Pemboikotan Israel
Pemboikotan Israel adalah kampanye atau aksi budaya ekonomi dan politik yang memotong secara selektif atau total hubungan dengan Negara Israel, orang-orang Israel atau perusahaan-perusahaan Israel.[1] Kampanye-kampanye tersebut biasanya digunakan untuk menentang kebijakan atau aksi Israel pada konflik Arab-Israel, dalam rangka tidak menunjukkan dukungan untuk Israel pada umumnya, atau sebagian ekonomi atau militer Israel.
Pemboikotan Arab terhadap institusi-institusi Zionis dan bisnis-bisnis Yahudi dimulai sebelum pendirian Israel sebagai sebuah negara. Sebuah pemboikotan resmi diadopsi oleh Liga Arab setelah pembentukan negara Israel pada 1948. Setelah Perjanjian Damai Oslo, Dewan Kerjasama Negara-Negara Teluk Arab (DKNTA) menyatakan pengakhiran partisipasi mereka dalam pemboikotan tersebut, dan menyatakan bahwa eliminasi total dari pemboikotan tersebut adalah ended langkau untuk pengembangan perdamaian dan ekonomi di wilayah tersebut.[2] Pada saat ini, pemboikotan yang dilakukan oleh Arab sedang dilakukan, dan memiliki efek minimal pada ekonomi Israel.[2]
Pemboikotan yang sama dilakukan di luar dunia Arab dan dunia Muslim. Pemboikotan dalam bidang ekonomi meliputi pemboikotan produk-produk Israel atau bisnis-bisnis yang dioperasikan di Israel; pemboikotan akademik sarjana-sarjana universitas-universitas Israel; dan pemboikotan institusi kebudayaan Israel atau tempat-tempat olahraga Israel. Beberapa advokat dari kampanye Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) menggunakan gerakan menentang aparthaid Afrika Selatan 1980an sebagai sebuah model.[3]
Pemboikotan Liga Arab terhadap Israel
Pemboikotan Liga Arab terhadap Israel adalah sebuah upaya dari negara-negara anggota Liga Arab untuk mengisolasi Israel secara ekonomi.[4]
Sementara pemboikotan Arab dalam skala kecil terhadap institusi-institusi Zionis dimulai sebelum Israel' didirikan sebagai sebuah negara modern, sebuah pemboikotan diadakan secara resmi hanya diadopsi oleh Liga Arab setelah Perang Arab-Israel 1948.
Mesir (1979), Otoritas Palestina (1993), dan Yordania (1994) menandatangani perjanjian-perjanjian perdamaian yang mengakhiri partisipasi mereka dalam pemboikotan Israel. Mauritania, yang tidak pernah melakukan pemboikotan, menjalin hubungan diplomatik dengan Israel pada 1999. Algeria, Maroko, dan Tunisia tidak pernah memaksakan pemboikotan.[2]
Pada 1994, setelah Perjanjian Perdamaian Oslo, Dewan Kerjasama untuk Negara-Negara Teluk Arab (GCC) menyatakan untuk mengakhiri partisipasi mereka dalam pemboikotan Arab menentang Israel.[5]
Sementara pada saat ini, pemboikotan Arab memiliki dampak yang negatif secara moderat terhadap ekonomi dan perkembangan Israel, namun juga memiliki efek negatif yang signifikan atas kesejahteraan ekonomi di negara-negara Arab yang berpartisipasi.[5]
Referensi
- ^ Wistrich R., From Blood Libel to Boycott: Changing faces of British Anti-Semitism., Huji, hlm. 14,
Boycotts against Jews arouse painful associations. Attempts to remove Israeli products from Selfridges, Harrods, Tesco, Marks & Spencer, and other British chains, under the slogan “Isolate the Racist Zionist State,” have been both a symptom and a rallying point for the resurgence of antisemitism in Britain.
- ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamacrs
- ^ Mitchell G. Bard, Jeff Dawson (2012). "Israel and the Campus: The Real Story" (PDF). AICE. Diakses tanggal 27 Oktober 2013.
- ^ Turck, Nancy (April 1977). "The Arab Boycott of Israel". Foreign Affairs. Council on Foreign Relations. 55 (3): 472–493. doi:10.2307/20039682. JSTOR 20039682.
- ^ a b Joyce Shems Sharon. The Arab Boycott Against Israel and Its Unintended Impact on Arab Economic Walfare. Mei 2003.