Abdul Qadir bin Abdul Mutalib

Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hassan, lahir pada 1910 [1] adalah seorang ulama Nusantara yang ternama di kalangan Melayu.[2] Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Mutalib bin Hassan di lahirkan pada tahun 1329 Hijriyah, di desa Sigalangan, Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara. Biografinya telah diangkat dalam sebuah buku yang berjudul Syeikh Abdul Qadir Al-Mandaili (1910-1965): Biografi dan Pendidikan Akhlak, karya Prof. Madya Dr. Ramli Awang, seorang tenaga peng­ajar di Pusat Pengajian Islam dan Pem­bangunan Sosial, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai.[2]. Artikel tentang biografi beliau pun telah ditulis oleh Fiman Hidayat Mawardi di situs muslim.or.idKesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; nama tidak sah; misalnya, terlalu banyak Ia berasal dari kalangan keluarga petani.[1][2] Ia dijuluki “Al-Mandaili” karena berasal dari suku Mandailing.[1][2] Ada dua nama Syaikh Abdul Qadir asal Mandailing yang terkenal, satu terkenal di Makkah dan satunya lagi terkenal di dunia Melayu.[2] Yang lebih senior dan terkenal di Makkah adalah Syeikh Abdul Qadir bin Shobir Al Mandili, kelahiran Huta Siantar, Panyabungan Kota, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Sedangkan Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib lebih terkenal di Melayu dahulu baru kemudian pada tahun 1936 berangkat ke Makkah untuk menuntut ilmu.[2]

Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hassan
LahirMandailing, Sumatera Utara, Indonesia
PekerjaanUlama, guru, Da'i
Dikenal atasPesantren
Orang tuaAbdul Muthalib bin Hassan (ayah)

Pendidikan Awal

Ia mendapat pendidikan awal di Sekolah Belanda pada 1917 dan lulus kelas Lima pada 1923. Pada 1924, Ia berhijrah ke Kedah untuk mendalami ilmu agama.[1] Merantau ke negeri Malaysia bukan hanya banyak dilakukan orang-orang Indonesia pada zaman sekarang. Bahkan sudah sejak dahulu kala masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sumatera pada khususnya, sudah sering mengadakan perantauan ke negeri Jiran tersebut. Alasan kuat yang menyebabkan penduduk Sumatera sering menjalin hubungan dengan negeri Jiran adalah karena mereka sama-sama berbangsa Melayu sehingga banyak kesamaan antara keduanya, baik dari segi agama, bahasa, maupun adat istiadat. Salah satu di antara orang Sumatera yang melawat ke negeri seberang itu adalah ‘Abdul Qadir Al-Mandili, yaitu pada tahun 1924 M, satu tahun setelah kelulusannya dari sekolah Belanda. Hanya saja perjalanan yang ia lakukan ini bukan karena dorongan kebangsaan ataupun kesukuan, namun lebih pada perjalanan menimba ilmu agama yang sudah menjadi kebiasaan penuntut ilmu di seluruh dunia. Itulah perjalanan yang oleh Abu Ad-Darda’ –radhiyallahu ‘anhu– disebut sebagai perjalanan fi sabilillahKesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; nama tidak sah; misalnya, terlalu banyak.

Hijrah ke Malaysia

Saat ia hijrah ke Kedah, Malaysia, pada tahun 1924, awalnya Syaikh Abdul Qadir muda berguru kepada Tuan Guru Haji Bakar Tobiar, di Pondok Penyarum, Pen­dang, selanjutnya ia melanjutkannya ke Pondok Air Hitam di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Idris dan Lebai Dukun.[1][2]

Pada 1926, Syaikh Abdul Qadir bersekolah di Madrasah Darul Sa’adah Al-Islamiyah atau Pondok Titi Gajah, yang ketika itu diasuh Syaikh Wan Ibrahim Abdul Qadir. Setelah 10 tahun bel­ajar, ia diterima sebagai guru di pondok ini sekitar 1934.[2]

Sesudah 12 tahun berada di Titi Gajah, dahaganya kepada ilmu semakin memuncak. Ia berkeinginan untuk berguru kepada Syaikh Wan Ismail, yang tak lain adalah kakak Syaikh Wan Ibrahim, yang mengajar di Makkah.[2]

Guru di Masjidil Haram

Di Makkah ia berguru kepada banyak ulama besar,[2] di antara seperti :

  • Sayyid Bakri Syatha‘ Ad-Dimyathi,
  • Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani,
  • Syaikh Ali Al-Fathani,
  • Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki,
  • Syaikh Hassan Al-Masysyath,
  • Syaikh Muhammad Al-Arabi,
  • Sayyid Alwi bin Abbas Al-Hasani,
  • Syaikh Muham­mad Ahyad,
  • Syaikh Hasan Al-Yamani,
  • Syaikh Umar Ham­dan Al-Mahrasyi,
  • Syaikh Muhammad Nur Saif,
  • Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani,
  • Syaikh Abdullah Al-Lahji,
  • Syaikh Zakaria Bila.

Mengajar di Makkah

Setelah sekian lama berguru kepada banyak ulama Tanah Suci, ia mendapatkan izin mengajar di Masjidil Haram. Ia mengajar selama hampir 30 tahun, dalam berbagai cabang keilmuan.[3] Majelisnya yang terkenal adalah sebuah majelis yang terletak di sisi Bab Al-Umrah, salah satu pintu utama Masjidil haram. Halaqahnya ini amat terkenal di kalangan penuntut ilmu di Masjidil Haram, terutama di kalangan santri Melayu.[3]

Ketika menjadi guru di Masjidil Haram, Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib pernah ditawarkan dengan berbagai jabatan, sebagai guru agama di Cape Town, Afrika Selatan, Presiden Soekarno juga dikisahkan pernah menawarkan sebagai Mufti Indonesia, sedangkan Raja Arab Saudi menawarkan posisi Qadhi Al-Qudat dengan gaji yang besar.[1][3] Tetapi semua itu ditolak olehnya karena ia lebih memilih konsentrasi dalam hal mengajar di Masjidil Haram.[1][3]Sesuai dengan gelar yang diberikan kepadanya yakni "Khuwaidam Talabah al-Ilmu as-Syarif bil Harami al-Makki (Khadam kecil bagi penuntut ilmu di Masjidil Haram)".[1]

Karya

Syeikh Abdul Qadir juga aktif dalam menulis, sekitar 24 buah karya tulis dalam bahasa Melayu dan Arab[1][3] telah lahir dari kegigihan ia menutut ilmu dan mengajar, termasuk di antaranya enam buah karya terjemahan. Tulisannya meliputi pelbagai bidang seperti ushuludin, fiqih, siyasah, pendidikan, hukum, dan akhlaq, politik, dan perundangan. Syaikh Abdul Qadir telah lebih dahulu "modern" dalam pemikiran di kalangan ulama-ulama tradisional lainnya pada masa itu tatkala ia memperbincangkan ideologi kapitalisme, sosialisme, dan komunisme.[2][3]

Di antarakarya-karya ia adalah :

  • Risalah Pokok Qadiani, memaparkan kesesatan dan bahaya ajaran Mirza Ghulam Ahmad[1][3]
  • (1949) Senjata Tok Haji dan Tok Labai[1][3]
  • (1950) Pembantu bagi Sekalian Orang Islam dengan Harus Membaca Quran dan Sampai Pahalanya kepada Sekalian Yang Mati [1][3]
  • (1952) Tuhfah al-Qari‘ al-Muslim fi al-Ahadits al-Muttafaq ‘Alaiha Bayn al-Imam al-Bukhari wa al-Imam Muslim [1][3]
  • (1953) Bekal Orang yang Menunaikan Haji [1][3]
  • (1956) Hukm al-Ihram min Jaddah, Penawar bagi Hati, Perisai bagi Sekalian Mukallaf, Pendirian bagi agama Islam [1][3]
  • (1956) Pendirian Agama Islam , memperbincang­kan ideologi ciptaan manusia seperti kapitalisme, sosialisme, dan komunisme serta persinggungannya dengan aqidah dan pemikiran Islam[1][3]
  • (1958) Sinar Matahari Buat Penyuluh Kesilapan Abu Bakar al-Asy’ari , kritik pemikiran golongan kaum muda[1][3]
  • (1958) Al-Madzhab atau Tiada Haram Bermadzhab , kritik pemikiran golongan kaum muda
  • (1959) Siasah dan Loteri dan Alim Ulama dan Islam: Agama dan Kedaulatan, yang menjelaskan hukum judi yang dilegalisasi pemerintah lalu dana­nya digunakan untuk membina masjid dan sekolah agama[1][3]
  • (1961) Kebagusan Undang-undang Islam dan Kecelaan Undang-undang Ciptaan Manusia , menjelaskan ke­pada orang Melayu, yang dengan itu kar­yanya ditulis dalam bahasa Melayu, ten­tang keadilan dan kebaikan undang-un­dang Allah serta kekeliruan hukum cara manusia, terlebih lagi infiltrasi undang-un­dang penjajah di negeri-negeri Melayu[1][3]
  • Al-Khaza‘in as-Saniyyah min Masyahir al-Kutub al-Fiqhiyyah Li A‘immatina al-Fuqaha‘ asy-Syafi’iyyah.[1][3]

Murid

Muridnya yang terkenal ialah Tuan Guru Haji Abdul Rahman Sungai Durian, Kelantandan Tuan Guru Haji Umar Daud Meranti.[1] Salah seorang anak ia, Syeikh Muhammad al-Mandili merupakan guru agama di Masjidil Haram sekarang ini.[1][3]

Karakter dan kepribadian

Syeikh Abdul Qadir sangat gigih mengajar dan tidak mengenal keadaan sakit. Apabila ditanya oleh anak muridnya apakah ia sudah sembuh, ia menjawab, "kalau menangis pun bukan nak lega",[1] demikian dari kalangan melayu menyebutnya.

Wafatnya Syeikh Abdul Qadir

Setelah menetap 29 tahun[3] lamanya di Makkah mengabdikan dirinya dalam keilmuan, pada 1965 M [Kalender Hijriyah: 18 Rabiul Akhir 1385],[1][3] Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hasan Al-Mandaili me­ngem­buskan napas yang terakhir pada usia 63 tahun lebih setelah mengalami pe­nyakit pada kakinya.[1][3] Masyarakat Makkah sangat berduka cita dengan kewafatannya, para pelajar sangat kehilangan ulama panutan mereka, isak tangis menyelubungi kewafatan seorang ulama yang alim, banyaknya para pelayat dan pensolat menunjukkan betapa besarnya kecintaan mereka kepada Syeikh Abdul Qadir a-Manidili, ia di kuburkan di perkuburan Ma`la Makkah Mukarramah.[1][3]

Catatan kaki

Daftar pustaka

Website

Pranala Luar

Lihat Pula