Melayu-Makassar merupakan orang-orang Melayu (Johor, Minangkabau, dan Pattani) yang melakukan migrasi ke Sulawesi Selatan sejak tahun 1490. Perantau-perantau ini akhirnya melahirkan keturunan yang berperan di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, Riau, dan Semenanjung Malaysia.

Awal Kedatangan Orang Melayu ke Sulawesi

Pada tahun 1542, Antonio de Paiva seorang petualang Portugis mendarat di Siang, sebuah kerajaan tua di pesisir selatan Makassar. De Paiva menyatakan ketika mendarat ia telah bertemu orang Melayu di Siang. Mereka mendiami perkampungan Melayu dengan susunan masyarakat yang teratur sejak 1490.[1] Manuel Pinto yang mengunjungi Siang pada tahun 1545, menyatakan bahwa orang Melayu di Siang berjumlah sekitar 40.000 jiwa. Pada zaman pemerintahan Karaeng Tumaparisi Kallonna (1500-1545), orang Melayu sudah mendirikan pemukiman di Mangallekana, sebelah utara Somba Opu ibu kota kerajaan Gowa. Pada masa Karaeng Tunipallangga, orang Melayu mengutus Datuk Nakhoda Bonang menghadap raja Gowa agar Mangallekana diberi hak otonomi.

Peran Melayu di Sulawesi

Sejak kedatangan orang Melayu ke kerajan Gowa, peranannya tidak hanya sebagai pedagang dan ulama, tetapi juga memengaruhi kehidupan sosial dan politik kerajaan. Besarnya jumlah dan peranan orang Melayu di kerajaan Gowa, menyebabkan raja Gowa XII Karaeng Tunijallo (1565-1590) membangun sebuah mesjid di Mangallekana untuk orang Melayu, sekalipun raja belum memeluk Islam.[2] Dalam struktur kekuasaan kerajaan Gowa, banyak orang Melayu memegang peranan penting di istana kerajaan. Pada masa pemerintahan raja Gowa X (1546-1565), seorang keturunan Melayu berdarah campuran Bajau, Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai syahbandar kerajaan. Sejak saat itu secara turun temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu. Jabatan penting lainnya ialah sebagai juru tulis istana. Pada masa Sultan Hasanuddin (1653-1669), seorang Melayu Incik Amin menjadi juru tulis istana sekaligus penyair.

Peranan orang Melayu di kerajaan juga meliputi sastra dan pengajaran agama Islam. Beberapa naskah keagamaan dan karya-karya sastra diterjemahkan dari bahasa Melayu ke bahasa Bugis. Seperti Hikayat Rabiatul Adawiah, Hikayat Isma yatim, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Shahi Mardan Ali Al Murtada, Hikayat Puteri Jauhar Manikam. Tradisi intelektual berlanjut hingga abad ke-19 dengan penulisan ulang Sureg I Lagaligo oleh Ratna Kencana atau Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanete.

Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa sampai tahun 1615, roda perekonomian Sulawesi khususnya perdagangan antarpulau yang melalui pelabuhan Makassar dikuasai oleh orang Johor dan Pattani. Orang Melayu yang sudah bermukim di Sulawesi sejak berabad-abad lalu tetap memiliki hubungan dagang dengan negeri asalnya di tanah semenanjung dan kepulauan Riau. Sejak tahun 1511, pedagang Melayu telah membawa beras dari Sulawesi ke Malaka. Barulah pada tahun 1621, dibawah kekuasaan Daeng Manrabia Sultan Alauddin (1593-1639), orang Makassar mulai turut mengambil bagian yang penting di dunia perdagangan dan pelayaran Nusantara.

Percampuran Etnis

Tidak dapat diketahui pasti kapan orang Melayu Pattani dan Minangkabau mulai bermukim di Makassar. Beberapa sumber lokal menyatakan bahwa kedatangan orang Pattani dan Minangkabau tak lama setelah kejatuhan Malaka ketangan Portugis pada tahun 1511. Kehadiran Portugis di Malaka menyebabkan kepentingan orang Johor, Pattani, dan Minangkabau menjadi terganggu.

Datuk Leang Abdul Kadir dan Tuan Fatimah dikenal sebagai cikal bakal keluarga Melayu asal Pattani. Sedangkan Datuk Makotta dan Tuan Sitti merupakan cikal bakal keluarga Minangkabau. Di Makassar terjadi perkawinan antara orang Pattani dengan Minngkabau, yang ditandai dengan perkawinan Tuan Aminah, putri Leang Abdul Kadir dengan Tuan Rajja, putra Datuk Makotta. Perkawinan ini biasa diberi gelar incek. Kemudian terjadi pula perkawinan antara orang Melayu dengan orang Bajau, yang diberi gelar kare. Perkawinan antara kare dan incek, melahirkan generasi masyarakat Melayu-Makassar yang dikenal dengan sebutan tubaji (bahasa Makassar) dan tudeceng (bahasa Bugis). Sepanjang kurang lebih 150 tahun telah terjadi perkawinan campuran di antara para bangsawan Bugis-Makassar dengan orang-orang Melayu. Keturunannya tidak lagi menyebut diri sebagai orang Melayu, melainkan menyebut diri mereka juga sebagai orang Makassar atau orang Bugis namun bukan berarti bahwa Suku Bugis berasal dari percampuran antara 'kare' dan 'incek' karena jauh sebelum mereka datang bahasa Makassar telah dipergunakan.

Kembali ke Tanah Melayu

Ketika terjadi ketegangan antara kerajaan Gowa dengan VOC dalam memperebutkan dominasi ekonomi di Indonesia timur sejak awal abad ke-17, orang Melayu dan Jawa yang bekerja pada kantor-kantor asing mendapat pukulan yang berat. Kerajaan sangat curiga pada orang Melayu yang berkarya untuk kegiatan perdagangan Belanda di Makassar. Kecurigaan ini mencapai puncaknya ketika kerajaan Gowa kalah dalam perang Makassar (1667-1669) yang mengakibatkan mereka diusir dari kerajaan. Perang Makassar memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya yang sangat merugikan Gowa. Akibat perjanjian ini, orang Melayu yang menduduki jabatan di kerajaan bersama orang Makassar lainnya ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu.

Tokoh

Catatan

  1. ^ Pelras, Christian (1983). Sulawesi Selatan sebelum datangnya Islam berdasarkan kesaksian Portugis dalam citra masyarakat Indonesia. Jakarta: YRS. 
  2. ^ Daeng Patunru, Abdul Razak (1988). Sejarah Gowa. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. 

Pranala luar