Agama di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k →‎Islam: clean up
Rudyarmawan (bicara | kontrib)
k Sejarah masuknya kristen dan katholik dan segala konflik yang menyebabkan terjadinya sinkretisme
Baris 39:
{{cite book|surname=Heine-Geldern|given=Robert |year=1956 |title=Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia |place=Ithaca, NY |publisher=Southeast Asia Program Publications of [[Universitas Cornell|Cornell University]]}}</ref>
 
Teori Mekkah, teori ini dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold bersama Crawfurd, Niemann, dan de Hollander. Menurut Arnold, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat Islam berasal, tapi juga dari Arab. Dalam pandangan Arnold, para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi.
Islam masuk ke Indonesia pada [[abad ke-13]] melalui pedagang di [[Gujarat]], India,<ref name="indency" /> sementara ilmuwan juga mempertahankan teori dari [[Dunia Arab|Arab]] dan [[Persia]].{{sfn|Azra|2006|pp=10–25}} Islam menyebar sampai pantai barat Sumatra dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan [[Demak]], [[Kesultanan Pajang|Pajang]], [[Kesultanan Mataram|Mataram]], dan [[Banten]]. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, yang mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.{{sfnm|1a1=Amrullah|1y=1982|1p=|2a1=Atjeh|2y=1971|2p=|3a1=Hasymi|3y=1981|3p=|4a1=Husain|4y=2017|4p=|5a1=Laffan|5y=2015|5p=|6a1=Ricklefs|6y=2006|6p=|7a1=Ricklefs|7y=2007|7p=|8a1=Ricklefs|8y=2013|8p=|9a1=Saifullah|9y=2010|9p=}}
 
Pengaruh Islam telah masuk ke nusantara sekitar abad 7, dibawa langsung oleh para pedagang Arab. Buktinya adalah adanya permukiman Islam pada tahun 674 di Baros. Uraian tersebut merupakan proses masuknya Islam dalam Teori Arab atau Mekkah. Teori ini juga disetujui oleh beberapa ahli Indonesia, salah satunya adalah Hamka. Selain alasan kesamaan mazhab, Hamka melihat bahwa gelar raja-raja Pasai adalah al-Malik, bukan Shah atau Khan seperti yang terjadi di Persia dan India. Di samping itu, pada abad ke-13 Masehi, ada ulama-ulama Jawi yang mengajarkan tasawuf di Mekkah.
[[Kekristenan]], yakni [[Gereja Asiria Timur]] beraliran [[Nestorianisme]] telah hadir di Nusantara di Sumatra Utara pada [[abad ke-7]].{{sfn|Aritonang|1995|p=11}} {{citation needed span|Fakta ini ditegaskan kembali oleh Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Fakta ini dapat dimengerti dengan penelitian dan rentetan berita dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku "Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya", yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India, dan Indonesia. Dengan terus dilakukan penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat mengambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatra Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik di Indonesia, seri 1, diterbitkan oleh KWI).}}
 
Mengutip jurnal ''Portugis dan Misi Kristenisasi di Ternate'' oleh Usman Nomay (204), Kristen mulai memasuki wilayah Nusantara setelah penjajah Portugis berhasil merebut Malaka, pusat perdagangan di Asia Tenggara. Dari Malaka, mereka berlayar ke wilayah penghasil rempah-rempah yaitu Maluku.
[[Berkas:Yogyakarta Indonesia Prambanan-temple-complex-02.jpg|jmpl|300px|ka|[[Candi Prambanan]] — kecandian Hindu agung di [[Jawa Tengah]], abad ke-9.]]
 
Saat tiba di Maluku mereka disambut dengan baik oleh Sultan Ternate, bahkan diberi kesempatan untuk membangun benteng, sebagai bukti toleransi tinggi Sultan Ternate kepada tamunya.
Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di Pulau [[Flores]] dan [[Pulau Timor|Timor]].{{sfnm|1a1=Boelaars|1y=2005|1p=|2a1=Aritonang|2a2=Steenbrink|2y=2008|2p=}}
 
Oleh sebab itu mereka mulai melaksanakan berbagai macam metode untuk mengajak orang-orang Ternate yang beragama Islam atau yang masih menganut dinamisme dan animisme untuk mengimani Kristen Katolik. Laki-laki Portugis mengawini budak-budak dan perempuan pribumi, kemudian menjadikan mereka penganut Katolik.
Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran [[Calvinis]] dan [[Lutheran]]. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk [[Maluku]], [[Nusa Tenggara]], [[Papua]] dan [[Kalimantan]]. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai [[Borneo]], kaum [[misionaris]] pun tiba di [[Toraja]], [[Sulawesi]]. Wilayah Sumatra juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang [[Suku Batak|Batak]] sehingga saat ini banyak di antara mereka yang menjadi pemeluk Protestan.{{sfnm|1a1=Goh|1y=2005|1p=|2a1=Aritonang|2a2=Steenbrink|2y=2008|2p=}}
 
Melalui politik ''devide et impera'' dan kerjasama dengan penguasa lokal dalam bidang perdagangan, Portugis mulai melakukan misi Jesuitnya. Kepada orang awam, Portugis memberikan pengetahuan bahwa agama Kristen memberi kedamaian dan keselamatan.
 
Seorang misionaris, Franciscus Xaverius bahkan berhasil membaptis beribu-ribu orang. Selain Maluku, misi Katolik juga menyebar ke daerah-daerah lain seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur, sebelum Portugis diusir dari Kepulauan Nusantara pada 1575.
 
Mengutip jurnal ''Misi Kristen di Indonesia: Kesaksian Kristen Protestan'' oleh Benyamin F. Intan (2015), mulanya dalam kontrak antara VOC dan Belanda tidak terdapat pasal tentang kekristenan. Namun pada 1623 VOC juga diharuskan menyebarkan misi Kristen.
 
Karena motif utama VOC adalah perdagangan, maka dukungan terhadap penyebaran misi Protestan dilakukan selama hal tersebut mendatangkan keuntungan.
 
Setelah kekuatan Portugis di Nusantara hancur, pejabat VOC beranggapan pengkonversian agama penduduk dari Katolik ke Protestan sangat penting agar loyalitas mereka berpindah dari Portugis ke Belanda.
 
Oleh sebab itu selama kurun waktu 1602-1800, VOC mengirimkan 254 pendeta dan 800 konselor Kristen. Mereka memang berhasil mengkristenkan banyak orang, namun karena VOC berorientasi pada keuntungan politik dan ekonomi, banyak ditemukan warga yang identitasnya saja Kristen, namun pada praktiknya tidak sesuai dengan apa yang diajarkan. Orientasi pada jumlah ini malah menghasilkan sinkretisme.
 
Mengutip ''Kolonialisme dan Misi Kristen di Jawa'' karya Muhammad Isa Anshory (2011), dibandingkan VOC, pemerintah Hindia Belanda memberikan lebih banyak perhatian terhadap perkembangan Kristen di wilayah koloninya. Pemerintah bahkan memberikan gaji kepada para pendeta yang berkarya di Hindia Belanda.
 
Namun untuk menjaga ketertiban dan keamanan, beberapa daerah yang berpenduduk mayoritas Muslim dinyatakan tertutup bagi kegiatan misi. Misionaris yang akan menyebarkan agama harus mengantongi izin terlebih dahulu dari pemerintah.
 
Di era politik etis, persebaran Kristen semakin meluas. Para misionaris dengan bantuan subsidi pemerintah mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit dan balai-balai kesehatan.
 
Pada Periode [[Orde Lama]] [[Sukarno]] (dari tahun 1945 hingga 1965) terjadi gangguan antara agama dan negara.{{sfn|Intan|2006|pp=44–50}}{{Explain}} Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era [[Orde Baru]]. Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara [[Partai Komunis Indonesia|PKI]] dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa organisasi mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk pada abad ke-20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah [[ateisme|ateis]].{{sfnm|1a1=Geertz|1y=1972|1pp=62–84|2a1=Bertrand|2y=2004|2pp=34–104}} Sebagai hasilnya, tiap-tiap warga negara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang [[Tionghoa]] juga berpindah ke Kristen atau Buddha.{{sfn|Bertrand|2004|pp=34–104}}