Zaenal Ma'arif

politikus
Revisi sejak 12 Oktober 2014 09.35 oleh Ir Soeparno (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ''''Zaenal Maarif''' adalah wakil ketua DPR periode 2004 - 2007 Karir politik Zaenal Ma'arif melesat bak meteor. Kali pertama menikmati empuknya kursi DPR RI, dia...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Zaenal Maarif adalah wakil ketua DPR periode 2004 - 2007

Karir politik Zaenal Ma'arif melesat bak meteor. Kali pertama menikmati empuknya kursi DPR RI, dia langsung duduk di kursi wakil ketua DPR (2004-2009). Kemudian, pria kelahiran 14 September 1955, itu direcall DPP PBR dari keanggotaan DPR karena dililai membangkang kepada partai. Recall itu memaksanya melepas jabatan Wakil Ketua DPR, Juli 2007.

Riwayat organisasi yang dilakoninya boleh dibilang lebih banyak berkutat di daerah. Kecuali, menjadi wakil ketua Panwaslu pada 1997. Zaenal Ma'arif sebelumnya "hanya" pernah mencicipi kursi legislatif sebagai wakil ketua DPRD II Raja Kasunanan Surakarta, 1893-1939 Surakarta.

Aktivitas politiknya dimulai ketika Zaenal menjadi ketua biro hukum DPC Ketua Umum DPP PPP (1989-1994) PPP Solo. Karirnya kemudian naik menjadi sekretaris DPC Ketua Umum DPP PPP (1989-1994) PPP Solo, dan selanjutnya menjadi wakil ketua DPW Ketua Umum DPP PPP (1989-1994) PPP Jawa Tengah. Namun, dia gagal memperoleh kursi legislatif di Jawa Tengah saat Pemilu 1999.

Ketika terjadi gonjang-ganjing perpecahan di tubuh PPP pada 2003, Zaenal banting setir ikut bergabung menentang kepemimpinan Wakil Presiden Republik Indonesia Ketujuh (2001-2004) Hamzah Haz sebagai ketua umum partai berlambang ka'bah itu. Dia kemudian bergabung dengan beberapa temannya membentuk Partai Bintang Reformasi (PBR) pimpinan dai kondang Zainuddin M.Z.

Nah, keberadaannya di PBR ternyata membawa hoki. Ketika berlangsung pemilu 5 April 2004, Zaenal terpilih menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Sumut I.

Yang lebih tak menyangka lagi, begitu menjadi anggota DPR, Zaenal langsung menjadi wakil ketua DPR. Alumnus UGM itu menjadi pimpinan DPR bersama dengan Menko Kesra RI 2009-2014 Agung Laksono (FPG), Soetarjo Soerjogoeritno (FPresiden Republik Indonesia Kelima (2001-2004) PDIP), serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2009-2014) Muhaimin Iskandar (FKB). Padahal, dia hanya berasal dari partai kecil, yang memperoleh 14 kursi di parlemen.

"Jadi, saya ya tak menyangka. Ini benar-benar di luar dugaan dan benar-benar takdir," ucap Zaenal ketika kali pertama bersama pimpinan DPR berkonsultasi dengan Setjen MPR kemarin.

Zaenal menyadari, ketika masuk ke Senayan sebagai anggota DPR, dirinya hanya dari sebuah partai yang kecil. Karena itu, sejak awal, Zaenal mengambil sikap tahu diri untuk tak memajukan kadernya sebagai pimpinan DPR. Bahkan, diakomodasi untuk menjadi sebuah fraksi tersendiri pun sudah cukup.

Bintang keberuntungan itu diterima Zaenal ketika PPP "keluar" dari Koalisi Kebangsaan dan mencalonkan kadernya sebagai ketua DPR. Ketua Umum Partai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Golkar Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Akbar Tandjung selaku koordinator Koalisi Kebangsaan agak kalang kabut. Sejam sebelum pemilihan pimpinan DPR, Akbar menghubunginya. Zaenal yang saat itu menjadi ketua fraksi PBR ditawari menjadi calon wakil ketua DPR bersama calon yang lain dari Koalisi Kebangsaan. "Saya sempat tak percaya," ceritanya.

Zaenal juga seolah masih tak percaya, dia menjadi pimpinan DPR. Karena itu, Zaenal terlihat canggung saat memasuki ruang-ruang yang ada di gedung Nusantara III, tempat pimpinan DPR berkantor. "Nanti, Bapak menempati ruangan bekas ruang Pak Fatwa," terang seorang staf Setjen DPR. Staf itu kemudian mengantarkan Zaenal melihat ruang kerja yang sudah bersih dan masih kosong melompong itu.

Secara terus terang, Zaenal mengaku, dirinya belum memahami ruangan dan para staf DPR yang akan membantunya. Dia masih canggung mengenal seluk-beluk DPR. Bahkan, sebagai pimpinan DPR yang baru, Zaenal masih harus melakukan orientasi dan pembelajaran terlebih dahulu.

"Saya perlu waktu lima minggu terlebih dahulu untuk proses penyesuaian diri," kata Zaenal terus terang.

Kecanggungan Zaenal itu sangat kentara ketika melakukan rapat konsultasi dengan Setjen DPR kali pertama. Setelah rapat, dia minta ditunjukkan ruangan dan apa saja yang perlu dipersiapkan.

Jelang Dilantik pun Masih Numpang [1]

Di antara empat pemimpin DPR, Zaenal Ma'arif adalah yang paling fenomenal. Selain warna kehidupannya penuh kelokan memilukan, lompatan karir wong Solo ini bak meteor.

PERKENALANNYA dengan Jakarta dimulai pada 1983. Saat itu, lulusan FH UGM tersebut menjadi salah seorang tim pengacara Presiden NII H Adah Djaelani yang sedang diadili rezim Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Orde Baru. Sebagai anak muda, dia menapaki ibu kota dengan penuh idealisme.

"Sebagai pengacara, tapi ke mana-mana saya naik bus kota," ucapnya. Ongkos transportasi itu pun hasil pemberian seniornya, Mantan Jaksa, Advokat/Konsultan Hukum Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan. Sebagai pengacara kasus NII, Buyung dkk tidak dapat bayaran dari klien. Justru mereka dibayar negara Rp 100 ribu.

"Bayaran dari negara itu oleh Bang Buyung dikasihkan ke saya," kenangnya. Pada zaman itu, uang segitu terasa besar sekali nilainya. "Ya, cukup untuk ongkos bus kota dan makan beberapa bulan," ucapnya. Uang itu juga dipakai untuk ongkos pulang kampung ke Solo.

Bagaimana dengan penginapan? Yang satu ini, hingga jadi wakil ketua DPR pun, Zaenal Ma'arif masih nomaden. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. "Rumah dan keluarga saya tetap di Solo," katanya. Tercatat, setidaknya, delapan tempat tinggal sempat dia diami. Semuanya adalah di rumah orang lain, paling banter kediaman keponakan.

Rumah yang masih ditempati kemarin adalah milik rekannya, seorang tokoh Riau. Sejak dilantik sebagai anggota DPR, lelaki kelahiran Solo, 14 September 1955 itu menempati rumah di Jl Kerinci VIII No 14, Kampung Gunung, Kebayoran Baru, Jaksel. "Saya disuruh menempati rumah teman saya, ketua DPW PBR Riau," katanya.

Dari rumah 'pinjaman' itu, dia siap-siap lagi pindah ke daerah Kemanggisan, Jakbar. Rencananya, dia akan menempati sebuah rumah dinas milik DPR. Tapi, sifatnya sementara sebelum resmi memasuki rumah dinas jabatan lembaga tinggi negara di Jl Denpasar, Kuningan, Jaksel, awal Desember mendatang.

"Ya, begitulah risiko seorang nomaden," katanya. Masalah tempat tinggal adalah yang paling krusial baginya. Namun, dia tidak pernah merasa susah. Sebab, di mana pun dia bisa tinggal. "Terkadang saya nginap di hotel ikut teman. Kadang ada teman separtai yang kebetulan ke Jakarta. Saya bisa nebeng," ceritanya bersemangat. "Kadang juga nginap di teman Lihat Daftar Wartawan wartawan," tambahnya lagi. Kebiasaannya itu dia lakukan hingga setahun belakangan.

Sebenarnya, beberapa saat dia sempat mondok di rumah keponakannya di bilangan Tebet, Jaksel. Dia menumpang di saudaranya itu hingga beberapa hari sebelum pelantikan anggota DPR. Belakangan, dia memutuskan pindah dari sana karena rumah keponakannya itu sedang direnovasi. "Kalau dihitung, setidaknya, delapan kali saya nomaden di Jakarta."

Rumah yang definitif adalah tetap di Solo yang ditempati istri bersama tiga putranya, yaitu Iqbal Albana, 20; Faisal Dwi Purnomo, 17; dan Ahmad Hakim Pasarella, 13. "Jadi, selama berkiprah di Jakarta, saya ini bujangan," katanya sembari tersenyum. Istrinya hanya sesekali saja ke Jakarta ketika ada libur. "Istri saya tidak mungkin ikut ke Jakarta karena dia pegawai Pemkot Solo," tegasnya.

Jalan hidup sebagai nomaden di Jakarta tersebut dia nikmati sejak akhir 1999. Saat itu, dia diajak tiga tokoh PPP untuk hijrah ke ibu kota. Target utamanya adalah ikut memajukan PPP dengan mendorong agar KH Zainuddin M.Z. aktif di partai. Misi itu berhasil. Dia berhasil mendorong Zainuddin masuk DPP PPP, walaupun kemudian dirinya ikut menarik keluar dai sejuta umat tersebut untuk mendirikan partai baru bernama PBR (Partai Bintang Reformasi).

Zaenal sempat berkarir sebagai seorang pendidik. Bahkan, dia sempat mencapai karir sebagai sekretaris rektor di Universitas Pendiri Muhammadiyah 1912

Muhammadiyah Raja Kasunanan Surakarta, 1893-1939 Surakarta (UMS). Dia meninggalkan posisinya yang sudah mapan di salah satu kampus terkemuka di Kota Solo tersebut untuk mengikuti kata hatinya berkiprah dalam politik praktis.

PPP menjadi pilihan sebagai gerbang politiknya. Dia menjadi mitra kerja tokoh Solo, Mudrik Sangidoe, di DPC PPP Solo. Mudrik menjadi ketua, sedangkan Zaenal sebagai sekretaris. Kiprah politik itulah yang kemudian mengantarkan dirinya menjadi wakil ketua DPRD II Raja Kasunanan Surakarta, 1893-1939 Surakarta pada 1997-1999. Sebagai tokoh daerah, saat itu dia sudah dikenal sebagai "singa" parlemen. Pernyataan-pernyataannya terkenal sangat berani. Waktu itu, dia sudah nyaring berteriak agar ketua DPR/MPR cukup memakai mobil dinas Timor.

"Jadi, sebelum Pak Hidayat menyerukan tidak pakai Volvo, saya sudah lebih dulu," ujarnya sembari membuka buku berisi kliping koran yang memuat berita-berita seputar dirinya. Buku berisi kliping berita tersebut tampak sudah kucel karena memuat pemberitaan mulai 1980-an. "Istri saya yang bikin kliping ini," katanya.

Pada 1997, Zaenal juga sempat memusingkan pemerintah setelah mengampanyekan masyarakat Solo untuk tidak membayar tagihan listrik. Dia memprotes pelayanan PLN yang tidak profesional.

"Sebagai tokoh daerah, saya juga sempat melawan tokoh Jakarta," tegasnya. Hal tersebut terjadi pada 1999 menjelang pemilu. Kejadiannya adalah saat Ketua Umum Partai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Golkar Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Akbar Tandjung diuber-uber massa yang berusaha menolak kedatangannya ke Solo. Dalam kerusuhan itu, Zaenal berada di antara massa tersebut dan berusaha mendinginkan suasana. "Jadi, sebagai tokoh daerah, saya juga pernah melawan tokoh pusat," ujarnya.

Kini, atmosfer politik yang digelutinya sudah berubah. Dia tidak lagi menjadi tokoh daerah, melainkan salah satu tokoh kunci di Senayan. "Sejak kecil, tidak terbayangkan sama sekali bahwa saya akan menjadi pejabat tinggi negara," ungkapnya.

Sebagaimana bayangan anak kebanyakan, yang dicita-citakan adalah menjadi presiden. Sebab, pengetahuan tentang pejabat negara hanya presiden. "Sejak kecil saya terbiasa mendengarkan pidato Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno di radio," jelasnya.

Lalu, akankah dia berubah? Zaenal tampak seperti dulu. Ruang kantornya di lantai empat Gedung Nusantara III kompleks DPR/MPR terbuka bagi siapa pun. Setiap hari, tamunya datang silih berganti. Dia juga tidak menggunakan mobil dinas Volvo. "Saya ini kan tidak punya mobil di Jakarta. Karena itu, saya dipinjami mobil oleh wakil Sekjen DPR untuk dipakai sementara," ujarnya. Mobil tersebut adalah Toyota Camry.

Sebelum naik mobil pinjaman dari Setjen DPR, dia biasanya naik taksi. "Saya pilih naik taksi karena era naik bus kota sudah saya lakukan pada 1980-an," katanya.

Ke depan, sebagai wakil ketua DPR, dia berhak atas mobil dinas. Namun, sesuai anjuran Ketua MPR Hidayat Nurwahid, mobil dinas pimpinan DPR itu mungkin bukan Volvo.

"Saat bertemu presiden, Pak SBY juga bilang bahwa kemungkinan bukan Volvo. Prinsipnya, layak, aman, dan nyaman," tegasnya. Tapi, merek dan jenisnya kayak apa? Zaenal tidak mengetahuinya. Begitu juga dengan kebijakan penggunaan mobil dinas Volvo lama. "Saya tidak tahu," ujarnya.

Biografi Zaenal Maarif, Sang Pendobrak Dari Kalitan Diluncurkan pada hari Jum'at, 22 April 2005 | 10:59 WIB [2]

Empat hari menjelang muktamar Partai Bintang Reformasi (PBR), 26-28 April, Zaenal Maarif akan meluncurkan biografi politik bertajuk, "Sang Pendobrak Dari Kalitan" di sebuah hotel berbintang di Jalan Panglima Besar TKR/TNI Sudirman, selepas shalat Jum'at. Penerbitan buku ini sepertinya terkait dengan tekad Zaenal mengambil alih kemudi PBR dari K.H Zainuddin MZ.

Melalui buku setebal 217 halaman itu, Zaenal yang kini menjadi Wakil Ketua DPR, hendak memperkenal dirinya lebih jauh kepada publik tentang jati dirinya sebagai polikus. Dalam buku yang dibagi menjadi 9 bab itu, misalnya, diungkapkan perjalanan politik Zaenal bersama Mudrick Sangidu di Solo saat mengusung aliansi 'Mega-Bintang' dan menentang 'Kuningisasi' oleh Gubernur Jawa Tengah, Soewardi menjelang Pemilu 1997.

Mudrick menyebut Zaenal bak adiknya sendiri. Perbedaan sikap politik tak menjadikan hubungan keduanya renggang. "Saya menghormati dia ketika mendirikan PBR. Tapi saya tetap di PPP," ujarnya (hal 202).

Masih di halaman yang sama, Mudrick memuji sosok Zaenal sebagai Lihat Daftar Tokoh Politisi politisi yang tak lupa pada kampung halamannya. Zaenal, katanya, "Satu-satunya Lihat Daftar Tokoh Politisi politisi yang kalau pulang kampung tetap rajin menyambangi kelompok-kelompok dari berbagai partai."

Selain Mudrcik, Ketua DPR Menko Kesra RI 2009-2014 Agung Laksono, dan Ketua MPR Ketua MPR-RI 2004-2009 Hidayat Nur Wahid turut memberikan kesan-kesan mereka. Namun, entah kenapa Ketua Umum PBR Zainuddin MZ justru tak turut memberikan kesan-kesannya.

Selain Zaenal, sejauh ini yang disebut-sebut masuk bursa pencalonan ketua umum PBR adalah Djafar Badjeber (Sekjen PBR), Bursah Zarnubi (Ketua PBR dan Ketua F-PBR di DPR), serta Ade Daud Nasution (Ketua PBR yang juga Lihat Daftar Tokoh Pengusaha pengusaha).

Zaenal Ma'arif Mundur Bursah Harapkan Keputusan Hanya Sementara, tetapi Siap Gantikan

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>

  1. ^ Indo Pos 31 Oktober 2004: Hidup Nomaden
  2. ^ TEMPO Interaktif, Jakarta