Restoran Padang

Revisi sejak 10 September 2007 09.29 oleh Cleaner (bicara | kontrib) (gabung Masakan Padang)

Restoran Padang adalah sebutan untuk usaha rumah makan di Indonesia yang khusus menyajikan masakan Padang.

Berkas:Padang waiters.jpg
Para pelayan di restoran Padang yang dengan tangkas dan lihai membawa tumpukan piring berisi masakan yang siap disajikan

Makanan

Makanan yang disajikan merupakan masakan khas dari Padang, dimana masakannya disebut sebagai masakan Padang.

Masakan Padang
merupakan nama yang digunakan untuk menyebut segala jenis masakan yang berasal dari Sumatra Barat. Semua jenis masakan Minangkabau walaupun bukan berasal dari kota Padang akan tetap mendapat sebutan masakan Padang.

Pengelolaan

Pada umumnya manajemen restoran Padang dikelola oleh keluarga atau kaum kerabat sekampung. Pengelola restoran Padang banyak menganut falsafah Minang yang demokratis, seperti berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, hal ini terlihat dari pembagian keuntungan yang dibagikan setiap seratus hari kerja, dengan sistem bagi hasil berdasarkan indeks prestasi. Cara seperti ini, akan mendorong karyawan untuk berprestasi, mereka akan berusaha melayani tamu sebaik-baiknya agar tamu mau datang kembali. Sistem bagi hasil seperti ini menjadikan karyawan merasa ikut memiliki perusahaan.

Untuk memahami pengelolaan restoran, setiap karyawan harus melewati proses pengkaderan lengkap khas rumah makan. Biasanya karier mereka dimulai dari pencuci piring, kemudian meningkat sebagai penyiap makanan, pelayan tamu, kasir, hingga menjadi manajer.

Pelayan restoran Padang umumnya pria. Jarang sekali profesi pelayan restoran Padang dipegang oleh wanita. Hal ini disebabkan tingginya kedudukan wanita dalam adat Minangkabau. Pelayan restoran Padang mempunyai keunikan dalam menyajikan hidangan.Mereka akan membawa sejumlah piring hidangan secara sekaligus dengan bertingkat-tingkat/bertumpuk-tumpuk dengan kedua belah atau sebelah tangan saja. Hal ini merupakan atraksi yang cukup menarik bagi para pengunjungnya.

Jaringan

Jaringan restoran Padang telah berkembang sejak lama. Diantara jaringan restoran Padang yang ada, restoran Sederhana dan Natrabu yang paling banyak dijumpai di kota-kota besar, bahkan kini restoran Sederhana telah mewaralabakan produknya.

Dari jalan lintas di Sumatera dan Jawa, hingga ke pusat perbelanjaan sejuk dan wangi di kota-kota besar, restoran Padang menawarkan rasa yang mengundang. Sekadar gambaran, di Bali saja ada sekitar 100 restoran Padang. Tentu mereka tidak hanya melayani sekitar 6.000 orang Minang perantauan yang telah menjadi penduduk Bali. Data lain dari Ikatan Warung Padang Indonesia (Iwapin) mencatat, di wilayah Jakarta dan sekitarnya ada sekitar 20.000 restoran Padang[1].

Cita Rasa

 
Warga Amerika Serikat yang tengah menikmati masakan Padang di sebuah restoran Padang di Jakarta. Masakan Padangpun disukai oleh tamu dari mancanegara.

Restoran ini menawarkan jenis masakan seperti rendang, gulai gajebo, soto Padang, dendeng balado, dan gulai kepala ikan kakap. Dalam setiap penyajiannya tidak lupa pula dihidangkan sambal balado sebagai perangsang makan. Soal rasa itulah yang boleh jadi membuat restoran Padang terus berkembang di tengah beragam jajanan impor.

Demi cita rasa itu pula, konon banyak restoran Padang yang masih mengimpor bahan dari ranah Minang. Restoran Sari Ratu yang membuka usaha di 12 pusat perbelanjaan di Jakarta misalnya, mendatangkan telor bebek dari Sumatera Barat. Menurut Direktur Sari Ratu, telor itu dihasilkan oleh bebek yang digembalakan dan memakan pakan alami. Para bebek tersebut dipercaya menghasilkan rasa telor yang lebih enak dibanding bebek yang mengonsumsi pakan buatan pabrik. Demikian pula bahan baku kelapa, yang juga didatangkan dari Sumatera Barat, yang berpengaruh pada rasa dan warna santan.

Restoran Citra Bundo di Semarang juga mempertahankan otentisitas rasa padang dengan mendatangkan racikan bumbu kering dari kota Padang. Pengelola restoran Padang juga mempertahankan keaslian rasa masakan Minang dengan menggunakan koki dari Sumatera Barat. Atau setidaknya mereka meminta bantuan lidah orisinal untuk mengontrol kualitas masakan. Rahimi Sutan (75), pria asal Payakumbuh yang mendirikan restoran Padang Natrabu pada 1960 misalnya, mengajak ibu kandungnya sebagai pengontrol rasa di masa awal beroporesinya Natrabu[2].

Beberapa pengelola restoran perlu mempertimbangkan tabiat lidah konsumen di luar komunitas Minang. Sari Ratu dan Natrabu misalnya, hanya mentoleransi tingkat kepedasan alias kadar cabai dalam sambal. Di luar urusan pedas yang relatif itu, pengelola restoran Padang tetap menjaga keaslian rasa dan tidak berkompromi dengan rasa lokal[3].

Referensi

  1. ^ http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/25/latar/331202.htm
  2. ^ http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/25/latar/331202.htm
  3. ^ http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/25/latar/331202.htm

Lihat juga

Pranala Luar