Balad, Dukupuntang, Cirebon

desa di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Revisi sejak 16 September 2014 09.48 oleh 202.152.161.231 (bicara)

Balad adalah desa di kecamatan Dukupuntang, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.

Balad
Kantor kepala desa Balad
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Barat
KabupatenCirebon
KecamatanDukupuntang
Kode Kemendagri32.09.16.2005 Edit nilai pada Wikidata
Luas-90030Ha
Jumlah penduduk-
Kepadatan-


Asal Usul Desa Balad

Asal - Usul Desa Balad


Balad berarti wadah atau tempat menampung/berkumpul, sedangkan arti yang lain Berasal dari kata bala yang berarti prajurit, pasukan perang kerajaan. Jadi Balad mengandung arti tempat penampungan atau berkumpulnya para wadyabala/ bala tentara yakni prajurit perang kerajaan. Namun ada lagi yang mengatakan nama Balad diambil dari asal kata Balad, bahasa arab yang berarti “Negara”, karena identik dengan tempat berkumpulnya para wali, para sesepuh, sultan dari kesultanan Cirebon serta tempat berkumpulnya para wadyabala gabungan (para prajurit perang kerajaan) Demak, Kuningan dan Kerajaan Cherbon pada waktu terjadinya perang Raja Galuh dengan Kerajaan Cherbon. Pada jaman dahulu Baladf termasuk wilayah pesanggrahan Waru Gede, yaitu kekuasaan Nyi Mas Pakungwati. Pada Tahun 1470 M, Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah dari Negeri Mesir, selang satu tahun kedatangannya di bumi Cerbon, beliau menikah dengan Nyi Babadan putrid Ki Gedeng Babadan penguasa asal Galuh. Pada Tahun 1475 M, beliau menikah dengan Nyi Kawung Anten, adik dari Bupati Banten. Pada Tahun 1478, menikah lagi dengan putrid kesayangan Pangeran Cakrabuana yaitu Nyi Mas Pakungwati yang memiliki kepribadian terpuji, tutur kata, sikap prilaku dan perbuatannya menunjukkan keteladanan hidup bagi seorang wanita pada zaman itu. Pada Tahun 1481 M, Syarif Hidayatullah menikah dengan Ong Thien putrid Kaisar Yu Wang Lo dari negeri China yang berganti nama Ratu Mas Rara Sumanding. Tahun 1485 beliau menikah lagi dengan Nyai Lara Baghdad, adik dari Syarif Abdurahman (Pangeran Panjunan) yang masih ada garis keturunan dengan Syarif Abdullah, ayahanda Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah juga menikah lagi dengan Nyai Tepasari, putrid Ki Gedeng Tapasari pembesar Majapahit. Dari pernikahannya dengan Nyi Mas Tepasari dikaruniai 2 orang anak yaitu Ratu Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean). Bertitik tolak dari permasalahan rumah tangga inilah, Nyi Mas Pakungwati memutuskan pergi meninggalkan Keraton Cirebon menuju Banten untuk mencari ketenangan lahir batin dengan membawa emban yang setia mendampingi perjalanannya. Setelah beberapa lama tinggal di Banten beliau kembali ke Cirebon, namun tidak langsung ke Istana Pakungwati tapi singgah di sebuah pedukuhan bernama Duku Demit (Cidemit) yang saat itu ada seorang kyai sedang babad alas yaitu Ki Maujud (Ki Gede Waru) dari Pajaran. Ki Maujud menyambutnya dengan sukacita. Ketika sedang berada di Cidemit, pembantu Nyi Mas Pakungwati sedang hamil tua dan akan melahirkan. Beliau mencari dukun bayi maka berjalanlah kea rah selatan sampai di suatu tempat pawongan/pembantu tadi melahirkan bayi kembar dua. Beberapa hari tinggal di sekitar tempat itu kea rah utara komplek Syech Umar al-Faqih disebut Kebuyutan Kramat Dukumalang. Dari Kebuyutan Kramat Duku Malang berjalan kea rah barat sambil mencari air ada orang ditanya tapi tidak mau menjawab malah pergi menghindar, terus ke utara dan menanyakan lagi dimana air/sumber air kepada seseorang dan memberitahukan serta mengantarnya sampai ke sumber air (Sumur Balad sekarang), akhirnya Nyi Mas Pakungwati berucap kelak di tempat ini ada 7 sumber mata air yang tidak akan mengalami kekeringan. Perjalanan diteruskan kea rah barat, utara sampai ke sebuah gubug panggung dan singgah untuk istirahat. Dengan kehadiran Nyi Mas Pakungwati di tempat itu menjadi harum namanya (banyak orang membicarakannya) sehingga disebut orang manggung wangi (Girinata sekarang). Perjalanan diteruskan kea rah timur sampai ke sungai, beliau dalam keadaan hati rundung /pundung/gundah gulana disebut sungai Cirundung (Kepunduan sekarang) dan terus kembali ke Pasanggrahan Waru Gede. Kanjeng Sinuhun mengajak Nyi Mas Pakungwati untuk kembali ke keraton Cerbon. Namun Nyi Mas Pakungwati masih tetap ingin tinggal di pesanggrahan Waru Gede, sehingga kanjeng sinuhun mengijinkannya dengan memenuhi kebutuhan baik alat-alat atau pun dayang-dayang dan para wadya bala secukupnya untuk mengawal dan menjaga keamanan. Babad hutan yang dilakukan Ki Gede Waru dengan alat sederhana membuat Nyi Mas Pakungwati berinisiatif membabat alas dengan cara dibakar. Ternyata hutan yang dibakar sampai ke Padabeunghar kecuali di Gunung Lingga (disana ada orang cina bernama Cang Kong Wak/Cangkoak). Wilayah pesanggrahan Waru Gede hasil bakar hutan meliputi: Pesanggrahan Waru, Kepunduan, Kedoya, Balad, Cangkoak, Dukupuntang, Cikalahang dan Padabeunghar. Saat perang Rajagaluh, dukuh Demit atau Cidemit adalah tempat strategis untuk menunaikan ibadah shalat bagi para wadyabala carbon, Kuningan dan Demak serta untuk mengatur siasat perang. Berkumpul di Cidemit yang selanjutnya disebut Balad. Pertempuran Pasukan Galuh dengan Pasukan Cerbon berlangsung di Desa Cipanas sekarang terjadi sangat sengit hingga akhirnya Rajagaluh kalah perang dan digabungkan dengan Cherbon pada tahun 1528. Duku Demit atau Cidemit menjadi wadah yakni tempat penampungan atau berkumpulnya bala tentara Cherbon, Kuningan dan Demak untuk melakukan ibadah shalat dan menyiapkan strategi perang, sekaligus sebagai tempat berkumpulnya para wali untuk musyawarah mengenai penyiaran agama Islam. Selanjutnya tempat tersebut menjadi Desa Balad