas Timur dan Barat yang terutama diakibatkan oleh ketidaksepahaman mengenai primasi kepausan. Gereja-Gereja Timur yang tetap maupun yang kelak kembali menjalin persekutuan dengan Uskup Roma, Sri Paus, membentuk Gereja-Gereja Katolik Timur, dan Gereja-Gereja yang tetap berada di luar otoritas kepausan biasanya dikenal sebagai Gereja-Gereja Ortodoks Timur. Pada abad ke-16, juga sebagai tanggapan atas bangkitnya Reformasi Protestan di Eropa Barat, Gereja ini menyelenggarakan proses reformasi dan renovasi internal, yang dikenal sebagai Kontra-Reformasi.
Meskipun Gereja ini menyatakan bahwa dialah "Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik," didirikan oleh Yesus Kristus, tempat orang dapat menemukan kepenuhan sarana keselamatan,[29][30] Gereja ini pun mengakui bahwa Roh Kudus dapat menggunakan komunitas-komunitas Kristiani lainnya untuk membawa orang menuju keselamatan.[31][32] Gereja ini percaya bahwa dia dipanggil oleh Roh Kudus untuk mengupayakan kesatuan antar segenap umat Kristiani, sebuah gerekan yang dikenal sebagai ekumenisme.[32] Tantangan-tantangan moderen yang dihadapi Gereja ini mencakup bangkitnya sekularisme dan penentangan terhadap sikapnya mengenai aborsi, euthanasia, kontrasepsi, dan moralitas seksual.[33]
Terminologi
Bagian dari seri tentang |
Kekristenan |
---|
Portal Kristen |
Sepanjang sejarahnya, Gereja yang dijelaskan dalam artikel ini menggunakan banyak nama, antara lain "Gereja", "Gereja Katolik", dan "Gereja Katolik Roma". Nama "Gereja Katolik" digunakan untuk membedakannya dengan Gereja-Gereja lain yang tidak berada dalam persekutuan penuh (komuni penuh) dengan Uskup Roma, yakni Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, Anglikan, dan berbagai denominasi Protestan.
Nama "Gereja Katolik Roma" pertama kali digunakan oleh kaum Protestan untuk menyebut seluruh Gereja yang setia kepada Uskup Roma. Namun nama ini juga digunakan oleh umat Katolik sendiri sejak abad ke-17, baik dalam bahasa Inggris, bahasa Perancis, maupun bahasa Latin, untuk memperkenalkan iman mereka terutama dalam hal persekutuan mereka dengan tahta keuskupan Roma. Di kawasan Timur Tengah, sebutan Gereja Katolik Roma dapat pula berarti Gereja Melkit, atau Gereja katolik yang menggunakan Ritus Latin, atau bahkan bisa berarti Gereja Katolik di kota Roma, Italia.
Dalam hubungannya dengan Gereja-Gereja lain, nama "Gereja Katolik" yang dipergunakan, dan untuk urusan internal digunakan nama "Gereja". Sebagai contoh, dalam Katekismus Gereja Katolik, nama "Gereja" digunakan ratusan kali, sedangkan nama "Gereja Katolik" hanya digunakan 24 kali, bahkan nama "Gereja Katolik Roma" sama sekali tidak digunakan.
Penggunaan nama "Gereja Katolik" secara resmi diterima oleh beberapa Gereja Kristen lainnya, namun kebanyakan dari mereka menggunakan istilah "Gereja Katolik Roma" untuk menyebut Gereja ini. Meskipun demikian, dalam penggunaan secara informal, bahkan oleh anggota-anggota Gereja lainnya istilah "Gereja Katolik" difahami sebagai nama dari Gereja ini. Pada tahun 397 Masehi, Santo Agustinus menjelaskan bahwa nama tersebut bahkan dipahami oleh mereka yang digolongkannya sebagai kaum bidaah:
... Nama itu, yakni Katolik, yang bukannya tanpa alasan, dengan dikelilingi begitu banyak bidaah, telah digunakan oleh Gereja; dengan demikian, meskipun semua kaum bidaah ingin disebut Katolik, namun jika ada orang asing bertanya dimanakah jemaat Katolik berkumpul, maka tak satupun kaum bidaah yang berani menunjuk kapel atau rumahnya sendiri.
Singkatnya, baik nama "Gereja Katolik", maupun "Gereja Katolik Roma" digunakan sebagai sebutan alternatif bagi seluruh gereja "yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan oleh para uskup yang berada dalam satu komuni bersamanya."
Keyakinan
Gereja Katolik meyakini bahwa hanya ada satu Allah saja, yang hadir dalam tiga pribadi: Allah Bapa; Yesus Sang Putera; dan Roh Kudus. Keyakinan-keyakinannya terangkum dalam Kredo Nicea[34] dan dirinci dalam Katekismus Gereja Katolik.[35][36] Kredo Nicea juga merupakan pusat pernyataan keyakinan dari denominasi-denominasi Kristen lainnya.[37] Pertama-tama adalah umat Kristen Ortodoks Timur, yang keyakinan-keyakinannya mirip dengan keyakinan-keyakinan umat Katolik, perbedaan utamanya terletak dalam hal infalibilitas kepausan, klausa filioque, dan Maria dikandung tanpa noda.[38][39] Berbagai denominasi Protestan bervariasi dalam keyakinan-keyakinannya, namun pada umumnya mereka berbeda dari umat Katolik dalam hal Sri Paus, Tradisi Gereja, Ekaristi, penghormatan orang-orang kudus, serta dalam isu-isu yang berkaitan dengan anugerah, perbuatan baik, dan keselamatan.[40]
Konsili Yerusalem, yang diselenggarakan oleh para Rasul sekitar tahun 50 untuk memperjelas ajaran-ajaran Gereja, menjadi tolok ukur bagi konsili-konsili Gereja selanjutnya yang diselenggarakan oleh para pimpinan Gereja sepanjang sejarah.[23][41][42] Konsili terakhir dalam Gereja ini adalah Konsili Vatikan kedua, yang berakhir pada 1965.[43]
Otoritas pengajaran, tujuh sakramen
Berdasarkan janji Yesus di dalam Injil, Gereja Katolik percaya bahwa ia dibimbing secara berkesinambungan oleh Roh Kudus, dan oleh sebab itu terhindar dari kemungkinan kekeliruan doktrin.[16][44] Gereja Katolik mengajarkan bahwa Roh Kudus menyingkapkan kebenaran Allah melalui Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium.[45] Kitab Suci, atau Alkitab Katolik, terdiri atas kitab-kitab yang sama dengan yang terdapat dalam Perjanjian Lama versi Yunani—disebut pula Septuaginta[46]—beserta ke-27 tulisan Perjanjian Baru yang terdapat dalam Codex Vaticanus dan terdaftar dalam Surat Hari Raya yang ke-39 yang ditulis Athanasius.[47] Seluruh kitab tersebut merupakan ke-73 Kitab Suci Katolik, berbeda dengan banyak gereja Protestan yang menggunakan 66 kitab saja.[46] Kitab-kitab dan tulisan-tulisan yang dianggap kanonik oleh Gereja Katolik tetapi tidak dianggap kanonik oleh beberapa kelompok lainnya disebut juga kitab-kitab Deuterokanonika. Tradisi Suci terdiri atas ajaran-ajaran yang menurut keyakinan Gereja telah diwarisi dari zaman para Rasul.[44] Kitab Suci beserta Tradisi Suci bersama-sama disebut "deposit iman" (Bahasa Latin: depositum fidei). Deposit iman ini nantinya ditafsirkan oleh Magisterium (dari kata magister dalam bahasa Latin yang artinya "guru"), otoritas pengajaran Gereja Katolik, yang—melalui suksesi apostolik—dilaksanakan oleh Sri Paus dan uskup-uskup yang berada dalam kesatuan dengan Sri Paus.[48]
Menurut Konsili Trente, Yesus melembagakan tujuh sakramen dan mempercayakannya kepada Gereja.[49] Ketujuh sakramen tersebut adalah Pembaptisan, Krisma, Ekaristi, Rekonsiliasi (Sakramen Pengakuan Dosa), Minyak Suci (atau sakramen "Pengurapan Orang Sakit"), Imamat, dan Pernikahan. Sakramen-sakramen adalah ritual-ritual kasat mata yang penting artinya, dan yang oleh umat Katolik dipandang sebagai tanda-tanda kehadiran Allah serta saluran-saluran yang efektif dari anugerah Allah kepada orang-orang yang menerima sakramen-sakramen tersebut dengan disposisi yang sesuai (ex opere operato).[50][51]
Hakikat Allah
Katolisisme itu monoteistik: percaya bahwa Allah itu esa, abadi, maha kuasa (Omnipoten), maha tahu (Omniscien), maha baik (Omnibenevolen), dan ada di mana-mana (Omnipresen). Allah eksis secara berbeda dan mendahului ciptaan-Nya (yakni, segala sesuatu yang bukan Allah, dan yang eksistensinya bergantung pada Allah) dan meskipun demikian tetap hadir secara intim dalam ciptaan-Nya. Dalam Konsili Vatikan Pertama Gereja Katolik mengajarkan bahwa, meskipun dengan akal budi alami manusiawi, Allah dapat dikenal dalam karya-Nya sebagai asal mula dan akhir segala ciptaan,[52] Allah telah memilih untuk mewahyukan diri-Nya sendiri dan kehendak-Nya secara supernatural dalam cara-cara yang tertera dalam Surat kepada umat Ibrani 1:1-2.
Katolisisme itu juga Trinitarian: percaya bahwa, meskipun Allah itu esa dalam hakikat, esensi, dan keberadaan, Allah yang esa ini eksis dalam tiga pribadi illahi, yang masing-masing identik dengan satu esensi, yang perbedaannya cuma dalam hubungan mereka satu sama lain: hubungan Bapa terhadap Putera, hubungan Putera terhadap Bapa, dan hubungan keduanya dengan Roh Kudus, menjadikan Allah yang esa sebagai Trinitas.
Umat Katolik dibaptis dalam nama (bentuk tunggal) Bapa dan Putera dan Roh Kudus — bukan tiga allah, melainkan satu Allah yang menetap dalam tiga Pribadi. Sekalipun satu esensi keillahianNya, Bapa, Putera, dan Roh Kudus itu berbeda, bukan sekadar tiga "topeng" atau manifestasi dari satu Pribadi. Iman Gereja dan tiap individu Kristiani didasarkan atas hubungan dengan ketiga Pribadi dari satu Allah tersebut.
Gereja Katolik percaya bahwa Allah mewahyukan diri-Nya sendiri kepada umat manusia sebagai Bapa bagi Putera tunggal-Nya, yang berada dalam persekutuan abadi dengan Sang Bapa (Matius 11:27).
Umat Katolik percaya bahwa Allah Putera, Sang Logos Illahi, Pribadi Allah yang kedua, berinkarnasi sebagai Yesus Kristus, seorang manusia, lahir dari Perawan Maria. Dia tetap sungguh-sungguh illahi dan pada saat yang sama sungguh-sungguh manusia. Dalam perkataan dan cara hidupnya, dia mengajar semua orang bagaimana untuk hidup, dan mewahyukan Allah sebagai Kasih, pemberi anugerah atau rahmat secara cuma-cuma.
Sesudah penyaliban dan kebangkitan Yesus, para pengikutnya, terutama kedua belas rasul, semakin ekstensif menyebarkan imannya dengan semangat yang menurut mereka berasal dari Roh Kudus, Pribadi Allah yang ketiga, yang diutus ke atas mereka oleh Yesus.
Dosa asal
Dalam keyakinan Katolik, manusia mula-mula diciptakan untuk hidup dalam persatuan dengan Allah. Karena ketidaktaatan manusia pertama, hubungan itu putus dan dosa serta maut datang ke dunia.[53] Kejatuhan tersebut menjadikan manusia berada dalam suatu status yang disebut dosa asal, yakni, keterpisahan dari status aslinya yang intim dengan Allah yang membawa maut melalui gagasan bahwa tiap jiwa manusia itu abadi. Namun ketika Yesus datang ke dunia, menjadi Allah sekaligus manusia, Dia mampu melalui pengorbananNya untuk mendamaikan umat manusia dengan Allah. Dengan bersatu dalam Kristus, melalui Gereja, umat manusia sekali lagi mampu untuk menjalin keintiman dengan Allah tetapi juga menawarkan suatu karunia yang lebih menakjubkan lagi: partisipasi dalam Hidup Ilahi di Bumi, yang kelak mencapai kepenuhannya di surga dalam Visi Beatifis. Sakramen Pembaptisan adalah satu-satunya sarana untuk memperoleh pengampunan atas dosa asal.
Gereja
Gereja, sebagaimana yang dikatakan oleh Kitab Suci, adalah "tubuh Kristus,"[54] dan Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja merupakan satu kesatuan tubuh dari umat beriman di dalam surga dan di atas bumi. Oleh karena itu hanya ada satu Gereja yang sejati, yang nampak dan yang bersifat fisik, bukannya beberapa Gereja. Dan bagi Gereja yang satu ini, yang awalnya didirikan oleh Yesus di atas Petrus dan para rasul, Yesus memberikan suatu mandat untuk menjadi pengajar dan penjaga yang berwenang dari iman. Untuk mentransmisikan wahyu ilahiah Kristus, para rasul diberi mandat untuk "memberitakan injil," yang mereka laksanakan baik secara lisan maupun tulisan, dan yang mereka lestarikan dengan meninggalkan para uskup sebagai penerus mereka. Katekismus menyatakan bahwa "pemberitaan rasuli, yang diekspresikan secara khusus dalam kitab-kitab yang terilhami, yang dilestarikan dalam rantai suksesi yang berkesinambungan hingga akhir zaman. Transmisi hidup ini, terselenggara dalam Roh Kudus, disebut Tradisi, karena berbeda dengan Kitab Suci, meskipun terkait erat dengannya." Gereja juga merupakan sumber rahmat ilahi yang diberikan melalui sakramen-sakramen (lihat di bawah). Gereja menyatakan diri tidak dapat keliru (Infalibilitas Gereja) dalam mengajarkan iman, berdasarkan janji-janji Yesus yang alkitabiah bahwa Ia akan senantiasa menyertai Gereja-Nya, dan memeliharanya dalam kebenaran melalui Roh Kudus. Selanjutnya, Yesus menjanjikan perlindungan ilahi bagi ajaran-ajaran dan penilaian-penilaian para rasul, serta mereka yang menjadi penerus para rasul dalam jabatan mereka sebagai pengajar (yaitu para uskup). lagi pula, Yesus menetapkan Gereja sebagai mahkamah tertinggi bagi seluruh umat beriman: "dan jika dia menolak untuk mendengarkan mereka, sampaikanlah kepada Gereja; dan jika dia menolak pula untuk mendengarkan Gereja, biarlah dia menjadi bagimu seperti seorang asing dan seorang pemungut cukai." Dalam ayat alkitab ini, tampak bahwa Gereja mendasarkan doktrin-doktrinnya pada peninggalan apostolik yang tertulis, yaitu Perjanjian Baru, dan pada tradisi lisan yang diwariskan dari para rasul bagi para penerus mereka (para uskup) melalui kesaksian Gereja yang berkesinambungan.
Bagian ke-8 dari dekrit Konsili Vatikan II mengenai Gereja, Lumen Gentium menyatakan bahwa "Gereja Kristus yang tunggal yang dalam kredo diikrarkan sebagai satu, kudus, katolik dan apostolik" berada "dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh penerus Petrus dan para uskup yang berada dalam persekutuan dengannya." (Istilah penerus Petrus bermakna Uskup Roma, Sri Paus).
Katekismus Gereja Katolik, 85 menyatakan bahwa interpretasi otentik dari Firman Allah dipercayakan kepda Magisterium Gereja yang hidup, yakni para uskup dalam persekutuan dengan penerus Santo Petrus. Teologi Katolik menempatkan wewenang interpretasi Kitab Suci pada tangan-tangan penilaian yang konsisten dari Gereja dari abad ke abad (hal yang senantiasa dan di mana saja diajarkan) bukannya pada penilaian pribadi perseorangan. Meskipun demikian, ,magisterium mendorong umat gembalaannya untuk membaca Kitab Suci.
Menurut Katekismus Gereja Katolik, "maksud utama Gereja adalah untuk menjadi sakramen persatuan batiniah antara manusia dengan Allah." Dengan demikian "struktur Gereja secara keseluruhan di diarahkan kepada kesucian anggota-anggota tubuh Kristus."
Keselamatan
Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan untuk kehidupan kekal adalah kehendak Allah bagi semua orang, dan bahwa Allah menganugerahkannya bagi para pendosa sebagai suatu anugerah yang cuma-cuma, suatu rahmat, melalui pengorbanan Kristus. "Sehubungan dengan Allah, sama sekali tidak ada hak atas kelayakan apapun di pihak manusia. Antara Allah dan kita terentang kesenjangan yang tak terkira, karena kita telah menerima segala sesuatu dari-Nya, Pencipta kita. Allahlah yang membenarkan, yakni, yang membebaskan dari dosa dengan karunia kekudusan yang cuma-cuma (rahmat pengudusan, yang disebut juga sebagai rahmat habitual atau rahmat pengilahian). Kita dapat menerima anugerah yang dikaruniakan Allah melalui iman dalam Yesus Kristus dan melalui pembaptisan, ataupun menolaknya. Peran serta manusia diperlukan, sejalan dengan kemampuan baru untuk berpegang teguh pada kehendak ilahi yang disediakan Allah. Iman seorang Kristiani bukannya tanpa perbuatan, karena tanpa perbuatan iman itu akan mati. Dalam pengertian ini, "dengan perbuatan manusia dibenarkan, dan bukan dengan iman semata-mata,"dan kehidupan kekal adalah, pada satu saat yang sama, rahmat dan upah dianugerahkan oleh Allah atas perbuatan baik dan kelayakan. Iman, dan oleh karenanya perbuatan, merupakan hasil dari rahmat Allah - oleh karena itu, hanya karena rahmat maka orang beriman dapat dipandang "layak memperoleh" keselamatan. Gereja Katolik mengajarkan bahwa melalui rahmat-rahmat yang diperoleh Yesus bagi umat manusia dengan mengorbankan dirinya sendiri di kayu salib, keselamatan dapat diterima bahkan oleh orang-orang yang berada di luar batas-batas yang nampak dari Gereja. Umat Kristiani dan bahkan non-Kristiani, jika dalam hidupnya mereka secara positif tanggap terhadap rahmat dan kebenaran yang disingkapkan Allah kepada mereka melalui belas kasihan Kristus, dapat diselamatkan (suatu sikap yang kerap disebut, dalam kasus umat non-Kristiani, sebagai "baptisan keinginan"). Hal ini kadangkala mencakup pula kesadaran akan kewajiban untuk menjadi bagian dari Gereja Katolik. Dalam kasus-kasus semacam itu, maka barang siapa yang mengetahui bahwa Gereja Katolik telah dijadikan perlu oleh Kristus, menolak untuk masuk atau tetap di dalamnya, tidak dapat diselamatkan.
Kehidupan Katolik
Ajaran sosial
Hidup manusia
Gereja Katolik menegaskan kesucian seluruh hidup manusia, sejak dalam kandungan hingga kematian secara alami. Gereja Katolik percaya bahwa tiap pribadi diciptakan menurut "gambar dan rupa Allah," dan bahwa hidup manusia tidak boleh diukur berdasarkan nilai-nilai lain seperti ekonomi, kenyamanan, preferensi pribadi, atau teknik sosial. Oleh karena itu, Gereja menentang aktivitas-aktivitas yang diyakininya menghancurkan atau menistakan hidup yang diciptakan suci itu, termasuk euthanasia, eugeniks dan aborsi.
Seksualitas
Gereja Katolik mengajarkan bahwa hidup manusia dan seksualitas manusia kedua-duanya tak terpisahkan dan suci.[55] Gereja mengajarkan bahwa Manikeisme, keyakinan bahwa roh bersifat baik sedangkan tubuh bersifat jahat, adalah bidaah. Oleh karena itu, Gereja tidak mengajarkan bahwa seks itu dosa atau merusak hidup yang penuh rahmat. Karena Allah menciptakan tubuh manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri, dan karena Dia melihat bahwa segala sesuatu yang telah diciptakannya itu "sungguh baik," (Kejadian 1:31) maka demikian pula tubuh manusia dan seks itu baik adanya. Dalam Katekismus diajarkan bahwa "tubuh adalah alat keselamatan."[56] Sesungguhnya, Gereja menganggap ekspresi cinta antara suami istri sebagai aktivitas manusia yang paling luhur, yang mempersatukan, suami istri dalam penyerahan-diri yang seutuhnya satu sama lain, dan membuka hubungan mereka kepada kehidupan baru. “Aktivitas seksual, yang di dalamnya suami istri secara intim dan murni saling bersatu, dan yang melaluinya hidup manusia diturunkan, adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Konsili terakhir, ‘mulia dan layak.’”[57] Hanya dalam hal ekspresi seksual yang terjadi di luar pernikahan sakramental, atau dalam hal fungsi prokreasi dari ekspresi seksual dalam pernikahan secara sengaja dihalang-halangi, maka Gereja Katolik mengungkapkan keprihatinan moralnya.
Asal-usul dan sejarah
Gereja Katolik didirikan oleh Yesus dan Keduabelas Rasul, dilanjutkan oleh para uskup sebagai penerus para rasul umumnya, dan Sri Paus sebagai penerus Santo Petrus khususnya.[58] Istilah "Gereja Katolik" diketahui pertama kali digunakan dalam surat dari Ignatius dari Antiokhia pada tahun 107, yang menulis bahwa: "Di mana ada uskup, hendaknya umat hadir di situ, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, Gereja Katolik hadir di situ."[59]
Selain itu, para penulis Katolik memberikan daftar sejumlah kutipan dari para Bapa Gereja terdahulu yang mendukung bahwasanya Tahta Keuskupan Roma memiliki otoritas yurisdiksional atau primasi atas gereja-gereja lain,[60] di lain pihak para penulis Ortodoks menolak klaim tersebut yang merupakan salah satu dari pokok permasalahan di balik skisma Timur-Barat, dengan secara historis memandang Sri Paus sebagai primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat).[61]
Di pusat doktrin-doktrin Gereja Katolik ada Suksesi Apostolik, yakni keyakinan bahwa para uskup adalah para penerus spiritual dari Keduabelas Rasul mula-mula, melalui rantai konsekrasi yang tak terputus secara historis. Perjanjian Baru berisi peringatan-peringatan terhadap ajaran-ajaran yang sekadar bertopengkan Kekristenan,[62] dan menunjukkan bahwa para pimpinan Gereja diberi kehormatan untuk memutuskan manakah yang merupakan ajaran yang benar.[63] Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja Katolik adalah keberlanjutan dari orang-orang tetap setia pada kepemimpinan apostolik (rasuli) dan episkopal (Keuskupan) serta menolak ajaran-ajaran palsu.
Pra Abad-Pertengahan
Sesudah melewati suatu periode awal yang diwarnai penganiayaan secara sporadik namun intens, Kekristenan menjadi legal pada abad ke-4, ketika Kaisar Konstantinus I mengeluarkan Edicta Milano (Edik Milano) pada tahun 313. Konstantinus berperan penting dalam penyelenggaraan Konsili Nicea Pertama yang merupakan konsili para uskup Gereja Katolik pada tahun 325, yang ditujukan untuk melawan bidaah Arianisme dan merumuskan Kredo Nicea yang digunakan oleh Gereja Katolik, Ortodoksi Timur, dan berbagai Gereja Protestan. Pada tanggal 27 Februari 380, Kaisar Teodosius I memberlakukan sebuah hukum yang menetapkan Kekristenan Katolik sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi dan memerintahkan untuk menyebut yang lain dari pada itu sebagai bidaah.[64]
Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi, Gereja Katolik melewati suatu masa kegiatan dan ekspansi misi. Selama Abad Pertengahan Katolisisme menyebar di antara bangsa Jerman (pada awalnya bersaing dengan Arianisme), Viking, Polandia, Kroasia, Ceko, Slowakia, Hungaria, Lithuania, Latvia, Finlandia dan Estonia. Keberhasilan kehidupan monastik menumbuhkan berbagai pusat pembelajaran, teristimewa yang paling masyhur di Irlandia dan Gallia, serta berkontribusi bagi Abad Pencerahan Dinasti Carolingian (Carolingian Renaissance). Di kemudian hari yakni pada kurun waktu Abad Pertengahan, Sekolah-sekolah Katedral berkembang menjadi universitas-universitas (Universitas Paris, Universitas Oxford, dan Universitas Bologna), cikal bakal dari lembaga-lembaga pembelajaran Barat modern.
Skisma akbar
Dalam abad ke-11, melalui serentetan proses selama beberapa abad, Gereja mengalami skisma akbar di mana Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur terbelah akibat isu-isu administrasi, liturgi, dan doktrin, khususnya masalah klausa Filioque dan primasi jurisdiksi kepausan. Secara konvensional skisma ini berpenanggalan tahun 1054, ketika Patriark Konstantinopel dan Sri Paus mengeluarkan pernyataan saling mengucilkan. Baik Konsili Lyons II tahun 1274 maupun Konsili Basel tahun 1439 berusaha menyatukan kembali kedua Gereja, namun pihak Ortodoks menolak kedua konsili itu. Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur masih dalam keadaan skisma hingga hari ini, meskipun demikian dalam deklarasi bersama Katolik-Ortodoks tahun 1965 pernyataan pengucilan tersebut ditarik kembali baik oleh Roma maupun Konstantinopel, dan upaya-upaya mengakhiri skisma terus berlanjut. Beberapa Gereja Timur telah bersatu kembali dengan Gereja Katolik dengan menerima primasi kepausan, dan beberapa Gereja Timur lainnya mengaku tidak pernah keluar dari persekutuan dengan Sri Paus.
Perang Salib
Perang Salib adalah serangkaian perang militer sejak tahun 1092 di Tanah Suci dan tempat-tempat lain, direstui oleh kepausan, dimulai pada masa kepausan Urbanus II sebagai tanggapan terhadap permintaan bantuan dari Kaisar Byzantium melawan ekspansi Turki. Perang Salib ini serta perang-perang Salib selanjutnya akhirnya gagal meredakan agresi orang-orang Turki dan bahkan menimbulkan rasa benci antar umat Kristiani akibat penjarahan dan pendudukan kota Konstantinopel selama Perang Salib ke-4.
Inkuisisi
Sejak sekitar tahun 1184, dan berlanjut selama Reformasi Protestan, terjadi sejumlah kegiatan historis yang melibatkan Gereja Katolik, dan yang dikenal luas sebagai Inkuisisi, ditujukan untuk menyelamatkan kesatuan religius dan doktrinal dalam Kekristenan melalui pentobatan, dan kadang kala penganiayaan, orang-orang yang didakwa bidaah. Terbukti bidaah, yang dipandang sebagai pengkhianatan terhadap dunia Kristen, dapat mengakibatkan penerimaan hukuman yang berkisar dari hukuman ringan sampai hukuman mati (antara lain dibakar hidup-hidup) yang dilaksanakan oleh negara. Contoh dari langkanya pelaksanaan hukuman mati tersebut adalah, sejak tahun 1540 sampai 1700 dari semua perkara yang diajukan kepada Inkuisisi Spanyol hanya 2-3% yang berakhir dengan eksekusi mati, lebih rendah dari pada peradilan sekuler manapun secara virtual pada masa itu.[65] Menurut para sejarawan, Inkuisisi Abad Pertengahan, Inkuisisi Spanyol, Inkuisisi Roma, dan Inkuisisi Portugis adalah peristiwa-peristiwa historis yang berbeda. Cakupan dari aktivitas Inkuisisi, dan khususnya angka kematian yang tepat, telah menjadi bahan propaganda di kemudian hari.
Reformasi
Keretakan kedua dalam sejarah Kekristenan terjadi saat Reformasi Protestan, yang dimulai di Jerman pada abad ke-16. Selama kurun waktu tersebut pelbagai kelompok masyarakat, seringkali dengan dukungan pemerintah lokal, menolak primasi Sri Paus, kewajiban selibat bagi para imam, serta berbagai doktrin dan praktik Katolik lainnya, sekaligus penyelewengan-penyelewengan (semisal praktik simoni/praktik pembelian jabatan gerejawi) yang umum terjadi pada masa itu. Para reformator dalam Gereja Katolik meluncurkan Kontra-Reformasi atau Reformasi Katolik, suatu periode klarifikasi doktrin, perbaikan imamat dan liturgi, dan re-evangelisasi yang dimulai dengan Konsili Trento.
Konsili Trento dan perbaikan-perbaikannya menghasilkan tema sentral untuk 300 tahun ke depan dari sejarah Katolik. Periode tersebut menitikberatkan karya katekese dan misi, bidang yang menjadi keunggulan bagi ordo Yesuit dan Fransiskan. Katolisisme menyebar ke seluruh dunia, seiring dengan kolonialisme bangsa Eropa: ke Amerika, Asia, Afrika, dan Oseania.
Zaman Modern
Gereja pada abad ke-18 dan ke-19 tidak hanya harus berhadapan dengan ajaran-ajaran Protestantisme, namun juga dengan ajaran-ajaran Pencerahan dan Modernisme mengenai hakikat pribadi manusia, negara, dan moralitas. Dengan terjadinya Revolusi Industri, dan meningkatnya keprihatinan akan kondisi-kondisi para buruh urban, Paus-Paus abad ke-19 dan ke-20 mengeluarkan ensiklik-ensiklik (teristimewa Rerum Novarum) yang memaparkan Ajaran Sosial Katolik.
Konsili Vatikan Pertama (1869–1870) menegaskan doktrin infabilitas kepausan yang diyakini umat Katolik sebagai kontinuitas dengan sejarah Supremasi Petrus dalam Gereja.
Reformasi Konsili Vatikan Kedua
Gereja Katolik melakukan salah satu dari perubahan-perubahan paling menyeluruh dalam sejarahnya selama Konsili Vatikan II (1962-1965) dan dasawarsa sesudahnya. Gereja Katolik, lebih dari pada sebelumnya, menekankan apa yang dipandangnya positif ketimbang apa yang dipandangnya negatif dalam komunitas-komunitas Kristiani lain, dalam agama-agama lain, dan dalam aspirasi-aspirasi umat manusia pada umumnya. Gereja mendorong pembaharuan yang mutakhir atas kehidupan religius. Dan Gereja memberi wewenang kepada konferensi-konferensi waligereja untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam disiplin-disiplin misalnya berpantang daging pada hari Jumat.
Konsili Vatikan II (1962–1965) yang diperhimpunkan oleh Paus Yohanes XXIII, terutama sebagai suatu konsili pastoral namun otoritatif,[66] untuk membuat ajaran-ajaran historis Gereja Katolik menjadi jelas bagi dunia modern. Konsili ini mengeluarkan dokumen-dokumen mengenai sejumlah topik, termasuk hakikat Gereja, misi awam, dan kebebasan beragama. Konsili ini juga mengeluarkan pengarahan-pengarahan bagi revisi liturgi, termasuk izin bagi ritus liturgi Latin untuk menggunakan bahasa setempat di samping Bahasa Latin dalam Misa dan sakramen-sakramen lainnya.[67]
Liturgi
Gereja Katolik secara mendasar bersifat liturgis dalam peribadatannya. Liturgi berasal dari kata Yunani yang artinya "pekerjaan masyarakat." Konsili Vatikan II menyatakan "karena liturgi, yang melaluinya karya penebusan kita terselesaikan,' terutama dalam kurban ilahi Ekaristi, merupakan sarana-sarana terbaik bagi umat beriman untuk dapat mengekspresikan dalam kehidupannya, dan memanifestasikan bagi sesama, misteri Kristus dan hakikat sejati dari Gereja yang benar."[68]
Sakramen
Katekismus Gereja Katolik, 1131 mengajarkan: "Sakramen-sakramen adalah tanda-tanda yang berfaedah dari rahmat, yang dilembagakan oleh Kristus dan dipercayakan kepada Gereja, yang dengannya kehidupan ilahi disalurkan bagi kita. Ritus-ritus yang terlihat yang dengannya sakramen-sakramen dirayakan menandai dan menghadirkan rahmat-rahmat sesuai dengan tiap sakramen. Sakramen-sakramen berbuah dalam diri mereka yang menerimanya dalam keadaan yang seharusnya."
Ketujuh sakramen adalah:
Kehidupan devosional Gereja Katolik
Selain sakramen-sakramen, yang dilembagakan oleh Yesus, terdapat pula banyak sakramental, yaitu tanda-tanda suci (upacara-upacara atau benda-benda) yang beroleh kuasa dari doa Gereja. Sakramental-sakramental melibatkan doa dengan tanda salib atau tanda-tanda lainnya. Contoh-contoh penting adalah pemberkatan-pemberkatan (yang di dalamnya diangkat pujian bagi Allah dan memohon karunia-karunia-Nya), konsekrasi orang-orang, dan penyucian benda-benda yang digunakan untuk menyembah Allah. Devosi-devosi populer bukan bagian dari liturgi, namun jika dinilai otentik, maka didukung oleh Gereja. Devosi-devosi mencakup penghormatan relikwi-relikwi orang-orang kudus, kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat suci, ziarah-ziarah, perarakan-perarakan (termasuk perarakan Sakramen Maha Kudus), ibadat jalan salib, ibadat harian, Penyembahan Sakramen Maha Kudus, Pemberkatan Sakramen Maha Kudus, dan Doa Rosario.
Doa pribadi
Selain itu, banyaknya varietas dari spiritualitas Katolik memungkinkan umat Katolik untuk berdoa sendiri dengan berbagai macam cara. Bagian ke-4 dan terakhir dari Katekismus meringkas tanggapan Katolik terhadap misteri iman: "Oleh sebab itu, misteri ini, mengharuskan supaya umat beriman meyakininya, supaya mereka merayakannya, dan supaya mereka hidup darinya dalam suatu hubungan yang bersifat vital dan pribadi dengan Allah yang hidup dan sejati. Hubungan itu adalah doa."[70]
Gereja partikular dalam Gereja Katolik
Tidak seperti "persekutuan" atau "serikat" Gereja-Gereja yang terbentuk oleh saling pengakuan antar badan-badan gerejawi yang berbeda-beda, Gereja Katolik menganggap dirinya sebagai sebuah Gereja tunggal ("satu Tubuh") yang terbentuk dari sejumlah besar Gereja-Gereja partikular, yang masing-masing merupakan perwujudan dari Gereja Katolik yang esa. Gereja universal, diyakini merupakan "suatu realita yang secara ontologis dan temporal mendahului setiap Gereja Partikular secara individu."[71]
Meskipun demikian, Gereja Katolik menekankan pentingnya Gereja-Gereja partikular di dalamnya, yang arti signifikansi teologisnya diulas dalam Konsili Vatikan Kedua. Dibedakan dua penggunaan istilah Gereja partikular.
- Gereja-Gereja atau Ritus-Ritus partikular otonom (sui iuris). Lihat: Gereja-Gereja Katolik Ritus Timur
- Gereja-Gereja partikular atau lokal (Keuskupan dan Konferensi Waligereja Nasional). Lihat: Gereja Partikular
Hubungan dengan umat Kristiani lainnya
Meskipun mengaku sebagai Gereja yang didirikan oleh Yesus, Gereja Katolik mengakui bahwa banyak unsur-unsur keselamatan dalam Injil terdapat pula di dalam Gereja-Gereja dan komunitas-komunitas gerejawi lainnya. Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium mengajarkan bahwa "Gereja Kristus yang esa yang dalam kredo dimaklumkan sebagai "yang satu, kudus, katolik dan apostolik..." terdapat dalam (Lumen Gentium menggunakan kata Latin "Subsistit in") Gereja Katolik, yang dipimpin oleh penerus Petrus dan oleh para uskup dalam persekutuan dengan beliau, meskipun banyak unsur-unsur pengudusan dan kebenaran terdapat di luar dari strukturnya yang tampak.[72] Dengan demikian, dokumen tersebut meneguhkan doktrin Extra Ecclesiam Nulla Salus[73] (tidak ada keselamatan di luar Gereja).
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik telah menjangkau badan-badan Kristiani, mengusahakan rekonsiliasi yang semaksimal mungkin. Kesepakatan-kesepakatan penting telah dicapai mengenai Pembaptisan, Pelayanan, dan Ekaristi bersama para teolog Anglikan. Dengan badan-badan Lutheran telah dicapai kesepakatan serupa mengenai teologi pembenaran (justifikasi). Dokumen-dokumen penting ini telah makin mempererat ikatan persaudaraan dengan komunitas-komunitas gerejawi tersebut. Meskipun demikian, perkembangan-perkembangan terbaru, semisal pentahbisan wanita dan penerimaan terhadap pasangan homoseksual, menghadirkan hambatan-hambatan baru bagi rekonsiliasi dengan Gereja Lutheran, Gereja-Gereja Reformasi, dan khususnya Gereja Anglikan, .
Konsekuensinya, pada beberapa tahun terakhir, Gereja katolik memusatkan upayanya pada rekonsiliasi dengan Gereja-Gereja Ortodoks Timur, yang perbedaan teologisnya dengan Gereja Katolik tidaklah sedemikian besar. Hubungan-hubungan dengan Gereja-Gereja Ortodoks Rusia mengalami keretakan pada tahun 1990-an sehubungan dengan masalah-masalah properti di negara-negara bekas Uni soviet, masalah-masalah tersebut belum terselesaikan (khususnya paroki-paroki milik Gereja Katolik-Yunani Ukraina), sekalipun hubungan-hubungan persaudaraan dengan Gereja-Gereja Timur lainnya terus mengalami kemajuan.
Struktur hirarkis Gereja Katolik
Gereja Katolik memiliki sebuah struktur hirarkis, yang artinya sebuah urutan suci (bertolak belakang dengan struktur karismatis). Sifat hirarkis ini diterapkan dalam keseluruhan Gereja Katolik, meskipun sering dikaitkan hanya dengan para pelayan Gereja yang tertahbis, yang tergabung dalam salah satu dari tiga jenjang imamat suci: episkopat (para uskup), presbiterat (para imam), atau diakonat (para diakon).
Episkopat (jabatan uskup)
Para uskup, yang memiliki kepenuhan imamat Kristiani, merupakan sebuah badan Dewan Uskup, para penerus para Rasul [74] dan merupakan "para Gembala yang ditugaskan dalam Gereja, untuk menjadi para pengajar doktrin, para imam dalam peribadatan suci dan para pengurus dalam pemerintahan."[75]
Sri Paus, para kardinal, patriark, primat, uskup agung dan metropolitan semuanya adalah uskup dan anggota dari episkopat atau kolega para uskup Gereja Katolik.
Presbiterat (jabatan presbiter/imam)
Para uskup dibantu oleh para imam dan diakon. Paroki-paroki, baik yang berbasis teritorial maupun orang, dalam sebuah keuskupan biasanya dipimpin oleh seorang imam yang dikenal sebagai imam paroki atau pastor.
Para imam dapat menjalankan banyak fungsi yang tidak langsung berkaitan dengan aktivitas pastoral biasa, seperti studi, penelitian, mengajar atau pekerjaan kantor. Mereka juga dapat menjadi rektor kapelan (imam pada lembaga tertentu misalnya dalam kemiliteran atau universitas), konfesor, kepala biara, atau dekan Katedral.
Dalam peraturan Ritus Latin, hanya pria selibat yang ditahbiskan menjadi imam, sedangkan dalam peraturan Ritus Timur, pria yang sudah menikah dapat pula ditahbiskan. Di antara Gereja-Gereja partikular Ritus Timur, Gereja Katolik Ethiopia hanya menahbiskan pria yang hidup selibat, namun juga memiliki imam-imam yang telah menikah yang dulunya ditahbiskan dalan Gereja Ortodoks. Gereja-Gereja Katolik Timur lainnya, yang menahbiskan pria yang sudah menikah, di beberapa negara misalnya di Amerika Serikat, tidak memiliki imam yang menikah. Ritus Barat atau Latin kadang-kadang, namun sangat jarang, menahbiskan pria-pria yang sudah menikah, biasanya mereka adalah klerus Protestan yang beralih menjadi Katolik. Semua ritus Gereja Katolik memelihara tradisi kuno yakni tidak mengizinkan pernikahan setelah pentahbisan. Bahkan jika isteri seorang imam yang menikah meninggal dunia, maka imam tersebut tidak boleh menikah lagi.
Diakonat (jabatan diakon)
Sejak Konsili Vatikan Kedua, Gereja Latin kembali menerima pria dewasa yang beristri untuk ditahbiskan menjadi Diakon. "Para diakon ditahbiskan sebagai suatu tanda sakramental bagi Gereja dan bagi dunia milik Kristus, yang datang 'untuk melayani dan bukan untuk dilayani.' Seluruh Gereja dipanggil oleh Kristus untuk melayani, dan diakon, karena tahbisan sakramentalnya dan melalui berbagai pelayanannya, menjadi seorang pelayan dalam Gereja-pelayan. Sebagai pelayan Sabda, para diakon memberitakan Injil, berkhotbah, dan mengajar dalam nama Gereja. Sebagai pelayan Sakramen, diakon membaptis, memimpin umat beriman dalam doa, menjadi saksi pernikahan, melaksanakan ibadat kematian dan pemakaman. Sebagai pelayan amal-kasih, diakon merupakan pemimpin dalam hal mengenali kebutuhan-kebutuhan orang lain, kemudian menggunakan sumber-sumber daya Gereja untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Para diakon juga dibaktikan bagi penghapusan ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang menimbulkan kebutuhan-kebutuhan tersebut."[76]
Para kandidat untuk diakonat menjalani suatu program formasi diakonal yang dirancang berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mutakhir keuskupan mereka tetapi harus mencapai standar-standar minimum yang ditetapkan oleh konferensi waligereja di negara asal mereka. Setelah menyelesaikan program formasi mereka dan memperoleh persetujuan dari uskup setempat, para kandidat menerima sakramen imamat melalui pentahbisan. Umumnya, setelah ditahbiskan, seorang diakon ditempatkan oleh uskupnya pada sebuah paroki lokal di mana dia akan menjalankan pelayanannya dan melayani Gereja dan komunitas lokal tersebut.
Keanggotaan Gereja Katolik
Menurut Hukum Kanon, seseorang menjadi anggota Gereja Katolik dengan cara dibaptis dalam Gereja Katolik atau dengan cara diterima ke dalam Gereja Katolik (dengan membuat suatu pernyataan iman, jika yang bersangkutan telah dibaptis).[77]
Apabila atas kemauan sendiri seseorang hendak memutuskan ikatan yuridis dengan Gereja Katolik, maka disyaratkan adanya suatu tindakan formal secara tertulis di hadapan Pejabat Gereja setempat atau imam paroki dari yang bersangkutan, yang akan menilai apakah tindakan tersebut tergolong murtad, bidaah atau skisma; tanpa tindakan keluar secara resmi ini, "bidaah (baik formal maupun material), skisma dan murtad tidak dengan sendirinya merupakan suatu tindakan keluar secara resmi, jika tidak secara eksternal diwujudnyatakan dan dimanifestasikan kepada otoritas gerejawi dengan cara-cara yang disyaratkan."[78]
Mereka yang tidak melakukan tindakan ini dianggap masih terikat dengan Gereja Katolik dan "terus terikat oleh hukum-hukum gerejawi belaka." Seseorang yang keluar dari keanggotaan Gereja Katolik dapat diterima kembali di kemudian hari, setelah yang bersangkutan membuat suatu pernyataan iman.
Peranan Gereja Katolik dalam peradaban
Doktrin Gereja Dan ilmu pengetahuan
Para ahli sejarah ilmu pengetahuan, termasuk yang bukan beragama Katolik seperti J.L. Heilbron,[79] Alistair Cameron Crombie, David C Lindberg,[80] Edward Grant, Thomas Goldstein,[81] dan Ted Davis, berpendapat bahwa Gereja Katolik memiliki pengaruh positif yang penting terhadap perkembangan peradaban. Mereka yakin bahwa, bukan saja para biarawanlah yang menyelamatkan dan membudidayakan sisa-sisa dari peradaban kuno selama invasi-invasi kaum barbar, melainkan juga bahwasanya Gereja Katoliklah yang mendorong pembelajaran dan ilmu pengetahuan melalui dukungannya terhadap banyak universitas yang, di bawah kepemimpinannya, bertumbuh cepat di Eropa pada abad ke-11 dan ke-12. St. Thomas Aquinas, "teolog model" Gereja Katolik, tidak saja berpendapat bahwa akal budi itu bersesuaian dengan iman, beliau bahkan mengakui bahwa akal budi dapat berkontribusi bagi pemahaman wahyu Illahi, dan dengan demikian mendorong perkembangan intelektual.[82] Para imam-ilmuwan Gereja Katolik, yang kebanyakan adalah para Yesuit, dan yang merupakan para pelopor dalam ilmu astronomi, genetika, geomagnetisme, meteorologi, seismologi, and fisika matahari, menjadi "bapak-bapak" ilmu-ilmu pengetahuan tersebut. Perlu kiranya untuk disebutkan di sini, nama-nama para rohaniwan Katolik semisal Abbas Ordo St. Agustinus Gregor Mendel (pelopor dalam studi genetika) dan pastur Belgia Georges Lemaître (orang pertama yang mengedepankan teori Big Bang).
Kenyataan ini merupakan suatu kebalikan dari pandangan yang dipertahankan oleh beberapa filsuf abad pencerahan, bahwa doktrin-doktrin Gereja Katolik bersifat tahayul dan menghalang-halangi kemajuan peradaban.
Salah satu contoh terkenal yang diajukan oleh para kritikus tersebut adalah Galileo Galilei, yang pada tahun 1633, dikutuk karena berpegang teguh pada ajaran jagad raya yang heliosentris (jagad raya berpusat pada matahari), teori yang pertama kali dicetuskan oleh Nicolaus Copernicus, seorang imam Katolik. Setelah bertahun-tahun diinvestigasi, berkonsultasi dengan Paus, berjanji kemudian dilanggar oleh Galileo sendiri, dan akhirnya suatu pengadilan oleh Tribunal Inkuisisi Romawi dan Universal, Galileo didapati "dituduh sebagai bidaah" - bukan bidaah, sebagaimana yang seringkali secara keliru disebut-sebut. Meskipun ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa dua dari empat thesis ilmiah yang dikedepankan oleh Galileo sebenarnya keliru, yakni bahwasanya Matahari adalah pusat jagad raya, dan bahwasanya Bumi mengitari Matahari dalam orbit berbentuk lingkaran sempurna, Paus Yohanes Paulus II secara terbuka mengungkapkan penyesalan atas tindakan-tindakan orang-orang Katolik yang memperlakukan Galileo dengan buruk dalam pengadilan pada tanggal 31 Oktober 1992.[83] Sebuah abstraksi dari tindakan-tindakan dalam proses pengadilan terhadap Galileo dapat dijumpai di Arsip Rahasia Vatikan (Vatican Secret Archives), yang mereproduksi sebahagian arsip tersebut dalam situs web-nya. Kardinal John Henry Newman, pada abad ke-19, berkata bahwa orang-orang yang menyerang Gereja Katolik hanya mampu menunjukkan kasus Galileo, yang bagi banyak sejarawan tidaklah membuktikan adanya oposisi Gereja terhadap ilmu pengetahuan karena justru banyak rohaniwan Katolik pada masa itu yang didorong oleh Gereja untuk meneruskan penelitian mereka.[84]
Saat ini, Gereja Katolik telah dikritik karena ajarannya bahwa penelitian sel induk embrio manusia (embryonic stem cell research) merupakan suatu bentuk dari eksperimentasi pada manusia, dan mengakibatkan pembunuhan seorang manusia, dengan alasan bahwa ajaran ini menghalangi penelitian ilmiah. Gereja Katolik sebaliknya berpendapat bahwa kemajuan dalam ilmu pengobatan dapat terjadi tanpa perlu ada penghancuran manusia (yang masih dalam tahap kehidupan embrio); misalnya, dengan menggunakan sel induk dewasa (adult stem cell) atau sel induk tali pusat (umbilical stem cell) sebagai ganti sel induk embrio.
Gereja, seni, dan karya sastra
Beberapa ahli sejarah menilai Gereja Katolik berjasa atas kegemilangan dan keagungan seni Barat. Mereka mengacu pada perlawanan gereja terhadap ikonoklasme (suatu gerakan yang menentang penggambaran visual dari yang ilahi), kegigihan Gereja dalam membangun gedung-gedung yang mendukung peribadatan, kutipan ayat Alkitab oleh Agustinus dari Hippo - dari Kitab Kebijaksanaan 11:20 (Allah "menyuruh segala sesuatu diukur, dihitung, dan ditimbang") yang menuntun kepada konstruksi-konstruksi geometris dari arsitektur Gothik, sistem-sistem ilmiah yang koheren dari kaum Skolastik yang disebut Summa Theologiae yang memengaruhi tulisan-tulisan yang konsisten secara ilmiah dari Dante Alighieri, teologi penciptaan dan sakramental Gereja yang telah mengembangkan suatu imajinasi Katolik yang memengaruhi para penulis seperti J. R. R. Tolkien[85], C.S. Lewis, dan William Shakespeare,[86] dan akhirnya, perlindungan yang diberikan para paus di masa Renaissance bagi karya-karya agung para seniman Katolik seperti Michelangelo, Raphael, Bernini, Borromini, dan Leonardo da Vinci.
Gereja dan perkembangan ekonomi
Francisco de Vitoria, seorang murid dari Thomas Aquinas dan seorang pemikir Katolik yang mempelajari hal-hal seputar hak-hak azasi manusia dari rakyat pribumi jajahan, diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai seorang Bapak hukum internasional, dan kini juga diakui oleh para ahli sejarah ekonomi dan demokrasi sebagai cahaya terdepan bagi demokrasi Barat dan percepatan ekonomi.[87]
Joseph Schumpeter, seorang ahli ekonomi dari abad ke-20, menunjuk pada kaum skolastik, ketika menulis bahwa, "merekalah yang paling layak lebih dari kelompok manapun juga untuk disebut sebagai ‘pendiri’ ilmu ekonomi yang ilmiah."[88] Ahli-ahli ekonomi dan sejarah lainnya, seperti Raymond de Roover, Marjorie Grice-Hutchinson, dan Alejandro Chafuen, juga telah mengeluarkan pernyataan serupa. Sejarawan Paul Legutko dari Universitas Stanford mengatakan bahwa Gereja Katolik "berada pada pusat perkembangan nilai-nilai, gagasan-gagasan, ilmu pengetahuan, hukum, dan lembaga-lembaga yang membentuk apa yang kita sebut peradaban Barat."[89]
Keadilan sosial, keperawatan, dan sistem rumah sakit
Menurut ahli sejarah rumah sakit, Guenter Risse, Gereja Katolik telah memberi sumbangsih bagi masyarakat melalui doktrin sosialnya (ajaran sosial Gereja) yang telah menuntun para pemimpin untuk mempromosikan keadilan sosial dan dengan membentuk sistem rumah sakit di Eropa abad pertengahan, yakni suatu sistem yang berbeda dengan keramah-tamahan dari masyarakat Yunani dan kewajiban-kewajiban berasaskan keluarga dari masyarakat Romawi. Rumah-rumah sakit tersebut didirikan untuk menyediakan pelayanan bagi kelompok masyarakat tertentu yang tersisihkan akibat kemiskinan, penyakit, dan usia lanjut."[90]
James Joseph Walsh menulis tentang kontribusi Gereja Katolik bagi sistem rumah sakit, sebagai berikut:
Selama abad ke-13 sejumlah besar rumah-rumah sakit [ini] didirikan. Kota-kota Italia merupakan pemimpin-pemimpin dari gerakan itu. Milan memiliki tidak kurang dari selusin rumah sakit dan Florence sebelum akhir abad ke-14 memiliki sekitar 30 rumah sakit. Beberapa diantaranya merupakan bangunan-bangunan yang sangat indah. Di Milan sebagian dari bangunan rumah sakit umum dirancang oleh Donato Bramante dan sebagiannya lagi dirancang oleh Michelangelo. Rumah sakit kaum tak berdosa di Florence untuk menampung anak-anak terlantar merupakan sebuah permata arsitektur. Rumah sakit di Sienna, yang didirikan sebagai penghormatan kepada Santa Katerina dari Siena, sejak semula sudah tersohor. Di seluruh Eropa gerakan rumah sakit ini menyebar di mana-mana. Virchow, Pathologis besar dari Jerman, dalam sebuah artikel mengenai rumah-rumah sakit, menunjukkan bahwa tiap kota di Jerman yang berpenduduk 5000 jiwa memiliki rumah sakit. Ia menelusuri gerakan rumah sakit ini sampai kepada Paus Innosentius III, dan meskipun bukan seorang pendukung kepausan, Virchow tanpa ragu-ragu memberikan pujian tertinggi bagi Paus tersebut untuk segala sesuatu yang telah dilakukannya demi kebaikan anak-anak dan umat manusia yang menderita.[91]
Keindahan dan efisiensi rumah-rumah sakit Italia bahkan mengilhami sebagian orang yang justru mengkritik Gereja Katolik. Sejarawan Jerman Ludwig von Pastor mengutip kembali kata-kata Martin Luther yang, tatkala melakukan perjalanan ke Roma saat musim dingin tahun 1510-1511, berkesempatan mengunjungi beberapa dari rumah-rumah sakit tersebut:
Di Italia, menurutnya, rumah-rumah sakit didirikan dengan megah, dan sungguh mengagumkan bahwa rumah-rumah sakit itu diperlengkapi dengan makanan dan minuman yang sangat baik, perhatian yang seksama dan tabib-tabib yang terpelajar. Tempat-tempat tidur dan perlengkapan tempat tidurnya bersih, dan dinding-dinding ditutupi dengan lukisan-lukisan. Bilamana seorang pasien dibawa masuk, pakaian-pakaiannya dilepaskan di hadapan seorang notaris yang menginventarisirnya dengan cermat, kemudian pakaian-pakaian itu disimpan dengan aman. Sehelai smock (jubah pasien) putih dikenakan padanya dan ia dibaringkan di atas sebuah dipan yang nyaman, dialasi linen yang bersih. Ada dua orang dokter yang mendatanginya, dan para pelayan membawakannya makanan dan minuman dalam gelas-gelas yang bersih, yang memperlihatkan padanya segala perhatian yang dapat diberikan.[92]
Gereja Katolik sebagai opus proprium, sebut Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est, telah melaksanakan selama berabad-abad sejak awal mulanya dan terus melaksanakan berbagai pelayanan kasih — antara lain, rumah-rumah-sakit, sekolah-sekolah, dan program-program pemberantasan kemiskinan.
Kritik terhadap Gereja Katolik Roma
Skandal pelecehan seksual
Pada tahun 2002, Amerika Serikat dihebohkan oleh suatu skandal besar ketika serangkaian tuntutan, disertai bukti-bukti pendukung, ditujukan kepada para imam yang melakukan tindakan pelecehan secara seksual terhadap anak-anak sepanjang beberapa dasawarsa. Yang makin memparah keadaan adalah terungkapnya kenyataan bahwa Gereja mengetahui beberapa dari imam-imam pelaku pelecehan tersebut, dan pada mulanya memperlakukan mereka dengan cara menyangkal mengetahui kejahatan yang mereka lakukan dan memindahtugaskan mereka dari satu jemaat ke jemaat lain dari pada menindaki mereka. Skandal yang menjadi penyebab pengunduran diri Kardinal Bernard Law dari Keuskupan Agung Boston itu, merupakan pukulan yang menghancurkan citra Gereja di mata publik — Dalam salah satu survey sesudah mencuatnya skandal tersebut 64% dari responden setuju bahwa kebanyakan imam Katolik "kerap melakukan pelecehan terhadap anak-anak" (data mengindikasikan bahwa hanya 1,5-1,8% imam Katolik yang benar-benar telah dituntut karena melakukan pelecehan terhadap anak-anak.[93]).
Catholic News Service melaporkan:
Sekitar 4 persen dari para imam A.S. yang bekerja sejak tahun 1950 sampai 2002 dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, menurut studi nasional komprehensif menyangkut isu tersebut.
Studi tersebut mengatakan bahwa 4.392 rohaniwan—hampir semuanya imam—dituduh melakukan pelecehan terhadap 10.667 orang. 75 persen dari insiden-insiden tersebut terjadi antara tahun 1960 dan 1984.
Menurut studi tersebut, dalam kurun waktu yang sama terdapat 109.694 imam. Menurut studi yang telah dilakukan John Jay College of Criminal Justice di New York, biaya-biaya (cost) sehubungan dengan pelecehan seksual berjumlah total $573 juta. $219 juta dari jumlah itu ditalangi oleh perusahaan-perusahaan asuransi.
Studi tersebut menyusun daftar karakteristik-karakteristik utama dari insiden-insiden pelecehan seksual yang telah dilaporkan. Termasuk di dalamnya:
-- Sebagian besar korban, yakni 81 persen, berjenis kelamin laki-laki. Korban paling lemah adalah anak-anak lelaki berusia 11 sampai 14 tahun, mewakili lebih dari 40 persen dari jumlah korban. Kenyataan ini melawan trend dalam masyarakat A.S. secara umum di mana masalah utama adalah pria dewasa mencabuli anak-anak perempuan.[94]
Kasus-kasus serupa telah muncul di negara-negara lain. Di Irlandia, sejumlah kasus pelecehan seksual yang mencuat pada anak-anak yang dilakukan oleh para imam dan biarawan Katolik, seperti yang dialami Andrew Madden, telah sangat memperlemah pengaruh Gereja pada beberapa tahun terakhir.
Sejak tahun 2001, kewenangan atas penyelesaian masalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh klerus tidak lagi berada dalam kompetensi dari uskup setempat, akan tetapi diambil alih oleh Kongregasi Ajaran Iman di Roma, sesuai dengan isi Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II Sacramentorum sanctitatis tutela serta aturan-aturan pelengkapnya (kedua dokumen dalam Bahasa Latin). Di bawah Hukum Kanonik Gereja tahun 1983 klerus yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang anak di bawah umur dapat dikenai hukuman pencopotan status klerus ("laisisasi").[95]
Catatan kaki
- ^ "Concise Oxford English Dictionary" (online version). Oxford University Press. 2005. Diakses tanggal 10 April 2009.
- ^ Marthaler, Berard (1993). "The Creed". Twenty-Third Publications. Diakses tanggal 9 May 2008. hal. 303
- ^ a b McBrien, Richard (2008). The Church. Harper Collins. hal. xvii. Versi online tersedia di sini. Kutipan: Penggunaan adjektiva "Katolik" sebagai tambahan pada kata "Gereja" bersifat divisif hanya sesudah Skisma Timur-Barat ... dan Reformasi Protestan ... Dalam kasus pertama, pihak Barat mengklaim untuk dirinya gelar Gereja Katolik, sedangkan pihak Timur menggunakan nama Gereja Ortodoks yang Kudus. Dalam kasus kedua, pihak yang berada dalam persekutuan dengan Uskup Roma mempertahankan adjektiva "Katolik", sedangkan gereja-gereja yang memutuskan hubungan dengan Kepausan disebut Protestan.
- ^ Libreria Editrice Vaticana (2003). "Katekismus Gereja Katolik." Diakses pada: 2009-05-01.
- ^ Vatikan. Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II. Diakses pada: 2009-05-04. Perhatian: Tanda tangan Paus tampak dalam cersi Latinnya.
- ^ Declaration on Christian Formation, diterbitkan oleh Konferensi Waligereja Amerika Serikat, Washington DC 1965, halaman 13
- ^ Whitehead, Kenneth (1996). ""How Did the Catholic Church Get Her Name?" Eternal Word Television Network. Diakses pada 9 Mei 2008.
- ^ Contoh: 1977 Persetujuan dengan Uskup Agung Donald Coggan dari Canterbury
- ^ Walsh, Michael (2005). Roman Catholicism. Routledge. hal. 19. Versi online tersedia di sini
- ^ Beal, John (2002). "New Commentary on the Code of Canon Law". Paulist Press. Diakses tanggal 13 May 2008. hal. 468
- ^ The New Catholic Encyclopedia menyatakan: "Ada sebuah aspek yang lebih jauh mengenai istilah Katolik Roma yang perlu difahami. Gereja Roma dapat digunakan untuk menyebut, bukan Gereja universal yang memiliki seorang primat yakni Uskup Roma, melainkan untuk menyebut Gereja lokal di Roma, yang memiliki keistimewaan karena uskupnya juga menjabat sebagai primat bagi seluruh Gereja."
- ^ "Number of Catholics and Priests Rises". Zenit News Agency. 12 Februari 2007. Diakses tanggal 21 Februari 2008.
- ^ "CIA World Factbook". United States Government Central Intelligence Agency. 2009. Diakses tanggal 6 Juli 2009.
- ^ "Major Branches of Religions Ranked by Number of Adherents". adherents.com. Diakses tanggal 2009-07-05.
- ^ Schreck, hal. 158–159.
- ^ a b Paulus VI, Paus (1964). "Lumen Gentium bab 3, bagian 22". Vatikan. Diakses tanggal 9 Maret 2008.
- ^ Hukum Kanon, kanon 331 dan 336
- ^ Teaching with Authority, oleh Richard R. Gaillardetz, hal. 57
- ^ Schreck, hal. 153.
- ^ Barry, hal. 50–51.
- ^ Barry, hal. 98–99.
- ^ Wilken, hal. 281, kutipan: "Beberapa (Komunitas Kristiani) didirikan oleh Petrus, murid yang ditetapkan Yesus sebagai pendiri GerejaNya. ... Begitu kedudukan tersebut terlembagakan, para sejarawan meninjau kembali dan mengakui Petrus sebagai paus pertama Gereja Kristen di Roma"
- ^ a b Schreck, hal. 152.
- ^ Barry, hal. 37, hal. 43–44.
- ^ (Mat. 16:18–19)
- ^ (Yoh. 16:12–13)
- ^ O'Collins, hal. v (pengantar).
- ^ Orlandis, pengantar
- ^ Konsili Vatikan, Kedua (1964). "Lumen Gentium paragraf 14". Vatikan. Diakses tanggal 17 December 2008.
- ^ Paragraf nomor 846 (1994). "Katekismus Gereja Katolik". Libreria Editrice Vaticana. Diakses tanggal 27 Desember 2008.
- ^ Paragraf nomor 819 (1994). "Katekismus Gereja Katolik". Libreria Editrice Vaticana. Diakses tanggal 16 Mei 2009.
- ^ a b Kreeft, hal. 110–112.
- ^ Shorto, Russel (8 April 2007). "Keeping the Faith". The New York Times. Diakses tanggal 29 Maret 2008.
- ^ Kreeft, hal. 17.
- ^ Marthaler, kata pengantar
- ^ Yohanes Paulus II, Paus (1997). "Laetamur Magnopere". Vatikan. Diakses tanggal 9 Maret 2008.
- ^ Richardson, hal. 132.
- ^ Langan, hal. 118.
- ^ Parry, hal. 292.
- ^ Collinson, hal. 254–260.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaMcManners371
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaMcManners37
- ^ Duffy, hal. 275, hal. 281.
- ^ a b Schreck, hal. 15–19.
- ^ Brodd, Jefferey (2003). World Religions. Winona, MN: Saint Mary's Press. ISBN 978-0-88489-725-5.
- ^ a b Schreck, hal. 21.
- ^ Schreck, hal. 23.
- ^ Schreck, hal. 30.
- ^ Paragraf nnomor 1131 (1994). "Katekismus Gereja Katolik". Libreria Editrice Vaticana. Diakses tanggal 8 Februari 2008.
- ^ Kreeft, hal. 298–299.
- ^ Mongoven, hal. 68.
- ^ Roma 1:20
- ^ Roma 5:12
- ^ Efesus 1:22-23; cf. Roma 12:4-5
- ^ Katekismus Gereja Katolik, 2331–2400
- ^ Katekismus Gereja Katolik, 1015
- ^ "Humanae Vitae, no. 11"
- ^ "Catechism of the Catholic Church". Diakses tanggal 1 Januari 2007.
881. Tuhan hanya mengangkat Simon, yang dinamainya Petrus, "batu karang" Gereja-Nya. Ia memberikan kepadanya kunci Gereja-Nya dan menjadikannya gembala dari seluruh kawanan dombanya. 'Jabatan untuk mengikat dan melepaskan yang diberikan kepada Petrus juga diberikan kepada kumpulan para rasul yang dipersatukan dalam kepemimpinannya.' Jabatan pastoral Petrus adn para rasul lainnya ini merupakan dasar Gereja dan dilanjutkan oleh para uskup di bawah keutamaan Paus.
- ^ Ignatius dari Antiokia. "Letter to the Smyrnaeans". para. 8.
- ^ "The Authority of the Pope: Part I". Catholic Answers.
Primacy of the Apostolic See, Corunum Catholic Apologetic Web Page, diakses 30 Nov. 2006 - ^ Ware, Kallistos. "The Great Schism". The Orthodox Church. Diakses tanggal 2006-12-02.
Gereja Timur mengakui Paus sebagai uskup yang pertama di dalam Gereja, tetapi menganggapnya sebagai yang pertama di antara yang sederajat.
- ^ 2 Korintus 11:13-15; 2 Petrus 2:1-17; 2 Yohanes 7-11; Yudas 4-13
- ^ Kisah 15:1-2
- ^ "It is our desire that all the various nations which are subject to our clemency and moderation should continue to the profession of that religion which was delivered to the Romans by the divine Apostle Peter, as it has been preserved by faithful tradition and which is now professed by the Pontiff Damasus and by Peter, Bishop of Alexandria, a man of apostolic holiness. ... We authorize the followers of this law to assume the title Catholic Christians; but as for the others, since in our judgment they are foolish madmen, we decree that they shall be branded with the ignominious name of heretics, and shall not presume to give their conventicles the name of churches." Halsall, Paul (1997). "Theodosian Code XVI.i.2". Medieval Sourcebook: Banning of Other Religions. Fordham University. Teks "diakses 19 Sept. 2006" akan diabaikan (bantuan);
- ^ MacCulloch, Diarmaid (2003). The Reformation: A History. Penguin Group. hlm. 412. ISBN 978-0-7139-9370-7.; MacCulloch adds "admittedly, that might not have been much consolation to those burned at the stake."; see also Kamen, Henry (1999). The Spanish Inquisition: A Historical Revision. Yale University Press. hlm. 59–60, 189–90, 203, 301. ISBN 0-300-07880-3.
- ^ "In view of the pastoral nature of the Council, it avoided any extraordinary statement of dogmas that would be endowed with the note of infallibility, but it still provided its teaching with the authority of the supreme ordinary Magisterium. This ordinary Magisterium, which is so obviously official, has to be accepted with docility, and sincerity by all the faithful, in accordance with the mind of the Council on the nature and aims of the individual documents" (Paus Paulus VI, at General Audience of 12 Januari 1966
- ^ "The use of the Latin language, with due respect of particular law, is to be preserved in the Latin rites. But since the use of the vernacular, whether in the Mass, the administration of the sacraments, or in other parts of the liturgy, may fequently be of great advantage to the people, a wider use may be made of it, especially in ... It is for the competent territorial ecclesiastical authority ... to decide whether, and to what extent, the vernacular language is to be used" (Sacrosanctum Concilium, 36).
- ^ Pope Paul VI (1963). "Sacrosanctum Concilium, 2". Vatican. Diakses tanggal 2006-09-15. ; Catechism of the Catholic Church 1068-69
- ^ Catechism of the Catholic Church, 1423-1424
- ^ Catechism of the Catholic Church 2558
- ^ Joseph Card. Ratzinger, Alberto Bovone (1992). "Surat kepada para uskup Gereja Katolik mengenai beberapa aspek dari Gereja yang difahami sebagai Komuni, 9". Vatican. Diakses tanggal 2006-09-15.
- ^ Lumen Gentium §8
- ^ Lumen Gentium §26
- ^ "Kanon 42". Kitab Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur.
- ^ "Kanon 375". 1983 Kitab Hukum Kanonik. Vatican.
- ^ Committee on the Diaconate. "Frequently Asked Questions About Deacons". United States Conference of Catholic Bishops.
- ^ cf. Code of Canon Law, canon 11
- ^ Circular Letter 10279/2006 of 13 March 2006 from the Pontifical Council for Legislative Texts to Presidents of Episcopal Conferences (Canon Law Society of America)
- ^ "J.L. Heilbron". London Review of Books. Diakses tanggal 2006-09-15.
- ^ Lindberg, David (2003). When Science and Christianity Meet. University of Chicago Press. ISBN 0-226-48214-6.
- ^ Goldstein, Thomas (1995). Dawn of Modern Science: From the Ancient Greeks to the Renaissance. Da Capo Press. ISBN 0-306-80637-1.
- ^ Pope John Paul II (1998). "Fides et Ratio (Faith and Reason), IV". Diakses tanggal 2006-09-15.
- ^ Choupin, Valeur des Decisions Doctrinales du Saint Siege
- ^ "How the Catholic Church Built Western Civilization". Catholic Education Resource Center. 2005.
- ^ Boffetti, Jason (2001). "Tolkien's Catholic Imagination". Crisis Magazine. Morley Publishing Group.
- ^ Voss, Paul J. (2002). "Assurances of faith: How Catholic Was Shakespeare? How Catholic Are His Plays?". Crisis Magazine. Morley Publishing Group.
- ^ de Torre, Fr. Joseph M. (1997). "A Philosophical and Historical Analysis of Modern Democracy, Equality, and Freedom Under the Influence of Christianity". Catholic Education Resource Center.
- ^ Schumpeter, Joseph (1954). History of Economic Analysis. London: Allen & Unwin.
- ^ "Review of How the Catholic Church Built Western Civilization by Thomas Woods, Jr". National Review Book Service. Diakses tanggal 2006-09-16.
- ^ Risse, Guenter B (1999). Mending Bodies, Saving Souls: A History of Hospitals. Oxford University Press. hlm. 59. ISBN 0-19-505523-3.
- ^ Walsh, James Joseph (1924). The world's debt to the Catholic Church. The Stratford Company. hlm. 244.
- ^ von Pastor, Ludwig (1891). The History of the Popes from the Close of the Middle Ages (Volume V). B. Herder. hlm. 65. cf. Luther, Martin. (1967). Luther's Works, American Edition, 55 vols. Helmut T. Lehmann, Theodore G. Tappert, editors, Concordia Publishing House and Fortress Press, Table Talk, vol. 54, p.296, No. 3930, ( recorded by Anthony Lauterbach, August 1, 1538 ). ISBN 0-8006-0354-0
- ^ Catholic League for Religious and Civil Rights (2004). "Sexual Abuse in Social Context: Catholic Clergy and Other Professionals". Diakses tanggal 2006-09-16.
- ^ Bono, Agostino. "John Jay Study Reveals Extent of Abuse Problem". Catholic News Service.
- ^ "Canon 1395". Code of Canon Law. Vatican.
- ^ Nama "Gereja Katolik" mengandung kerancuan, karena Gereja ini bukanlah satu-satunya lembaga yang menyatakan dirinya sebagai Katolik. Gereja ini disebut dan menyebut diri sendiri dengan berbagai cara, sesuai kondisi sekitarnya. Kata Yunani καθολικός (katholikos), asal dari kata "Katolik", artinya "universal".[1] Kata ini pertama kali digunakan untuk menyebut Gereja Kristen pada awal abad ke-2.[2] Pasca Skisma Akbar, Gereja Barat menggunakan nama "Katolik", sementara Gereja Timur menggunakan nama "Ortodoks".[3] Pasca Reformasi pada abad ke-16, Gereja yang berada dalam persekutuan dengan Uskup Roma menggunakan nama "Katolik" untuk membedakan dirinya dari berbagai Gereja Protestan.[3] Nama "Gereja Katolik", bukannya "Gereja Katolik Roma", adalah nama yang biasa digunakan Gereja ini dalam dokumen-dokumennya. Nama ini digunakan pada judul dari Katekismus Gereja Katolik.[4] Nama ini pula yang digunakan Paus Paulus VI tatkala menandatangani dokumen-dokumen Konsili Vatikan Kedua.[5][6][7] Khususnya di negara-negara berpenutur Bahasa Inggris, Gereja ini biasa disebut Gereja Katolik "Roma"; pada kesempatan-kesempatan tertentu Gereja ini juga menyebut diri dengan sebutan tersebut.[8] Pada beberapa waktu, sebutan ini dapat membedakan Gereja ini dengan gereja-gereja lain yang juga menyatakan diri Katolik. Istilah ini pun digunakan di judul dokumen-dokumen yang menyangkut hubungan-hubungan ekumenis. Meskipun demikian, nama "Gereja Katolik Roma" tidak disukai oleh banyak umat Katolik yang menganggapnya sebagai sebuah label yang disematkan pada mereka oleh pihak lain yang bermakna bahwa Gereja mereka hanyalah salah satu dari beberapa gereja katolik, dan bermakna bahwa kesetiaan mereka pada Sri Paus dalam satu lain hal menjadikan mereka dipandang tak layak dipercaya.[9] Dalam gereja ini, nama "Gereja Roma", dalam makna tersempitnya, berarti Keuskupan Roma.[10][11]
- ^ Buku tahunan kepausan 2007 menyatakan bahwa ada 1,115 miliar umat Katolik di seluruh dunia.[12] Data CIA juga memberikan perkiraan serupa.[13]
Membandingkan jumlah keanggotaan yang diklaim oleh Gereja Katolik dengan statistik-statistik yang tersedia mengenai gereja-gereja Kristen lainnya menimbulkan kesulitan-kesulitan metodologis karena tidak terdapat definisi yang sama tentang keanggotaan untuk semua denominasi Kristen. Ada sebuah rentang estimasi yang menyebutkan bahwa warga Gereja Katolik merupakan 50% [14] dari jumlah umat Kristiani di seluruh dunia.
Daftar pustaka
- "Catechism of the Catholic Church". Libreria Editrice Vaticana. 1993.
- "Compendium of the Catechism of the Catholic Church". Libreria Editrice Vaticana. 2005.
- "Annuarium Statisticum Ecclesiae (Annual Church Statistics)". EWTN. 2004. Diakses tanggal 2006-09-14.
- Carroll, Warren (2004). History of Christendom. Christendom Press. ISBN 0-931888-21-2. 4 Volumes.
- Central Statistics Office (2006). Annuario Pontificio. Libreria Editrice Vaticana. ISBN 88-209-7806-7.
- Crocker, III, H. W. (2001). Triumph: The Power and the Glory of the Catholic Church: A 2,000-Year History. Prima Lifestyles. ISBN 0-7615-2924-1.
- Herbermann, Charles G.; et al. (1913). "Catholic Encyclopedia". Encyclopedia Press.
- Hughes, Philip (1947). A History of the Church: The World in Which the Church Was Founded. Sheed & Ward. ISBN 0-7220-7981-8.
- Miller, Adam S. (1997, 2006). The Roman Catholic Church: A Divine Institution or a Human Invention?. Tower of David Publications.
- Woods, Jr., Thomas (2005). How the Catholic Church Built Western Civilization. Regnery Publishing. ISBN 0-89526-038-7.
Pranala luar
- (Indonesia) Kitab Hukum Kanonika Bahasa Indonesia
- (Indonesia) Katekismus Gereja Katolik Bahasa Indonesia
- (Indonesia) Statistik Gereja Katolik Indonesia
- (Inggris) Vatican: the Holy See situs web resmi Vatikan
- (Inggris) Catholic Hierarchy Informasi mengenai para uskup Katolik dan keuskupan-keuskupan
- (Inggris) The Cardinals of the Holy Roman Church Informasi mengenai para Kardinal Gereja Katolik
- (Inggris) Global Catholic Statistics: 1905 and Today oleh Albert J. Fritsch, SJ, PhD
- (Inggris) Catholic Answers Salah satu dari apostolat-apostolat apologetika dan evangelisasi Katolik terbesar yang dikelola oleh umat awam
- (Inggris) Mary Foundation CD gratis berisi ringkasan ajaran Gereja Katolik mengenai Misa, Maria, dst.
- (Inggris) American Catholic Pertanyaan-pertanyaan Gereja Katolik - FAQ mengenai Katolisisme
- (Inggris) Catholic Wiki - Sebuah situs orthodox wiki yang dibaktikan bagi pengumpulan limpahan informasi mengenai Gereja Katolik
- (Inggris) MassTimes -Sebuah database komprehensif dari semua Gereja dan Misa Katolik di seluruh dunia
- (Inggris) ParishesOnline - U.S. directory of the Catholic Church.