Niat Salat (Arab: نية الصلاة Niyyat as-Sholat) adalah sebuah konsep yang mengacu pada keinginan dalam hati, untuk melakukan suatu tindakan yang ditujukan hanya kepada Allah.[1]

Dua pendapat mengenai pelafalan niat

Pendapat pertama

Diantara sekelompok muslim ada yang melafalkan niat adapula yang tidak, dan menurut pendapat mayoritas ulama adalah tidak melafalkan.[2][3] Kemudian pendapat pertama ini diperkuat dengan hadits dari ‘Aisyah yang dinukilkan oleh Imam Syafi'i dan dicatat oleh Imam Muslim, Rasulallah memulai salat dengan takbir.[4] Abdullah bin Umar pun mengatakan hal yang sama.[5]

Qadhi Abu Rabi’ As Syafi'i seorang pembesar ulama bermahzab Syafi'i mengatakan, “Mengeraskan niat dan bacaan di belakang imam bukanlah bagian dari sunnah. Bahkan ini adalah sesuatu yang dibenci, jika ini mengganggu jamaah shalat yang lain maka hukumnya haram.”[6]

Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya.

Menurut pendapat pertama ini adalah setiap ibadah seharusnya mengikuti tuntunan dari Nabi Muhammad (اَلْاِتِّبَاعُ Al-Ittiba’). Maka setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan (bid'ah) oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah (Mukhlis).

Pendapat kedua

Pendapat kedua membolehkan adanya pelafalan niat dalam melaksanakan salat baik wajib ataupun sunnah. Pendapat ini dari ulama mazhab Syafi'i yang lainnya. Mereka menyatakan perlunya menyertakan pengucapan dalam niat shalat. Ulama itu adalah Syaikh Salim bin Samir Al-Hadlrami dan Syaikh Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi Al-Jawi, mereka berpendapat "...dan tempatnya niat adalah hati dan pengucapan niat hukumnya sunah..." Sementara alasannya hanya dengan penjelasan bahwa "Pengucapan niat dengan lisan untuk membantu kemantapan hati".[7]

Menurut pendapat kedua niat memiliki aspek niat, di antaranya itu ada 3 hal:

  1. Diyakini dalam hati;
  2. Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau bahkan menjadi ijma;
  3. Dilakukan dengan amal perbuatan.

Jadi niat akan lebih kuat bila ke tiga aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh saya berniat untuk salat, hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan niat untuk salat dan tubuhnya melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras.

Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya 'semantik' saja karena dengan berniat berati bersatu padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa serta cerdas. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik.

Referensi

  1. ^ World Faiths, Teach yourself - Islam by Ruqaiyyah Maqsood. ISBN 0-340-60901-X. Page 51
  2. ^ Al Qodhi Abu Ar Rabi Sulaiman Ibnu As Syafi’i, ia berkata: “Mengeraskan bacaan niat atau mengeraskan bacaan Qur’an di belakang imam, bukan termasuk sunnah, bahkan makruh hukumnya. Jika membuat berisik jama’ah yang lain, maka haram. Yang berpendapat bahwa mengeraskan niat itu hukumnya sunnah, itu salah. Tidak halal baginya atau bagi yang lain berbicara tentang agama Allah Ta’ala tanpa ilmu (dalil)”
  3. ^ Abu Abdillah Muhammad bin Al Qasim At Tunisi Al Maliki, ia berkata: “Niat itu termasuk amalan hati. Mengeraskannya bid’ah. Lebih lagi jika perbuatan itu membuat berisik orang lain”
  4. ^ Hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata: “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memulai shalatnya dengan takbir” (HR. Muslim, no.498)
  5. ^ Dari Abdullah bin Umar ia berkata: “Aku melihat nabi ﷺ memulai shalatnya dengan takbir, lalu mengangkat kedua tangannya.” (HR. Bukhari no.738).
  6. ^ (Al Qoulul Mubin, Hal.91).
  7. ^ Pendapat Syaikh Salim bin Samir Al-Hadlrami dan Syaikh Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi Al-Jawi tertuang dalam kitab Safinah hal. 19.

Pranala luar