Surplis (Bahasa Latin superpelliceum, dari kata super (di atas) dan pellis (bulu)) merupakan bagian vestimentum liturgis Gereja Kristen. Surplis merupakan sehelai tunik dari linen atau katun putih, berlengan lebar atau sedang, panjangnya sepinggang atau selutut. Kadang-kadang diberi hiasan renda atau bordiran, tapi yang paling sering dijumpai adalah surplis yang tepinya dikelim.

Seorang imam atau siswa seminari Katolik mengenakan surplis sebagai akolit (pelayan altar) dalam Misa.

Surplis dimaksudkan sebagai miniatur dari alba, alba sendiri merupakan simbol pakaian putih yang diterima seseorang pada waktu dibaptis. Sebagaimana alba, surplis dapat dikenakan oleh semua klerus, lektor, akolit, atau pun pelayan altar yang secara teknis melaksanakan fungsi akolit dalam upacara-upacara liturgis. Surplis sering dikenakan oleh para seminaris bilamana menghadiri Misa serta oleh paduan suara non-klerus. Surplis selalu dikenakan di atas toga dan tidak pernah dikenakan terpisah, serta tidak dilengkapi ikat pinggang atau sinktura. Surpis dikenakan di bawah stola oleh diakon dan imam dalam upacara-upacara liturgis atau pelayanan sakramen di luar Misa. Dalam kesempatan istimewa tertentu, sehelai kap dikenakan di atas toga, surplis, dan stola.

Sebagai bagian dari seragam klerus, mormalnya surplis tidak dikenakan oleh Sri Paus, kardinal, uskup, dan beberapa kanon - bagi mereka tersedia rohet sebagai gantinya. Sebenarnya rohet adalah suatu variasi dari surplis.

Surplis termasuk vestes sacrae (pakaian suci), meskipun tidak memerlukan pemberkatan.

Awalnya panjang surplis mencapai kaki, tapi makin diperpendek pada awal abad ke-13, walaupun sampai akhir abad ke-15 panjangnya masing jauh di bawah lutut, dan baru pada abad ke-17 dan ke-18 menjadi sangat pendek. Di beberapa wilayah tertentu terjadi modifikasi besar-besaran atas surplis dari waktu ke waktu sehingga muncul berbagai macam bentuk surplis di samping bentuk yang asli. Sebagai contoh:

  • Surplis tanpa lengan, dengan lubang-lubang pada kedua sisi tempat meloloskan lengan
  • Surplis dengan lengan tanpa jahitan, kini sering dikenakan oleh organis, karena nyaman dipakai bilamana menggerak-gerakkan lengan
  • Surplis tanpa jahitan samping, persis seperti dalmatik moderen
  • Sejenis surplis berupa mantel berbentuk lonceng, memiliki satu lubang untuk meloloskan kepala, lengan dibiarkan terjulur keluar dari tepi bawah.


Dua bentuk surplis yang pertama muncul paling awal; dan meskipun dilarang oleh sinode di sana-sini (misalnya dalam sinode di kota Liège sekitar tahun 1287), dua bentuk tersebut masih dipergunakan di berbagai tempat sampai sekarang. Dua yang terakhir hanya muncul seusai Abad Pertengahan: yang pertama dari keduanya muncul di Jerman Selatan, yang kedua teristimewa muncul di Venesia, di mana berbagai lukisan dari zaman itu merekam penggunaannya. Meskipun demikian, ditetapkan bahwa hanya klerus rendahan yang boleh mengenakan bentuk-bentuk lain surplis tersebut. Sebagian bentuk-bentuk tersebut timbul akibat pengaruh mode sekular, khususnya karena alasan kenyamanan.

Kurang tersedia informasi mengenai sejarah surplis. Dari namanya, sebagaimana yang juga dikemukakan oleh Guillaume Durand dan Gerland, diketahui bahwa surplis awalnya dikenakan di atas busana yang terbuat dari bulu binatang yang dikenakan dalam gedung gereja dan dalam ibadah untuk melindungi si pemakai dari hawa dingin. Beberapa sarjana melacak penggunaan surplis hingga abad ke-5, dengan mengemukakan bukti bahwa busana tersebut dikenakan oleh dua orang klerus pendamping Uskup Maximian seperti yang tergambar dalam mosaik Gereja St. Vitalis di Ravenna; akan tetapi dalam kasus ini sulit dibedakan antara surplis dengan dalmatik. Dalam segala kemungkinannya surplis tidaklah lebih dari perluasan alba liturgis biasa, terkait dengan keperluan untuk mengenakannya di atas pakaian bulu yang tebal. Dokumen-dokumen tertua yang menyebut-nyebut surplis berasal dari abad ke-11: dalam salah satu kanon dari sinode Coyaca di Spanyol (tahun 1050); dan dalam salah satu ketetapan Raja Edward the Confessor. Roma baru mengnal surplis pada awal abad ke-12. Jadi sangat mungkin bahwa surplis berasal dari luar Roma, dan baru kelak diimpor untuk digunakan di Roma. Awalnya surplis hanyalah vestimentum seragam yang diperuntukkan bagi klerus rendahan, sedikit-demi sedikit - sejak abad ke-13 — menggeser posisi alba sebagai vestimentum yang dikenakan pada saat melaksanakan pelayanan sakramen-sakramen dan fungsi-fungsi imamat lainnya.

Tidak ada busana serupa atau setara dengan surplis dalam Gereja-Gereja Timur. Dalam Gereja-Gereja Barat Non-Katolik, surplis terus dikenakan antara lain dalam Gereja Lutheran dan Komuni Anglikan.

Anglikanisme

 
Seorang imam Anglikan mengenakan surplis sebagai bagaian dari seragamnya.

Buku Doa Anglikan kedua, yang berasal dari Edward VI pada tahun 1552, menerangkan surplis, beserta tippet atau tudung akademis, sebagai satu-satunya vestimentum pejabat Gereja dalam "seluruh waktu pelayanan mereka", rohet secara praktis dianggap sebagai surplis uskup. Kaum reformasi yang lebih ekstrim ingin melenyapkannya sama sekali, akan tetapi Akta Keseragaman (Act of Uniformity) dari Ratu Elizabeth I tahun 1559 justru mempertahankannya, dan segala peraturan dan ketetapan yang dikeluarkan di bawah otoritasnya mendorong penggunaan surplis, meskipun peraturan dan ketetapan tersebut juga memerintahkan penghancuran "vestimentum-vestimentum Misa (massing vestments)" - yakni kasula, alba, stola dan sejenisnya.

Sejak saat itu surplis, dengan kap sebagai pengecualiannnya, menjadi satu-satunya vestimentum yang diizinkan oleh hukum untuk dikenakan para pejabat Gereja selain uskup dalam Gereja Inggris. Dan di luar dari para klerus dalam jenjang tahbisan, semua "pelayan jemaat" (termasuk anggota-anggota paduan suara gereja) katedral and gereja-gereja di dalam lingkupnya, serta para anggota dan sarjana kolose-kolose dalam kapela telah mengenakan surplis semenjak reformasi. Kaum klerus (sekurang-kurangnya para anggotanya yang lebih terhormat) sebagai tanda pembeda mempergunakan tippet atau syal yang disebut di atas, yakni sehelai selempang sutera hitam yang dikenakan seperti stola, namun jangan dicampur-adikkan dengan stola, karena tippet tidak memiliki arti liturgis dan awalnya hanya merupakan bagian busana klerus yang dikenakan di alam terbuka. Awalnya klerus hanya mengenakan surplis bilamana menyelenggarakan ibadah, dan pada saat akan berkhotbah mereka menggantinya dengan "gaun hitam", yakni gaun Jenewa atau toga akademik yang biasanya dikenakan di perguruan-perguruan tinggi. Akan tetapi kebiasaan ini hampir sepenuhnya ditinggalkan akibat gerakan Gereja Tinggi. "Gaun hitam", yang secara salah dianggap sebagai salah satu ciri Gereja Rendah, terus dipergunakan sampai sekarang dalam beberapa Gereja Injili, serta sebahagian besar Gereja-Gereja Protestan di Indonesia; jubah yang sama juga dikenakan oleh para pejabat akademik di perguruan-perguruan tinggi.

Bentuk tradisional surplis dalam Gereja Inggris tetap bertahan sejak zaman pra-reformasi: yakni tunik linen putih, berlengan lebar, panjangnya hampir mencapai kaki. Menjelang akhir abad ke-17, surplis dibuat seperti gaun lebar, terbuka di depan dan berkancing di leher, model surplis ini masih dapat dijumpai di universitas-universitas. Akibat pengaruh gaya kontinental, bentuk surplis saat ini ada yang panjangnya hanya mencapai lutut. Dalam gereja-gereja yang lebih "ekstrim" bentuk surplisnya meniru mentah-mentah surplis Gereja Katolik Ritus Latin.

Surplis dalam bahasa-bahasa lain

Naskah asli dari Encyclopædia Britannica 1911.