Abdul Qadir bin Abdul Mutalib: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Palladin911 (bicara | kontrib)
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Rabiulakhir
k Sumatera
(18 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 12:
|thn_lahir_h = 1329
|thn_lahir_m = 1910
|tempat_lahir = [[Sigalapang Julu, Panyabungan, Mandailing Natal|Sigalapang]], [[Panyabungan, Mandailing Natal|Panyabungan]]
|tempat_lahir = Sigalangan
|negara_dilahirkan = [[Mandailing]] {{negara|Hindia Belanda}}
|nama_ayah = Abdul Muththalib bin Hassan
Baris 72:
 
}}
'''[[Syekh]] [[Haji]] Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hassan''' ({{lang-ar|الشَّيْخُ عَبْدُ القَادِرِ بْنُ عَبْدِ المُطَّلِبِ بْنِ حَسَنٍ الأَنْدُوْنِيْسِي المَنْدِيْلِي المَكِّيّ الشَّافِعِيْ}}) ([[Kabupaten TapanuliMandailing SelatanNatal|Mandailing]], [[Sumatera Utara]] [[1910]] M - [[Mekkah]], [[Arab Saudi]] [[1965]] M)<ref name=niknasri>{{harvnb|NikNasri.com1|2014}}.</ref> adalah seorang ulama Nusantara yang ternama di kalangan Melayu.<ref name=alkisah1>{{harvnb|Majalah Alkisah Bagian 1|2014}}.</ref> Dilahirkan pada tahun 1329 H di desa [[SigalanganSigalapang Julu, Panyabungan, Mandailing Natal|Sigalapang]], [[KecamatanPanyabungan, BatangMandailing AngkolaNatal|Kecamatan Panyabungan]], [[Kabupaten TapanuliMandailing SelatanNatal]], [[Sumatera Utara]]. Namanya adalah ‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muththalib bin Hassan Al-Andunisi Al-Mandili Al-Makki Asy-Syafi’i. Sebenarnya, nama bapaknya masih diperselisihkan oleh kalangan sejarawan. Ada yang menyebebutmenyebut Thalib, sedangkan di pihak lain menyebut ‘Abdul Muththalib. Akan tetapi perselisihan ini akan segera sirna jika kita kembalikan pada apa yang dituliskan Syaikh ‘Abdul Qadir sendiri. Antara lain dalam ''Al-Khazain As-Saniyyah'', ''Syarh ‘Aqidah Thahawiyyah'', dan ''Kunci Anak Syurga'', dia menulis bahwa ayahnya bernama ‘Abdul Muththalib, bukan Thalib.<ref name="abdul qadir al-mandili">[https://muslim.or.id/22576-abdul-qadir-al-mandili-pembawa-dakwah-sunnah-di-nusantara.html Abdul Qadir Al-Mandili, Pembawa Dakwah Sunnah di Nusantara]</ref>. Biografinya telah diangkat dalam sebuah buku yang berjudul ''Syeikh Abdul Qadir Al-Mandaili (1910-1965): Biografi dan Pendidikan Akhlak'' karya Prof. Madya Dr. Ramli Awang, seorang tenaga peng­ajarpengajar di Pusat Pengajian Islam dan Pem­bangunanPembangunan Sosial, [[Universitas Teknologi Malaysia]].<ref name=alkisah1/>. Artikel tentang biografi dia pun telah ditulis oleh Fiman Hidayat Mawardi di situs muslim.or.id.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>. Ia berasal dari kalangan keluarga petani.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah1/> Ia dijuluki “Al-Mandaili” karena berasal dari suku Mandailing.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah1/> Ada dua nama Syaikh Abdul Qadir asal Mandailing yang terkenal, satu terkenal di Makkah dan satunya lagi terkenal di dunia Melayu.<ref name=alkisah1/> Yang lebih senior dan terkenal di Makkah adalah Syeikh [[Abdul Qadir bin Shobir Al Mandili]], kelahiran [[Huta Siantar, Panyabungan Kota, Mandailing Natal]], [[Sumatera Utara]]. Sedangkan Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib lebih terkenal di Melayu dahulu baru kemudian pada tahun 1936 berangkat ke [[Makkah]] untuk menuntut ilmu.<ref name=alkisah1/>
 
== Pendidikan Awal ==
Ia mendapat pendidikan awal di Sekolah Belanda pada 1917 dan lulus kelas Lima pada 1923. Pada 1924, Ia berhijrah ke [[Kedah]] untuk mendalami ilmu agama.<ref name=niknasri/> Merantau ke negeri Malaysia bukan hanya banyak dilakukan orang-orang Indonesia pada zaman sekarang. Bahkan sudah sejak dahulu kala masyarakat [[Indonesia]] pada umumnya dan masyarakat [[SumateraSumatra]] pada khususnya, sudah sering mengadakan perantauan ke negeri jiran tersebut. Alasan kuat yang menyebabkan penduduk [[SumateraSumatra]] sering menjalin hubungan dengan negeri jiran adalah karena mereka sama-sama berbangsa [[Melayu]] sehingga banyak kesamaan antara keduanya, baik dari segi agama, bahasa, maupun adat istiadat. Salah satu di antara orang [[SumateraSumatra]] yang melawat ke negeri seberang itu adalah ‘Abdul Qadir Al-Mandili, yaitu pada tahun 1924 M, satu tahun setelah kelulusannya dari sekolah Belanda. Hanya saja perjalanan yang ia lakukan ini bukan karena dorongan kebangsaan ataupun kesukuan, namun lebih pada perjalanan menimba ilmu agama yang sudah menjadi kebiasaan penuntut ilmu di seluruh dunia. Itulah perjalanan yang oleh sahabat [[Abu Darda’]] –radhiyallahu ‘anhu– disebut sebagai perjalanan fi sabilillah.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>.
 
== Hijrah ke Malaysia ==
Saat ia hijrah ke [[Kedah, Malaysia]] pada tahun 1924, awalnya Syaikh Abdul Qadir muda berguru kepada Tuan Guru Haji Bakar Tobiar, di Pondok Penyarum, Pen­dangPendang, selanjutnya ia melanjutkannya ke Pondok Air Hitam di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Idris dan Lebai Dukun.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah1/>
 
Pada 1926, Syaikh Abdul Qadir bersekolah di Madrasah Darul Sa’adah Al-Islamiyah atau Pondok Titi Gajah, yang ketika itu diasuh Syaikh Wan Ibrahim bin ‘Abdul Qadir Al-Fathani atau biasa disapa Pak Chu Him yang terkenal itu.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>. Setelah 10 tahun bel­ajarbelajar, ia diterima sebagai guru di pondok ini sekitar 1934.<ref name=alkisah1/>
 
Dikisahkan pula bahwa di saat ia masih nyantri di Darul Sa’adah Al-Islamiyyah, ia biasa memanfaatkan masa liburan untuk bekerja sebagai pemukul padi karena memang lokasi madrasah terletak di lingkungan persawahan. Meski sebagai seorang santri, ia tidak canggung menjalani pekerjaannya itu. Dalam pikirannya, yang penting itu halal tidak perlu malu dijalani. Meski harus bekerja, ia tidak lantas melupakan tujuan utamanya melawat. Sambil bekerja memukul padi, ia terlihat tampak sembari menghafalkan sesuatu. Mungkin matan kitab atau semacamnya. Berkat karunia Allah, kemudian berkat ketekunannya belajar ini tidak heran jika ia sampai berhasil menguasai banyak bidang keilmuan.
 
Selain terkenal tekun belajar, ‘Abdul Qadir Al-Mandili juga terkenal dengan ketekunannya beribadah pada Allah. Tidak hanya ibadah wajib yang ia kerjakan, namun ibadah-ibadah sunnah pun banyak yang ditekuninya. Maka tidak sekadar belajar, tetapi ia juga mengamalkannya. Dan demikianlah akhlak keseharian seorang penuntut ilmu yang seyogyanyaseyogianya terus dilakukan. Karena dengan mengamalkan ilmu, ilmu akan semakin bertambah dan tidak lekas lupa, kata [[Muhammad bin Shalih al-Utsaimin|Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin]] –rahimahullah-<ref name="abdul qadir al-mandili"/>.
 
Sesudah 12 tahun berada di Titi Gajah, dahaganya kepada ilmu semakin memuncak. Ia berkeinginan untuk berguru kepada Syaikh Wan Ismail (Syaikh Isma’il bin ‘Abdul Qadir Al-Fathani bersapa Pak Da ‘Ali<ref name="abdul qadir al-mandili"/>), yang tak lain adalah kakak Syaikh Wan Ibrahim, yang mengajar di [[Makkah]].<ref name=alkisah1/>
 
== Berguru ke Tanah Haram ==
Pada tahun 1355 H, Syaikh ‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muththalib al-Mandili bertolak ke [[Makkah|Makkah Al-Mukarramah]], suatu negeri yang selalu menjadi dambaan semua orang, apatah lagi penuntut ilmu. Adalah suatu kebiasaan yang lazim menjadi ‘sunnah’ penuntut ilmu di Nusantara, terasa belum sempurna jika tidak mengambil bagian belajar di kota kelahiran Rasulullah ﷺ tersebut. Maka pada waktu tersebut ‘Abdul Qadir tidak lagi kuat menahan hasratnya untuk segera berangkat menujunya. Sesampainya di [[Makkah]] dan setelah menyempurnakan ibadah haji pada tahun tersebut, ia bertekad untuk lebih lama tinggal di sana, tidak lain untuk menimba ilmu dari para ulamanya walaupun keilmuannya sudah bisa dibilang dalam dan matang. Akan tetapi karena dahaganya pada ilmu yang masih belum terobati, ia merasa harus lebih lanjut mendalaminya.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>.
 
Di Makkah ia berguru kepada banyak ulama besar,<ref name=alkisah1/> di antaranya :
* Syaikh Isma’il bin ‘Abdul Qadir Al-Fathani,
* Syaikh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi,
Baris 100:
* Syaikh Muhammad Al-Arabi,
* Sayyid Alwi bin Abbas Al-Hasani,
* Syaikh Muham­madMuhammad Ahyad,
* Syaikh Hasan Al-Yamani,
* Syaikh Umar Ham­danHamdan Al-Mahrasyi,
* Syaikh Muhammad Nur Saif,
* Syaikh [[Muhammad Yasin Al-Fadani]],
Baris 111:
Setelah sekian lama berguru kepada banyak ulama Tanah Suci, ia mendapatkan izin mengajar di [[Masjidil Haram]]. Ia mengajar selama hampir 30 tahun, dalam berbagai cabang keilmuan.<ref name=alkisah2>{{harvnb|Majalah Alkisah Bagian 2|2014}}.</ref> Majelisnya yang terkenal adalah sebuah majelis yang terletak di sisi Bab Al-Umrah, salah satu pintu utama [[Masjidil Haram]]. Halaqahnya ini amat terkenal di kalangan penuntut ilmu di Masjidil Haram, terutama di kalangan santri Melayu.<ref name=alkisah2/>
 
Adapun jadwal kajian Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Mandili adalah setiap usai shalat ‘Ashar, Maghrib, dan Shubuh. Selain di Masjidil Haram, ia juga biasa memberi pelajaran di rumahnya sendiri dan tempat lainnya.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>.
 
Tentang halaqah pengajian Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Mandili, Syaikh Zakariya bin ‘Abdullah Bela pernah menuturkan, “Dia memeiliki beberapa pelajaran yang disampaikannya di Masjidil Haram dalam bidang fiqih madzhab Syafi’i, nahwu, sharaf, balaghah, hadits, mushthalah hadits, tafsir, selain beberapa pelajaran yang diterimanya dari guru-gurunya. Majelis pengajiannya tidak kurang dari 200 pelajar dalam setiap pengajiannya karena sebab kepiawiannya yang begitu kuat dalam metode menerjemahkan (pelajaran), pengalamannya yang luas dalam menyampaikan pelajaran, dan metode-metode pengajaran.”<ref name="abdul qadir al-mandili"/>
Baris 205:
Syeikh Abdul Qadir juga aktif dalam menulis, sekitar 24 buah karya tulis dalam bahasa Melayu dan Arab<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> telah lahir dari kegigihan ia menutut ilmu dan mengajar, termasuk di antaranya enam buah karya terjemahan. Tulisannya meliputi berbagai bidang seperti ushuludin, fiqih, pendidikan, hukum, dan akhlaq, politik, dan perundangan. Syaikh Abdul Qadir telah lebih dahulu "modern" dalam pemikiran di kalangan ulama-ulama tradisional lainnya pada masa itu tatkala ia memperbincangkan ideologi kapitalisme, sosialisme, dan komunisme.<ref name=alkisah1/><ref name=alkisah2/> Tulisan-tulisan tersebut masih terus dicetak dan dipelajari di berbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal. Pada tulisan-tulisannya itu dapat dengan jelas kita rasakan nuansa dakwah kepada tauhid yang dia prioritaskan.
 
Di antara karya-karya dia adalah :
* ''Al-Khaza‘in as-Saniyyah min Masyahir al-Kutub al-Fiqhiyyah Li A‘immatina al-Fuqaha‘ asy-Syafi’iyyah''.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>. Kitab ini, kata ‘Abdul ‘Aziz As-Sayib, seperti yang dampak pada judul dan muqaddimah penulisnya, (disusun) untuk orang hendak membaca kitab-kitab fiqih Syafi’i. Al-Mandili memaksudkan agar orang yang mentelaah kitab-kitab itu menjadi mudah karena nama-nama pengarang kitab yang dikandungnya terkadang masih samar bagi pembaca, serta istilah-istilah dan semacamnya yang boleh jadi belum diketahui oleh pelajar. Dari sanalah Syaikh Al-Mandili menjadikan kitabnya terdiri dari 8 pasal. Pertama nama-nama kitab yang kerap disebutkan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah. Inilah pokok kitab Al-Khazain As-Saniyyah dan intinya yang paling banyak dihimpunkan oleh si penulis. Kedua, menentukan pakar fiqih yang 7 yang berada di Madinah Munawwarah. Ketiga, nama-nama reformer umat ini. keempat, nama-nama pakar hadits yang sering disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Lima, rumus nama-nama pengarang kitab. Keenam, beberapa istilah, yaitu gelar dan sifat sebagian ulama yang sering disebutkan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah seacara khusus, dan kitab-kitab ilmiah secara umum. Ketujuh, nama-nama komplotan sesat. Kedelapan, pakar qiraah yang tujuh beserta para perawinya.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>
* ''Risalah Pokok Qadiani'', memaparkan kesesatan dan bahaya ajaran [[Mirza Ghulam Ahmad]]<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
* (1949) ''Senjata Tok Haji dan Tok Labai''<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
* (1950) ''Pembantu bagi Sekalian Orang Islam dengan Harus Membaca Quran dan Sampai Pahalanya kepada Sekalian Yang Mati'' <ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
* (1952) ''Tuhfah al-Qari‘ al-Muslim fi al-Ahadits al-Muttafaq ‘Alaiha Bayn al-Imam al-Bukhari wa al-Imam Muslim''.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> Kitab ini beberapa hadits pilihan yang disepakati periwayatannya oleh Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari dan Imam Abul Hajjaj Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naesaburi.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>
* (1953) ''Bekal Orang yang Menunaikan Haji'' <ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
* (1956) ''Hukm al-Ihram min Jaddah, Penawar bagi Hati, Perisai bagi Sekalian Mukallaf, Pendirian bagi agama Islam ''<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
* (1956) ''Pendirian Agama Islam'' , memperbincang­kanmemperbincangkan ideologi ciptaan manusia seperti kapitalisme, sosialisme, dan komunisme serta persinggungannya dengan aqidah dan pemikiran Islam<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
* (1958) ''Sinar Matahari Buat Penyuluh Kesilapan Abu Bakar al-Asy’ari'' , kritik pemikiran golongan kaum muda<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
* (1958) ''Al-Madzhab atau Tiada Haram Bermadzhab''. Kandungan isi kitab ini seperti yang diterangkan penulisnya di muqaddimah, “Maka ini sebuah kitab yang kecil, yang mengandung ia akan hukum bermadzhab dan taqlid. Hamba sesunkan dia karena permintaan Tuan Guru Haji Hasan Ahmad Fathani, yang memberi ia akan hamba akan sebuah risalah ‘Al-Madzhab Wajibkah Atau Haramkah Bermadzhab?’ yang terbangsa kepada [[Ahmad Hassan|Al-Fadhil Tuan Hassan Ahmad]] [[Bandung]] (baca: [[Ahmad Hassan|Al-Ustadz A. Hassan]] Bandung), dan menyuruh ia akan hamba dengan menerangkan barang yang di dalamnya daripada segala yang menyalahi. Maka karena tiada dapat hamba menyalahi permintaan itu, terpaksalah hamba menyusun akan ini risalah, sekalipun hamba tiada ada ahli bagi yang demikian itu. Dan hamba namakan dia dengan ‘Al-Madzhab Atau Tiada Haram Bermadzhab’. Mudah-mudahan menjadikan dia oleh Allah Ta’ala ikhlas, serta memberi manfaat ia bagi hamba sendiri dan bagi sekalian maudara yang beragama Islam. Innahu ‘ala kulli syai-i’ qadir.”<ref name="abdul qadir al-mandili"/>
* (1959) ''Siasah dan Loteri dan Alim Ulama dan Islam: Agama dan Kedaulatan'', yang menjelaskan hukum judi yang dilegalisasi pemerintah lalu dana­nyadananya digunakan untuk membina masjid dan sekolah agama<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
* (1961) ''Kebagusan Undang-undang Islam dan Kecelaan Undang-undang Ciptaan Manusia'' , menjelaskan ke­padakepada orang Melayu, yang dengan itu kar­yanyakaryanya ditulis dalam bahasa [[Melayu]], ten­tangtentang keadilan dan kebaikan undang-un­dangundang Allah serta kekeliruan hukum cara manusia, terlebih lagi infiltrasi undang-un­dangundang penjajah di negeri-negeri Melayu<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
* ''Anak Kunci Syurga''.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>
* Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah yang berjudul ''Perisai Bagi Sekalian Mukallaf'' atau ''Simpulan Iman Atas Jalan Salaf''.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>
Baris 240:
 
== Wafat ==
Setelah menetap 29 tahun<ref name=alkisah2/> lamanya di [[Makkah]] mengabdikan dirinya dalam keilmuan, pada 1965 M <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]: 18 Rabiulakhir 1385<nowiki>],</nowiki></small><ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hasan Al-Mandaili me­ngem­buskanmengembuskan napas yang terakhir pada usia 63 tahun lebih setelah mengalami pe­nyakitpenyakit pada kakinya.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> Mungkin semacam tumor atau lainnya. Para ahli medis menyarankan agar penyakit itu dioperasi saja, akan tetapi ia menolaknya. Pada musim haji tahun 1384 H, beberapa ahli kedokteran [[Indonesia]] memberinya saran agar berobat ke Indonesia. Ia pun menyetujui saran tersebut. Akan tetapi karena di sana juga hendak dilakukan operasi, ia kembali menolaknya. Akhirnya ia kembali ke Makkah. Ia sempat berkunjung ke [[Madinah|Madinah Al-Munawwarah]].<ref name="abdul qadir al-mandili"/>.
 
Penulis ''Al-Jawahir Al-Hissan'' mengatakan, “Sekembalinya dari [[Madinah]], dia wafat pada 20 Rabi’ul Tsani tahun 1385 H. Yang menyampaikan berita wafatnya padaku adalah Al-Ustadz ‘Abdul Ghani Al-Mandili yang pada saat itu aku masih berada di Masjid Madinah Munawwarah. Semoga Allah merahmati dan memberinya berkah.”<ref name="abdul qadir al-mandili"/> Masyarakat Makkah sangat berduka citaberdukacita dengan wafatnya dia, para pelajar sangat kehilangan ulama panutan mereka, isak tangis menyelubungi kewafatan seorang ulama yang alim, banyaknya para pelayat dan yang iku menyolatkan menunjukkan betapa besarnya kecintaan mereka kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Mandili, ia di kuburkan di perkuburan Ma`la [[Makkah|Makkah Mukarramah]].<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>
 
== Catatan kaki ==
Baris 264:
| work = [http://www.majalah-alkisah.com/ Majalah Alkisah]
| ref = harv
| archive-date = 2014-01-13
| archive-url = https://web.archive.org/web/20140113043025/http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/3421-syaikh-abdul-qadir-bin-abdul-muthalib-al-mandaili--tuan-guru-para-santri-melayu-bagian-1
| dead-url = yes
}}
* {{id}} {{cite web
Baris 275 ⟶ 278:
| work = [http://www.majalah-alkisah.com/ Majalah Alkisah]
| ref = harv
| archive-date = 2014-01-13
| archive-url = https://web.archive.org/web/20140113042725/http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/3423-syaikh-abdul-qadir-bin-abdul-muthalib-al-mandaili--tuan-guru-para-santri-melayu-bagian-2tamat
| dead-url = yes
}}
* {{ms}} {{cite web
Baris 307 ⟶ 313:
* {{id}} [http://allangkati.blogspot.com/2010/09/syeikh-abdul-qadir-bin-tolib.html Syeikh Abdul Qadir Bin Tolib al-Mandili]
 
== Lihat Pulapula ==
* [[Daftar tokoh Indonesia]]
* [[Daftar tokoh Mandailing]]
Baris 322 ⟶ 328:
[[Kategori:Cendekiawan Muslim]]
[[Kategori:Cendekiawan Sunni]]
[[Kategori:Ahli Fiqihfikih Indonesia|Abdul Qadir bin Abdul Mutalib]]
[[Kategori:Tokoh dari Tapanuli Selatan|Abdul Qadir bin Abdul Mutalib]]
[[Kategori:Ulama Mandailing|Abdul Qadir bin Abdul Mutalib]]