Mahasthawira Vajragiri

Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.

Mahasthavira Vajragiri, juga dikenal sebagai Bhante Obat atau Romo Thedja, adalah seorang biksu yang semasa hidupnya aktif dalam berbagai pelayanan. Ia selalu mengajarkan hidup sederhana dan berbakti kepada orang tua. Selain pelayanan dharma, ia juga memberikan pelayanan kemanusiaan dengan membagi-bagikan obat kepada masyarakat tidak mampu.

Mahasthavira Vajragiri
Lahir(1931-10-28)28 Oktober 1931
Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, Indonesia
Meninggal15 Januari 2012(2012-01-15) (umur 80)
Jakarta, Indonesia
PekerjaanBhikkhu

Dia dikenal sebagai biksu yang sangat tepat waktu. Siapapun yang sudah membuat janji dengannya tidak akan berani datang terlambat karena akan ia tinggalkan.[1]

Biografi

Bhiksu YM Mahasthawira Vajragiri terlahir dengan nama The Tjing San atau Thedja Santosa, pada tanggal 28 Oktober 1931 di Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Ayahnya bernama The Tjai Gwan dan ibunya Liem Kiat Nio. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara.

Masa kecil hingga berkeluarga

Keluarga Tjing San adalah keluarga miskin sehingga Nyonya Liem memberikan putera ketiganya kepada seorang penjaja bakpao keliling yang tidak memiliki anak. Kondisi perekonomian keluarganya itu membuat Tjing San tumbuh menjadi anak yang mandiri dan turut membantu menanggung beban biaya keluarganya. Ia berjualan ikan, ubi dan sayuran, serta nasi uduk dan ketan sebelum berangkat ke sekolah. Namun setelah Jepang masuk ke Indonesia, ia terpaksa berhenti sekolah sampai kelas tiga SD saja.

Setelah Indonesia merdeka, Tjing San berjualan kain di Keruwi, Lampung. Namun usahanya gagal karena menjadi korban pemotongan nilai rupiah, uang seribu rupiah dipotong menjadi senilai seratus. Dengan dorongan semangat dari Nyonya Liem, ia membawa pulang adik ketiganya yang telah diberikan orang untuk diajak berdagang kopi. Pada tahun 1959, keluarga Tjing San akhirnya pindah ke Palembang.

Tjing San menikah dengan Ratna Santoso (Tjia Giok Nio) betepatan dengan perayaan Waisak pada tanggal 17 Mei 1956 di Palembang. Mereka dikaruniai sepasang putri kembar dan dua orang putra. Di Palembang, dia mulai aktif di Klenteng Sam Goeat Kong dan menjabat sebagai ketua, sekretaris, sekaligus bendaharanya.

Peran ibu dalam kehidupan Bhante Vajragiri

Ibu dari Bhante Vajragiri berperan sangat penting dalam membentuk karakter dan kehidupannya. Ia merupakan tulang punggung keluarga. Bahkan semasa mengandung putera kedua, ia sering terkena hujan sehingga menderita sakit tulang dan sering menangis siang-malam karena menahan nyeri. Kenangan akan reumatik yang diderita oleh ibunya menginspirasi dan menumbuhkan semangat Bhante Vajragiri untuk selalu membagikan obat. Di saat Nyonya Liem sakit, minyak tanah untuk lampu yang saat itu seharga 11 sen tidak mampu mereka beli sehingga mereka hanya mengandalkan nyala api dari karet ban mobil yang dibakar.

Semasa remaja, Tjing San merantau ke Tulung Buyut (Lampung) meskipun tidak diizinkan oleh orang tuanya. Ia membeli tanah bersama Haji Usman untuk ditanami pohon dadap sebagai rambatan tanaman lada. Setelah tiga bulan, ia pulang ke rumah dan mendapati Nyonya Liem kurus dan sayu karena selalu memikirkan dirinya. Ia berkata, "Biar kita miskin, disinilah anak-anak berkumpul bersama," sehingga membuat Tjing San memutuskan untuk meninggalkan usahanya di Lampung. Nyonya Liem juga sangat berperan memberikan dorongan semangat kepada puteranya semasa ia gagal saat berdagang kain.

Pelepasan keluarga dan penahbisan

Setelah menjabat sebagai ketua wihara selama 10 tahun, Su Kong menganjurkannya untuk melepaskan jabatan tersebut untuk menjadi sangha monastik. Ia diperkenalkan kepada Bhante Dewadharmaputra yang menjadi guru pembimbing dia. Sebelumnya, Bhante Vajragiri mewariskan sebuah usaha kepada istrinya agar dapat hidup mandiri.

Romo Thedja ditahbiskan sebagai samanera di Yogyakarta pada tanggal 24 Oktober 1987 pukul 05.00 WIB dengan guru penahbis Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita dan guru pembimbing almarhum Rshi Sthavira Jinnaphalo yang diwakili Rshi Sthavira Dewadharmaputra. Mulanya Bhante Vajragiri merasa heran, mengapa Su Kong memilihkan seorang biksu yang sudah almarhum sebagai guru pembimbingnya. Akhirnya ia menyadari, Su Kong menilai pribadinya yang keras dan tidak segan-segan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap siapapun (termasuk kepada gurunya) jika suatu hal menurutnya tidak benar.

Ia menerima upasampada (penahbisan penuh) sebagai seorang biksu di Wihara Sakyawarman, Pacet, Cianjur pada tanggal 8 Desember 1987, pukul 08.00 WIB, dengan upajjhaya Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita.

Sakit fisik hingga akhir hayat

Pada masa tuanya, Bhante Vajragiri selalu memikirkan kepentingan umat dan selalu berbagi bahkan kepada orang yang tidak ia kenal. Dalam kondisi lelah dan gula darah tidak seimbang, ia memaksakan diri berangkat ke Jambi pada tanggal 13 Februari 2009, dua hari menjelang peresmian klinik Sakyakirti di Jambi. Menjelang siang, ia terkena stroke ringan sehingga akhirnya diterbangkan ke Jakarta untuk memperoleh pengobatan lebih lanjut. Ia kembali menjalankan aktivitas begitu sembuh dari stroke, meskipun tidak bisa seperti dulu lagi.

Bhante Vajragiri kembali terkena serangan stroke kedua yang menyebabkannya terpaksa berbaring selama dua tahun. Namun ia bersikeras terbang ke Jakarta (dari Palembang) untuk bertemu salah seorang guru yang sangat ia hormati, yaitu YM Dagpo Rinpoche yang tengah berkunjung ke Indonesia. Ia berkata, "Saya ingin melunasi semua hutang-hutang karma saya dalam kehidupan ini."

Pada hari Minggu, 15 Januari 2012 pukul 00.00 WIB, ia menutup mata sambil diiringi doa kebahagiaan seorang siswinya.

Saat berkeliling Jawa Tengah, ia pernah menyampaikan pesan kepada umat di Jepara bahwa, "jika saya nanti meninggal dunia jangan sedih dan menangis, lebih baik sambutlah dengan bahagia dengan menanggap wayang kulit semalam suntuk." Pesan tersebut diwujudkan dalam peringatan 49 hari wafatnya Bhante Vajragiri di Palembang.

Perjalanan spiritual

Semasa masih kecil, Tjing San menderita demam yang sangat tinggi saat ibu dia pulang ke Palembang. Nyonya Liem segera ciamsi kepada Bodhisatwa Kwan Im dan memperoleh jawaban, "Seperti halnya kambing yang terbiasa makan rumput basah namun semenjak ditinggal ibu hanya makan rumput kering." Ternyata selama kepergian Nyonya Liem, Tjing San sering makan masakan khas Padang yang pedas sehingga membuatnya panas dalam. Inilah awal mula Bhante Vajragiri sangat meyakini Bodhisatwa Awalokiteswara.

Ia menjadi pengurus Klenteng Sam Goeat Kong di Palembang selama tujuh tahun. Selain itu, Tjing San yang berdevosi kuat kepada Bodhisatwa Kwan Im, juga menjadi pengurus Klenteng Kuan Im 10 Ulu; di sanalah ia pertama kali bertemu dengan Su Kong (Maha Bhiksu Ashin Jinarakkhita). Su Kong kemudian memberikan nasihat kepada Tjing San untuk ikut mengurusi wihara. Seorang kerabat Tjing San yang bernama Yan Cik memberinya sebuah rupang Buddha Amitabha.

Semenjak saat itu, Tjing San mengubah jalan hidupnya yang selama ini tidak mengenal belas kasih. Dulunya ia selalu membunuh kucing yang mencuri makan, menyembelih tiga keranjang ayam, mencuri berat timbangan, berbicara ketus, togel yang membuatnya kehilangan rumah, merokok dan terkadang minum minuman keras. Ia berkata, "Kalau tidak ketemu Su Kong, guru pembimbing, mana mungkin bisa hidup sampai sekarang." Maha Bhiksu Ashin Jinarakkhita pernah menasihatinya, "Badan boleh panas, pikiran jangan panas." Pada saat pabrik beras miliknya terbakar habis, Tjing San yang sebelumnya selalu menyalahkan orang lain, saat itu melihatnya sebagai akibat perbuatannya di masa lalu dan tetap memiliki keseimbangan batin (upekkha).

Selain kepengurusan klenteng, Tjing San juga aktif beraktivitas dalam Wihara Dharmakirti. Ia berlatih meditasi cinta kasih (metta) selama lima hari dengan bimbingan Su Kong melalui kontak batin; ia memperoleh pengalaman saat tikus-tikus datang mendekat dan "mencium"nya karena pancaran cinta kasih yang ia pancarkan selama bermeditasi.

Tjing San sering kali berlatih meditasi di bawah bimbingan Su Kong dengan hanya makan bubur putih yang tawar. Pada saat berlatih selama 30 hari di Wihara Sakyawanaram, pada hari ke-23 dia memperoleh pengalaman spiritual: ia merasa seperti dilempar seperti bola oleh sesosok yang tak kasatmata. Ia juga memperoleh berbagai godaan seperti rasa kantuk, aroma masakan yang tidak kasatmata, dan wanita. Pada saat bermeditasi bersama Bhiksu Li Bun Sui dan Bapak Beng Guan, ia mendapat makanan dari bau dedaunan yang ada di sekitar tempat meditasi.

Setelah menjadi seorang biksu, Bhante Vajragiri sempat bertemu muka dengan Yang Mulia Dalai Lama XIV di India. Setiap tahunnya ia mengikuti retret sebanyak dua sampai tiga kali dan melatih diri hanya mengonsumsi makanan tawar tanpa garam. Ia juga banyak menghasilkan karya yang sangat membantu umat Buddhis maupun masyarakat secara umum hingga di akhir hayatnya. Suatu ketika ia terjatuh akibat terpeleset, saat mencari tempat berteduh dari hujan bersama dengan salah seorang anak asuhnya. Saat itu ia sedang membagi-bagikan obat kepada penduduk Lampung yang membutuhkan. Awalnya Bhante Vajragiri bersama anak asuhnya hendak berteduh pada suatu pondok di seberang parit kecil; tetapi saat melompati parit, pijakannya kurang jauh sehingga tumitnya terluka. Luka tersebut diperparah penyakit diabetes yang ia idap sehingga mengharuskannya beristirahat cukup lama dari aktivitas kemanusiaan.

Buah karya

Membagikan obat

Awal mula karya Bhiksu Vajragiri adalah semasanya masih menjadi dayaka (pendamping) Bhante Dewadharmaputra di Lampung. Mereka sering masuk ke desa-desa untuk membagi-bagikan obat dengan menggunakan ojek. Lebih dari 100 wihara dan cetya di Lampung yang pernah disinggahi. Aktivitas tersebut terus ia lakukan semasa hidupnya hingga ia menerima julukan Bhante Obat.

Suatu ketika saat mengunjungi daerah Gunung Kidul Yogyakarta, ia berpapasan dengan serang bapak tua yang meringis kesakitan. Ternyata bapak itu selama bertahun-tahun menderita sakit gigi tanpa mampu berobat. Tergerak oleh perasaan welas asih, semenjak saat itu bhante selalu menitipkan dana pengobatan hingga di akhir usia bapak tersebut.

Ia menjadi donatur tetap di Poliklinik Sai Widhayaka Palembang yang memberikan pengobatan gratis. Ia juga berhasil memprakarsai pembangunan tiga poliklinik bagi masyarakat tidak mampu tanpa dipungut biaya apapun. Ketiga poliklinik tersebut adalah Poliklinik Bojjhanga di Palembang (diresmikan Minggu 13 Januari 2003), Poliklinik Cahaya Cinta Kasih Sai di Lampung (diresmikan Minggu 22 April 2007), dan Poliklinik Sakyakirti di Jambi (diresmikan Minggu 15 Februari 2009).

Pembangunan wihara

Bhante Vajragiri ikut serta dalam penuntasan berbagai wihara di daerah Bengkulu, Musi Ruwas Sumatera Selatan, OKI, OKU. Ia juga ikut menuntaskan pembangunan wihara-wihara di luar wilayah pembinaan dia (Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu), yaitu di Lampung dan Jawa Tengah.

Pendidikan dan anak asuh

Bhante Vajragiri berupaya agar anak-anak yang sulit terjangkau pendidikan dapat menempuh pendidikan seperti yang lainnya. Ia banyak menganjurkan beasiswa dan mengangkat anak asuh; banyak yang telah tuntas dalam pendidikan mereka, bahkan beberapa diantaranya menjadi orang penting dalam pemerintahan. Beberapa perguruan tinggi yang menjadi tempat menempuh pendidikan bagi para anak asuhnya antara lain STIAB Smaratungga di Boyolali Jawa Tengah, STAB Maha Prajna di Cilincing Jakarta, PTAB Nalanda di Jakarta, PTAB Jinnarakhita di Lampung, dan perguruan tinggi umum di Palembang.

Ia pernah menyumbangkan dua buah mesin stensil buatan Jerman kepada Institut Ilmu Agama Buddha Smaratungga di Ampel, Boyolali, Jawa Tengah (kini menjadi Sekolah Tinggi Agama Buddha Smaratungga). Mesin tersebut digunakan oleh Samanera Suryanadi untuk mencetak lagu-lagu Buddhis serta ceramah Dharma untuk disebarkan ke daerah-daerah.

Selain itu, Bhante Vajragiri sering memberikan buku kepada orang-orang yang memiliki minat baca sambil disertai pesan: "silahkan membaca". Ia selalu berdana untuk mencetak dan membagikan buku-buku dharma saat ia berkeliling ke daerah-daerah. Atas dasar kecintaan dan keinginan agar banyak orang mendapatkan manfaat melalui buku membuatnya mendirikan yayasan penerbitan Svarnadipa Sriwijaya. Yayasan tersebut akhirnya digantikan oleh Yayasan Serlingpa Dharmakirti setelah tidak aktif lagi; keduanya menerbitkan buku-buku dharma untuk dibagikan. Ia selalu tersenyum bahagia, bahkan disaat ia sakit, setiap ada satu buku yang telah diterbitkan.

Pembangunan jembatan dan saluran irigasi

Beberapa jembatan yang pembangunannya diprakarsai oleh Bhante Vajragiri adalah jembatan di lampung Tengah yang mampu dilewati truk seberat 8 ton dan jembatan gantung sepanjang 34,5 meter di Sungai Tuntang, Prigi, Jawa Tengah. Jembatan lain yang pembangunannya diprakarsai olehnya adalah jembatan di Makerti Banyuasin.

Terdapat sebuah legenda turun-temurun dibalik pembangunan jembatan di Prigi. Legenda penduduk setempat mengatakan bahwa nantinya di Sungai Tuntang akan dibangun jembatan oleh sosok berkepala gundul dan berjubah merah. Ia tidak hanya mengakomodasi dana pembangunan, melainkan juga ikut mencongkel batu bersama para penduduk. Jembatan tersebut akhirnya diresmikan pada tahun 1991 dan manfaatnya sangat besar bagi penduduk di sana.

Bhante Vajrakirti juga rutin menyumbang air bagi warga Gunung Kidul Yogyakarta yang selalu mengalami kekeringan pada saat kemarau datang. Ia juga menyumbang pembangunan saluran air di Wihara Avalokiteswara, Lombok, yang belum sempat terselesaikan, berikut kamar mandi dan WC.

Teladan hidup

Bhante selalu memberikan nasihat untuk hidup sederhana serta berbakti kepada orang tua. Ia selalu berusaha mencari cara hidup hemat; di saat usia tua mengharuskannya untuk mandi air hangat, ia menjerang air dalam cerek kemudian merendam cerek itu dalam bak berisi air hingga hangat, sementara air dalam cerek bisa digunakan untuk minum. Ia juga selalu memberikan wejangan berupa jasa-jasa orang tua dalam setiap ceramahnya.

Bagi para biksu muda, ia menjadi teladan yang ketat menjalankan sila. Selain tidak makan setelah lewat tengah hari, ia juga bervegetarian. Seorang siswi, Bhiksuni Girikshanti, mengungkapkan:

"Saya melihat bhante adalah sosok yang tegas sebagai guru, juga sosok yang sangat berwibawa. Kalaupun kita melakukan kesalahan yang tanpa kita sadari, dia akan menegur dengan bijaksana. Bhante Vajragiri adalah seorang guru yang sangat bijaksana dengan disiplin yang tinggi. Kepeduliannya teramat mendalam terhadap mereka yang ada di daerah-daerah terpencil. Saat dia sakit pun masih memikirkan membagikan obat bagi umat yang ada di daerah. Bhante pernah mengatakan 'kita hidup jangan mementingkan diri sendiri, bagaimana hidup kita bisa bermanfaat untuk orang lain. Kalau kita tidak dapat memberi setidaknya kita tidak membuat makhluk lain menderita'. Perhatian bhante kepada kami siswa-siswanya seperti seorang ayah kepada anak. Saat umat berdanamakan atau dia diundang makan di luar, kalau saya tidak ikut karena ada tugas, Bhante pasti tidak lupa untuk membawakan saya makanan."

Di mata para umat awam (perumah tangga), ia dikenal sebagai sosok yang: memegang teguh sila, ramah, welas asih kepada sesama, rendah hati, motivator untuk berbuat kebajikan, sangat mandiri dan sederhana, tidak pernah mau merepotkan orang lain, bagaikan ayah sendiri yang sangat memperhatikan orang, sangat dermawan, mudah dilayani dan selalu menggunakan transportasi termurah, menjadi perantara untuk menyampaikan dana, disiplin dan aktif di segala kegiatan, supel, tegas, mudah dihubungi umat, bisa harmonis dengan semua, suka tertawa, disegani sekaligus disayangi, mempraktikkan apa yang ia wejangkan.

Kata-kata bijak

  • "Semoga saya menjadi manusia yang berbudi luhur, semoga saya menjadi orang yang rendah hati dan pemaaf, semoga saya dapat menolong orang sakit, semoga saya bisa memberi makan dan minum kepada yang kelaparan."
  • "Tujuan saya belum selesai kalau umat Buddha belum hidup sesuai ajaran Buddha. Jika umat Buddha sudah hidup sesuai ajaran Buddha, maka keluarga rukun, damai dan bahagia, masyarakat akan rukun dan bahagia, dimanapun akan damai."
  • "Wahai anak-anakku yang terkasih, kalau boleh janganlah berpergian jauh tanpa restu ibu dan ayah."
  • "Jika mau hidup enak harus berani belajar tidak enak."
  • "Kalau kita suka membuat orang senang, hidup kita pasti senang, itulah kunci agama Buddha."
  • "Berusahalah setiap hari untuk terus memberi dan memberi. Hidup kita harus bisa bermanfaat bagi orang lain. Kalau kita tidak dapat memberi setidaknya kita tidak membuat makhluk lain menderita."
  • "Jangan makan makanan yang 'lemak' di mulut tapi 'idak lemak' di badan, makanlah makanan yang 'idak lemak' di mulut tetapi 'lemak' di badan."

Daftar siswa

Murid-murid Mahasthavira Vajragiri:[1]

  • Bhiksu Girivirya
  • Bhiksu Viriyasaddha
  • Bhiksu Viriyajoti
  • Bhiksuni Girikshanti
  • Samanera Viryananda
  • Samanera Virya Panna
  • Samanera Sunnata Dhamma

Lihat pula

Referensi

  • Girinanda, D. Issalim, dan M. Lim. Juni 2012. "Bhante Obat" - Perjalanan Spiritual Bhante Vajragiri, Cetakan Pertama. Penerbit: Yayasan Serlingpa Dharmakirti. ISBN 978-979-19177-5-9.

Catatan kaki

  1. ^ a b Buddhayana.or.id. Unduh=16 Maret 2013. Riwayat Singkat Mahasthavira Vajragiri Diarsipkan 2016-03-07 di Wayback Machine.

Pranala luar