Atambua
Kota Atambua adalah sebuah kotamadya di propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kota ini merupakan ibukota Kabupaten Belu yang lama (1958 - 2015). Kota ini akan dipimpin oleh seorang Walikota setelah telah dimekarkan. Sebagian besar masyarakatnya berbahasa Tetun, dan sebagian kecil berbahasa Kemak, Bunak, Dawan, Portugis.
Kota Atambua | |
---|---|
Daerah tingkat II | |
Simpang Lima Kota Atambua | |
Motto: Tegar Sejahtera | |
Berkas:Atambua map.jpg | |
Koordinat: 2°50′37″N 117°21′57.597198″E / 2.84361°N 117.36599922167°E | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Nusa Tenggara Timur |
Tanggal berdiri | 16 Januari 2015 |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar
|
Luas | |
• Total | 2,240,05 km2 (864,89 sq mi) |
Populasi ((2014)) | |
• Total | 74,903 |
• Kepadatan | 1,288/km2 (3,340/sq mi) |
Demografi | |
Zona waktu | UTC+08:00 (WITA) |
Kode area telepon | 0389 |
Situs web | www.atambua-ntt.go.id |
Kota yang terletak di daerah Timor Barat ini merupakan salah satu pusat penampungan pengungsi dari Timor Timur pada tahun 1999. Mayoritas penduduk Kota Atambua beragama Katolik, di mana Atambua juga merupakan sebuah Keuskupan. Keuskupan Atambua adalah salah satu keuskupan di Indonesia yang persentasi penganut Katoliknya sangat tinggi yakni 95% dari total jumlah penduduknya. Wilayah Keuskupan Atambua mencakup seluruh wilayah Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Total luas keuskupan ini mencapai 5.000 km persegi dan berpenduduk sekitar 650.000 ribu jiwa pada tahun 2008. Sementara itu Belu, dalam bahasa Tetun berarti sahabat atau teman, melandasi cita-cita masyarakat Belu untuk membangun Rai Belu dengan rasa kebersamaan dan rasa persaudaraan tanpa dibatasi sekat-sekat keanekaragaman yang ada, baik suku, agama maupun yang lainnya. Dengan persatuan dan persaudaraan, cita-cita untuk mewujudkan Belu Sejahtera akan tercapai.
Sejarah
Nama "Atambua" berasal dari kata Ata yang artinya hamba dan Buan yang artinya suanggi. Jadi Atambua artinya tempatnya hamba-hamba suanggi yang konon di daerah ini dipergunakan oleh para raja sebagai tempat pembuangan para suanggi yang mengganggu masyarakat. Kemudian dalam perkembangannya kata Atabuan mengalami penyisipan fonem “M” . Hal ini dapat saja terjadi dengan tidak sengaja karena fonem “B” dan “M” masih memiliki titik artikulasi yang sama sehingga mampu mempertahankan kelancaran ucapan.
Masa Perbudakan
Perbudakan adalah keadaan di mana orang menguasai atau memiliki orang lain. Sebagian ahli sejarah mengatakan perbudakan mulai timbul sesudah orang mulai hidup menetap dan pengembangan pertanian-peternakan, sekitar sepuluh-ribu tahun yang lalu. Awalnya, para budak terdiri dari penjahat atau orang-orang yang tidak bisa membayar hutang. Ketika terjadi peperangan, kaum yang kalah juga diperlakukan sebagai budak oleh kaum yang menang. Perbudakan adalah sebuah kondisi di saat terjadi pengontrolan terhadap seseorang (disebut budak) oleh orang lain. Perbudakan biasanya terjadi untuk memenuhi keperluan akan buruh atau tenaga kerja oleh orang lain dengan perlakuan yang sangat eksploitatif dan tidak mempertimbangkan hak asasi manusia. Para budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan, bekerja tanpa upah dan tidak mempunyai kebebasan pribadi. Jika dilihat dari status sosial, pada umumnya orang-orang budak berada pada lapisan paling bawah dari komunitas masyarakat. Tidak jarang mereka diperlakukan seperti binatang yang dapat diperjualbelikan, mereka harus taat dan menurut kepada kemauan pemiliknya atau majikannya dan nasib mereka tergantung kepada pemiliknya jika tidak disenangi suatu waktu dapat dijual lagi kepada pihak lain yang membutuhkannya. Menjadi budak berarti dipaksa untuk bekerja dan tidak mempunyai hak berpendapat untuk memilih bekerja dimana, dengan siapa dan bagaimana bahkan hak hidup dikuasai juga oleh tuannya (Nuryahman,2008). Kebanyakan orang kuno berpendapat bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Berbagai cara dapat ditempuh seperti menaklukan suku lain lalu menjadikan mereka sebagai budak, atau membeli dari para pedagang budak lokal.
Aktivitas Perdagangan Budak di Kota Atambua
Awalnya, perbudakan di Belu hanya terjadi antar golongan yang berkuasa atas individu dan individu yang dikuasai. Penguasaan atas individu bisa terjadi secara sederhana. Misalnya, tidak mampu membayar utang sampai waktu yang ditentukan, atau satu suku merampok suku lain yang lebih lemah dan memperbudak masyarakat yang dirampok. Hal ini dikatakan juga oleh Parera (1994) bahwa pada mulanya budak itu adalah tawanan perang atau yang diculik berdasarkan keadaan permusuhan antar suku. Namun dengan adanya dorongan perdagangan budak dari pihak Belanda dan Portugis pada waktu itu, maka sebagai wilayah taklukan sehingga para golongan bangsawan atau raja-raja di Belu ikut melaksanakan aktivitas perdagangan budak tersebut bahkan melakukan kesepakatan perjanjian (Korte Verklaring). Hal ini dijelaskan oleh Anwar (2004) bahwa Belanda dan Portugis dikenal aktif melaksanakan perdagangan budak yang ramai dari Timor sampai abad 19. Setelah didirikan kota Batavia (1619) oleh kompeni Belanda, karena keadaan genting dan membutuhkan tenaga kerja maka pada abad 17 dalam jumlah kecil di inpor juga budak-budak dari pulau Timor (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008). Hal ini dibuktikan dengan catatan dari sumber VOC tahun 1765 menjelaskan bahwa terdapat aktivitas perdagangan budak-budak belian dan perdagangan terbuka yang menjual beli budak diTimor dan menurut Tung Hsi Kau, seorang pedagang Cina tahun 1618 sudah mulai ramai dilakukan komoditas perdagangan di Timor yaitu: Cendana, Lilin, Madu dan Budak. Perdagangan budak oleh Belanda meningkat lagi pada tahun 1621 yang dipicu dengan berdirinya perusahaan perdagangan Belanda di India Barat yaitu West Indische Compagnie (WIC). Pada tahun 1667 setelah Belanda menguasai Makasar, maka aktivitas perdagangan budak ditingkatkan lagi karena kebutuhan tenaga kerja.
Zaman Portugis dan Belanda pulau Timor cukup dikenal sebagai gudang budak-budak. Hal mana oleh Prof P.J.Veth dalam tulisannya “Het Eiland Timor” menyatakan bahwa residen Van Este di Kupang tahun 1789 memiliki ribuan budak - hamba sahaya. Di Pulau Timor, yang pada abad ke-18 telah dikuasai Portugis, terdapat sejumlah pelabuhan dengan komoditas budak. Salah satunya Atapupu. Tidak ada data akurat mengenai jumlah budak dari Atapupu dan destinasi mereka, namun almarhum Rosihan Anwar pernah menemukan keluarga keturunan Nusa Tenggara di Afrika Selatan. Jumlah mereka cukup banyak dan turun-temurun menyatu dengan masyarakat Makassar yang datang bersama Syech Yusuf (Harian Republika, 2003).
Sementara di Belanda, tenaga kerja budak dan usaha perbudakan baru dilarang pada tanggal 1 Juli 1863. Belanda tercatat sebagai salah satu negara Eropa terakhir yang membebaskan para budaknya. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi sampai pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu-Atapupu) dan pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkan Pax Nederlandica sehingga perdagangan budak dihapus dan diawasi secara ketat.
Lahirnya Nama Kota Atambua dan Atapupu
Perdagangan budak secara historiagrafi di Pulau Timor dan sekitarnya memiliki hubungan yang erat dengan nama kota Atambua dan Atapupu sekarang di Kabupaten Belu. Orang Belu kebanyakan sudah mengenal “budak” dengan sebutan “Ata” atau “klason” (bahasa Tetun) yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan dasi/dato atau Na’I (sebutan golongan bangsawan di Belu) bahkan renu (rakyat jelata) lainnya. Hal ini diceritakan dari mulut ke mulut (folklor) bahwa, raja-raja di Belu saat itu setiap melakukan suatu kunjungan maka di dalam rombongan raja selalu disertakan juga hamba sahayanya–budak (Ata) sebagai pembantu atau pelayan. Bahkan para dasi/dato maupun renu ada juga yang membeli para budak untuk dipekerjakan di kebun/ladang dan sebagai gembala ternak. Oleh karena itu, maka di kalangan masyarakat Belu dikenal hamba sahaya/budak belian/perdagangan budak (atan sosa = bahasa Tetun).
Pada masa pemerintahan kerajaan adat Fehalaran, wilayah Atapupu dan Atambua termasuk dalam struktur pemerintahan adat yang dikenal dengan sebutan Dasi Sanuluk, Aluk Sanulu. Peranan Kota Atapupu (Jenilu) sebagai pasar hamba sahaya pada saat itu. Sedangkan Kota Atambua berperanan sebagai tempat penampungan sementara para budak selanjutnya dibawa ke Atapupu. Secara etimologis arti nama Kota Atambua berasal dari kata Ata (hamba sahaya/budak) dan Buan (Suanggi), maka diartikan berasal dari nama sebuah tempat berkumpul orang-orang untuk melakukan aktifitas perdagangan budak atau penampungan para budak. Kemungkinan yang dijadikan budak saat itu adalah orang-orang yang dianggap memiliki ilmu sihir (suanggi), sehingga ditangkap dan dijadikan budak oleh para bangsawan. Selanjutnya menjadi nama “Atambua”, yang berarti “Tempat budak atau hamba dan suanggi”. Masih menurut cerita rakyat bahwa budak-budak yang telah dibeli dibawa ke pantai utara, saat ini dikenal dengan nama pelabuhan Atapupu yang berjarak 34 kilometer dari Kota Atambua. Nama “Atapupu” berasal dari kata “ata” untuk budak dan “pupu” (berkumpul) atau juga berasal dari kata “futu” (diikat), sehingga berarti “tempat budak berkumpul atau budak diikat”, sambil menunggu kapal untuk di bawa keluar Pulau Timor.
Masa Pendudukan Belanda
Pada tahun 1866-1911, Atapupu pernah jadi pusat Pemerintahan Hindia Belanda untuk kawasan Kota Atambua dan Kabupaten Belu. Sebelumnya Belanda menjalankan pemerintahan dari Kupang (ibu kota propinsi NTT sekarang). Dan pada tahun 1911-1916 Beredao, yang terletak di tapal batas dengan Timor Portugis (Timor Leste), telah menjadi Benteng Pertahanan Belanda. Lalu pada tahun 1916-1942, berubahlah Pusat Pemerintahan Belanda dari Atapupu ke Kota Atambua.
Masa Kejayaan
Setelah rakyat Kota Atambua telah menderita, pada tahun 1945 Atambua sudah merdeka dan bebas dari penjajahan bangsa lain, yaitu bangsa Portugis. Pada tahun tersebut juga, Presiden Indonesia ke-1 (Pertama), Ir. Soekarno menanam beberapa pohon di Kota Atambua, tepatnya di Alung-Alung Kota Atambua (nama tempat tersebut sekarang). Tapi hingga kini hanya ada 1 pohon yang tumbuh besar, yaitu pohon Beringin.
Geografi
Atambua terletak pada ketinggian 350 m dpl, dengan suhu berkisar antar 27-37 derajat celcius membuat daerah ini cukup hangat. Sekeliling kota Atambua dipagari oleh perbukitan sehingga kota Atambua cukup terlindungi dari terjangan angin yang keras, namun ini juga menyebabkan tidak banyak dataran yang rata di seputar kota Atambua. Atambua adalah kota yang tidak rawan akan bencana Alam misalnya Banjir, Tsunami, Tanah Longsor yang bisa menimbulkan kerusakan yang cukup parah, karena kota ini terletak di antara pegunungan dan memiliki banyak lahan yang masih belum tersentuh (hijau)
Kota Atambua saat ini membentang sejauh kurang lebih 8,5 Km dari Utara (Haliwen) ke Selatan (Motabuik) dan sekitar 5 Km dari Timur (Fatubenao) ke Barat (Wekatimun). atau kurang lebih seluas 42 Km persegi, namun daerah yang dihuni baru sekitar 2/3 bagiannya atau kurang lebih 30 Km persegi karena sebagian lainnya merupakan daerah berbukit atau karena kurangnya akses jalan raya.
Luas Kota Atambua adalah 56.18 km², atau 56.180 Ha, terbagi habis menjadi 3 kecamatan, dan 4 kelurahan. Sedangkan untuk letak astronomis, Kota Atambua terletak pada Koordinat 09° 10’ LS 125° 00’ BT.
Batas Wilayah
Penduduk
Kota Atambua adalah kota yang multi etnis dari suku Timor, Rote, Sabu, Flores, sebagian kecil suku Tionghoa dan pendatang dari Ambon dan beberapa suku bangsa lainnya. Tetapi terlepas dari keragaman suku bangsa yang ada, penduduk Kota Atambua akan menyebut diri mereka sebagai "Be' orang Atambua" atau "Be' orang batas".
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Atambua tahun 2014, penduduk Kota Atambua berjumlah 74.903 jiwa yang terdiri dari 179.323 laki-laki dan 170.021 perempuan. [1]
Pemerintahan
Sampai saat ini, belum ada Walikota karena belum diresmikan sebagai pemekaran dari Kab. Belu.
Walikota
Belum ada
Daftar Kecamatan
- Atambua Barat (4 Kelurahan)
- Kota Atambua (4 Kelurahan)
- Atambua Selatan (4 Kelurahan)
Dewan Perwakilan Rakyat
Belum Ada
Transportasi
Darat
Dalam kota transportasi dilayani oleh angkutan umum berupa bemo (mikrolet) dengan kapasitas penumpang 10 orang yang melayani empat rute/trayek melalui 2 terminal. Selain itu tersedia transportasi alternatif berupa jasa ojek sepeda motor. Ojek tidak memiliki rute tertentu, sehingga dapat langsung menuju tujuan, dibandingkan bemo. Tetapi, transportasi darat menggunakan bemo lebih murah dibandingkan ojek.
Untuk transportasi ke luar kota, dari kota Atambua tersedia bus yang biasa disebut bis kupang yang melayani rute ke kota-kota kecamatan dan kota kabupaten lainnya di Pulau Timor Bagian Barat (Kupang, Soe dan Kefamenanu). Bus ini adalah bus Sinar Gemilang, Gemilang, dan Paris Indah. Jam berangkat bus ini sudah ditentukan oleh pemiliknya. Terdapat 3 waktu yang digunakan, yaitu bis Pagi, bis Siang, dan bis Malam. Untuk bis Pagi, bus akan berangkat dari pangkalannya pukul 07:00 WITA dan tiba di Kupang pada pukul 15:00 WITA. Untuk bis Siang, bus akan berangkat dari pangkalannya pukul 13:00 WITA dan tiba di Kupang pada pukul 20:00 WITA. Sedangkan untuk bis Malam, bus akan berangkat dari pangkalannya pukul 19:00 WITA dan akan tiba di Kupang pada pukul 03:00 WITA (Keesokan Harinya). Jika tidak mau menaiki bus, terdapat jalur lain untuk menuju ke Kupang, yaitu dengan Mobil Charter.
Atambua juga merupakan pintu gerbang utama menuju Timor Leste melalui perbatasan Motaain (sekitar 30 Km atau setengah jam berkendara dari Atambua lewat rute utama). Untuk transportasi ke Timor Leste, terdapat beberapa bus, pada umumnya bus yang melayani rute Atambua - Timor Leste adalah bus Timor Hotel. Diperlukan sekitar 4-5 jam dari Simpang Lima Kota Atambua ke Dili, Timor Leste.
Udara
Kota ini dilayani oleh sebuah bandar udara, yaitu Bandar Udara A. A. Bere Talo (dulunya Bandar Udara Haliwen, yang terletak di Haliwen, Kota Atambua. Status bandar udara ini adalah Bandar Udara Domestik, dan masih menjadi perdebatan apakah Bandar Udara A. A. Bere Talo adalah bandara internasional atau bandara domestik, karena terdapat beberapa penerbangan ke Timor Leste. Landas pacu bandar udara tersebut adalah 1600 meter dan bisa didarati oleh pesawat-pesawat cukup besar, diantaranya terdapat lima maskapai yang melayani rute penerbangan Kupang-Atambua pulang pergi, masing-masing Susi Air, Lion Air, Trans Nusa, Wings Air, Batik Air.
Laut
Kota ini juga dilayani oleh 2 pelabuhan laut, yaitu pelabuhan Atapupu dan pelabuhan Tegur (Teluk Gurita). Pelabuhan Atapupu merupakan pelabuhan kargo dan minyak, sedangkan pelabuhan Tegur merupakan pelabuhan penumpang (ferry) yang melayani rute Atambua - Alor, dan sejumlah tempat lainnya.
Pendidikan
Kota Atambua memiliki sarana pendidikan milik pemerintah dan yang dikelola oleh swasta untuk pendidikan formal dan informal dari tingkat TK, SD, SLTP dan SLTA serta Perguruan Tinggi.
Taman Kanak-Kanak
Di Kota Atambua, Terdapat 2 TKK Utama, yaitu
- TKK Kristen Atambua
- TKK Kuntum Bahagia
Sekolah Dasar
Sekolah Dasar/Ibtida'iyah yang ada di Kota Atambua sebanyak 14 buah
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/MTs yang tersebar di Kota Atambua sebanyak 7 buah.
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/MA yang ada di Kota Atambua sebanyak 11 buah, yang terdiri dari 10 SLTA dan 1 Sekolah Kejuruan.
Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi yang ada di Kota Atambua sebanyak 2 buah yang terdiri dari 1 Perguruan Tinggi Negeri yaitu:
- Universitas Terbuka
dan 1 Perguruan Tinggi Swasta, yaitu:
- Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Atambua
Kesehatan
Kota Atambua memiliki sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun yang dikelola oleh swasta.
Rumah Sakit Pemerintah
RSUD Atambua RS Tentara Atambua
Rumah Sakit/Klinik Swasta
RS Sito Husada
Daftar Puskesmas
Puskesmas Atambua
Perencanaan Pembangunan
Atambua sedang membangun klinik & Rumah Sakit, di antaranya:
- Klinik Divif 1 Kostrad (akan dilaksanakan tahun ini)
- Klinik Graha Medika (akan dilaksanakan tahun ini)
- Klinik Tumbuh Kembang (akan dilaksanakan tahun ini)
- Rumah Sakit Sentra Medika (akan dilaksanakan tahun ini)
- Rumah Sakit Tugu Ibu (akan dilaksanakan tahun ini)
Pers dan Media
Surat Kabar
Beberapa surat kabar yang diimpor dari Kupang melalui bus seperti Harian Umum Pos Kupang, Timor Express dan victorynewsmedia.
Radio dan Televisi
Stasiun Radio milik pemerintah yang beroperasi di Kota Atambua adalah Radio Republik Indonesia (RRI) melalui RRI Programa 1 FM 91.5 MHz, RRI Programa 2 FM 99.8 MHz dan Programa 3 FM 99.0 MHz. Selain itu ada beberapa stasiun radio swasta yang beroperasi di Kota Atambua antara lain:
- Radio One = 93.1 MHz
- Favorit FM = 98.2 MHz. Dipancarkan dari Jalan Adam Malik no. 24, Pasar Baru.
- Radio Dian Mandiri = 100.6 MHz Dipancarkan dari Jalan Proklamasi, Mangga Dua.
- Miskal FM = 106.5 MHz Dipancarkan dari Jala. Mercusuar no. 3, Gereja Miskal Atambua.
- RSPD Belu = 107.3 Dipancarkan dari Jalan Basuki Rahmat no. 3, Kota Atambua.
Atambua tidak sedang membangun Stasiun Radio.
Stasiun Televisi milik pemerintah yang beroperasi di Kota Atambua adalah TVRI Atambua. Selain itu ada beberapa stasiun televisi swasta yang beroperasi di Kota Atambua, antara lain:
Atambua juga sedang membangun beberapa Stasiun Televisi, diantaranya:
- Atambua TV jaringan MTV (akan dilaksanakan tahun ini)
- Martapura TV (akan dilaksanakan tahun ini) jaringan SINDOtv E31
- B-One TV (akan dilaksanakan tahun ini) jaringan TV9 Nusantara E49
- Angrek TV (akan dilaksanakan tahun ini) E44
Pariwisata
Obyek Wisata
- Monumen Perbatasan
Sejak merdekanya Timor Leste (dulunya Timor Timur), Atambua telah menjadi sebuah tempat wisata yang terkenal karena terletak di titik terdepan beranda Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan oleh karena itu, dibangunlah Monumen Perbatasan.
Monumen Perbatasan ini terletak di Motaain, sekitar 35 Km dari Kota Atambua melewati Rute Utama. Jika ingin berkunjung ke Timor Leste tanpa Pasport, anda hanya dapat mendapatkan sesi Gratis sampai dengan kota Batugade.
- Pantai Pasir Putih
Pantai yang terletak di Atapupu, sekitar 30 Km sebelah Utara Kota Atambua, adalah salah satu pantai yang paling digemari wisatawan sekaligus penduduk Kota Atambua dan Sekitarnya. Pantai ini memiliki Pasir Putih dan pemandangan yang menakjubkan dan Pepohonan yang indah. Pantai ini sudah lama dibuka dan pengunjung pantai ini pun bertambah sekitar 3-4% per tahunnya. Saat hujan, tidak banyak pengunjung yang akan datang ke Pantai ini karena Angin yang sangat kencang dan Gelombang yang tinggi.
Di pantai Pasir Putih ini banyak didapati lopo-lopo yang berderet. Lopo-lopo adalah sebutan lokal untuk pondok yang dibangun menyerupai payung dengan tiang dari batang pohon kelapa atau kayu dan beratapkan ijuk, pelepah kelapa atau lontar, dan alang-alang. Bisa juga beratapkan seng yang bagian luarnya dilapisi ijuk, pelepah kelapa atau lontar dan alang-alang.