Mama Syathibi atau lebih dikenal dengan Mama Gentur adalah salah satu sosok Ulama Tanah Pasundan yang berpangkat Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Wara. Beliau lahir pada 13 Hijriyah di Kampung Gentur, Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat. Tidak diketahui secara pasti tahun kelahirannya. Tetapi, yang jelas beliau adalah masih keturunan dari Waliyullah Syekh Abdul Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya. Nama sewaktu kecilnya adalah Agus, setelah pulang dari Mekkah namanya diganti menjadi Dagustani. Namun, nama masyhurnya sekarang yaitu Al-'alim Al-'allamah Syaikh Ahmad Syathibi atau Mama Gentur kata Orang Sunda yang jadi anak muridnya.

Ahmad Syathibi
Berkas:Ahmad Syathibi.jpg
LahirGentur, Warungkondang, Cianjur, Hindia Belanda
MeninggalGentur, Warungkondang, Cianjur, Indonesia
MakamGentur
Nama lainMama Syathibi, Mama Gentur, Syaikh Ahmad Syathibi al-Qonturi, Agus, Dagustani, Ahmad Syathibi, Al-'alim Al-'allamah Syaikh Ahmad Syathibi, Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Wara`
PekerjaanPengajar di Pesantren Gentur dan Masjid Agung Cianjur
Zaman13 Hijriyah
GelarAl-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Wara`
Orang tua* Haji Muhammad Sa'id
  • Hajjah Siti Khodijah
Kerabat
  • Hajjah Ruqiyah - Pengajar Pondok Pesantren Cipadang, Cianjur (kakak)
  • Mama Haji Ilyas (Mama Haji Yahya) - Pengajar Pondok Pesantren Babakan Bandung, Sukaraja, Sukabumi (kakak)
  • Mama Haji Muhammad Qurthubi - Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur (adik)
Penghargaan
  • Penghargaan dari Belanda [1]
  • Penghargaan dari Jepang [2]

Kabar dari Syekh Ahmad Eumed (Cimasuk Garut) bin Syekh Muhammad Rusdi Haurkuning, "Waktu saya ziarah ke Mama Gentur, beliau mengisahkan, bahwa dulu Mama ketika sangat mengiginginkan punya ilmu yang besar tapi Mama merasa bingung memilih guru untuk ngaji kemana. Akhirnya Mama berangkat ziarah kubur ke Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus alias Wali Luar Batang, Jakarta. Disitu Mama membaca Shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali dan tamat sebanyak 44 kali dalam waktu delapan bulan. Kemudian, setelah itu Mama bermimpi bertemu dengan Wali Luar Batang. Wali tersebut berkata, "Kalau kamu benar-benar mau punya ilmu yang besar, segeralah pergi ke daerah Garut."

Pendidikan

Pesantren Keresek

Maka kemudian Mama mulai berangkat ke Pesantren Keresek. Kata Mama Keresek, "Kalau Ananda mau punya ilmu yang besar, besok mama antar ke paman mama yaitu Pangersa Mama Ajengan Muhammad Adzro'i di Bojong, sebab dalam waktu sekarang ini para sepuh yang punya ilmu yang besar di tiap kabupaten juga kebanyakan adalah yang nyantri ke paman mama tersebut, yaitu Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, Garut". Mama Gentur menginap semalam di Keresek, besoknya kemudian diantarkan ke Pesantren Bojong.

Pesantren Bojong

Diceritakan waktu pertama masuk ke pesantren, oleh guru di pesantren disumpah jikalau tidak mempunyai ilmu sihir. Kemudian beliau melaksanakan sumpahnya tanda tidak memiliki ilmu sihir. Kemudian barulah beliau diterima sebagai murid di pesantren. Makanan yang biasa beliau makan selama di pesantren cukup dengan talas yang dicuilkan kedalam sambel roay, tidak pernah makan yang enak dengan rupa-rupa makanan. Ketika mendapati masalah kitab yang susah difaham, beliau langsung menghadiahi mualifnya dengan makanan dan aurod shalawat. Hanya dalam waktu 40 hari mondok di Bojong beliau sudah hafal kitab Yaqulu (Nazom Maqsud), Kailany, Amrithy, Alfiyah, Samarqondy, dan Jauhar Maknun. Keunggulan Pesantren Bojong - Garut adalah para santri yang belajar di pesantren tersebut jika sudah belajar selama dua tahun biasanya akan jadi Al-'Alim al-'Allamah. Mama Gentur menetap di Pesantren Bojong hanya selama satu tahun hingga akhir bulan Sya'ban, karena disuruh gurunya, Syekh Muhammad Adzro'i untuk menemani Kiyai Muhammad Rusdi atau Kiyai Rusdi berguru ngaji di Pesantren Gudang, Tasikmalaya sekarang, yang sudah menetap selama tiga tahun. Kiyai Rusdi merupakan salah satu santri Bojong disaat Mama Gentur mulai mondok di Pesantren Bojong tersebut. Mama Gentur genap 1 tahun di Bojong sedangkan Ajengan Muhammad Rusdi genap 4 tahun. Dari situ disuruh ngaji ke Mama Syuja'i, Gudang, Tasikmalaya, ditemani oleh Mama Gentur. Ketika Ajengan Muhammad Rusdi sudah genap dua tahun di Bojong oleh Syekh Muhammad Adzro'i sudah disuruh muqim sebab sudah 'Allamah, hanya saja ayahnya dan kakeknya belum mengizinkan.

Pesantren Gudang

Menurut penuturan Mama Gentur, Mama Gudang jika sedang mengajar dihadapan Kiyai Rusdi dagu dan badan beliau bergetar dikarenakan sungkan akan ilmunya Kyai Rusdi. Bahkan, Mama Gudang berkata kepada Mama Gentur, "Katakan kepada Ki Rusdi segeralah bermukim. Bukankah Kang Adzro'i pun sudah menyuruhnya dan sudah ada dalam ridho guru?" Namun, tetap saja ayahnya belum juga menyetujuinya. Kemudian Kiyai Rusdi setelah mondok di Gudang selanjutnya pindah lagi ke Syekh Muhammad Shoheh Bunikasih, Cianjur, yang disebut Ba'dul Ikhwan oleh Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam kitab Tijan. Syekh Muhammad Shoheh dan Syekh Muhammad Adzro'i adalah teman sepondok sewaktu ngaji di Syekh Ibrahim al-Baijuri. Mama Gentur terus menetap di Gudang hingga 9 tahun lamanya. Waktu mondok pesantren di Gudang, beliau pernah ziarah ke makam kubur di Geger Manah. Sebelumnya beliau puasa dulu selama 40 hari baru berangkatlah ke Geger Manah dan langsung mendatangi juru kunci makam. Beliau disambut di rumah kuncen sembari ditanya perihal maksud dan tujuannya, yaitu hendak ziarah tabaruk di makam keramat. Kemudian diantarlah beliau menuju makam keramat tersebut. Kira-kira jam 4 Subuh beliau pulang dari makam dan balik lagi ke tempat kuncen, kemudian kuncen menjamunya dengan rupa-rupa makanan. Selesai makan, beliau bertanya kepada kuncen, "Mang, malem tadi ada hujan kesini gak?" Jawab kuncen, "Ah, gak ada. Memangnya ada apa Ajengan? Kuncen agak heran. "Waktu saya di makam sedang ziarah tiba-tiba ada hujan yang besar sekali, petir menyambar-nyambar disertai angin yang sangat kencang. Saya melihat pohon kayu yang amat besar merunduk-runduk ke tanah seperti mau runtuh." Kuncen bertanya, "Terus ada apa lagi?" Jawab Mama Gentur , "Ah rahasia, saya gak sanggup menceritakannya." Dimalam itu kata penduduk kampung ada suara ayam berkokok yang terdengar jelas oleh semuanya, sedangkan di kampung tersebut tidak ada yang punya ayam yang suaranya seperti itu. Semuanya kaget akan suara ayam tersebut, kemudian diselidiki darimana sumbernya suara. Ternyata yakin bahwa suara ayam tersebut berasal dari atas pasir, tempat makam yang diziarahi oleh Pangersa Mama Gentur. Kata Mama Gentur, "Setelah 9 tahun di Gudang kemudian Mama berangkat ke Mekkah ngaji ke Syekh Hasbullah.

Pesantren di Mekkah

Pertama ngaji di Syekh Hasbullah banyak yang menyepelekannya. Suatu hari, Syekh Hasbullah berkata kepada murid-muridnya, kira-kira begini artinya, "Besok hari Rabu kita akan mulai ngaji kitab Tuhfah Muhtaj, tapi sebelumya kalian muthala'ah dulu kitabnya. Hasil muthala'ah tuliskan dalam buku masing-masing. Besok semua harus hadir dan bawalah hasil tulisan tersebut. Besoknya Syekh Hasbullah memeriksa buku murid-muridnya. Ketika melihat buku tulisan Mama, Syekh Hasbullah tertegun, kemudian buku Mama dipisahkan, kemudian melanjutkan pemeriksaannya. Setelah selesai, Syekh Hasbullah berkata, "Ngaji Tuhfah batal sebab gak pantas Syatibi ngaji ke saya, bahkan seharusnya saya yang ngaji ke Syatibi. Masalah yang belum sampai saya muthala'ah, dalam buku Syatibi sudah ada. Saya gak sanggup mentaswirkan kitab dihadapan Syatibi. Tetapi, oleh sebab semuanya meminta untuk diteruskan, dan juga Mama memohon supaya diteruskan biarpun dibaca hanya lafadznya, maka barulah Syekh Hasbullah bersedia walaupun cuma lafadznya hingga tamat. Kata Mama Gentur, "Ilmu yang dipakai muthala'ah kitab tuhfah tersebut adalah sebagian ilmu yang diterima dari Syaikhuna Bojong." Waktu di Mekkah, Mama Gentur suka shalat didepan baitullah, para askar sudah pada tahu dan memberi isyarat kepada jamaah yang lain supaya ada tata hormat kepada beliau sembari berkata, "Hadza 'ulamaul jawa".

Pesantren di Mesir

Setelah sekian lama di Mekkah, kemudian beliau berangkat ke Mesir dengan maksud mau melanjutkan thalab ilmunya. Namun, Ulama Mesir sama berkata, "Sudah tidak ada guru buat Ahmad Syathibi." Hanya ada satu ulama ahli qiro'at Qur'an yang berasal dari Indonesia juga yang bermuqim di Mekkah, yaitu dari Pulau Bawean. Selanjutnya mereka saling menggurui. Mama Gentur mengajar ilmu Mantiq, ulama Bawean mengajar ilmu Qiro'at. Sesudah Mama Gentur mukim di Mekkah selama 3 tahun, kata satu riwayat kemudian ada utusan dari Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih Cianjur. Amanatnya, "Katakan kepada Syatibi segeralah pulang kemudian mukim di Cianjur, sebab di daerah Pasundan sudah tidak ada lagi yang kuat untuk jadi pemimpin dan tauladan dari pengamalan ilmu yang sebenarnya.

Pesantren Bunikasih

Kemudian Mama Gentur pulang ke Cianjur melanjutkan mengaji ke Syeikh Shoheh Bunikasih kemudian mukim di Gentur.

Muqim

Sebelum mukim, beliau membaca Shalawat Nariyyah terlebih dahulu sebanyak 4444 kali dengan maksud supaya mukimnya ditambah-tambah ilmu dan tambah-tambah manfaatnya. Cara Mama Gentur dalam menyebarkan ilmunya yaitu beliau tidak pernah mengajarkan suatu ilmu kepada murid- muridnya kecuali telah ia amalkan terlebih dahulu. Beliau mengijazahkan shalawat untuk umum sesudah diamalkan terlebih dahulu selama 40 tahun. Beliau pernah diminta mengaji kitab Tuhfah Muhtaj, sebelum belajar mangaji beliau puasa dulu selama 40 hari. Jika makan, beliau cukup dimangkok dengan garam. Beliau tidak pernah makan enak sebagaimana keadaan beliau pada waktu nyantri di pesantren.

Suatu ketika, beliau khusus diundang makan-makan oleh Om Muharam. Ia adalah seorang saudagar kaya raya di Cianjur. Segala makanan dan minuman disediakan. Namun, yang dimakan beliau cuma sedikit nasi yang dicuilkan ke garam saja. Begitulah menu beliau makan selamanya. Cuma pernah sesekali makan agak beda, termasuk mewah menurut beliau yaitu waktu makan dengan pepes burayak (ikan kecil) hasil ternak beliau, sebab kasab beliau yaitu ternak telur ikan hingga jadi burayak.

Malah, suatu ketika Mama Gentur berternak telur ikan di kolam. Ketika sudah jadi burayak, tidak biasanya waktu itu bibit telur jadi dan mulus semuanya. Dari situ Mama memanggil pekerjanya yang bernama Ki Yusuf. Kata beliau, "Suf, coba kesini bawa cangkul!" Ki Yusuf menjawab, "Ada apa, Kang?" Kata Mama Gentur, "Kamu lobangi pinggir kolam ini, kemudian buanglah sebagian airnya!" Ki Yusuf heran, "Kalau begitu bukankah burayaknya pasti pada kabur, Kang?" Kata Mama Gentur, "Iya sengaja biar pada kabur ikan-ikannya takutnya ini istidraj karena sadar diri belum bisa ibadah". Setelah terbuang sebagian air dan ikan-ikannya, barulah Ki Yusuf disuruh menutup kembali lubang air tadi.

Karya Tulis

Semasa hidupnya beliau mengarang rupa-rupa kitab kurang lebih sekitar 80 kitab berbahasa Arab dan Sunda. Diantaranya adalah :

  1. Sirojul Munir (dalam ilmu fiqih)
  2. Tahdidul 'Ainain (dalam ilmu fiqih)
  3. Nadzom Sulamut Taufiq (dalam ilmu fiqih)
  4. Muqadimah Samarqandiyah (dalam ilmu bayan)
  5. Fathiyah (dalam ilmu bayan)
  6. Dahlaniyah (dalam ilmu bayan)
  7. Nadzom 'Addudiyah (dalam ilmu munadzoroh)
  8. Nadzom Ajurumiyah (dalam ilmu nahwu)
  9. Muntijatu Lathif (dalam ilmu shorof)
  10. Dan Lain-lainnya

Sebagian karangannya dalam ilmu bayan ada yang menyebar sampai Tanah Arab. Para Ulama Arab dan Mesir banyak yang membaca hasil karya beliau dan memujinya seraya berkata, "Ternyata di Tanah Jawa ada juga ulama yang luas ilmunya".[3].[4]

Murid-muridnya

Beliau memiliki banyak murid, kurang lebih 3000 (tiga ribu) muridnya yang menjadi 'Ulama Besar, antara lain :

Catatan kaki

  1. ^ Suatu hari, ketika Mama Gentur sedang ngajar para santrinya dan khalayak yang biasa ngaji rutinan, datanglah utusan dari pemerintah Kolonial Belanda. Beliau diminta hadir dalam diskusi program perpolitikan Belanda. Mama genturpun menyempatkan diri dulu menghadiri undangan tersebut tanpa didampingi seorangpun. Tidak lama, Mamapun sudah hadir kembali ke madrasah dan melanjutkan kembali pengajarannya. Para santri yang sudah menunggu-nunggu ingin tahu tentang pembicaraan yang didiskusikan oleh kaum Belanda, tapi Mama Gentur tak membahasnya sedikitpun. Inilah ciri Mama Gentur tidak ikut-ikutan dalam soal politik, hingga beliau mendapat penghargaan keamanan tanda bulan-bintang tiga dari Wilhelmina (pelafalan Sunda menjadi Wihalminak), yaitu Gubernur Hindia Belanda.
  2. ^ Dizaman pemerintahan Kolonial Jepang, Mama Gentur mendapat hadiah dari Tenno Heika (dilafalkan ejaan Sunda menjadi Kaisar Tenoheka) dikarenakan ideologinya yang murni hanya mengamalkan ajaran agama, tanpa ada maksud mencampuradukan politik dan agama.
  3. ^ Manaqib Mama Ahmad Syathibi Gentur. edisi pertama, 1950. hlm. Halaman 01–42. 
  4. ^ Risalah Mama Gentur. edisi 100, Februari 2010. hlm. hal 46–68.