Kabupaten Wajo

kabupaten di Indonesia, di pulau Sulawesi

Kabupaten Wajo adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sengkang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.056,19 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 400.000 jiwa.

Kabupaten Wajo
Daerah tingkat II
Motto: 
Maradeka Towajoe Adena Napopuang
Peta
Peta
Kabupaten Wajo di Sulawesi
Kabupaten Wajo
Kabupaten Wajo
Peta
Kabupaten Wajo di Indonesia
Kabupaten Wajo
Kabupaten Wajo
Kabupaten Wajo (Indonesia)
Koordinat: 4°07′35″S 120°01′55″E / 4.1264°S 120.0319°E / -4.1264; 120.0319
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Selatan
Tanggal berdiri-
Dasar hukum-
Ibu kotaSengkang
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kecamatan: 14
  • Kelurahan: 176
Pemerintahan
 • BupatiDrs. Andi Burhanuddin Unru, M.M.
Luas
 • Total2.056,20 km2 (79,390 sq mi)
Populasi
 ((BPS 2010))
 • Total385.109
Demografi
Zona waktuUTC+08:00 (WITA)
Kode BPS
7313 Edit nilai pada Wikidata
Kode area telepon0485
Kode Kemendagri73.13 Edit nilai pada Wikidata
APBD-
DAURp. 592.275.827.000.-
Situs webwww.wajokab.go.id

Sejarah

Pembentukan Kerajaan Wajo

Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu.

Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan bersepakat membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.

Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh.

Saat beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru, hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.

Perkembangan Kerajaan Wajo

Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami masa keemasan pada zaman La Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam.

Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani Perjanjian Bungayya.

Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka.

Setelah Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo yang merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah.

Hingga saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo, Arung Peneki, Arung Sengkang, Sultan Pasir, beliaulah yang memerdekakan Wajo sehingga mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang memerdekakan Wajo).

Kontroversi

Arung Matowa Wajo masih kontroversi, yaitu:

  • Versi pertama, pemegang jabatan Arung Matowa adalah Andi Mangkona Datu Soppeng sebagai Arung Matowa Wajo ke-45, setelah beliau terjadi kekosongan pemegang jabatan hingga Wajo melebur ke Republik Indonesia.
  • Versi kedua hampir sama dengan yang pertama, tetapi Ranreng Bettempola sebagai legislatif mengambil alih jabatan Arung Matowa (jabatan eksekutif) hingga melebur ke Republik Indonesia.
  • Versi ketiga, setelah lowongnya jabatan Arung Matowa maka Ranreng Tuwa (H.A. Ninnong) sempat dilantik menjadi pejabat Arung Matowa dan memerintah selama 40 hari sebelum kedaulatan Wajo diserahkan kepada Gubernur Sulawesi saat itu, yaitu Bapak Ratulangi.

Dari Kerajaan Menjadi Kabupaten

Politik Pasifikasi yang dilancarkan Belanda, memaksa semua kerajaan di Sulawesi Selatan untuk tunduk. Dua sasaran utama Belanda, yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Saat itu Kerajaan Wajo bersekutu dengan Kerajaan Bone. Wajo mengirim pasukan yang dipimpin oleh Jenerala Cakunu dan La Mappa Daeng Jeppu untuk membantu Kerajaan Bone. Pasukan gabungan berbagai kerajaan sekutu Bone dan Bone akhirnya kalah. Belanda kemudian berperang melawan Ranreng Tuwa. Arung Matowa saat itu, Ishak Manggabarani dipaksa oleh Belanda untuk membayar Sebbu Kati yaitu denda perang dan menandatangani perjanjian pendek. Isi dari Perjanjian pendek tersebut (Korte Veklaring) adalah tunduknya kerajaan lokal (wajo) pada pemerintah Belanda

Belanda kemudian menjadikan Wajo sebagai Onder Afdeling dengan ibukota Sengkang. Saat itu, terjadi pemindahan ibukota dari Tosora ke Sengkang. Onder Afdeling Wajo (ibukota Sengkang) bersama Onder Afdeling Bone (ibukota Watampone) dan Onder Afdeling Soppeng (ibukota Watangsoppeng) dibawahi oleh Afdeling Bone (ibukota Pompanua). Sedang Afdeling Bone merupakan salah satu dari beberapa Afdeling (Makassar, Gowa, Bonthain, Pare-pare, Palopo) yang dibawahi oleh Provinsi Groote Oost. Sedang Provinsi Groote Oost dibawahi oleh pemerintah Hindia Belanda. Adapun Onder Afdeling Wajo, membawahi 4 distrik yaitu, Distrik Majauleng, Distrik Sabbamparu, Distrik Takkalalla, dan Distrik Pitumpanua. Tiap Distrik membawahi Wanua.

Pejabat Belanda terendah adalah Petor. Petor Wajo adalah CC. Claysen. Petor Wajo membawahi Zelf Bestuur Van Wadjo (pemerintah lokal wajo) yang mengacu pada struktur pemerintahan kerajaan Wajo. Namun diubah mengikuti sistem Hindia Belanda sebagai berikut

Arung Matowa : Andi Oddang Pero (Kepala Zelf Bestuur)

Ranreng Bettempola : Andi Makkaraka (Kepala Dinas Pekerjaan Umum/Kepala Distrik Majauleng)

Ranreng Talotenreng : Andi Makkulawu (Kepala Distrik Sabbamparu)

Ranreng Tuwa : Andi Ninnong (Kepala Distrik Takkalalla)

Pabbate Pilla : Andi Pallawarukka

Pabbate Patola : Andi Cella

Pabbate Cakkuridi : Andi Batari

Setelah Konferensi Meja Bundar, pemerintahan transisi disebut KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). Masa ini berlaku antara tahun 1950-1957. Adapun KPN yaitu

1. Andi Pallawarukka Eks Pilla Wajo

2. Andi Magga Amirullah Eks Sullewatang Ugi

3. Andi Pallawarukka Eks Pilla Wajo

Pada tahun 1957, Wajo resmi menjadi Kabupaten dengan Bupati Pertama yaitu Andi Tanjong. Wajo yang dulunya terbagi 4 distrik kemudian menjadi 10 sebagai berikut

A. Majauleng, dimekarkan menjadi

1. Majauleng

2. Tempe

3. Tanasitolo

4. Belawa

5. Maniangpajo

B. Sabbamparu, dimekarkan menjadi

6. Sabbamparu

7. Pammana

C. Takkalalla, dimekarkan menjadi

8. Takkalalla

9. Sajoanging

D. Pitumpanua

10. Pitumpanua

Pada tahun 2000, terjadi pemekaran kecamatan

Maniangpajo menjadi Maniangpajo dan 11.Gilireng

Takkalalla menjadi Takkalalla dan 12.Bola

Sajoanging menjadi Sajoanging dan 13. Penrang

Pitumpanua menjadi Pitumpanua dan 14. Keera

Referensi