Peristiwa Talangsari 1989
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Kasus Talangsari Lampung
Peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi
selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari
penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985
tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir
setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.
Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan
melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di dusun
Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung
Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Situasi menjadi tidak
menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. Berturut-turut
pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang
sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah
setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh
Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa
didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabibuta
terhadap jema’ah dan setelah kehabisan peluru, jema’ah yang tadinya bertahan balik
menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman.
Kemudian pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang
dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Dampak
dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45
orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang,
peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173
orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar
oleh ABRI. Setelah peristiwa itu, digelar peradilan untuk mengadili para jama;ah
yang tertangkap dan ditahan. Peradilan diantarnya digelar di Tanjung Karang
Lampung, Jakarta, Jawa Tengah dan Lombok Nusa Tenggara Barat. Rata-rata
Jema’ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043 Garuda
Hitam Bandar Lampung, LP Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan dan
tempat-tempat lainnya. Hukuman tertinggi adalah seumur hidup dan sejak reformasi
bergulir 1998 seluruh tahanan sudah dibebaskan.