Aksara Lontara: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Anhar Karim (bicara | kontrib) Tag: Pembatalan |
k →Galeri |
||
(41 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Artikel bagus}}
{{untuk|aksara yang digunakan untuk menulis [[bahasa Makassar]] di masa lalu|Aksara Makassar}}
Baris 5 ⟶ 4:
|name=Lontara
|altname={{script|lont|ᨒᨚᨈᨑ}}
|type =
|time = Abad
|languages = [[Bahasa
|fam1={{hipotesis abjad aram-brahmi}}
|fam2
|fam3
|sisters={{keluarga kawi}}
|unicode = [http://www.unicode.org/charts/PDF/U1A00.pdf U+1A00–U+1A1F]
|iso15924=
|sample = Kata_lontara.png
|imagesize = 250px
Baris 21 ⟶ 18:
|note=none
}}
'''Aksara Lontara''', juga dikenal sebagai '''aksara Bugis''', '''aksara Bugis-Makassar''', atau '''aksara Lontara Baru''' adalah salah satu [[aksara]] tradisional Indonesia yang berkembang di [[Sulawesi Selatan]] dan [[Sulawesi Barat]]. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa [[Bahasa Bugis|Bugis]], [[Bahasa Mandar|Mandar]], dan [[Bahasa Makassar|Makassar]], tetapi dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti [[Bahasa Bima|Bima]] di [[Pulau Sumbawa|Sumbawa]] timur dan [[Bahasa Ende|Ende]] di [[Pulau Flores|Flores]] dengan tambahan atau modifikasi.{{sfn|Tol|1996|pp=213, 216}} Aksara ini merupakan turunan dari [[aksara Brahmi]] India melalui perantara aksara Kawi.{{sfn|Macknight|2016|p=57}} Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari muatan lokal, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
Aksara Lontara adalah sistem tulisan [[abugida]] yang terdiri dari 23 aksara dasar. Seperti aksara [[Brahmi]] lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') dengan [[tanda baca]] yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Lontara, sehingga teks Lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.
== Sejarah ==
Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Lontara telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh [[Islam]] yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa aksara Lontara menggunakan dasar sistem [[abugida]] [[aksara Brahmi|Indik]] ketimbang [[huruf Arab]] yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.{{sfn|Macknight|2016|p=55}} Aksara ini berakar pada [[aksara Brahmi]] dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.{{sfn|Macknight|2016|p=57}}{{sfn|Tol|1996|p=214}}{{sfn|Jukes|2014|p=2}} Kesamaan grafis aksara-aksara
Lontara di Sulawesi Selatan pertama kali berkembang di wilayah Bugis yaitu kawasan Cenrana-Walannae sekitar tahun 1400 M. Aksara ini mungkin telah menyebar ke bagian lain Sulawesi Selatan,
Pada saat kertas tersedia di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, aksara lontara yang sebelumnya harus ditulis lurus, bersudut dan kaku pada daun lontar, kini dapat ditulis lebih cepat dan lebih bervariasi dengan menggunakan tinta pada kertas.
Melalui upaya ahli linguistik Belanda, B.F. Matthes, mesin cetak Lontara Bugis, yang dirancang dan dibuat di Rotterdam pada pertengahan abad ke-19, digunakan sejak saat itu untuk pencetakan di Makassar, Sulawesi Selatan dan Amsterdam. Mereka juga dijadikan model pengajaran aksara Lontara Bugis di sekolah-sekolah, awalnya di Makasar dan sekitarnya, kemudian secara bertahap di daerah lain di Sulawesi Selatan. Proses standardisasi ini jelas mempengaruhi tulisan tangan di kemudian hari. Ketika model standar Lontara Bugis ini telah muncul, variasi yang ada sebelumnya perlahan-lahan menghilang.<ref>{{cite book |author= J. Noorduyn|year=1993|title= Variation in the Bugis/Makasarese script In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Manuscripts of Indonesia 149,no:3|publisher=KITLV|page=535}}</ref> Dan pada akhir abad ke-19, penggunaan aksara [[Aksara Makassar|Makassar]] (atau aksara ''Jangang-Jangang'') telah sepenuhnya digantikan oleh aksara Lontara Bugis, yang kadang-kadang disebut oleh para juru tulis bahasa Makassar sebagai "Lontara Baru".{{sfn|Jukes|2019|pp=49}}
Baris 68 ⟶ 66:
Dalam ranah kontemporer, aksara Lontara telah menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di Sulawesi Selatan sejak 1980-an dan dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Namun bukti-bukti [[anekdot]]al mensugestikan bahwa metode pengajaran kontemporer yang kaku dan materi bacaan yang terbatas justru berefek kontra-produktif dalam literasi masyarakat akan aksara Lontara. Generasi muda masyarakat Sulawesi Selatan umumnya hanya sadar akan adanya aksara Lontara dan mengenal beberapa huruf, tetapi jarang sekali ada yang mampu membaca dan menulisnya secara substansial. Kemampuan yang memadai untuk membaca dan menulis teks beraksara Lontara umumnya terbatas pada generasi tua yang kadang masih menghasilkan teks Lontara untuk tujuan pribadi.{{sfn|Jukes|2014|pp=16–17}}{{sfn|Macknight|2016|pp=66–68}} Salah satunya misal Daeng Rahman dari desa Boddia, [[Galesong, Takalar|Galesong]] (sekitar 15 km di selatan kota [[Makassar]]), yang sejak tahun 1990 menuliskan kejadian-kejadian yang terjadi di Galesong (sebagaimana genre kronik ''attoriolong/patturioloang'') dalam catatan beraksara Lontara yang pada tahun 2010 mencapai 12 buku.{{sfn|Jukes|2014|p=12}} Teks Lontara yang isinya tidak dapat dibaca oleh pemiliknya kadang dikeramatkan, meski substansi isinya seringkali tidak sebanding dengan romantisasi pemilik teks tersebut. Saat sejarawan William Cummings sedang meneliti tradisi penulisan sejarah Makassar, misalnya, sebuah keluarga (yang semua anggotanya buta aksara Lontara) menuturkan padanya mengenai naskah warisan beraksara Lontara milik keluarga yang selama ini tidak berani mereka buka. Namun, ketika naskah tersebut akhirnya diperbolehkan untuk dilihat, ternyata isinya tidak lebih dari bon pembelian kuda.<ref name="cummings"/>
==
Aksara Lontara secara tradisional tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata tertutup meskipun bahasa [[bahasa Bugis|Bugis]] dan [[bahasa Makassar|Makassar]] yang kerap menggunakan aksara Lontara memiliki banyak kata dengan suku kata tertutup. Semisal, bunyi nasal akhir /-ŋ/ dan glotal /ʔ/ yang lumrah dalam bahasa Bugis sama sekali tidak ditulis dalam ejaan aksara Lontara, sehingga kata seperti ''sara'' (kesedihan), ''sara''' (menguasai), dan ''sarang'' (sarang) semuanya akan ditulis sebagai ''sara'' {{script|lont|ᨔᨑ}} dalam aksara Lontara. Dalam bahasa Makassar, tulisan {{script|lont|ᨅᨅ}} dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: ''baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba,'' dan ''bambang''.{{sfn|Jukes|2014|p=6}}
Baris 643 ⟶ 641:
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Akte met het zegel van de leenvorst van Bone TMnr 2522-3.jpg|Akta pinjaman dengan isi dan cap beraksara Lontara dari Kerajaan Boné tahun 1864, koleksi Tropenmuseum
<!--Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Drie fotografische reproducties met Arabische transcripties van de rijkszegels van Bone TMnr 915-11.jpg|Reproduksi beberapa cap dengan aksara Lontara dari Kerajaan Boné, koleksi Tropenmuseum-->
Berkas:Buginese chart of the East Indian Archipelago - ca. 1820 - UB Utrecht (cropped).jpg| Peta Nusantara dengan anotasi
Berkas:Bible printed in Buginese.jpg|Injil berbahasa Bugis cetakan Lembaga Penginjil Belanda, tahun 1893
<!--Berkas:Elong sample matthes.jpg|Sebuah puisi ''élong maliung bettuanna'', dalam Lontara sandi dan Lontara standar sebagaimana dikutip Matthes (1883)-->
|