Propaganda kartografi

Propaganda kartografi merujuk pada peta yang dibuat bukan hanya untuk menggambarkan suatu wilayah secara objektif, tetapi dengan tujuan untuk mempengaruhi pandangan atau opini publik. Peta ini bisa saja diubah atau diputarbalikkan faktanya, atau dibuat dengan sudut pandang tertentu untuk mempengaruhi cara individu berpikir. [1] Meskipun peta dianggap sebagai representasi nyata dari suatu wilayah, pada kenyataannya peta sering kali dipengaruhi oleh perspektif pembuatnya, karena kartografi adalah produk yang subjektif dan dipengaruhi oleh pandangan manusia. Sebagian melihat kartografi sebagai industri yang mengemas dan memasarkan pengetahuan spasial [2] maupun sebagai alat komunikasi yang terdistorsi oleh subjektivitas manusia. [3]

Propaganda kartografis menjadi efektif karena peta dipandang sebagai representasi yang objektif dari kenyataan sebenarnya, sehingga jarang ada yang menyadari bahwa peta itu bisa jadi merupakan model yang terdistorsi, mengandung informasi yang tidak sepenuhnya benar dan tidak menggambarkan kenyataan secara akurat.[4] Karena istilah propaganda saat ini merujuk kepada konotasi negatif, beberapa pihak menyebutnya dengan kartografi persuasif atau persuasive cartography, yaitu peta yang dibuat untuk mempengaruhi pandangan atau keyakinan, bukan hanya untuk menyampaikan informasi geografis.[5]

Sejarah

sunting
 
Contoh cetakan paling awal dari peta T dan O klasik (oleh Günther Zainer, Augsburg, 1472), yang mengilustrasikan halaman pertama bab XIV dari Etymologiae karya Isidorus dari Sevilla. Ini menunjukkan benua-benua sebagai wilayah kekuasaan putra-putra Nuh : Sem ( Shem ), Iafeth ( Japheth ) dan Cham ( Ham ).

Peta T-O sebagai Propaganda Sejarah

Pada Abad Pertengahan, peta T-O digunakan sebagai bentuk propaganda kartografis yang mencerminkan pandangan dunia berdasarkan agama dan kepercayaan Eropa. Peta ini menggambarkan dunia sebagai tiga bagian utama yang dipisahkan oleh garis berbentuk "T", dengan Jerusalem berada di tengah. T-O berasal dari bentuk peta ini yang melambangkan dunia terpisah menjadi tiga bagian: Asia, Eropa, dan Afrika, dengan wilayah yang dikenal oleh orang Eropa pada saat itu. Ini bukanlah representasi geografis yang akurat, melainkan sebuah cara untuk menunjukkan dominasi agama Kristen dan pandangan dunia yang berpusat pada Eropa. Peta semacam ini lebih sering digunakan untuk tujuan simbolik dan religius, daripada untuk memberikan informasi geografis yang akurat.[6]

Renaissance dan Penggunaan Peta

Pada masa Renaisans, penggunaan peta mulai meluas. Di Italia, misalnya, peta digunakan untuk tujuan militer dan strategi, seperti merencanakan benteng, kanal, dan saluran air. Kompetisi antar negara kota di Italia, seperti Venesia, Florence, dan Milan menyebabkan kesadaran akan pentingnya peta dalam perencanaan militer dan pengelolaan sumber daya. Penggunaan peta pada periode ini juga berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan keinginan untuk merepresentasikan dunia secara lebih objektif. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan pemahaman tentang geografi, peta mulai digunakan untuk tujuan politik, budaya, dan strategis, dengan tujuan utamanya mempengaruhi opini publik dan memperkuat kekuasaan politik, baik dalam konteks militer maupun sipil.[7]

Perkembangan Propaganda Kartografis di Jerman

Pada periode antar-perang, terutama dengan munculnya rezim Nazi, penggunaan peta sebagai alat propaganda semakin intensif. Peta mulai digunakan sebagai instrumen untuk menyebarkan ideologi negara dan memperkuat citra kekuasaan.[8] Dalam konteks Nazi, peta berfungsi sebagai kartografi sugestif, di mana peta tidak hanya menggambarkan lokasi fisik, tetapi juga menciptakan narasi tentang kekuatan dan ancaman yang hadir dalam dunia nyata. Propagandis Jerman memanfaatkan peta untuk menggambarkan kondisi Jerman sebagai bangsa yang kuat dan mulia, serta menggambarkan musuh-musuh mereka, terutama Sekutu, dalam cara yang merendahkan atau mengancam.[9]

Tiga kategori utama peta propaganda yang digunakan oleh mesin propaganda Nazi adalah:

  1. Peta yang menggambarkan kondisi Jerman: Peta-peta ini menggambarkan Jerman sebagai bangsa yang unggul, sering kali memperbesar wilayahnya atau menggambarkan sejarahnya yang penuh kejayaan.
  2. Peta yang mempengaruhi moral Sekutu: Peta-peta ini dirancang untuk merusak moral Sekutu dengan menggambarkan ancaman secara psikologis. Peta-peta ini sering kali memanfaatkan teknik visual yang menakutkan, seperti memperbesar ancaman atau menggambarkan dunia dengan cara yang membuatnya tampak sangat terancam oleh kebangkitan Nazi.
  3. Peta sebagai cetak biru dunia pasca-perang: Peta-peta ini digunakan untuk menunjukkan visi Nazi tentang dunia pasca-perang yang akan dikuasai oleh Jerman, sering kali dengan menampilkan wilayah yang luas dan membentuk dunia sesuai dengan tujuan politik mereka.[10]

Pada masa Nazi dan Perang Dunia II, peta digunakan untuk menyebarkan propaganda yang mendukung rezim tersebut. Ada tiga kategori utama peta propaganda yang digunakan: yaitu untuk menggambarkan kondisi Jerman, memengaruhi moral Sekutu (terutama dengan cara menggambarkan ancaman secara psikologis) dan merancang dunia pasca-perang sesuai dengan visi Nazi.

Penggunaan Peta oleh Amerika Serikat pada Perang Dingin

Setelah Perang Dunia II, terutama selama Perang Dingin, peta terus digunakan sebagai alat propaganda. Peta yang dibuat oleh para kartografer Amerika Serikat, misalnya, dimodifikasi untuk menggambarkan Uni Soviet lebih besar dari yang sebenarnya, sehingga memberi kesan bahwa negara itu lebih berbahaya Salah satu contoh paling mencolok adalah edisi Time tanggal 1 April 1946, yang menerbitkan peta berjudul "Penularan Komunis" atau Communist Contagion yang menggambarkan ancaman komunis dari Uni Soviet. Pada peta ini, kekuatan Uni Soviet digambarkan lebih besar karena pemisahan wilayah Eropa dan Asia, menciptakan kesan bahwa Uni Soviet lebih dominan. Selain itu, peta ini menggunakan warna merah terang—yang biasa diasosiasikan dengan bahaya dan komunisme—untuk mempertegas ancaman tersebut. Negara-negara tetangga dikategorikan dengan bahasa yang berhubungan dengan penyakit, seperti "dikarantina", "terinfeksi", atau "terpapar", yang menambah kesan bahwa negara-negara ini mengancam.[11][12]

Peta Propaganda di Perang Dingin

Pada periode ini, peta juga digunakan untuk menggambarkan ancaman dalam konteks global. Misalnya, peta yang menunjukkan posisi roket menggunakan proyeksi azimut kutub dengan Kutub Utara di tengah, yang memberi kesan bahwa jarak antara negara-negara yang terlibat dalam Perang Dingin sangat dekat, memperburuk ketegangan dan ketakutan.Selama periode Perang Dingin, peta-peta skala kecil sering digunakan untuk menciptakan kesan bahwa bahaya itu dekat. Misalnya, beberapa peta dibuat untuk menunjukkan bahwa Vietnam terletak sangat dekat dengan Singapura dan Australia, atau bahwa Afghanistan sangat dekat dengan Samudra Hindia. Demikian pula, peta yang menggambarkan posisi roket sering menggunakan proyeksi azimuth kutub dengan Kutub Utara di pusatnya, yang menciptakan persepsi bahwa jarak antar negara-negara yang berseberangan dalam Perang Dingin, seperti Uni Soviet dan AS, sangat dekat.[13]

Metode

sunting

Dalam ilmu kartografi, skala, proyeksi peta, dan simbolisasi adalah elemen-elemen utama yang dapat diterapkan secara selektif untuk mengubah sebuah peta menjadi alat propaganda. Ketiga elemen ini memungkinkan kartografer untuk memanipulasi persepsi pembaca peta terhadap ruang geografis tertentu.

Skala dan generalisasi

sunting

Skala mengacu pada hubungan antara jarak di peta dan jarak sebenarnya di lapangan. Karena peta biasanya jauh lebih kecil daripada wilayah yang direpresentasikan, skala menjadi komponen penting dalam memastikan informasi geografis dapat dipahami. Untuk menjaga kejelasan peta, kartografer sering menggunakan generalisasi peta, yang menyederhanakan detail geografis sesuai dengan kebutuhan peta.Skala yang lebih kecil (misalnya, peta dunia) memaksa penggunaan generalisasi yang lebih tinggi karena lebih banyak wilayah harus dirangkum dalam ruang peta yang terbatas. Sebaliknya, peta dengan skala besar (misalnya, peta kota) dapat menyertakan lebih banyak detail. Melalui manipulasi skala dan generalisasi, peta dapat digunakan untuk menyembunyikan atau menonjolkan elemen tertentu, menciptakan narasi yang sesuai dengan tujuan propagandis.[14]

 
Peta Alegoris dengan simbol navigasi Perjalanan Pemuda ke Tanah Kebahagiaan, 1802

Proyeksi peta

sunting

Proyeksi peta adalah teknik yang digunakan untuk merepresentasikan permukaan bumi yang melengkung ke dalam bidang datar dua dimensi. Proses ini penting karena bumi berbentuk tiga dimensi, sehingga setiap peta datar selalu mengandung distorsi. Distorsi ini dapat memengaruhi ukuran, bentuk, jarak, atau arah suatu wilayah, yang pada akhirnya memengaruhi cara wilayah tersebut dipahami. Pemilihan jenis proyeksi sering digunakan untuk menciptakan persepsi tertentu, seperti membesar-besarkan ukuran wilayah tertentu guna menonjolkan kekuatannya atau mengecilkan wilayah lain untuk mengurangi signifikansinya.[14] Contoh nyata adalah proyeksi Mercator, yang banyak digunakan tetapi dikritik karena memperbesar wilayah dekat kutub seperti Eropa dan Amerika Utara, sehingga menciptakan kesan dominasi dunia Barat. Sebagai alternatif, proyeksi Peters diperkenalkan oleh Arno Peters pada tahun 1972 dengan klaim bahwa proyeksi Mercator bersifat "etnosentris" karena mengabaikan wilayah di Selatan global. Manipulasi proyeksi ini menunjukkan bagaimana peta dapat digunakan sebagai alat untuk memengaruhi persepsi pembaca terhadap hubungan kekuasaan, ancaman, atau pentingnya suatu wilayah geografis.[15]

Simbolisasi

sunting

Simbolisasi adalah metode yang digunakan dalam peta untuk merepresentasikan fitur geografis, tempat, atau informasi lokasi lainnya melalui simbol visual. Simbol ini dirancang untuk membantu pembaca peta memahami elemen yang relevan dan mengabaikan yang tidak penting. Namun, simbolisasi juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan propaganda dengan cara yang subyektif. Kartografer dapat memilih simbol untuk menonjolkan elemen tertentu atau menyembunyikan informasi lain, sehingga mengubah persepsi pembaca terhadap realitas.[14] Simbolisasi yang provokatif, seperti penggunaan warna merah menyala atau simbol agresif, dapat menciptakan kesan yang menyesatkan. Misalnya, selama Perang Dingin, peta sering menggambarkan negara-negara komunis dengan warna merah yang menciptakan kesan bahaya dan ancaman. Simbol roket pada peta militer juga digunakan untuk memperbesar ancaman nuklir dengan skala yang dilebih-lebihkan. Dengan demikian, simbolisasi memungkinkan pembuat peta mengontrol narasi visual, memanipulasi emosi pembaca, dan memperkuat tujuan propaganda secara efektif.[11]

Peta dalam sejarah

sunting

Sepanjang sejarah, peta telah digunakan sebagai simbol kekuasaan dan kebangsaan. Sebagai simbol, peta mengakomodasi berbagai kepentingan negara, termasuk memperkuat kekuasaan, melegitimasi kekuasaan, menegaskan persatuan nasional, dan memobilisasi perang.

Kekuasaan kekaisaran di Eropa abad pertengahan dan renaisans

sunting
 
Peta Dunia Fra Mauro, 1450

Propaganda kartografi di Eropa Abad Pertengahan lebih menekankan pada emosi daripada rasionalitas dan sering kali mencerminkan wibawa suatu kekaisaran. Contohnya pada Peta Dunia Fra Mauro (1450) yang bertujuan untuk menonjolkan penemuan Portugis di Afrika dan eksplorasi Marco Polo, dengan tujuan memperkuat pengaruh Venesia.[16] Perusahaan Hindia Timur yang terhormat memesan pembuatan salinan pada tahun 1804, yang menyiratkan bahwa perusahaan tersebut mengikuti jejak kekaisaran Portugis. [17]

Selain itu peta The Americas (1562) diciptakan oleh Diego Gutiérrez dan berfungsi sebagai perayaan yang kuat atas Kekaisaran Dunia Baru Spanyol. Dalam peta ini, Raja Philip II digambarkan sedang menunggangi kereta perang di tengah Samudra Atlantik yang bergolak; ilustrasi ini mengingatkan kita pada Dewa Romawi Neptunus. Referensi seperti ini dimaksudkan untuk memperkuat citra Spanyol di Eropa dan klaimnya atas Amerika. Penguasa Eropa sering kali mencoba mengintimidasi utusan yang berkunjung dengan menunjukkan peta wilayah dan benteng milik penguasa mereka, dengan maksud bahwa peta negara asal duta besar tersebut juga akan ditaklukkan. Misalnya saja pada tahun 1527, pada saat kunjungan resmi duta besar Perancis di Inggris, peta yang menggambarkan pemandangan udara kota-kota Perancis yang berhasil dikepung oleh Inggris menghiasi dinding paviliun Greenwich yang dibangun khusus untuk kunjungan tersebut.[16]

 
Dengan menampilkan bendera-bendera besar milik Inggris, peta ini secara artifisial meningkatkan pengaruh dan kehadiran Kekaisaran

Melegitimasi kekuasaan kolonial

sunting

Selama periode kolonial, peta menjadi alat intelektual untuk melegitimasi penaklukan wilayah. Atlas seperti Atlas Sejarah Modern Cambridge atau Cambridge Modern Historical Atlas (1912) karya Ramsay Muir menonjolkan kemenangan kekaisaran yang ia tampilkan di Atlas tersebut. Kekuatan kolonial Eropa menggunakan peta sebagai alat intelektual untuk melegitimasi penaklukan teritorial. Pada masa kolonial, peta digunakan sebagai alat untuk mengatur dan memberi peringkat wilayah dunia berdasarkan dominasi kekuatan Eropa. Salah satu contoh penting adalah karya Edward Quin dalam Historical Atlas in a Series of Maps of the World (1830), di mana ia menggunakan warna untuk menggambarkan peradaban di seluruh dunia. menggunakan warna untuk mengategorikan wilayah, menggambarkan negara-negara "tidak beradab" dengan warna tertentu, seperti bagian dalam Afrika. Ini menegaskan hierarki yang mendukung dominasi kolonial. Pernyataan ini mencerminkan pandangan etnosentris yang lazim pada masa itu, di mana wilayah-wilayah di luar Eropa—khususnya Afrika dan Asia—sering digambarkan sebagai "belum beradab" untuk membenarkan kolonialisasi dan eksploitasi oleh kekuatan Eropa. Penggunaan peta semacam ini menunjukkan bagaimana peta tidak hanya berfungsi sebagai alat geografi, tetapi juga sebagai sarana propaganda yang memperkuat hierarki peradaban menurut perspektif kolonial Eropa.[18]

 
Ilustrasi majalah Puck tentang "The Awakening", menunjukkan jangkauan yang luas dan tujuan "pencerahan" dari gerakan hak pilih.

Menegaskan persatuan nasional

sunting

Peta yang menampilkan pandangan keseluruhan negara berfungsi untuk menegaskan persatuan nasional. Misalnya, atlas nasional yang dipesan oleh Ratu Elizabeth I menggabungkan peta-peta wilayah Inggris untuk menegaskan kekuasaannya. Begitu pula, Raja Henry VI dari Prancis menggunakan atlas untuk merayakan reunifikasi kerajaannya. Peta gambaran umum tunggal dari keseluruhan negara sering digunakan sebagai alat untuk menegaskan persatuan nasional. Salah satu contoh awal adalah atlas nasional yang dibuat pada masa pemerintahan Elizabeth I di Inggris. Atlas ini menggabungkan peta-peta dari berbagai daerah di Inggris, yang pada gilirannya menegaskan kesatuan politik dan teritorial negara di bawah pemerintahan Elizabeth. Peta semacam ini berfungsi untuk memperkuat identitas nasional dan menyatukan berbagai wilayah yang sebelumnya mungkin memiliki identitas lokal yang kuat. Beberapa dekade setelah itu, Henry VI dari Prancis juga merayakan penyatuan kembali kerajaannya melalui pembuatan atlas yang dikenal dengan nama "Le Theatre Francoys". Atlas ini memuat ukiran-ukiran yang mengesankan, yang tidak hanya menggambarkan peta wilayah Prancis tetapi juga secara simbolis menyatakan kejayaan raja dan kerajaannya. Peta dalam atlas ini berfungsi sebagai alat propaganda yang memperlihatkan kebesaran dan legitimasi kekuasaan monarki, serta mengukuhkan identitas nasional Prancis di bawah pemerintahan Henry VI. Namun, klaim bahwa Henry VI dari Prancis membuat atlas "Le Theatre Francoys" perlu diklarifikasi. "Le Theatre Francoys" lebih sering dikaitkan dengan Claude Chastillon pada abad ke-16, bukan dengan Henry VI pada abad ke-15. Meskipun begitu, konsep pembuatan atlas untuk merayakan kesatuan dan kejayaan kerajaan tetap relevan dalam konteks ini, karena pada masa itu, peta sering digunakan sebagai alat untuk menegaskan kekuatan dan identitas nasional suatu negara.[13]

Penggunaan politik pada abad ke-19 dan ke-20

sunting
 
Memancing di perairan yang bermasalah di Perpustakaan Nasional Swedia

Pada periode ini, peta mulai digunakan secara lebih eksplisit untuk tujuan propaganda. Peta menjadi simbol abstrak dengan konotasi emosional yang kuat. Fred W. Rose menciptakan peta satir seperti Comic Map of the British Isles pada tahun 1880, yang mencerminkan situasi politik Inggris. Selain itu, Henri Dron menggunakan peta dunia dalam poster propaganda L'Europe des Points Noirs pada tahun 1869.[13]

Propaganda selama Perang Dunia I dan II

sunting
 
Poster propaganda Prancis tahun 1917 ini menggambarkan Prusia sebagai gurita

Selama kedua perang dunia, peta propaganda digunakan untuk mempolarisasi negara-negara dan membangun narasi perang. Contohnya adalah peta Fred Rose yang menggambarkan Kekaisaran Rusia sebagai gurita dengan tentakel yang menjangkau Eropa. Gambar ini diadaptasi pada tahun 1917 untuk menggambarkan Prusia selama Perang Dunia I dan digunakan kembali pada tahun 1942 oleh Prancis Vichy, yang menggambarkan Winston Churchill sebagai gurita jahat untuk memotivasi warga negara mereka.[13]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Tyner, Judith A. (1982-07-01). "Persuasive cartography". Journal of Geography. 81 (4): 140–144. doi:10.1080/00221348208980868. ISSN 0022-1341. 
  2. ^ Sorrell, P.E. (December 1981). "Cartography: A manufacturing industry concerned with the Processing, Transformation, Packaging and Transportation of Spatial Data". The Cartographic Journal. 18 (2): 84–90. doi:10.1179/caj.1981.18.2.84. 
  3. ^ Wood, Michael (December 1972). "Human Factors in Cartographic Communication". The Cartographic Journal. 9 (2): 123–132. doi:10.1179/caj.1972.9.2.123. 
  4. ^ Boardman, David (1983). Graphicacy and Geography Teaching. London: Croom Helm. hlm. 129. 
  5. ^ Mode, PJ. "Persuasive Cartography". The PJ Mode Collection. Cornell University Library. Diakses tanggal 22 September 2015. 
  6. ^ Mulyadi, Ujang (2018-03-15). "Kehadiran Peta Model "T-O" dalam Sejarah Peta Dunia - Museum Nasional Indonesia". Diakses tanggal 2024-12-21. 
  7. ^ Barber, Peter; Harper, Tom (2010). Magnificent maps: power, propaganda and art. London: The British Library. ISBN 978-0-7123-5093-8. 
  8. ^ Boria, Edoardo (2008-05-20). "Geopolitical Maps: A Sketch History of a Neglected Trend in Cartography". Geopolitics. 13 (2): 278–308. doi:10.1080/14650040801991522. ISSN 1465-0045. 
  9. ^ Speier, Hans (1941). "Magic Geography". Social Research. 8 (3): 310–330. ISSN 0037-783X. 
  10. ^ Cairo, Heriberto (2006-09-01). "Portugal is not a Small Country: Maps and Propaganda in the Salazar Regime". Geopolitics. 11 (3): 367–395. doi:10.1080/14650040600767867. ISSN 1465-0045. 
  11. ^ a b "Communist Contagion". digital.library.cornell.edu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-12-21. 
  12. ^ Black, Jeremy (2015-11-25). Geopolitics and the Quest for Dominance (dalam bahasa Inggris). Indiana University Press. ISBN 978-0-253-01873-1. 
  13. ^ a b c d Monmonier, Mark (2015). The History of Cartography, Volume 6. University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-53469-5. 
  14. ^ a b c Monmonier, Mark S. (1999). How to lie with maps (edisi ke-2. ed., [Nachdr.]). Chicago: Univ. of Chicago Press. ISBN 978-0-226-53421-3. 
  15. ^ "What Is Critical Cartography and GIS?". Mapping: 39–48. 2009-01-22. doi:10.1002/9781444317411.ch4. 
  16. ^ a b "The americas". Magnificent Maps: Power, Propaganda, and Art. The British Library. Diakses tanggal 28 October 2012. 
  17. ^ "Fra Mauro World Map". Magnificent Maps: Power, Propaganda, and Art. The British Library. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 February 2020. Diakses tanggal 28 October 2012. 
  18. ^ Black, Jeremy (2003). "Mapping the Past: Historical Atlases". Orbis. 47 (2): 277–293. doi:10.1016/S0030-4387(03)00002-4. 

Bibliografi

sunting

Bacaan lebih lanjut

sunting

Tautan eksternal

sunting