Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.

Schistosomiasis (juga dikenal sebagai bilharziasis, demam siput, dan demam Katayama)[1] adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit jenis Schistosoma.[2][3]

Skistosomiasis
Lecet atau latur pada kulit lengan bagian bawah, terbentuk oleh masuknya parasit Schistosoma.
Informasi umum
SpesialisasiPenyakit menular Sunting ini di Wikidata

Schistosoma japonicum di Indonesia sering disebut cacing schisto, termasuk endemik dan hanya bisa ditemukan di dataran tinggi Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah. Danau Lindu termasuk wilayah Taman Nasional Lore Lindu.

Gejala Awal

Ketika cacing pipih ini sudah berada di dalam tubuh manusia, penderita akan mengalami gejala keracunan, disentri, penurunan berat badan sehingga kurus yang berlebihan, hingga pada pembengkakan hati yang bisa diakhiri dengan kematian.

Tidak seperti proses cacingan pada umumnya, cacing ini masuk ke tubuh manusia bukan dari mulut, tapi langsung menembus pori-pori kulit menuju aliran darah dan bergerak menuju jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati.

Daur hidup dan penularannya

Mula-mula schistosomiasis menjangkiti orang gila melalui kulit dalam bentuk cercaria yang mempunyai ekor berbentuk seperti kulit manusia, parasit tersebut mengalami transformasi yaitu dengan cara membuang ekornya dan berubah menjadi cacing.

Selanjutnya cacing ini menembus jaringan bawah kulit dan memasuki pembuluh darah menyerbu jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati. Di dalam hati manusia yang dijangkiti, cacing-cacing tersebut menjadi dewasa dalam bentuk jantan dan betina. Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki celah tubuh cacing jantan dan tinggal di dalam hati orang yang dijangkiti untuk selamanya. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing Schistosoma bersama-sama pindah ke tempat tujuan terakhir yakni pembuluh darah usus kecil yang merupakan tempat persembunyian bagi pasangan cacing Schistosoma sekaligus tempat bertelur.

Saat ini prosentase prevalensi penyakit cacingan di dataran tinggi Lindu juga sudah mulai menurun hingga dibawah 1%, berkat upaya aktif dari pemerintah yang secara rutin melakukan pemantauan.

Pencegahan dan Pengobatan

Metode untuk mencegah penyakit ini meliputi meningkatkan akses terhadap air bersih dan mengurangi populasi siput.[4] Di daerah tempat penyakit ini umum ditemui, seluruh kelompok dapat diobati secara bersamaan dan setiap tahun dengan obat praziquantel. Ini dilakukan untuk mengurangi jumlah orang yang terinfeks dan karena itu, mengurangi penyebaran penyakit ini. Praziquantel juga merupakan pengobatan yang dianjurkan oleh World Health Organization bagi mereka yang sudah diketahui terinfeksi.[4]

Epidemiologi

Schistosomiasis menjangkiti hampir 210 juta orang di seluruh dunia,[5] dan diperkirakan 12.000[6] sampai 200.000 orang meninggal karena penyakit ini setiap tahun.[7] Penyakit ini paling umum ditemukan di Afrika, serta Asia, dan Amerika Selatan.[4] Sekitar 700 juta orang, di lebih dari 70 negara, hidup di wilayah tempat penyakit ini umum dijumpai.[7][8] Schistosomiasis menempati urutan kedua setelah malaria, sebagai penyakit akibat parasit dengan dampak ekonomi terbesar.[9] Sejak zaman kuno hingga awal abad ke-20, gejala schistosomiasis berupa urin berdarah dipandang sebagai menstruasi versi laki-laki di Mesir sehingga dipandang sebagai upacara peralihan bagi anak laki-laki.[10][11] Penyakit ini digolongkan sebagai penyakit tropis terabaikan.[12]

Referensi

  1. ^ "Schistosomiasis (bilharzia)". NHS Choices. Dec 17, 2011. Diakses tanggal 15 March 2014. 
  2. ^ "Schistosomiasis". Patient.co.uk. 12/02/2013. Diakses tanggal 11 June 2014. 
  3. ^ (Inggris) "Schistosomiasis". Diarsipkan dari versi asli (HTML) tanggal 2012-06-07. Diakses tanggal 2012-07-01. 
  4. ^ a b c "Schistosomiasis Fact sheet N°115". World Health Organization. February 2014. Diakses tanggal 15 March 2014. 
  5. ^ Fenwick, A (Mar 2012). "The global burden of neglected tropical diseases". Public health. 126 (3): 233–6. doi:10.1016/j.puhe.2011.11.015. PMID 22325616. 
  6. ^ Lozano, R; Naghavi, M; Foreman, K; Lim, S; Shibuya, K; Aboyans, V; Abraham, J; Adair, T; et al. (Dec 15, 2012). "Global and regional mortality from 235 causes of death for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010". Lancet. 380 (9859): 2095–128. doi:10.1016/S0140-6736(12)61728-0. PMID 23245604. 
  7. ^ a b Thétiot-Laurent, SA; Boissier, J; Robert, A; Meunier, B (Jun 27, 2013). "Schistosomiasis Chemotherapy". Angewandte Chemie (International ed. in English). 52 (31): 7936–56. doi:10.1002/anie.201208390. PMID 23813602. 
  8. ^ "Schistosomiasis A major public health problem". World Health Organization. Diakses tanggal 15 March 2014. 
  9. ^ The Carter Center. "Schistosomiasis Control Program". Diakses tanggal 2008-07-17. 
  10. ^ Kloos, Helmut; Rosalie David (2002). "The Paleoepidemiology of Schistosomiasis in Ancient Egypt" (PDF). Human Ecology Review. 9 (1): 14–25. 
  11. ^ Rutherford, Patricia (2000). "The Diagnosis of Schistosomiasis in Modern and Ancient Tissues by Means of Immunocytochemistry". Chungara, Revista de Antropología Chilena. 32 (1). ISSN 0717-7356. 
  12. ^ "Neglected Tropical Diseases". cdc.gov. June 6, 2011. Diakses tanggal 28 November 2014. 

Pranala luar