Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk salah satu propinsi tertua yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Propinsi ini juga memiliki status istimewa, atau dengan bahasa saat ini otonomi khusus, bila dibandingkan dengan propinsi lainnya. Status otsus ini bukanlah turun begitu saja dari langit dan bukan pula, sepanjang tercatat oleh sejarah resmi, hasil dari upaya untuk meredam gejolak separatisme. Status ini boleh dikatakan merupakan sebuah “warisan” dari zaman sebelum kemerdekaan yang kemudian diakui oleh para founding fathers yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI.
Status keistimewaan bagi Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat dirunut jauh sekali ke belakang sebelum proklamasi Negara Indonesia. Pada tahun 1749, setelah menderita sakit parah yang berkepanjangan, Raja Mataram kesembilan, Susuhunan Paku Buwono II, menandatangani sebuah perjanjian pendek yang pada intinya “menitipkan” Kerajaan Mataram kepada VOC yang diwakili oleh Gubernur dan Direktur Jawa (lihat naskah di wikisource). Dengan demikian Kerajaan Mataram yang sejak tahun 1677 digerogoti Kompeni bukan lagi sebagai negara berdaulat penuh melainkan hanya semacam kerajaan protektorat dari VOC. Namun, perjanjian tersebut hanya di atas kertas belaka dan baru dilaksanakan sepenuhnya setelah kedatangan Gubernur Jenderal Perancis Daendels serta Letnan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles.
Dengan status semacam protektorat itulah Kesultanan Yogyakarta (mulai 1812) dan juga Kadipaten Paku Alaman (mulai 1813/1829?) diberi hak oleh pemerintah penjajahan Inggris untuk memerintah daerahnya sendiri dengan pengawasan teramat ketat dari gubermen di Buitenzorg/Batavia. Keadaan ini diteruskan oleh Pemerintah Nederlands Indië yang menerima kekuasaan dari Inggris pada 1816 dengan sebutan Zelfbestuurende Lanschappen. Status inilah yang dapat dipandang sebagai asal-usul status istimewa atau otonomi khusus bagi Yogyakarta dalam ketatanegaraan Indonesia. Perlu dicatat bahwa daerah yang tidak memiliki status zelfbestuur hanyalah daerah administratif belaka yang tidak memiliki otonomi sedikitpun dan dikendalikan sepenuhnya oleh Batavia.
Predikat sebagai “Zelfbestuur” bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa permasalahan yang berarti karena Hindia Belanda maupun Nederland sama-sama berbentuk monarki. Tidak aneh dalam tata negara sebuah kerajaan kesatuan memiliki beberapa kerajaan vassal di bawahnya. Status ini tidak dihapus pada 1942 oleh Tentara Angkatan Darat XVI Jepang di Jawa, melainkan kedudukannya hanya dialihkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang dan Asia Timur Raya dengan sebutan Koti/Kooti. Bahkan pada tahun 1943 Hamengkubuwono IX Yogyakarta Koo pernah mengajukan sebuah konsep Kemaharajaan Jawa kepada Dai Nippon di Betawi. Dalam sidang kedua Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai 10-15 Juli 1945 disepakati bahwa kooti akan menjadi daerah (bukan negara!) yang memiliki “otonomi khusus” atau dalam bahasa saat itu “status istimewa”.
Sementara itu di Yogyakarta sendiri terjadi beberapa perubahan kecil namun cukup signifikan. Pertama, sejak 1942 Hamengku Buwono IX secara pelan namun pasti mengambil kekuasaan yang ada di tangan Pepatih Dalem (Chief of Administrative Officer, berfungsi semacam kepala pemerintahan sehari-hari) dengan cara memindahkan kantor Pepatih Dalem dari nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri) ke Karaton (Kraton/Istana Kerajaan) Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini menyebabkan pihak Kooti Zimukyoku jika ingin berhubungan dengan Pepatih Dalem harus dengan izin Sultan. Dengan demikian Hamengku Buwono IX dapat mengetahui seluruh kegiatan pemerintahan sehari-hari yang diselenggarakan oleh Pepatih Dalem bersama-sama Koti Zimukyoku Tyookan. Kedua, ketika Pepatih Dalem KPHH Danurejo VIII diberhentikan dengan hormat atas permohonan sendiri pada 14 Juli 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) tidak mengangkat Pepatih Dalem untuk menggantikannya. Sultan HB IX lebih memilih untuk mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan sehari-hari yang sebelumnya ada di tangan Pepatih Dalem. Untuk membantu melaksanakan kekuasaan tersebut Sultan HB IX membentuk beberapa Departemen Pemerintahan modern yang disebut dengan Paniradya yang dikepalai oleh Paniradyapati. Pembaruan pemerintahan ini diumumkan pada 1 Agustus 1945.
Pada Mulanya …
Yogyakarta sore hari tanggal 18 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya kedua beliau sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirim ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Keesokannya tanggal 19 di Jakarta terjadi pembicaraan yang hangat dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci.
Dalam sidang itu BPH Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% zelf-standig dan perhubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena itu bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan yang sudah diserahkan Jepang kepada Koti sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan kegoncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, Oto Iskandardinata, mengemukakan bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitia kecil tidak membahasnya lebih lanjut dan diserahkan kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Supomo kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Akhirnya Soekarno pada hari itu mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empat Ko Jawa. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September setelah tahu sikap resmi dari para penguasa monarki.
Hari pertama bulan September Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Usai terbentuknya KNID dan BKR Sultan Hamengku Buwono IX, mengadakan pembicaraan dengan Paku Alam VIII (PA VIII) dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederlandsch Indische setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya pergi bergerilya melawan Sekutudan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Pada saat itu wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi:
- Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
- Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
- Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
- Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
- (e) Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
- (a) Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
- (b) Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya daerah administratif belaka. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950. Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, HB IX dan PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai reunifikasi dua kerajaan yang terpisah lebih dari 100 tahun. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat.
Pembaruan pemerintahan di Monarki Yogyakarta terus berlangsung. Pada saat itu terdapat beberapa birokrasi pemerintahan yang saling tumpang tindih (over lapping) antara bekas Kantor Komisariat Tinggi' (Kooti Zimukyoku), sebagai wakil pemerintah Pusat, Departemen Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu tidak hanya berebut kekuasaan belaka tetapi menghasilkan benturan yang cukup keras di kalangan masyarakat yang menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat desa.
Sementara itu BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang teramat tajam antara BP KNID yang menghendaki Yogyakarta adalah daerah biasa seperti daerah yang lain dengan kedua Sri Paduka yang menghendaki Yogyakarta merupakan daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah: I. Kedudukan Yogyakarta; II. Kekuasaan Pemerintahan; III. Kedudukan kedua Sri Paduka; IV. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan); V. Pemilihan Parlemen; VI. Keuangan; VII. Dewan Pertimbangan; VIII. Perubahan; IX. Aturan Peralihan; dan X Aturan Tambahan.
Menyandingkan Demokrasi Dengan Monarki
Sebagai realisasi keputusan sidang paripurna KNID tanggal 24 April 1946, maka pada 18 Mei 1946 diumumkan Maklumat No. 18 yang mengatur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan secara resmi dalam urusan pemerintahan, menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Maklumat ini menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya Undang-undang yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung yaitu Bab I tentang Kedudukan DIY; Bab VI tentang Keuangan; dan Bab VII tentang Dewan Pertimbangan. Dalam maklumat tersebut ditetapkan kekuasaan legeslatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Kedua Sri Paduka [HB IX dan PA VIII], Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorial karena badan eksekutif tidak berada ditangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu ialah untuk persatuan dan menampung sekian banyak kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua Sri Paduka tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan pada Presiden.
Reorganisasi pemerintahan daerah pun segera dijalankan. Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Adipati Paku Alam VIII menjadi Wakil Kepala Daerah Istimewa. Walaupun pada prakteknya, PA VIII sering menjadi melaksanakan tugas Kepala Daerah saat HB IX menjadi Menteri Negara Indonesia maupun RIS sejak 1946-1951. Pegawai-pegawai Daerah yang terdiri dari berbagai birokrasi yang berbeda (birokrasi pemerintahan monarki dan birokrasi bentukan KNID) disatukan dalam Jawatan (Dinas) Daerah. DPRD-DPRD segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Mungkin ini adalah parlemen lokal yang pertama kali dibentuk dalam Negara Indonesia. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian untuk otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pada 1947 dikeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta yang diusulkan oleh Dewan Kota Yogyakarta. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta di keluarkan dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari HB IX. Sebagai penyelesaian maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch yang turut pergi mengungsi bersama Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
Pada tahun 1948 Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut diatur kedudukan Daerah Istimewa.
Walaupun demikian pemerintah pusat belum mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Pasca serangan umum 1 Maret 1949 Yogyakarta di jadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Baru setelah KMB ditandatangani, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) mengeluarkan beberapa UU dan Perpu untuk membentuk Propinsi di Pulau Jawa dan Sumatera.
Tahta Untuk Rakyat
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sangat singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948.
Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota di Bantul); Sleman (beribukota di Sleman), Gunung-kidul (beribukota di Wonosari), Kulon Progo (beribukota di Sentolo) dan Adikarto (beribukota di Wates); serta sebuah Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota di Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).
Pada tahun 1951 diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi 18 kursi dari total 40 kursi DPRD, sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua Sri Paduka (HB IX dan PA VIII). Namun kedua Sri Paduka tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden. Dalam sistem yang dianut terdapat dua macam birokrasi yang boleh jadi saling over lapping. Dewan Pemerintah sebagai organ daerah dan Kepala Daerah sebagai organ pemerintah pusat.
Tahun 1951 ini pun tercatat sebagai awal pengembangan dan penataan birokrasi di DIY. Sekalipun DIY telah berintegrasi dengan Indonesia, tetapi birokrasi pemerintahan monarki tidak dihapuskan begitu saja mengingat selama 1945 sampai 1950 birokrasi ini menjadi tulang punggung birokrasi DIY. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem). Sedikit demi sedikit birokrasi ini dipisahkan dari birokrasi monarki (Karaton). Pada dasarnya kedua birokrasi ini dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian di Kepatihan di pimpin oleh PA VIII sedangkan bagian di Karaton yang disebut Parentah Hageng Karaton di pimpin oleh GP Hangabehi.
Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Permasalahan yang timbul antara lain masalah status kepegawaian antara pegawai kerajaan (Abdi Dalem) dengan pegawai pemda yang baru (bukan dari Abdi Dalem). Walaupun demikian setelah memakan waktu yang sangat lama akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Kraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang pemerintah daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUD Sementara.
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta dengan UU 22/1948. Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari Propinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini berdasarkan UU Drt No. 5 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562).
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa juga tidak banyak berbeda.