Kehutanan

suatu praktik untuk membuat, mengelola, menggunakan dan melestarikan hutan untuk kepentingan manusia.
Revisi sejak 4 Oktober 2007 03.51 oleh Wanaguna (bicara | kontrib)
Hutan pantai di Slovenia.

DEFINISI

Kehutanan adalah suatu praktek untuk membuat, mengelola, menggunakan dan melestarikan hutan untuk kepentingan manusia.

Berdasarkan Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, definisi kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

Teori Kehutanan

Menurut Simon (1998), perkembangan teori pengelolaan hutan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kategori kehutanan konvensional dan kategori kehutanan modern (kehutanan sosial).

Kehutanan Konvensional

Teori pengelolaan hutan yang termasuk ke dalam kehutanan konvensional adalah penambangan kayu atau timber extraction (TE) dan perkebunan kayu atau timber management (TM).

Kehutanan Modern

Kehutanan sosial adalah pengelolaan hutan sebagai sumberdaya atau forest resource management (FRM) dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem atau forest ecosystem management (FEM). Keduanya disebut juga dengan istilah lain Sustainable Forestry Management (SFM). Ketiga teori pengelolaan hutan tersebut, secara evolutif berkembang, sejak dari mulai penambangan kayu (TE) hingga sampai pada pengelolaan ekosistem hutan (FEM).

1. Timber Extraction (TE)

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Konsepsi kehutanan masyarakat (community forestry/CF) sebenarnya relatif baru karena muncul sebagai tanggapan dari kegagalan konsep industrialisasi kehutanan yang populer pada sekitar tahun 1960-an. Yang menarik, penggagas CF justru ekonom kehutanan yang merasa bersalah karena terlibat dalam inisiatif industrialisasi kehutanan. Orang itu bernama Jack Westoby (Munggoro, 1998). Ia kemudian tercatat sebagai salah seorang yang banyak terlibat dalam gagasan tema pokok Kongres Kehutanan Dunia VII yang diselenggarakan pada tahun 1978 di Jakarta: Forest for People. Kristalisasi pikiran – pikirannya tentang CF ini kemudian banyak dipublikasikan FAO. Dan kemudian pada tahun 1983, secara resmi FAO mendefinisikan CF sebagai : “konsep radikal kehutanan yang berintikan pastisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan memutuskan sendiri apa yang mereka kehendaki“. Hal ini berarti memfasilitasi mereka dengan saran dan masukan yang diperlukan untuk menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka dan memperoleh keuntungan maksimal dari sumberdaya itu dan memanennya secara maksimum. CF didedikasikan sebagai gagasan untuk meningkatkan keuntungan langsung sumber daya hutan kepada masyarakat pedesaan yang miskin. Beberapa tahun terakhir ini konsepsi kehutanan masyarakat (CF) sering dikonfrontasikan dengan konsep perhutanan sosial yang merupakan terjemahan dari social forestry (SF). Konsepsi SF lebih dikonotasikan sebagai bentuk pengusahaan kehutanan yang dimodifikasi supaya keuntungan yang diperoleh dari pembalakan kayu didistribusikan kepada masyarakat lokal. Dan kemudian di Indonesia Perum Perhutani – sebagai salah satu pelopor SF di Indonesia – mendefenisikan bahwa SF adalah: “Suatu sistem di mana masyarakat lokal berpartisipasi dalam manajemen hutan dengan tekanan pada pembuatan hutan tanaman“. Tujuan sistem SF adalah reforestasi yang jika berhasil akan meningkatkan fungsi hutan, dan pada saat yang bersamaan meningkatkan kesejahteraan sosial. Mengacu pada defenisi Perhutani ini memang jelas terlihat perbedaan antara CF dan SF. Terlepas dari adanya perbedaan dan pertentangan defenisi antara kehutanan masyarakat (CF) dan perhutanan sosial (SF), di Indonesia kini berkembang berbagai model dan konsepsi kehutanan yang mengklaim merupakan derivasi dari konsepsi CF ataupun SF. Pada awalnya social forestry sering mengacu kepada bentuk kehutanan industri¬al (konvensional) yang dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi keun¬tungan kepada masyarakat lokal. Sedangkan community forestry lebih menekan¬kan bahwa kehutanan harus dikontrol oleh masyarakat lokal (Gilmour dan Fisher, 1991). Sementara Noronha dan Spears (1985) menganggap bahwa perbedaan istilah-istilah itu hanya semantik belaka. Namun umumnya istilah social forestry digunakan sebagai istilah payung yang mencakup program-program dan kegiatan kehutanan yang sedikit atau banyak melibatkan peranan masyarakat atau rakyat lokal, atau yang dikembangkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Blair dan Olpadwala (1988) membedakan social forestry ke dalam dua komponen, yaitu community forestry yang merupakan penumbuhan pohon-pohon oleh organisasi lokal (yang mungkin diprakarsai pemerintah) pada bidang-bidang lahan umum (village commons, la¬han negara untuk beragam kegunaan/serbaguna). Kedua, farm forestry terdiri dari pemilik-pemilik lahan yang menanam pohon-pohon di lahan milik mere¬ka. Dalam hal ini status lahan (lahan umum atau lahan milik individu) dan unit pengelolaan (organisasi, kelompok, atau individu) dijadikan dasar untuk membedakan praktek social forestry. Berbeda dengan Blair dan Olpadwala, Rao (1979) membedakan praktek-praktek social forestry mencakup farm forestry (penanaman pohon-pohon di lahan pertanian), extension forestry (penanaman pohon-pohon di luar lahan pertanian dan di luar hutan lindung) misalnya di sempadan jalan raya dan rel kereta api, dan urban forestry (penanaman pohon¬pohon di perkotaan). Dalam hal ini lokasi lahan dijadikan dasar untuk membedakan praktek social forestry. Kirchhofer dan Mercer (1986:326) membedakan bentuk social forestry berda¬sarkan keterlibatan masyarakat. Pertama, community forestry (village based), dan national campaign. Kedua, program yang mensyaratkan tindakan individual yang mencakup penanaman pohon-pohon di lahan-lahan ‘sisa’ milik pribadi atau keluarga (seperti pekarangan) dan kontraktual. Dalam hal community fores¬try, masyarakat secara kolektif mengambil keputusan, menanggung berbagai biaya dan mengambil manfaat. Biasanya penanaman pohon-pohon oleh masyarakat dilakukan di lahan hutan negara. Contoh untuk ini dikembangkan oleh Departemen Kehutanan India melalui program social forestry pada lahan kritis pada tahun 1970-an, di mana pengelolaannya ditangani oleh masyarakat sedangkan pihak pemerintah menyumbangkan bibit dan pembinaan teknis. Contoh program social forestry secara kontrak antara lain program tumpangsari yang dikembangkan oleh Perum Perhutani di Jawa. Wiersum (1987:136) memberikan tiga strategi umum social forestry, yaitu (a) community or communal forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh masyarakat secara kolektif, dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan, maupun lahan negara; (b) farm forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh individu atau perorangan, dapat dilaksanakan pada lahan yang dikuasai oleh masya¬rakat secara kolektif, lahan milik perorangan maupun lahan negara; dan (c) publicly-managed forestry for local community development, yaitu hutan yang dikelola oleh negara untuk pembangunan masyarakat lokal, yang dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan, maupun lahan negara. Menurut konsepsi ini kegiatan tumpangsari oleh Perum Perhutani di Jawa termasuk salah satu bentuk yang ketiga, yaitu pengelolaan hutan oleh negara pada lahan negara. Dari tiga strategi tersebut Wiersum memperjelas siapa penguasa, pemilik dan penanggung jawab sumberdaya (lahan dan pohon-pohon), dan kedudukan aparat kehutanan. Dari beberapa konsepsi tersebut di atas, penggunaan istilah community forestry selalu dikaitkan dengan tindakan pengambilan keputusan dan milik atau penguasaan kolektif (komunal). Sedangkan kata farm forestry lebih menunjuk pada tindakan dan milik atau penguasaan perorangan (individual). Namun hal ini kiranya masih kurang tepat karena kata community menunjuk pada unit so¬sial, sedangkan farm menunjuk pada unit lahan. Di samping itu, kata community tidak selalu berarti komunal atau kolektif. Penggunaan kata community forestry, social forestry, dan participatory forestry jika dikaitkan dengan latar belakang permasalahan dan perkembangan pemikiran selanjutnya menunjukkan kesamaan maksud: menggeser paradigma pembangunan kehutanan dari atas dan tersentralisasi menuju pembangunan kehutanan yang mengutamakan kontrol dan keputusan dari masyarakat lokal; mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari “pelindung hutan” terhadap gangguan manusia menjadi “bekerja bersa¬ma” masyarakat (Noronha dan Spears. 1985:228; Gilmour dan Fisher, 1991:8; dan Rao, 1992:23). Pardo (1995:20) menyebutkan pada tahap akhir per¬kembangan social forestry adalah perubahan yang fundamental pada peranan pemerintah, dari sebagai pengelola lahan (land managers) menjadi rimbawan penyuluh (extension foresters). Demikian pula Campbell (1997) berpendapat bahwa untuk mencapai tujuan dari “kehutanan baru”, membutuhkan perge¬seran konseptual yang fundamental dalam berfikir dan komitmen untuk me¬ngembangkan penyelesaian-penyelesaian dalam praktek pelaksanaan. Campbell (1997) mengusulkan 20 langkah pergeseran yang diperlukan untuk menuju kehutanan masyarakat, yaitu perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional dan administratif, dan metode manajemen (Tabel 2). Ohlsson dan Byron (988) juga telah merumuskan perbedaan karakteristik antara state forestry dengan community forestry, yang pada dasarnya sejalan dengan Campbell. No Dari Menuju A. Sikap dan Orientasi 1. Pengendalian Dukungan/fasilitas 2. Penerima manfaat Mitra 3. Pengguna Pengelola 4. Pembuatan keputusan unilateral Partisipatif 5. Orientasi penerimaan Orientasi sumberdaya 6. Keuntungan nasional Orientasi keadilan lokal 7. Diarahkan oleh rencana Proses belajar/evolusi No Dari Menuju B. Institusional dan Administratif 8. Sentralisasi Desentralisasi 9. Manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitoring) oleh pemerintah Kemitraan 10. Top Down Partisipatif/negosiatif 11. Orientasi target Orientasi proses 12. Anggaran kaku untuk rencana kerja besar Anggaran fleksibel dengan rencana mikro 13. Aturan-aturan untuk menghukum Penyelesaian konflik C. Metode Manajemen 14. Kaku Fleksibel 15. Tujuan tunggal Tujuan ganda/beragam 16. Keseragaman Keanekaragaman . Produk tunggal Produk beragam 18. Menu manajemen yang tetap dengan aturan silvikultur tunggal Beragam pilihan aturan silvikultur untuk spesifik lokasi 19. Tanaman Regenerasi alam 20. Tenaga kerja/buruh/Pengumpul Manajer/pelaksana/pemroses/ pemasar Sumber: Campbell, 1997 dalam (Didik Suharjito,dkk:2000). Tabel. 1 Pergeseran Konseptual dalam pengembangan Hutan oleh Komunitas

Salah satu definisi yang kiranya mencakup bagi maksud dari istilah-istilah tersebut di atas adalah defini social forestry dari Tiwari (1983:7): “Ilmu pengetahuan dan seni menumbuhkan pohon-pohon dan atau vegetasi lain pada semua lahan yang tersedia, di dalam dan di luar areal hutan tradisional, dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat secara intim dan kurang lebih terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan lain, untuk tujuan menghasilkan tataguna lahan yang seimbang dan saling melengkapi untuk memberikan barang-barang dan jasa-jasa secara luas kepada individu-individu maupun masyarakat”. Mengacu kepada definisi tersebut, praktek kehutanan masyarakat dapat dilaksanakan pada lahan hutan tradisional, yaitu kawasan hutan negara maupun lahan-lahan lainnya, seperti pekarangan, tegalan dan kebun. Vegetasi yang ditanam adalah pohon-pohon dan atau tanaman pertanian lain dengan pola agroforestri. Pengertian ini sejalan dengan Rao (1979) yang membagi praktek-praktek social forestry mencakup farm forestry, extension forestry, dan ur¬ban forestry. Namun Rao tidak menyebutkan bagaimana mengelolanya, apakah ditangani pemerintah, masyarakat, atau individu; dan tidak disebutkan pula bagaimana pembagian tugas dan hasilnya. Meskipun tidak menyebutkan masyarakat sebagai pemegang kontrol seperti yang didefinisikan oleh Gil¬mour dan Fisher (1991), Tiwari menekankan keterlibatan masyarakat secara intim dan tujuannya untuk menyediakan barang dan jasa bagi perorangan atau masyarakat yang lebih luas (Suharjito,dkk., 2000). Dari konsepsi-konsepsi social forestry/community forestry yang telah dijelaskan di atas dapat ditarik suatu pengertian bagi praktek kehutanan masyarakat, yaitu sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas, atau kelompok, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu/rumahtangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial atau¬pun sekedar untuk subsistensi (Suharjito,dkk., 2000). Definisi ini dapat dipandang lebih dinamis sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Pola pengembangan teknologi dan organisasi sosial praktek kehutanan masyarakat yang bertujuan untuk subsistensi akan berbeda dengan yang bertujuan komersial. Definisi ini meskipun lebih menekankan kehutanan masyarakat pada kegiatan pengelolaan hutan, namun akses masyarakat dalam aktivitas pengolahan hasil hutan juga tidak boleh diabaikan. Dalam implementasinya SF yang dikembangkan oleh Dephut dibatasi oleh rambu-rambu yaitu bahwa SF tidak merubah status dan fungsi hutan. SF juga tidak berbicara tentang pemberian hak kepemilikan (ownerships tenurial) terhadap kawasan hutan, tetapi hanya hak pengelolaan hutan (right to manage). Kepemilihan hutan masih dipegang penuh oleh negara seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33. “ bahwa sumberdaya alam dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kawasan atau wilayah yang dicadangkan untuk SF adalah sebagian dari: 1) kawasan pemberdayaan masyarakat yang dibina oleh Dirjen RLPS (hutan lindung, hutan produksi, dan hutan rakyat); 2) areal HPH, HTI, BUMN aktif (kerja sama BUMN/BUMS/BUMD dengan masyarakat lokal di hutan produksi); 3) aeral eks HPH, eks HTI (hutan produksi); 4) kawasan konservasi (pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga dan areal pemanfaaatan); dan 5) kawasan hutan yang dikembangkan melalui iniistif local sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam konteks ini HKm masuk dalam skema yang kelima yaitu hutan yang dikembangkan melalui inisiatif lokal sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kemudian munculnya hutan kemasyarakatan yang pada dasarnya merupakan pemberian kepercayaan dan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk mengelola hutan secara lestari dan madiri dalam upaya peningkatan kesejahteraan (Dep Hut; 2001). Dimana ide ini muncul dalam perkembangan wacana hutan harus mampu mensejahterakan masyarakat, atau hutan memiliki fungsi sosial (sosial forestry/SF) dan sekaligus dimulai munculnya pandangan tentang hutan harus dapat mensejahterakan dan memberikan akses terhadap komunitas sekitar hutan. Ide ini dikenal sebagai community forestry (CF).


Catatan kritis pembangunan kehutanan berbasis masyarakat

  • Pertama, dari sisi kelembagaan ekonomi masyarakat belum terbentuk.
  • Kedua, dari sisi sosial-politik, dalam kebijakan pembangunan masyarakat belum memiliki posisi sebagai subyek secara utuh.
  • Ketiga, keinginan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar hutan, maupun peningkatan pendapatan negara, jelas meminimalkan semangat ekologis.

Kehutanan yang berkelanjutan

Program ini harus tetap memperhatikan ketahanan dan kelestarian dari ekosistem hutan.

Bacaan lanjutan

  • Charles H. Stoddard Essentials of Forestry. New York: Ronald Press, 1978.
  • G. Tyler Miller. Resource Conservation and Management. Belmont: Wadsworth Publishing, 1990.
  • Chris Maser. Sustainable Forestry: Philosophy, Science, and Economics. DelRay Beach: St. Lucie Press, 1994.
  • Hammish Kimmins. Balancing Act: Environmental Issues in Forestry. Vancouver: University of British Columbia Press, 1992.
  • Hart, C. 1994. Practical Forestry for the Agent and Surveyor. Stroud. Sutton Publishing. ISBN 0-86299-962-6
  • Herb Hammond. Seeing the Forest Among the Trees. Winlaw/Vancouver: Polestar Press, 1991.
  • Hibberd, B.G. (Ed). 1991. Forestry Practice. Forestry Commission Handbook 6. London. HMSO. ISBN 0-11-710281-4
  • "Forestry" in the Encyclopaedia Brtitannica 16th edition. New York: E.B., 1990.

Pranala luar