Pinaras merupakan salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia

SEJARAH

Di penghujung abad ke-18 (akhir tahun 1700-an) di Wanua Sarongsong (lihat: Pakasaan Tombulu dalam Suku Minahasa) beberapa orang pria mempunyai mata pencaharian menangkap hewan liar (mena'an) seperti babi hutan, rusa, sapi hutan dan sebagainya, dengan cara menanam jerat (litag). Mereka berkelompok-kelompok kecil dan tiap-tiap kelompok mempunyai seorang pemimpin yang disebut ”Tonaas” mengatur cara-cara pembuatan jerat juga mengatur pantangan-pantangan bagi setiap anggotanya. Mereka menempuh jarak yang cukup jauh untuk mencari tempat binatang-binatang hutan baik dalam bentuk hutan kayu maupun padang alang-alang yang menjadi tempat persembunyian binatang buruan. Bila nasib sedang malang jerat-jerat tidak menangkap hasil, mereka jemu untuk kembali dengan tangan hampa. Seringkali selama berhari-hari menunggu kemujuran untuk dapat pulang dengan hasil hewan tangkapan. Setiap kelompok mempunyai daerah tangkapan yang cukup luas sampai puluhan kilometer persegi. Untuk datang memeriksa apakah jerat-jerat (litag) mendapat hasil anggota-anggota kelompok ini dibagi pada berbagai jurusan. Tetapi untuk kembali mereka ke tempat Tonaas. Mereka diwajibkan untuk melapor secara bersamaan. Hal ini menjadi ketentuan dari Tonaas untuk menjaga apabila jerat berhasil menangkap binatang yang cukup besar seperti Weho'o (babi hutan besar) atau rusa apalagi sapi hutan (langkow) pasti tidak akan terpikul oleh satu orang melainkan secara gotong-royong. Walaupun mereka keluar kampung dengan jurusan yang berbeda, mereka harus kembali bersama-sama. Untuk itu setiap kali mereka hendak bertengkar melihat ada tidaknya hasil tangkapan mereka tidak lupa menentukan titik pertemuan. Bagi kelompok yang dibawah pimpinan Tonaas ”Sumendap” memilih lokasi tangkapan jurusan barat kampung Sarongsong. Setiap kali mereka pergi ”Sumondak” (mengambil hasil tangkapan) mereka menunjuk titik pertemuan untuk dapat kembali bersama-sama yaitu suatu tempat yang semak-semaknya yaitu diparas (dalam bahasa Tombulu ”Pinaras”), sehingga di tempat itu sudah ditumbuhi tumbuhan seperti rica (cabe), pepaya dan sejenis umbi hutan yang dapat dimakan (jenis ubi jalar). Sambil menunggu berita dan datangnya teman-teman yang lain mereka boleh makan daun pepaya yang dimasak dalam bambu muda, membakar umbi dan minum saguer (air nira) yang secara sampingan meraka sudah usahakan dalam waktu-waktu senggang. Setiap kali mereka saling bertanya, dimana kita harus bertemu untuk dapat kembali bersama-sama, mereka selalu menunjuk : Witi Pinaras (di Pinaras). Karena di tempat itu selalu menjadi tempat pertemuan, sehingga di tempat itu dibuatkan pondok (terung). Dan apabila Tonaas mau mengunjungi daerah tangkapan (pahta'anan) maka di tempat itu jugalah Tonaas diterima dengan penuh keseganan dari anggota-anggotanya. Setiap kali mereka berada di tempat itu sambil menunggu teman-teman yang lain mereka membuat kesibukan memperluas Pinaras sehingga lama kelamaan terjadilah di tempat itu suatu areal pertanian. Selain dari tumbuhan yang tumbuh dengan sendirinya di tempat itu, mereka juga sudah membawa bibit-bibit tanaman seperti ubi kayu, talas, pisang, sayur-sayuran bahkan beberapa biji kelapa untuk ditanam. Keadaan di tempat itu makin lama semakin berkembang karena akhirnya masing-masing anggota membuka ladangnya sendiri. Bahkan lama-kelamaan ditiap-tiap ladang terdapat pondok (terung) sehingga mereka lebih betah tinggal disana. Dengan makin beratnya tuntutan Pemerintah Belanda akan pembayaran pajak dan adanya tuntutan kerja paksa membuat jalan mengumpul batu sampai mangalas batu dimana mereka harus membawa bekal kadang-kadang sampai seminggu, yang mangakibatkan mata pencaharian mereka sering terbengkalai sehingga mereka lebih suka tinggal di tempat bernama Pinaras itu dari pada pulang kampung Sarongsong. Dalam usaha menghindari tuntutan Pemerintah Belanda yang makin berat itu lama-kelamaan mereka berangsur-angsur mengambil/memboyong keluarga mereka ketempat itu. Dengan demikian terjadilah kelompok orang terasing ditempat itu, sementara itu pula nama tempat itu makin dikenal yaitu ”Witi Pinaras” yang kemudian bernama Desa Pinaras sekarang. Setelah kelompok penghuni tempat bernama Pinaras ini menyadari bahwa mereka dalam hal ini sudah berdiri sendiri, dan kelompok ini makin hari makin bertambah jumlahnya, namun demikian sering terjadi gangguan keamanan sebab ada kelompok lain yang merasa berhak atas tanah yang mereka sudah tempati dan bahkan berusaha mengusir mereka. Untuk dapat mengatasi ancaman dari luar itu mereka bersepakat untuk memilih pemimpin/Tonaas mereka. Adapun syarat untuk menjadi Tonaas adalah : Berbadan kuat, pemberani dan memiliki kesaktian. Ternyata Sumendap yang sebelumnya sudah menjadi Tonaas pada mata pencaharian mereka terpilih kembali menjadi Tonaas Umbanua (kepala), dengan pembantunya bernama Suatan saudaranya. Demikian kedua orang ini menjadi pahlawan untuk mempertahankan nama Pinaras ini. Sekalipun menganut kepercayaan yang animis, namun mereka juga sudah mengakui adanya ”Empung Wailan Limoos un tana wo u langitt” (Tuhan yang kaya Pencipta Langit dan Bumi ). Untuk menjamin kepercayaan mereka itu, sehingga seseorang yang dianggap tertua menurut silsilah keturunan (Tua un Tale) dianggap sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhan (Empung). Orang yang mendapat kehormatan inilah yang disebut Walian, Walian dianggap sebagai sesepuh pemerintah yang dijalankan oleh Tonaas dan bahkan dianggap sebagai nabi. Seseorang yang merasa beroleh keuntungan (berkat) berkewajiban menyerahkan sebahagian hasilnya kepada Walian untuk keperluan persembahan. Walian-walian yang pernah disebut-sebut sebagai anutan penghuni Pinaras antaranya Tumilaar, Wola dan yang terakhir Walian dan Hukum tua dalam status desa.

SEJARAH PENGINJILAN

Pembaptisan warga Pinaras telah berlangsung di akhir tahun 1840an oleh Pandita (Pendeta) Nicolaas Philip Wilken yang kemudian membangun jemaat dengan mendirikan gereja yang digunakan pula untuk sekolah NZG di tahun 1854 (tahun resmi dicatat sebagai pendirian jemaat Pinaras oleh Wilken). Sebelum ada gereja warga jemaatnya masih beribadah di gereja Sarongsong (kini Syalom). Salah seorang tokoh yang dibaptis dalah Hukum Tua Jeheskiel Tulung yang dikisahkan jadi salah seorang penganjur penduduk masuk Kristen. Pemimpin jemaat awal Pinaras adalah guru Mesak Gosal yang memimpin sekolah NZG. Nama Mesak Gosal masih dicatatkan di tahun 1868. Masanya gereja sederhana diperbarui di tahun 1885. Penggantinya sebagai kepala sekolah Zending dan pemimpin jemaat Pinaras adalah Daniel Moningka asal Rurukan, tercatat arsip tahun 1885 memimpin sekolah Zending Pinaras yang memiliki 95 pelajar terdiri 45 lakilaki dan 24 anak wanita. Moningka diganti guru E.Kelung tercatat di 1887. Kemudian memimpin kembali Moningka. Ketika Daniel Moningka terpilih sebagai Hukum Tua Pinaras 1902, menggantikannya sebagai kepala sekolah sekaligus pemimpin jemaat guru Elli Ogi yang menggalakkan kesenian jemaat. Jemaat Pinaras (kelak bernama GMIM ‘Elim’) sejak tahun 1934 diketuai Penatua Jelle Bororing dengan Syamas Walla. Di tahun 1942 pelayanan jemaat Pinaras ditangani kembali Klasis Tomohon. Gereja GMIM 'Sarongsong'. *) Murid gereja. Gedung gereja yang telah pisah dari sekolah di tahun 1936, dibangun megah tahun 1977 dan ditahbiskan dengan dihadiri Gubernur Gustaf Mantik tanggal 31 Mei 1984. Dari jemaat ‘Elim’ Pinaras berdiri mekarannya Jemaat GMIM ‘Nimahesaan’. PEMERINTAHAN Awal sejarah pemerintahan dan didapatnya status desa untuk desa Pinaras, bermula dari laporan berulang-ulang dari para penginjil yang sudah sejak lama membentuk jemaatnya ditempat bernama Pinaras, bahkan sudah mendirikan sekolah walaupun masih sangat primitif. Untuk dapat meningkatkan usaha pendidikan yang disponsori oleh Zending, satu-satunya jalan adalah untuk mendapatkan subsidi dari Pemerintah, bahkan mereka ketahui bahwa dana untuk itu ada tersedia. Namun demikian, subsidi pendidikan tersebut hanya berlaku bagi yang mempunyai status desa. Alasan tersebut inilah yang mendorong Zending sehingga mendesak kepada pemerintah dalam hal ini Pemerintah Belanda untuk segera mengesahkan Pinaras sebagai desa difinitif. Pengesahan Pinaras sebagai desa definitif terjadi pada zaman pemerintahan Distrik Sarongsong oleh Mayor Wenas yang ditandai dengan penunjukkan oleh Mayor Wenas pada Yeheskiel Tulung asal Sarongsong menjadi Hukum Tua pertama desa Pinaras pada tahun 1875.

MASYARAKAT SAAT INI

Kelurahan Pinaras memiliki luas wilayah 398 ha. areal pemukiman 49,9 ha, areal persawahan 38 ha, pertanian 225 ha, perkebunan 13 ha dan areal kolam ikan sebesar 8 ha. Kelurahan Pinaras terdiri dari 8 lingkungan dengan jumlah penduduknya -+ 2267 yang terdiri dari : laki-laki 1192 jiwa dan wanita 1075 jiwa sedangkan jumlah Kepala Keluarga 585 KK. Sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani misalnya; petani cengkih, padi sawah, jagung, dll, yang semuanya itu mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga hingga dapat menyekolahkan anak-anak sampai kejenjang Perguruan Tinggi. Adapun sarana dan prasarana pendukung kesejahteraan masyarakat seperti; Puskesmas pembantu sebanyak 1 buah, Taman kanak-kanak (TK GMIM Kasih Ibu) sebanyak 1 buah, sekolah dasar 2 buah (SD GMIM Pinaras & SD Inpres Pinaras, dan sekolah menengah pertama sebanyak 1 buah (SMP PGRI Pinaras. Masyarakat Kelurahan Pinaras termasuk masyarakat yang religius dengan agama mayoritas Kristen Protestan sebanyak 90%, Umat Katolik 10% . Dan masing-masingnya menganut rasa saling menghormati antara satu dengan yang lain. Meskipun ada berbagai perbedaan pendapat namun kesemuanya itu dapat diatasi demi kemajuan dan terciptanya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Kehidupan masyarakat sungguh dijiwai semangat Mapalus. Ini terbukti dengan adanya kelompok-kelompok tani kecil yang dinamai Mapalus yang ada dimasing-masing lingkungan untuk mengerjakan kebun, juga yang masih sangat nyata kelihatan yakni; dalam acara-acara kedukaan, dimana semangat saling membantu dan gotong royong masih sangat kental dalam kehidupan bermasyarakat.

(dari berbagai sumber)

Lihat pula

  • Suku Minahasa
  • Marga Minahasa
  • Bahasa Tombulu
  • GMIM

Rujukan

  • -

Pranala luar