Peristiwa Talangsari 1989

Kasus Talangsari Lampung

Peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi 

selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari 

penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 

tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang 

Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir 

setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila. 

Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan 

melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di dusun 

Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung 

Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Situasi menjadi tidak 

menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. Berturut-turut 

pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang 

sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah 

setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh 

Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa 

didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabibuta 

terhadap jema’ah dan setelah kehabisan peluru, jema’ah yang tadinya bertahan balik 

menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman. 

Kemudian pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang 

dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Dampak 

dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45 

orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, 

peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 

orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar 

oleh ABRI. Setelah peristiwa itu, digelar peradilan untuk mengadili para jama;ah 

yang tertangkap dan ditahan. Peradilan diantarnya digelar di Tanjung Karang 

Lampung, Jakarta, Jawa Tengah dan Lombok Nusa Tenggara Barat. Rata-rata 

Jema’ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043 Garuda 

Hitam Bandar Lampung, LP Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan dan 

tempat-tempat lainnya. Hukuman tertinggi adalah seumur hidup dan sejak reformasi 

bergulir 1998 seluruh tahanan sudah dibebaskan.