Ketuanan Melayu

pandangan politik yang mengunggulkan suku Melayu di atas etnis lainnya di Malaysia

Ketuanan Melayu adalah sistem yang secara konstitusi memberikan jaminan hak-hak khusus kepada etnis Melayu di Malaysia.[1] Hak-hak khusus ini diatur dalam Artikel 153 Konstitusi Malaysia. Pengaturan seperti ini biasanya disebut sebagai kontrak sosial. Konsep ketuanan Melayu biasanya didengungkan oleh politikus-poliikus Malaysia, terutama yang berasal dari Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), partai yang memiliki pengaruh kuat di Malaysia.

Berkas:Hisham Keris.jpeg
Ketua pemuda Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) Hishammuddin Hussein mengacung-acungkan keris, sebuah aksi yang dilihat oleh sebagian orang sebagai pertahanan terhadap ketuanan Melayu.

Walaupun gagasan ini telah ada sebelum Malaysia merdeka, frasa ketuanan Melayu sendiri tidak pernah mencuat sampai awal tahun 2000-an. Suara oposisi paling besar terhadap konsep ini datang dari partai-partai non-Melayu seperti Partai Aksi Demokratik (DAP). Pemikiran atas supremasi Melayu mendapat perhatian publik pada tahun 1940-an, ketika warga Melayu membentuk organisasi yang memprotes pebentukan Malayan Union (Persatuan Malaya) dan kemudian memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1960-an, terdapat usaha yang keras menentang konsep ketuanan Melayu yang dipimpin oleh Partai Aksi Demokratik (PAP) dari Singapura — yang menjadi salah satu negara bagian dari Malaysia dari tahun 1963 sampai 1965 — dan oleh DAP setelah Singapura memisahkan diri. Namun konstitusi yang berhubungan dengan ketuanan Melayu semakin dikukuhkan setelah kerusuhan rasial 13 Mei tahun 1969 yang diikuti kampanye pemilu yang memfokuskan pada isu hak-hak non-Melayu dan ketuanan Melayu. Periode ini nampak dengan munculnya kelompok "Ultra" yang mengajukan sebuah pemerintahan satu partai yang dipimpin oleh UMNO dan peningkatan tekanan pada konsep orang Melayu sebagai "rakyat Malaysia" yang sebenarnya.

Kerusuhan ini menyebabkan perubahan drastis pada pendekatan pemerintah terhadap isu-isu rasial dengan memperkenalkan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) yang mengutamakan etnis Melayu. Kebijakan Kebudayaan Nasional yang menekankan pada asimilasi warga non-Melayu ke dalam kelompok etnis Melayu juga diperkenalkan pada tahun 1970. Namun semasa 1990-an Perdana Menteri Mahathir bin Mohamad menolak pendekatan ini dengan konsep Bangsa Malaysianya yang menekankan warga Malaysia, bukan etnis Melayu, sebagai identitas negara Malaysia. Semasa tahun 2000-an, para politikus kembali menekankan konsep ketuanan Melayu, dan secara publik mengkritik menteri-menteri pemerintahan yang mempertanyakan konsep kontrak sosial.

Pra-Kemerdekaan

 
Britania mengakui raja-raja Melayu sebagai penguasa berdaulat atas Malaya.

Nasionalisme Awal Melayu

Nasionalisme Melayu sebagai gerakan politik yang terorganisasikan tidak eksis sebelum Perang Dunia II. Konsep ketuanan Melayu sangat tidak relevan; warga Tionghoa Malaysia dan India Malaysia yang menduduki hampir setengah jumlah populasi Malaya tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai bangsa Malaya.[2] Sebuah laporan dari British Permanent Under-Secretary of State for the Colonies pada awal tahun 1930-an menemukan bahwa jumlah warga non-Melayu yang menganggap Malaya sebagai tanah air mereka sangat kecil.[3]

Walaupun Britania secara de facto memerintah Malaya, secara de jure warga Melayu dijadikan sebagai pemimpin boneka yang dikontrol oleh Britania. Komisioner Tinggi Britania Sir Hugh Clifford, mendemonstrasikan ideologi Britania yang membenarkan kolonialisme Britania atas Malaya[4] ketika dia menekankan "setiap orang di negara ini [untuk] memperhatikan fakta bahwa ini adalah negara Melayu, dan kami Britania datang kemari atas undangan Yang Mulia Raja-Raja Melayu, dan adalah tugas kamu untuk membantu orang Melayu memerintah negara mereka sendiri."[5] Britania berpura-pura mengadopsi kebijakan "pro-Melayu" agar warga Melayu, seperti yang dikatakan oleh Komisioner Tinggi Sir Laurence Guillemard, dipersiapkan untuk mengambil tempat yang pantas dalam kehidupan administrasi dan komersial di negara ini.[6] Pada kenyataanya, warga non-elit Melayu tetap termarjinalisasi oleh kebijakan ekonomi dan politik pemerintah kolonial Britania, dan baik kebijakan pendidikan maupun ketenagakerjaan sangat terbatas.[7]

Komunitas warga non-Melayu yang lahir di tanah Malaya dengan cepat kemudian mulai meminta perwakilan politik. Tahun 1936 komunitas warga India yang lahir di Malaya meminta Komisioner Tinggi Sir Shenton Thomas memberikan mereka andil dalam jabatan-jabatan administrasi pemerintahan. Thomas menolak permintaan ini, dengan menunjuk bahwa orang India yang lahir di Malaya sebagai "pendatang asing".[8] Walaupun Britania menganggap warga Tionghoa sebagai "angkatan kerja sementara", dengan menunjukkan statistik yang mengindikasikan bahwa kebanyak imigran Tionghoa pada akhirnya pulang kembali ke tanah asal mereka, para kritikus beralasan bahwa populasi warga Tionghoa yang lahir di Malaya terus meningkat. Walaupun demikian, Britania tetap berkeras bahwa adalah berbahaya untuk mempertimbangkan warga Tionghoa memiliki kecenderungan tinggal menetap di Malaya; komunitas India yang lahir di Malaya — meliputi hampir 20% dari populasi warga India, dengan sisanya sebagai pekerja buruh yang bermigrasi dengan alasan yang sama seperti warga Tionghoa — juga diabaikan.[9]

Britania mengatur kehidupan warga Melayu dengan kehidupan tradisional mereka sebagai petani, membatasi gerakan, ekonomi, dan pendidikan mereka. Kebijakan ini diambil atas dasar pemikiran bahwa pendidikan yang diberikan pada warga Bengal di India telah menimbulkan ketidakpuasan dan pemberontakan.[10] Britania hanya melibatkan warga Melayu yang berkelas ke dalam pemerintahan. Walaupun warga non-Melayu tidak dimasukkan ke dalam posisi pemerintahan, banyak dari jabatan-jabatan sipil diisi oleh warga non-Melayu, kebanyakan adalah orang India yang sengaja didatangkan untuk mengisi jabatan ini.[9] Kebanyakan ahli sejarah mendeskripsikan kebijakan pro-Melayu ini disengajakan hanya untuk mempertahankan kedudukan Britania daripada memperkuat kedudukan warga Melayu; banyak yang mengkarakterisasikan pendekatan Britania ini sebagai taktik divide et impera, menjauhkan suku yang satu dengan lainnya untuk memisahkan elemen masyarakat Malaya dalam harmonitas yang tipis.[11][12]

Tahun 1920-an, warga Tionghoa lokal, yang memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan, mulai mendorong pemerintah Britania memberikan mereka andil lebih besar di pemerintahan Malaya.[13] Banyak warga dari komunitas Tionghoa, yang telah mencapai 39% dari populasi Malaya, masih terdiri dari pekerja buruh sementara. Walaupun demikian, warga Tionghoa Peranakan — yang merupakan warga Tionghoa yang lahir di Malaya — ingin diberikan posisi dalam pemerintahan dan di anggap sebagai warga Malaya. Salah satu pemimpin warga Tionghoa bertanya, "Siapa bilang bahwa ini adalah negera Melayu? ... Ketika Kapten [Francis] Light tiba, apakah dia menemukan orang Melayu, atau kampung Melayu? Kakek moyang kami datang ke sini dan bekerja keras sebagai kuli — tidak malu menjadi kuli — dan mereka tidak mengirimkan uang mereka kembali ke Tiongkok. Mereka menikah dan menghabiskan uang mereka di sini, dan dengan begini pemerintah dapat membangun negara ini dari hutan menjadi peradaban. Kami telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari negara ini. Ini adalah negara kami..." Intelek-intelek Melayu yang jengkel keberatan dengan alasan ini, mengemukakan sebuah analogi dengan warga Tionghoa sebagai tukang batu dan Malaya sebagai rumah. Tukang batu yang telah dibayar, menurut argumentasi mereka, tidak berhak diberikan bagian kepemilikan rumah yang dibangunnya. Karena itu, mereka menolak setiap usaha untuk memberikan warga Tionghoa kewarganegaraan dan hak-hak politik lainnya.[14]

Tidak semua warga Melayu lahir dari Malaya. Sejumlah kelompok etnis lain yang berhubungan dengan etnis Melayu seperti suku Jawa dan Bugis telah bermigrasi ke dalam Malaya sepanjang abad 19 dan 20. Kebanyakan dengan cepat berasimilasi ke dalam identitas kebudayaan Melayu.[15] Akhirnya, permohonan warga Tionghoa tampaknya memiliki pengaruh yang kuat terhadap Britania. Tahun 1927, Gubernur Negeri-Negeri Selat mengalamatkan warga Tionghoa sebagai "penduduk asli Malaya Britania".[16]

Sesaat sebelum Perang Dunia II, nasionalisme Melayu mulai menekankan ketuanan Melayu. Dikhawatirkan bahwa kebijakan Britania mulai condong terhadap pembentukan nasionalitas Malaya yang memasukkan warga Tionghoa dan India. Beberapa warga Melayu kemudian berusaha mempertahankan status quo dengan menggunakan Britania sebagai pertahanan terhadap ancaman non-Melayu. Yang lainnya mulai memperjuangkan sebuah negara Melayu yang merdeka dan berdaulat, seperti "Negara Indonesia Raya".[17]

Persatuan Malaya

Setelah Perang Dunia II, Britania mengumumkan pembentukan Malayan Union (Persatuan Malaya) yang akan melonggarkan kebijakan-kebijakan imigrasi, mengurangi kedaulatan raja-raja Melayu, dan tidak mengakui adanya supremasi Melayu, membentuk Malaya sebagai protektorat Britania Raya. Sebagai penduduk yang lahir di Malaya, kebanyakan warga Tionghoa dan India memenuhi syarat mendapatkan kewarganegaraan di bawah prinsip jus soli. Dengan jaminan hak-hak yang sama kepada semua orang, warga Melayu khawatir bahwa kekuatan kecil yang disisakan akan kemudian diambil juga.[18][19]

Untuk pertama kalinya, warga Melayu menjadi sadar secara politik, memprotes pembentukan Malayan Union. Pada satu perkumpulan terdapat sebuah plakat yang bertuliskan "Malaya adalah milik Melayu. Kami tidak ingin etnis lain diberikan hak dan keistimewaan yang sama dengan etnis Melayu."[20] Satu organisasi Melayu memberitahukan kepada Britania bahwa ketetapan kewarganegaraan ini akan membawa pada kepunahan etnis Melayu beserta tanah dan raja mereka."[21] Sekelompok royalis Melayu dan pejabat sipil yang dipimpin oleh Dato' Onn Ja'afar membentuk Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) untuk memprotes pembentukan Malaya Union[22] Walaupun Malaya Union dibentuk sesuai dengan rencana, kampanye memprotes pembentukan tersebut terus berlanjut; tahun 1948, Britania menggantikan Malaya Union dengan Federasi Malaya. Federasi ini mengembalikan kedaulatan raja-raja Melayu, memperketat pembatasan imigrasi dan kewarganegaraan, dan memberikan warga Melayu hak-hak istimewa.[23] Walaupun demikian, tujuan semula Britania tetap sama: memperkenalkan "sebuah bentuk kewarganegaraan umum yang terbuka untuk semua orang, tanpa memandang etnis, yang menganggap Malaya sebagai rumah mereka dan objek kesetiaan mereka."[24]

Oposisi yang terbatas terhadap ketuanan Melayu dan UMNO semasa periode ini datang dari koalisi antara All-Malaya Council of Joint Action (AMCJA) dan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Walaupun salah satu konstituen organisasi PUTERA berkeras pada ketuanan Melayu sebagai "hak lahir nasional" warga Melayu, PUTERA ikut serta dengan AMCJA memperjuangkan persamaan politik non-Melayu. Setelah Britania menolak untuk mempedulikan koalisi PUTERA-AMCJA, koalisi ini menolak berunding dengan Britania, kemudian melancarkan mogok umum untuk memprotes apa yang dianggap kecacatan dalam negara baru. Setelah Federasi Malaya dibentuk, koalisi ini kemudian dibubarkan.[25]

Sebelum pembentukan Federasi, warga non-Melayu secara umum tidak dilibatkan dalam perpolitikan dan nasionalisme Malaya; lebih tertarik kepada politik tanah asal mereka, warga non-Melayu tidak pernah secara signifikan mendukung Malayan Union[26] AMCJA, walaupun terdiri dari warga non-Melayu, tidak mewakili sebagian besar dari komunitas warga non-Melayu di Malaya.[27] Kurangnya ketertarikan atau kesetiaan kepada Malaya di antara warga non-Melayu tampaknya menjustifikasi ketuanan Melayu.

Beberapa ahli sejarah beragumentasi bahwa kegagalan Malayan Union membuat warga Tionghoa sadar akan kebutuhan perwakilan politik mereka. Asosiasi Tionghoa Malaya (MCA) — sebuah partai politik komunal yang mengkampanyekan hak-hak politik warga Tionghoa — dibentuk segera sesudah pembentukan Federasi Malaya.[28] Yang lainnya mengklaim bahwa faktor utama dibalik keterlibatan warga non-Melayu ke dalam politik Malaya dan tuntuan hak-hak mereka, adalah karena peningkatan jumlah warga non-Melayu yang lahir di Malaya. Laporan yang sama dari British Permanent Under-Secretary of State for the Colonies mengindikasikan bahwa warga non-Melayu yang lahir di Malaya "tidak pernah melihat tanah nenek moyang mereka dan mereka mengklaim bahwa keturunan-keturunan mereka seharusnya mendapatkan perlakuan yang adil."[29] Presiden pertama MCA adalah Tan Cheng Lock, seorang warga Tionghoa yang lahir di Malaya yang sebelumnya memimpin AMCJA sebelum pembubarannya.

Sumber

  1. ^ Meredith L. Weiss, "The 1999 Malayan General Elections: Issues, Insults, and Irregularities." Asian Survey, Vol. 40, No. 3, (May 200)pp 430.
  2. ^ Ye, Lin-Sheng (2003). The Chinese Dilemma, pp. 26–27. East West Publishing. ISBN 0-9751646-1-9.
  3. ^ Hwang, In-Won (2003). Personalized Politics: The Malaysian State under Mahathir, p. 24. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-230-185-2.
  4. ^ Kratoska, Paul H., ed. Honorable Intentions: Talk on the British Empire in Southeast Asia Delivered at the Royal Colonial Institute, 1874-1928. Singapore: Oxford University Press,1983 (introduction)
  5. ^ Keith, Patrick (2005). Ousted!, p. 140. Media Masters. ISBN 981-05-3865-0.
  6. ^ Roff, W.R. (1974). The Origins of Malay Nationalism, pp. 114, 118. Penerbit Universiti Malaya. No ISBN available.
  7. ^ Hirschman, Charles “The Making of Race in Colonial Malaya: Political Economy and Racial Ideology.” Sociological Forum, Vol. 1, No. 2 (Spring, 1986), 330-361.Lee, Edwin. The British as Rulers: Governing Multiracial Singapore, 1867-1914. Singapore: Singapore University Press, National University of Singapore, 1991.Nonini, Donald M. British Colonial Rule and the Resistance of the Malay Peasantry, 1900-1957, New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1992.Rahim, Lily. The Singapore Dilemma: The Political and Educational Marginality of the Malay Community. New York: Oxford University Press, 1998.Hussein Alatas, Syed. The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese From the 16th to 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. London : Frank Cass, 1977), Ch 12. 116-17
  8. ^ Roff, pp. 109–110.
  9. ^ a b Roff, pp. 110–111.
  10. ^ Thomas Metcalf, “Empire Recentered: India in the Indian Ocean Arena,” in Colonialism and the Modern World: Selected Studies, eds. Gregory Blue, Martin Bunton, and Ralph Crozier (Armonk NY: M.E. Sharpe, 2002), 31.
  11. ^ Abdullah, Asma & Pedersen, Paul B. (2003). Understanding Multicultural Malaysia, p. 44. Pearson Malaysia. ISBN 983-2639-21-2.
  12. ^ Rashid, Rehman (1993). A Malaysian Journey, p. 28. Self-published. ISBN 983-99819-1-9.
  13. ^ Swettenham, Frank. British Malaya: An Account of the Origin and Progress of British Influence in Malaya. By Sir Frank Swettenham, K.C. M. G. Late Governor of the Straits Colony. London: John Lane Co., 1900. (pg 232-4).
  14. ^ Roff, pp. 207–210.
  15. ^ Abdullah & Pedersen, p. 20.
  16. ^ Hickling, R.H. (1991). Essays in Malaysian Law, pp. 51–52. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-385-5.
  17. ^ Roff, pp. 235–236.
  18. ^ Hwang, p. 37.
  19. ^ Ongkili, James P. (1985). Nation-building in Malaysia 1946–1974, p. 42. Oxford University Press. ISBN 0-19-582681-7.
  20. ^ Ongkili, p. 47.
  21. ^ Ongkili, p. 50.
  22. ^ Hwang, p. 38.
  23. ^ Hwang, p. 39.
  24. ^ Hickling, p. 87.
  25. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama ongkili_59-66
  26. ^ Jawan, Jayum A. (2003). Malaysian Politics & Government, p. 37. Karisma Publications. ISBN 983-195-037-2.
  27. ^ Ongkili, p. 68.
  28. ^ Ye, p. 34.
  29. ^ Hwang, p. 25.