Gua Maria Pohsarang

gua di Indonesia

Gua Maria "Pohsarang", sering juga disebut "Puhsarang" ataupun "Poh Sarang" atau yang dikenal juga dengan nama gua Maria Lourdes Pohsarang adalah merupakan salah satu tujuan para peziarah dari kalangan umat Katolik, yang terletak di kompleks gereja Pohsarang, yang terletak di Pohsarang yaitu sebuah desa yang berada wilayah Kecamatan Semen, sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri. Pada kompleks gereja yang lama terdapatlah miniatur gua Maria Lourdes yang dikemudian hari oleh karena terlalu kecil bentuknya maka pada tanggal 11 Oktober 1998, dimulailah pembangunan gua Lourdes yang merupakan tiruan atau replika Gua Maria Lourdes yang ada di Perancis. Dinamakan Gua Maria Lourdes sebab dalam Gereja yang lama terdapat tiruan gua Lourdes dalam bentuk yang kecil. Di seputar patung yang kecil dalam gua pertama tertulis tulisan di atas kuningan dengan menggunakan bahasa Jawa ejaan lama: Iboe Maria ingkang pinoerba tanpa dosa asal, moegi mangestonana kawoela ingkang ngoengsi ing Panjenenengan Dalem. (Bunda Maria yang terkandung tanpa noda dosa asal, semoga berkenan merestui aku yang datang berlindung kepada Engkau)

Patung Maria yang terdapat di Gua Maria Lourdes Pohsarang ini merupakan replika atau tiruan dari patung Maria Lourdes, yang terbuat dari semen kemudian dicat berwarna bagian luarnya. Patung itu lebih tinggi dari contoh aslinya yang hanya 1,75 meter dimana patung Maria yang sekarang ini tingginya 3,5 meter dan kalau dihitung dari alas kakinya patung ini tingginya dari bawah menjadi 4 meter.

Patung ini dibuat lebih besar dari contohnya sebab disesuaikan dengan besarnya gua yang tingginya mencapai hampir 18 meter.

Arsitektur gereja

Gereja Katolik di Pohsarang didirikan oleh Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936 atas permintaan pastor paroki Kediri pada waktu itu, Pastor H. Wolters, CM. Insinyur tersebut juga menangani pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit.

Bangunan gereja Pohsarang mirip dengan bangunan museum Trowulan yang sudah hancur karena tidak terawat dan ketiadaan dana perawatan pada tahun 1960, maka dengan melihat gereja sekarang kita bisa membayangkan bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala.

Pastor Wolters, CM, lah yang meminta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Pohsarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu.

Kompleks gereja Pohsarang merupakan suatu usaha untuk menampilkan iman kristiani dan tempat ibadat katolik dalam budaya setempat. Banyak orang berpendapat bahwa bangunan yang dibuat di Pohsarang indah dan unik serta merupakan karya monumental yang patut untuk dipelihara dan dijaga agar jangan musnah seperti museum Trowulan.

Gereja Pohsarang yang menampilkan gaya Majapahit tapi dikombinasikan dengan gaya dari daerah lain dan iman kristiani. Yulianto Sumalyo dalam buku yang berjudul `Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993" menulis mengenai gereja Puh Sarang sebagai berikut : "Seperti pada bangunan Trowulan, Tegal dan lain-lain untuk membangun gereja Pohsarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Maclaine Pont menggunakan juga buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada saat membangun museum.

Gereja yang sarat dengan simbolisme ini merupakan suatu karya arsitektur yang sangat berhasil dilihat dari berbagai segi: mulai dari lokasi, tata massa, bahan bangunan, struktur dan ten tu saja fungsi dan keindahannya. Semua aspek termasuk budaya setempat dan filsafat agama dipadukan dalam bentuk arsitektur dengan amat selaras"

Lihat juga

Pranala luar