Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

Revisi sejak 9 September 2007 04.52 oleh Den Mazze (bicara | kontrib) (memindahkan Sejarah Yogyakarta ke Sejarah Keistimewaan dan Pemerintahan Prop DIY: ini hanya menyangkut sejarah keistimewaan dan pemerintahan Prop DIY bukan menyangkut sejarah secara keseluruhan maupun sejarah Yogyakarta. Sebab sejarah yogyakarta d)

Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk salah satu propinsi tertua yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Propinsi ini juga memiliki status istimewa, atau dengan bahasa saat ini otonomi khusus, bila dibandingkan dengan propinsi lainnya. Status otsus ini bukanlah turun begitu saja dari langit dan bukan pula, sepanjang tercatat oleh sejarah resmi, hasil dari upaya untuk meredam gejolak separatisme. Status ini boleh dikatakan merupakan sebuah “warisan” dari zaman sebelum kemerdekaan yang kemudian diakui oleh para founding fathers yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI.

Status keistimewaan bagi Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat dirunut jauh sekali ke belakang sebelum proklamasi Negara Indonesia. Pada tahun 1749, setelah menderita sakit parah yang berkepanjangan, Raja Mataram kesembilan, Susuhunan Paku Buwono II, menandatangani sebuah perjanjian pendek yang pada intinya “menitipkan” Kerajaan Mataram kepada VOC yang diwakili oleh Gubernur dan Direktur Jawa (lihat naskah di wikisource). Dengan demikian Kerajaan Mataram yang sejak tahun 1677 digerogoti Kompeni bukan lagi sebagai negara berdaulat penuh melainkan hanya semacam kerajaan protektorat dari VOC. Namun, perjanjian tersebut hanya di atas kertas belaka dan baru dilaksanakan sepenuhnya setelah kedatangan Gubernur Jenderal Perancis Daendels serta Letnan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles.

Dengan status semacam protektorat itulah Kesultanan Yogyakarta (mulai 1812) dan juga Kadipaten Paku Alaman (mulai 1813/1829?) diberi hak oleh pemerintah penjajahan Inggris untuk memerintah daerahnya sendiri dengan pengawasan teramat ketat dari gubermen di Buitenzorg/Batavia. Keadaan ini diteruskan oleh Pemerintah Nederlands Indië yang menerima kekuasaan dari Inggris pada 1816 dengan sebutan Zelfbestuurende Lanschappen. Status inilah yang dapat dipandang sebagai asal-usul status istimewa atau otonomi khusus bagi Yogyakarta dalam ketatanegaraan Indonesia. Perlu dicatat bahwa daerah yang tidak memiliki status zelfbestuur hanyalah daerah administratif belaka yang tidak memiliki otonomi sedikitpun dan dikendalikan sepenuhnya oleh Batavia.

Predikat sebagai “Zelfbestuur” bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa permasalahan yang berarti karena Hindia Belanda maupun Nederland sama-sama berbentuk monarki. Tidak aneh dalam tata negara sebuah kerajaan kesatuan memiliki beberapa kerajaan vassal di bawahnya. Status ini tidak dihapus pada 1942 oleh Tentara Angkatan Darat XVI Jepang di Jawa, melainkan kedudukannya hanya dialihkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang dan Asia Timur Raya dengan sebutan Koti/Kooti/Koti. Bahkan pada tahun 1943 Hamengkubuwono IX Yogyakarta Koo pernah mengajukan sebuah konsep Kemaharajaan Jawa kepada Dai Nippon di Betawi. Dalam sidang kedua Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai 10-15 Juli 1945 disepakati bahwa kooti akan menjadi daerah (bukan negara!) yang memiliki “otonomi khusus” atau dalam bahasa saat itu “status istimewa”.

Sementara itu di Yogyakarta sendiri terjadi beberapa perubahan kecil namun cukup signifikan. Pertama, sejak 1942 Hamengku Buwono IX secara pelan namun pasti mengambil kekuasaan yang ada di tangan Pepatih Dalem (Chief of Administrative Officer, berfungsi semacam kepala pemerintahan sehari-hari) dengan cara memindahkan kantor Pepatih Dalem dari nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri) ke Karaton (Istana Kerajaan) Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini menyebabkan pihak Kooti Zimukyoku jika ingin berhubungan dengan Pepatih Dalem harus dengan izin Sultan. Dengan demikian Hamengku Buwono IX dapat mengetahui seluruh kegiatan pemerintahan sehari-hari yang diselenggarakan oleh Pepatih Dalem bersama-sama Koti Zimukyoku Tyookan. Kedua, ketika Pepatih Dalem KPHH Danurejo VIII diberhentikan dengan hormat atas permohonan sendiri pada 14 Juli 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) tidak mengangkat Pepatih Dalem untuk menggantikannya. Sultan HB IX lebih memilih untuk mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan sehari-hari yang sebelumnya ada di tangan Pepatih Dalem. Untuk membantu melaksanakan kekuasaan tersebut Sultan HB IX membentuk beberapa Departemen Pemerintahan modern yang disebut dengan Paniradya yang dikepalai oleh Paniradyapati. Pembaruan pemerintahan ini diumumkan pada 1 Agustus 1945.

Pada Mulanya… : daerah istimewa yogyakarta tahun 1945-1946

Yogyakarta sore hari tanggal 18 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya kedua beliau sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirim ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya.

Keesokannya tanggal 19 di Jakarta terjadi pembicaraan yang hangat dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci.

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. (Pasal 18 UUD 1945)

Dalam sidang itu BPH Puruboyo', wakil dari Yogyakarta Kooti meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% zelf-standig dan perhubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena itu bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan yang sudah diserahkan Jepang kepada Koti sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan kegoncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, Oto Iskandardinata, mengemukakan bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitia kecil tidak membahasnya lebih lanjut dan diserahkan kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Supomo kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Akhirnya Soekarno pada hari itu mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empat Ko Jawa. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September setelah tahu sikap resmi dari para penguasa monarki.

Hari pertama bulan September Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Usai terbentuknya KNID dan BKR Sultan Hamengku Buwono IX, mengadakan pembicaraan dengan Paku Alam VIII (PA VIII) dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederlandsch Indische setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya pergi bergerilya melawan Sekutudan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.

Pada saat itu wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi: | | | (a) Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,

| | | (b) Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,

| | | (c) Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,

| | | (d) Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,

| | | (e) Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.

Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi: | | | (a) Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,

| | | (b) Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.

Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya daerah administratif belaka. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.

Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, HB IX dan PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai reunifikasi dua kerajaan yang terpisah lebih dari 100 tahun. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat.

Pembaruan pemerintahan di Monarki Yogyakarta terus berlangsung. Pada saat itu terdapat beberapa birokrasi pemerintahan yang saling tumpang tindih (over lapping) antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku), sebagai wakil pemerintah Pusat, Departemen Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu tidak hanya berebut kekuasaan belaka tetapi menghasilkan benturan yang cukup keras di kalangan masyarakat yang menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat desa.

Sementara itu BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang teramat tajam antara BP KNID yang menghendaki Yogyakarta adalah daerah biasa seperti daerah yang lain dengan kedua Sri Paduka yang menghendaki Yogyakarta merupakan daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah: I. Kedudukan Yogyakarta; II. Kekuasaan Pemerintahan; III. Kedudukan kedua Sri Paduka; IV. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan); V. Pemilihan Parlemen; VI. Keuangan; VII. Dewan Pertimbangan; VIII. Perubahan; IX. Aturan Peralihan; dan X Aturan Tambahan.

Menyandingkan Demokrasi Dengan Monarki: daerah istimewa Yogyakarta tahun 1946-1950

Sebagai realisasi keputusan sidang paripurna KNID tanggal 24 April 1946, maka pada 18 Mei 1946 diumumkan Maklumat No. 18 yang mengatur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan secara resmi dalam urusan pemerintahan, menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Maklumat ini menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya Undang-undang yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung yaitu Bab I tentang Kedudukan DIY; Bab VI tentang Keuangan; dan Bab VII tentang Dewan Pertimbangan.

Dalam maklumat tersebut ditetapkan kekuasaan legeslatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Kedua Sri Paduka [HB IX dan PA VIII], Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direkturial karena badan eksekutif tidak berada ditangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu ialah untuk persatuan dan menampung sekian banyak kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua Sri Paduka tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan pada Presiden.

Reorganisasi pemerintahan daerah pun segera dijalankan. Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Adipati Paku Alam VIII menjadi Wakil Kepala Daerah Istimewa. Walaupun pada prakteknya, PA VIII sering menjadi melaksanakan tugas Kepala Daerah saat HB IX menjadi Menteri Negara Indonesia maupun RIS sejak 1946-1951. Pegawai-pegawai Daerah yang terdiri dari berbagai birokrasi yang berbeda (birokrasi pemerintahan monarki dan birokrasi bentukan KNID) disatukan dalam Jawatan (Dinas) Daerah. DPRD-DPRD segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Mungkin ini adalah parlemen lokal yang pertama kali dibentuk dalam Negara Indonesia. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian untuk otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.

Pada 1947 dikeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta yang diusulkan oleh Dewan Kota Yogyakarta. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta di keluarkan dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari HB IX. Sebagai penyelesaian maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch yang turut pergi bersama Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.

Pada tahun 1948 Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut diatur kedudukan Daerah Istimewa.


| | |Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. (Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)|

| | |Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)

| | |…….. tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya, …. Juga … yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah. … jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. … . Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Propinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Propinsi biasa. (Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)|

| | |Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) … ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan “Zelfbestuurende landschappen”. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia … maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula … dan cara pemerintahannyapun … diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa … hanya mengenai Kepala Daerahnya … ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu … … … Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. ……. (Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)|


Walaupun demikian pemerintah pusat belum mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Pasca serangan umum 1 Maret 1949 Yogyakarta di jadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Baru setelah KMB ditandatangani, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) mengeluarkan beberapa UU dan Perpu untuk membentuk Propinsi di Pulau Jawa dan Sumatera.

Tahta Untuk Rakyat: daerah istimewa yogyakarta tahun 1950-1965

| | |Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Propinsi. (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)|

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sangat singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948.

Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota di Bantul); Sleman (beribukota di Sleman), Gunung-kidul (beribukota di Wonosari), Kulon Progo (beribukota di Sentolo) dan Adikarto (beribukota di Wates); serta sebuah Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota di Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).

Pada tahun 1951 diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi 18 kursi dari total 40 kursi DPRD, sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua Sri Paduka (HB IX dan PA VIII). Namun kedua Sri Paduka tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden. Dalam sistem yang dianut terdapat dua macam birokrasi yang boleh jadi saling over lapping. Dewan Pemerintah sebagai organ daerah dan Kepala Daerah sebagai organ pemerintah pusat.

Tahun 1951 ini pun tercatat sebagai awal pengembangan dan penataan birokrasi di DIY. Sekalipun DIY telah berintegrasi dengan Indonesia, tetapi birokrasi pemerintahan monarki tidak dihapuskan begitu saja mengingat selama 1945 sampai 1950 birokrasi ini menjadi tulang punggung birokrasi DIY. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem). Sedikit demi sedikit birokrasi ini dipisahkan dari birokrasi monarki (Karaton). Pada dasarnya kedua birokrasi ini dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian di Kepatihan di pimpin oleh PA VIII sedangkan bagian di Karaton yang disebut Parentah Hageng Karaton di pimpin oleh GP Hangabehi.

Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Permasalahan yang timbul antara lain masalah status kepegawaian antara pegawai kerajaan (Abdi Dalem) dengan pegawai pemda yang baru (bukan dari Abdi Dalem). Walaupun demikian setelah memakan waktu yang sangat lama akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Keraton Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.

Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang pemerintah daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUD Sementara.

| | |Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. (Pasal 3 UU No 1/1957)|

| | |Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I; …. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)|

| | |Propinsi/Daerah Istimewa setingkat Propinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU RI No 22 tahun 1948 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra … akan tetapi … sejak berlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan Daerah Tingkat ke II/Daerah Istimewa Tingkat II termaksud dalam UU ini. (Pasal 73 ayat (1) UU No 1/1957)|

| | |… Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat ………. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. ………………….. karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten … ditetapkan ... oleh Pemerintah Pusat. (Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)|


Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta dengan UU 22/1948. Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari Propinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini berdasarkan UU Drt No. 5 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562).

Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa juga tidak banyak berbeda.

| | |Kepala Daerah Istimewadiangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. (Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)|

The Last Emperor: daerah istimewa yogyakarta tahun 1965-1998

Pada tahun 1965 Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Propinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Propinsi). Dalam UU ini pula seluruh swapraja yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari suatu daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU yang dibuat dalam pengaruh komunisme ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta kelak dikemudian hari. Ini untuk mewujudkan tujuan komunis sama rata sama rasa. Kejadian ini mengingatkan pada penghapusan Daerah Istimewa Surakarta (1946) maupun penghancuran Kekaisaran Rusia (1917) oleh komunis.


| | |Pada saat berlakunya UU ini, maka: a. Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Propinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. (Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)|

| | |Sifat istimewa suatu daerah ……….., berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5). (Pasal 88 ayat (2) sub a dan b UU No 18/1965)|

| | |Daerah-daerah swapraja yang defacto maupun de jure ………. dinyatakan hapus. …….. (Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)|

| | |……………. maka Daerah yang bersifat istimewa …… disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta …….dan sebutan Daerah Istimewa Aceh …….. berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah ………………………………………………Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus. (Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965)|


Kebijakan ini juga diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Propinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan.

| | |Pada saat berlakunya UU ini: ……………… b. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya …..…… (Pasal 91 sub b UU No 5/1974)|

Dengan UU ini susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dan tidak ada perbedaan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Perbedaan yang ada hanyalah pada Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria yang nantinya pada 1982 juga disamakan dengan daerah lain, dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan.

Setelah berhenti dari Wakil Presiden pada 1978 Hamengkubuwono IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena pada 1988 Sultan terakhir dari Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat mangkat di Amerika Serikat dan dimakamkan di Pemakaman Raja-raja Mataram Imogiri. Sebuah dedikasi yang cukup tinggi kepada Bangsa dan Negara Indonesia diberikan, dengan motto Tahta Untuk Rakyat. Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Ngayogyakarta terlama antara 1939-1988.

Dengan wafatnya Hamengku Buwono IX Pemerintah Pusat tidak mengangkat Gubernur Definitif melainkan lebih memilih untuk menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Pelaksana Tugas Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada dekade 1990-an pernah muncul sebuah isu yang konon dilontarkan oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah waktu itu untuk menghapus Propinsi D. I. Yogyakarta dan menggabungkan bekas wilayahnya ke Propinsi/Daerah Tingkat I Jawa Tengah.

Pada saat gelombang reformasi menerpa Indonesia, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah teraman di Indonesia. Tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri Presiden saat itu, Soeharto, Sultan Hamengku Buwono X bersama-sama dengan Paku Alam VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi ajakan kepada masyarakat untukmendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatauan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat yang konon sampai melebihi jumlah seratus ribu orang dalam acara yang disebut Pisowanan Hageng. Pengeluaran maklumat ini bukanlah tanpa resiko. Apabila gerakan reformasi gagal dan terjadi set back dengan penggunaan kekuasaan militer seperti terjadi tahun 1966 maupun tragedi Tiananmen di Beijing, Tiongkok, maka dapat saja kedua tokoh tersebut dipenjara dengan tuduhan subversi maupun makar dan Propinsi D.I. Yogyakarta dihapuskan.

Pisowanan Hageng 20 Mei 1998 mungkin merupakan pengabdian besar terakhir dari Sri Paduka Paku Alam VIII. Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit. Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, Penjabat jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa, Pangeran terakhir Kadipaten Paku Alaman mangkat pada tahun yang sama. Beliau tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).

Kemana Biduk Kan Berlayar: daerah istimewa yogyakarta mulai tahun 1998

Mangkatnya Paku Alam VIII juga menyeret segudang masalah bagi Pemerintahan Propinsi DIY terutama masalah kepemimpinan. Terjadi tarik ulur dan perdebatan yang sangat melelahkan antara Pemerintah Pusat, DPRD Propinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Semuanya memiliki pemikiran dan membentuk kubu masing-masing. Permasalahan utama adalah apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sepeninggal Paku Alam VIII dari Pewaris Tahta atau terbuka untuk siapa saja; apakah akan dipilih oleh DPRD atau diangkat secara langsung (tanpa pemilihan) oleh Presiden Indonesia; serta masa jabatan Gubernur seumur hidup, seperti mendiang Sultan HB IX dan PA VIII, atau selama masa jabatan tertentu sesuai dengan peraturan (selama 5 tahun).

Keadaan ini sebenarnya disebabkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Akhirnya, atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003. Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Paku Alam IX tidak berjalan mulus maka HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Paku Alam IX ditahtakan namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.

Untuk menanggulangi masalah tersebut maka Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839), dalam aturan peralihan beserta penjelasannya mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Propinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Propinsi DIY adalah sama dengan propinsi-propinsi lainnya.

| | |Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan atas UU ini. (Pasal 122 UU No 22/1999)|

| | |……………Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini. (Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999)|

Pada tahun 2000 MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.

| | |Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945)|

PemProp DIY maupun DPRD DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi. Namun usul tesebut tidak mendapat respon yang positif bila dibandingkan dengan Prop NAD dan Prop Papua yang telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).

Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. Semua berkat rumusan pasal yang multi tafsir. Masyarakatpun terbelah menjadi setidaknya dua kubu. DPRD Prop DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki HB X dan PA IX ditetapkan (ditunjuk bukan melalui pemilihan!) menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Banyak tokoh yang mulai angkat bicara baik melalui dialog umum maupun media massa. Semua kembali pada pro dan kontra mengenai status istimewa dan isi keistimewaan Yogyakarta.

Sekali lagi HB X dan PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008, setelah sebagian besar masyarakat termasuk pegawai pemda mengajukan tuntutan kepada DPRD Propinsi DIY. Masalah menjadi mereda sebentar. Tahun 2004 masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Propinsi DIY diisyaratkan akan diatur secara khusus. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Propinsi DIY diterbitkan, maka seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah propinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Propinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProp dan DPRD.

| | |Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. ………….. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang……… (Pasal 2 ayat (1) dan (8) UU No 32/2004)|

| | |Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. (Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)|

| | |Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)|

| | |Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 21 Tahun 2001tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. (Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)|

Hal ini menyebabkan pertentangan semakin mencuat dan muncul ke permukaan. Banyak karangan artikel di surat kabar lokal maupun berbentuk buku yang berisi pro dan kontra terhadap keistimewaan. Masalahpun semakin melebar dengan pertanyaan keistimewaan apa yang dimiliki DIY. Sebagian besar masyarakat, dalam sebuah jajak pendapat surat kabar, berpendapat keistimewaan terletak pada kepemimpinan DIY di tangan dinasti Hamengku Buwono dan Paku Alam. Di tengah pro dan kontra masyarakat pada 7 April 2007 Sultan mengeluarkan pernyataan lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya ke-61 yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008. Sontak masyarakat DIY terkejut. Di harian lokal hampir setiap hari menyorot dan membicarakan masalah keistimewaan. Pro dan kontra semakin sengit. Akhirnya Pemerintah Pusat berjanji untuk menyelesaikan UU yang mengatur keistimewaan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2008.

Daftar Pustaka

P.J. Suwarno. (1994) Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius

Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI

Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Berbagai peraturan tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1948; UU 1/1957; PenPres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974; UU 22/1999; dan UU 32/2004)

Berbagai peraturan tentang pembentukan DIY, kabupaten dan kota dalam lingkungannya (UU 3/1950; UU 15/1950; UU 16/1950; UU 19/1950; PP 31/1950; PP 32/1950; UU 18/1951; UU Drt 5/1957; UU 14/1958)

Berbagai surat kabar lokal dan nasional

Berbagai sumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena banyaknya

Lihat Pula

[Daerah Istimewa Yogyakarta]

[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]

[Kadipaten Paku Alaman]

Badai Pasti Berlalu: sebuah diskusi keistimewaan bagi yogyakarta

Masalah Keistimewaan Yogyakarta sebenarnya telah ada sejak sidang BPUPKI. Sebenarnya hal itu tidak hanya menyangkut Yogyakarta saja melainkan juga seluruh Kooti-kooti di To Indo. Ini bermula dari bentuk negara Indonesia yang akan didirikan. Untuk menentukan bentuk negara Indonesia yang merdeka maka badan tersebut melakukan pemungutan suara setelah terjadi perdebatan yang alot. Hasil dari voting para founding fathers adalah 55 suara memilih bentuk republik, 6 suara memilih bentuk kerajaan, dan 2 suara bentuk lain-lain, serta 1 suara abstain. Selain itu dalam panitia kecil perancang undang-undang dasar di lakukan penungutan suara dengan hasil memilih bentuk negara kesatuan. Dengan demikian negara Indonesia tidak akan memiliki vassal dalam wiilayahnya. Akhirnya diputuskan Kooti hanya menjadi suatu daerah dan bukan suatu Negara (State).

Situasi yang lebih memanas timbul pada sidang PPKI tanggal 19 Agustus ketika merumuskan kedudukan dan bentuk pemerintah daerah di Indonesia. Walau pada akhirnya kedudukan dan status Kooti dipertahankan seperti sediakala sambil menunggu UU pemerintahan daerah. Banyak usaha untuk menghapuskan Status Keistimewaan Yogyakarta. Diantaranya adalah ketika pengeluaran maklumat 18/1946 dimana dalam rancangan BP Dewan Daerah Yogyakarta hanya disebut sebagai Daerah Yogyakarta bukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ketika UU pemerintahan daerah lahir (UU 22/1948) keistimewaannya secara eksplisit hanya menyangkut Kepemimpinan Daerah. Kepemimpinan ditentukan berasal dari penguasa (baca Raja) yang berkuasa dan memenuhi syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan terhadap RI. Demikian pula dengan UU 1/1957 dan PenPres 6/1959 secara eksplisit ditentukan sama seperti UU sebelumnya. Secara implisit suksesi kepemimpinan juga diatur. Karena penguasa menganut sistem monarki maka tidak bisa tidak suksesi kepemimpinan daerah istimewa juga ditentukan dengan sistem dinasti.

Kegoncangan timbul ketika disahkannya UU 18/1965 yang hanya mengatur kepemimpinan DIY tanpa mengatur suksesinya. Bahkan diisyaratkan dengan jelas keistimewaannya akan dihapuskan. Hal ini dapat dipahami karena parlemen dan juga presiden waktu itu sangat dipengaruhi paham komunis. Walau tidak setegas UU sebelumnya, UU 5/1974 juga mengandung kelemahan yang sama. Kepemimpinan hanya diatur sebatas HB IX dan PA VIII saja tanpa memperhitungkan suksesinya.

Problem muncul ketika HB IX mangkat. Siapa pengganti beliau sebagai Sultan maupun kedudukan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Akhirnya P. Mangkubumi tahtakan sebagai Hamengku Buwono X sebagai Sultan (Keraton) Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun pemerintah pusat tidak mengangkatnya langsung sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa menggantikan mendiang ayahnya, melainkan menunjuk PA VIII sebagai PLT Gubernur DIY. Masalah menjadi semakin runyam ketika PA VIII juga wafat. DPRD DIY “ngotot” dilakukan pemilihan, sedangkan sebagian masyarakat kukuh pada pendapat HB X-lah yang berhak menjadi Gubernur. Hal ini juga terjadi di tahun 2003 ketika masa jabatan HB X sebagai gubernur habis.

Keadaan ini sebenarnya dipicu oleh suatu “kekosongan hukum”. UU No. 22/1948 yang menjadi dasar UU No. 3/1950 mengenai pembentukan DIY, yang juga mengatur siapa yang berhak Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Gubernur /Wakil Kepala Daerah Istimewa, secara implisit juga mengenai suksesinya, telah lama dicabut. Sedangkan UU penggantinya tidak mengatur secara tegas. UU 22/1999 yang menjadi dasar hukum saat itu pun sangatlah multi tafsir. Pendukung Sultan mengatakan Gubernur harus diangkat. Sedangkan kelompok kontra, atas nama demokrasi dan reformasi menghendaki pemilihan gubernur dari DPRD. Perang di media massa pun berkobar.Masyarakat terpecah dan hampir terjadi bentrokan yang meluas. Walau HB X dan PA IX diangkat menjadi gubernur dan wakil gubernur, masalah tidak menjadi selesai melainkan menjadi bom waktu yang kapan saja siap meledak.

Sikap Pusat yang mendahulukan Aceh dan Papua dapat dipahami. Namun rakyat Yogyakarta lagi-lagi dibuat kecewa lebih dari lima tahun menunggu penyelesaian RUU Keistimewaan tanpa kepastian. Apakah harus ada gerakan separatisme untuk menarik perhatian Pusat. Bukankah Yogyakarta hanya meminta penegasan dari Pusat apakah keistimewaan yang selama ini ada (kepemimpinan dari dinasti) tetap dipertahankan atau sama sekali dihapuskan dan dijadikan Propinsi Yogyakarta atau malahan digabung dengan Propinsi Jawa Tengah. Penerbitan UU 32/2004 sebenarnya telah memangkas habis keistimewaan DIY walau dengan bahasa yang amat halus. Keistimewaan sama seperti UU 22/1999 namun UU 22/1999 sendiri dicabut dengan UU 32/2004. Dengan kata lain Propinsi DIY disamakan dengan seluruh daerah di Indonesia tanpa urusan perkecualian.

Keluarnya UU Pemerintahan Aceh sebagai hasil Perjanjian Helsinki antara RI dan GAM semakin mengobarkan pertentangan. Seorang tokoh di Yogyakarta berpendapat apakah keistimewaan hanya gubernur adalah sultan, atau hal yang lain yang menyejahterakan rakyat, sebab HB IX bertekad tahta untuk rakyat dan HB X bertekad tahta untuk kesejahteraan sosial. Klimaks pertentangan ini adalah pernyataan HB X tentang ketidak sediaan menjadi Gubernur. Tentu saja pernyataan ini mendapat reaksi keras dari sebagian rakyat dan kepala desa yang harus ditentramkan oleh Sultan sendiri.

Dengan melihat Otsus di Papua maupun Aceh sebenarnya tidak begitu sulit untuk mengatur Keistimewaan DIY. Di Papua terdapat MRP sebagai representasi masyarakat adat setempat. Dan di Aceh terdapat Dewan Ulama dan Wali Nanggroe sebagai penjaga adat dan syariat. Di Aceh sebenarnya dapat dikatakan memakai satu negara dua sistem. Indonesia dengan Pancasilanya dan Aceh selain Pancasila juga menggunakan "kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Sistem ini hampir sama dengan Hongkong maupun Macauyang menggunakan demokrasi liberal sedangkan negara induknya Tiongkok menggunakan sistem Sosialis-Komunis. Jika satu negara dua sistem (Pancasila dan Syariat Islam) itu bisa diterapkan di Aceh lalu mengapa tidak di Yogyakarta dengan menerapkan satu negara dua sistem. Indonesia dengan bentuk Republik dan Yogyakarta dengan bentuk Monarki Konstitusional. Hal ini memiliki dasar dalam persidangan BPUPKI dimana ada suara yang menghendaki bentuk kerajaan.

Mengenai bentuk monarki konstitusional dapat mencontoh Jepang, Thailand, ataupun Inggris. Di Jepang Kaisar hanyalah simbol persatuan dan sama sekali tidak memiliki dan dilarang turut campur dalam kekuasaan pemerintahan. Kaisar hanya memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan yang bersifat administratif seperti mengumunkan peraturan perundangan, melantik pejabat, dan tindakan lain yang diperintahkan konstitusi (lihat konstitusi Jepang Chapter I Article 1-8). Di Inggris Ratu (Queen), selain tindakan administratif, masih memiliki kekuasaan melalui anggota Majelis Tinggi (House of Lord) dalam Parlemen. Sedangkan di Thailand Raja memiliki hak-hak istimewa seperti veto.

Akhirnya Dep Dagri menunjuk JIP UGM untuk membuat Naskah Akademik RUU Keistimewaan Yogyakarta. Naskah ini juga belum memenuhi harapan semua pihak. Sementara itu Dewan Perwakilan Daerah juga menurunkan timnya untuk persiapan mengajukan amandeman UU 3/1950 yang dipimpin oleh Subardi anggota DPD asal DIY sesuai hak konstitusional DPD. Untuk sementara versi RUU baik dari Dep Dagri maupun DPD telah selesai disusun akhir Agustus 2007 untuk kemudian diajukan ke DPR. Kini rakyat Yogyakarta menunggu “Goodwill itikad yang baik dari Pusat (Presiden dan DPR RI)”. Semoga.

Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Propinsi. (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)