Djalaludin Tantu
Djalaludin Tantu (lahir di Gorontalo, tanggal tidak diketahui - meninggal di (diduga) Selat Karimata, 2 September 1964) adalah seorang penerbang TNI-AU, yang gugur saat menjalankan tugas menerbangkan pesawat Hercules C-130B berkode ekor (tail code) T-1307 dalam misi penerjunan pasukan payung ke Kalimantan Utara (Malaysia) pada masa kampanye Dwikora. Namanya diabadikan sebagai nama pangkalan udara TNI-AU dan bandara di Gorontalo.
Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Pemuda Djalaludin bergabung dengan BKR Oedara pada saat bersama pemuda-pemuda Gorontalo lainnya merebut lapangan terbang Gorontalo yang masih dikuasai oleh Tentara Kekaisaran Jepang pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Selanjutnya Djalaludin tetap bergabung dengan TKR Djawatan Penerbangan (selanjutnya berubah menjadi TRI-Oedara) selama masa revolusi dan bergerilya di kampung halamannya. Setelah pengakuan kedaulatan, Djalaludin dikirim tugas belajar ke Sekolah Penerbang Kalijati di Subang. Setelah lulus, bersama 5 orang rekan seangkatannya, Djalaludin dikirim ke sekolah instruktur penerbang di Pangkalan Udara (Lanud) Tjililitan (sekarang Bandara dan Lanuma Halim Perdanakusuma) di Jakarta.
Setelah resmi menjadi prajurit TNI-AU pada tahun 1954, Djalaludin dgn pangkat Opsir Udara Tingkat 2 (setara Letnan Dua Udara saat ini) ditempatkan di Skuadron 2/Angkut yg mengoperasikan pesawat angkut Dakota DC-3 berpangkalan di Lanud Halim Perdanakusuma.
Masa Trikora
Pada saat kampanye Trikora merebut Irian Barat yang masih dikuasai Belanda, Djalaludin bertugas menerbangkan pesawat Dakota T-440 dari Skadron Udara 2/Angkut untuk menerjunkan pasukan di Papua dalam rangka Operasi Gajah Putih. Kapten Udara (Pnb) Djalaludin bertindak sebagai pilot didampingi copilot Letnan Udara Tiga (Pnb) Sukandar. Pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Laha (sekarang Lanud Pattimura) di Ambon pada tanggal 17 Mei 1962 sekitar pukul 02.00 waktu setempat dengan bantuan sorot lampu mobil untuk memandu di landasan. 2 pesawat Dakota DC-3 bernomor ekor T-440 dan T-480 dengan mulus mengangkasa menembus kegelapan menuju Kaimana untuk menerjunkan 27 orang prajurit Yon 454-BR/PARA,1 peleton PGT-AU, serta 30 koli barang dukungan logistik.
Usai menerjunkan pasukan, saat pesawat hendak kembali ke Pangkalan Udara Laha, tiba-tiba muncul pesawat Neptune M-273 Belanda. Satu keadaan yang sangat sulit dihadapi Kapten Djalaludin, lantara pesawat yang dikemudikannya memiliki kecepatan yang jauh lebih rendah dari kecepatan pesawat Neptune Belanda. Di samping itu, Dakota tidak bersenjata sama sekali. Tidak langsung menyerah begitu saja, Kapten Djalaludin beserta seluruh awaknya berusaha sekuat tenaga untuk bisa keluar dari situasi yang sulit ini. Dia segera menurunkan ketinggian pesawat sampai serendah mungkin yang bisa dicapainya. Demikian rendah sehingga percikan air laut sebagai akibat dari putaran baling-balingnya terlihat jelas dan bahkan sempat menghantam badan pesawat. Tidak sekadar terbang rendah, Kapten Djalaludin juga menerbangkanT-440 secara zigzag dalam upaya semaksimal mungkin menghindari tembakan.
Namun, sekali lagi karena memang sudah menjadi sasaran empuk bagi Neptune, tidak lama tembakan pesawat musuh pun tepat mengenai sayap dan tangki bahan bakar. Api menyala dan dengan cepat menjalar ke seluruh sayap dan badan pesawat. Dengan satu guncangan hebat, akhirnya pesawat pun tidak dapat dikendalikan lagi dan terpaksa mendarat darurat di atas laut (ditching) di perairan sebelah timur Batu Belah. Pada saat terakhir pesawat nahas ini masih sempat mengirim berita ke Dakota T-480 yang dikemudikan Kapten Udara (Pnb) Hamsana.
Dalam kepanikan yang mencekam saat-saat terakhir pesawat masuk laut, seluruh kru berhasil menyelamatkan diri keluar pesawat menggunakan perahu karet. Dari dua perahu karet yang ada, hanya satu yang masih dapat dipergunakan karena tertembus peluru Neptune. Dengan menggunakan perahu karet yang tersedia, awak pesawat berusaha menyelamatkan diri tetapi usaha mereka mengalami kegagalan yang akhirnya ditawan Belanda menggunakan kapal HNLMS Friesland.
Kapten Djalaludin beserta awak pesawat diangkut dengan kapal Belanda HNLMS Friesland menuju Fak-Fak dan dijebloskan dalam penjara. Pada hari keempat, mereka dibawa ke Kaimana menggunakan kapal kecil “Snelius” dalam keadaan diborgol tangannya. Untuk selanjutnya mereka dipindahkan ke penjara di Waena, Hollandia (sekarang Jayapura) menggunakan pesawat Dakota. Dalam penjara mereka dijaga sangat ketat, siang oleh Militaire Politie (MP), sedangkan malam hari oleh Marinir Belanda. Dari Hollandia mereka dipindahkan lagi ke penjara Angkatan Laut Belanda di Sorido, Biak, dan selanjutnya dipindahkan lagi ke penjara di Pulau Wundi, sebuah pulau kecil dekat Biak.
Setelah melalui perundingan-perundingan yang memutuskan adanya genjatan senjata antara pihak RI dengan Belanda, akhirnya Djalaludin beserta awak Dakota T-440 yang dipenjara di Pulau Wundi dibebaskan. Mereka kemudian diserahkan kepada pihak Indonesia dan diterbangkan ke Jakarta menggunakan pesawat Hercules C-130 milik UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Djalaludin dan awaknya dianugerahi Bintang Sakti oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963.
Masa Dwikora
Selepas kampanye Trikora, Djalaludin dimutasi ke Skuadron 31 yabg mengoperasikan pesawat Hercules C-130B. Dan pada tahun 1964, saat kampanye Dwikora, Mayor Udara (Pnb) Djalaludin ditugaskan ke perbatasan Kalimantan Barat - Sarawak untuk mendukung Operasi Antasari, menerbangkan Hercules C-130B berkode ekor T-1307 untuk menerjunkan pasukan PGT yg dipimpin oleh Letnan Kolonel Udara Soegiri Soekani pada 2 September 1964.
Pesawat Hercules T-1307 tersebut diawaki delapan orang, yaitu copilot Kapten Udara (Pnb) Alboin Hutabarat, navigator Mayor Udara Juamardi, Kapten Udara Suroso, Letnan Udara Satu Sukarno, Letnan Muda Udara I Sabil, Letnan Muda Udara I Sutopo, serta Letnan Muda Udara II M. Rukmana. Selesai operasi, dari 3 pesawat Hercules yg dikirim ke garis depan, hanya 2 pesawat yg berhasil kembali ke pangkalan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Pesawat T-1307 dinyatakan hilang kontak dan diperkirakan tercebur ke laut di sekitar perairan Selat Karimata akibat terbang rendah dalam upaya menghindari tangkapan radar lawan. Menurut salah satu sumber yang belum bisa dikonfirmasi, pesawat tersebut jatuh ditembak oleh pesawat Gloster Javelin RAF (AU Inggris) yg mendukung pasukan Federasi Malaysia di front Borneo Utara. Informasi ini masih disangkal oleh pihak RAF sampai saat ini, karena secara resmi RAF dan Angkatan Bersenjata Inggris tidak terlibat dalam konflik ini, meskipun ada laporan intelijen bahwa pesawat Gloster Javelin tsb mendarat di pangkalan AU Kuching dengan 1 rudal Firestreak-nya tidak ada lagi di tempatnya di sayap.
Seluruh penumpangnya dinyatakan gugur, termasuk Djalaludin Tantu, Kapten Pnb Alboin Hutabarat dan Letkol Udara Sugiri Sukani. Djalaludin dinaikkan pangkatnya 1 tingkat menjadi Letnan Kolonel Udara (Pnb) dan diabadikan namanya sebagai nama pangkalau udara (lanud) di Gorontalo, yg sekarang juga melayani penerbangan komersial seiring diresmikannya Propinsi Gorontalo.
Sepanjang kariernya yg relatif singkat di AURI, Djalaludin pernah bertugas sebagai Perwira Penerbang di Lanud Halim Perdanakusuma (1954), Perwira Penerbang Skadron Djawatan Angkutan Udara Militer (DAUM) (1955), bertugas ke Hongkong Air Craft Engineering (1958), Perwira Penerbang Skadron Udara 2 (1960), Perwira Instruktur tidak tetap 005 Transition (1962) serta Perwira WOPS 001 Halim/Skadron Udara 31 (1964).