Aksara Lontara: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Anhar Karim (bicara | kontrib) k Beberapa suntingan sebelumnya dikembalikan karena beberapa alasan, pertama menghapus referensi yang telah ada, kedua menyunting tanpa sumber, ketiga tidak netral dari segi sudut pandang dengan menyisihkan beberapa fakta yang ada |
|||
Baris 6:
|type = Abugida
|time = Abad 15 hingga sekarang
|languages =
|fam1={{hipotesis abjad aram-brahmi}}
|fam2=[[Aksara Pallawa]]
Baris 19:
}}
'''Aksara Lontara''', juga dikenal sebagai '''aksara
Aksara Lontara adalah sistem tulisan [[abugida]] yang terdiri dari 23 aksara dasar. Seperti aksara [[Brahmi]] lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') dengan [[tanda baca]] yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Lontara, sehingga teks Lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.
== Sejarah ==
Sebagian Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Lontara telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh [[Islam]] yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta yang belum memungkinkan bahwa aksara Lontara menggunakan dasar sistem [[abugida]] [[aksara Brahmi|Indik]] ketimbang [[huruf Arab]] yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.{{sfn|Macknight|2016|p=55}} Aksara ini berakar pada [[aksara Brahmi]] dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.{{sfn|Macknight|2016|p=57}}{{sfn|Tol|1996|p=214}}{{sfn|Jukes|2014|p=2}} Kesamaan grafis aksara-aksara Sumatra Selatan seperti [[aksara Rejang]] dengan aksara Lontara membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua aksara tersebut.{{sfn|Noorduyn|1993|pp=567–568}} Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara paralel dari pengaruh purwarupa [[aksara Gujarat]], [[India]].<ref name="miller1">{{cite journal|url=http://journals.linguisticsociety.org/proceedings/index.php/BLS/article/view/3917|first=Christopher|last=Miller|title= A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines|journal=Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society|volume=36|issue=1|year=2010}}</ref>
Lontara di Sulawesi Selatan pertama kali berkembang di wilayah
Pada saat kertas tersedia di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, aksara lontara yang sebelumnya harus ditulis lurus, bersudut dan kaku pada daun lontar, kini dapat ditulis lebih cepat dan lebih bervariasi dengan menggunakan tinta pada kertas. R.A. Kern (1939:580-3) menuliskan bahwa aksara lontara termodifikasi yang memiliki bentuk lengkung yang ditemukan tertulis pada kertas tampaknya tidak ditemukan dalam naskah
Melalui upaya ahli linguistik Belanda, B.F. Matthes, mesin cetak Lontara Bugis, yang dirancang dan dibuat di Rotterdam pada pertengahan abad ke-19, digunakan sejak saat itu untuk pencetakan di Makassar, Sulawesi Selatan dan Amsterdam. Mereka juga dijadikan model pengajaran aksara Lontara
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Lontara, [[Aksara Makassar|Makassar]] (atau aksara ''Jangang-Jangang''), [[huruf Arab|Arab]], dan [[huruf Latin|Latin]]. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Lontara yang sering ditemukan bercampur dengan [[huruf jawi|Arab Melayu]].{{sfn|Tol|1996|pp=213–214}}
Baris 37:
Aksara Lontara kebanyakan ditemukan dalam bentuk buku dengan kertas yang diimpor dari Eropa. Teks umum ditulis dengan tinta lokal menggunakan rusuk daun palem atau ''kallang'' ([[kalam]]) yang terbuat dari batangan buluh.{{sfn|Macknight|2016|p=61}} Terdapat pula beberapa naskah beraksara Lontara yang ditemukan dalam bentuk unik menyerupai pita rekaman: selembar daun lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada kaset. Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan. Namun demikian, media ini hanya ditemukan pada beberapa contoh saja; sastra beraksara Lontara lebih lazim ditemukan pada media kertas.{{sfn|Tol|1996|pp=217–219}} Selain kertas, aksara Lontara juga dapat ditemukan pada benda-benda tertentu sebagai bagian dari seni terapan, misal pada [[cap]]<ref>{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books/about/Malay_Seals_from_the_Islamic_World_of_So.html?id=v95HwwEACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y|title=Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia|last=Gallop|first=Annabel Teh||publisher=NUS Press|year=2019|isbn=9813250860|location=Singapore|language=EN}}</ref> dan kerajinan perak.{{sfn|Macknight|2016|pp=63–65}}
Memasuki pertengahan abad 19 M, berkembang teknologi cetak aksara Lontara yang diprakarsai oleh [[:nl:Benjamin Frederik Matthes|B. F. Matthes]]. Matthes dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan [[Injil]] yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut. Matthes tiba di Makassar pada tahun 1848 M dan tinggal di sana selama sepuluh tahun. Bekerja sama dengan percetakan [[Tetterode]] di [[Rotterdam]], sebuah font cetak untuk aksara Lontara yang Matthes anggap cukup memuaskan selesai diproduksi pada tahun 1856, dengan beberapa suntingan selama beberapa tahun ke depannya. Sejak itu, bacaan sastra Makassar
== Penggunaan ==
Secara tradisional, aksara Lontara digunakan untuk menulis beberapa bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan. Materi beraksara Lontara paling banyak ditemukan dalam bahasa
{| class="wikitable" style="margin:0 auto;" align="center" colspan="2" cellpadding="3" style="font-size: 80%; width: 100%;"
Baris 55:
</gallery>
|}
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan, aksara Lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang berhubungan, sebagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskah kertas. Istilah '''''lontara''''' (kadang dieja '''''lontaraq''''' atau '''''lontara'''''' untuk menandakan bunyi [[Konsonan letup celah-suara|hentian glotal]] di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat
Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.{{sfn|Tol|1996|pp=226–228}} Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (
Salah satu sastra puitis yang umum ditemukan dalam naskah lontara adalah epos
Aksara Lontara juga kerap ditemukan dalam teks-teks Islami yang mencakup namun tidak terbatas pada hikayat, panduan doa, azimat, tafsir, serta kitab hukum-hukum Islam.{{sfn|Tol|1996|p=223}} Naskah semacam ini hampir selalu ditulis dengan campuran [[abjad Jawi]] untuk istilah Arab atau Melayu. Jenis teks ini juga merupakan penggunaan aksara Lontara yang bertahan paling lama dan masih diproduksi (dalam jumlah yang terbatas) hingga awal abad 21 M. Salah satu lembaga yang kerap memproduksi materi beraksara Lontara Makassar di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Pesantren As'adiyah di [[Sengkang]] yang mempublikasikan berbagai teks Islami dengan bahasa Bugis dan aksara Lontara cetak sejak pertengahan abad 20 M. Namun memasuki abad 21 M, kualitas cetakan dan jumlah publikasi beraksara Lontara di Sulawesi Selatan kian menurun; hampir tidak ada buku baru yang disusun dalam aksara Lontara dan bahkan buku lama yang beraksara Lontara seringkali dicetak ulang dengan alih aksara Latin yang menggantikan aksara Lontara sepenuhnya.<ref name="tol">{{cite journal|url=https://www.researchgate.net/publication/276458982_Bugis_Kitab_Literature_The_Phase-Out_of_a_Manuscript_Tradition|first=Roger|last=Tol|title= Bugis Kitab Literature. The Phase-Out of a Manuscript Tradition|journal=Journal of Islamic Manuscripts |volume=6|page=66–90|year=2015|doi=10.1163/1878464X-00601005}}</ref>
=== Penggunaan kontemporer ===
[[Berkas:Aksara_Lontara-10_Papan_tanda_museum_Balla_Lompoa.jpg|ka|240px|jmpl|Papan nama beraksara Lontara [[Museum Balla Lompoa]], [[Gowa]]]]
Dalam ranah kontemporer, aksara Lontara telah menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di Sulawesi Selatan sejak 1980-an dan dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Namun bukti-bukti [[anekdot]]al mensugestikan bahwa metode pengajaran kontemporer yang kaku dan materi bacaan yang terbatas justru berefek kontra-produktif dalam literasi masyarakat akan aksara Lontara. Generasi muda masyarakat Sulawesi Selatan umumnya hanya sadar akan adanya aksara Lontara dan mengenal beberapa huruf, tetapi jarang sekali ada yang mampu membaca dan menulisnya secara substansial. Kemampuan yang memadai untuk membaca dan menulis teks beraksara Lontara umumnya terbatas pada generasi tua yang kadang masih menghasilkan teks Lontara untuk tujuan pribadi.{{sfn|Jukes|2014|pp=16–17}}{{sfn|Macknight|2016|pp=66–68}} Salah satunya misal Daeng Rahman dari desa Boddia, [[Galesong, Takalar|Galesong]] (sekitar 15 km di selatan kota [[Makassar]]), yang sejak tahun 1990 menuliskan kejadian-kejadian yang terjadi di Galesong (sebagaimana genre kronik ''
== Kerancuan ==
Aksara Lontara secara tradisional tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata tertutup meskipun bahasa
Mengingat bahwa penulisan aksara Lontara tradisional juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara Lontara kerap memiliki banyak kerancuan kata yang seringkali hanya dapat dibedakan melalui konteks. Pembaca teks Lontara memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan untuk dapat membaca teksnya dengan lancar.{{sfn|Tol|1996|pp=216–217}}{{sfn|Jukes|2014|p=8}} Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul; pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks kalimat yang bersangkutan, sehingga [[harakat|penanda vokal]] tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.
Baris 101:
== Bentuk ==
=== Aksara dasar ===
Aksara dasar (
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" |
|-
! ka
Baris 193:
|}
Terdapat empat aksara yang merepresentasikan suku kata pra-nasal, yakni ''ngka'' {{script|lont|ᨃ}}, ''mpa'' {{script|lont|ᨇ}}, ''nra'' {{script|lont|ᨋ}}, dan ''nca'' {{script|lont|ᨏ}}. Keempat aksara ini tidak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan merupakan salah satu
=== Diakritik ===
Diakritik (
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" |
|-
! rowspan="2"|
Baris 258:
=== Tanda baca ===
Teks tradisional Lontara ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') dan tidak banyak menggunakan tanda baca. Aksara Lontara diketahui hanya memiliki dua tanda baca asli
{| class="wikitable"
Baris 277:
=== Diakritik pemati tambahan ===
Aksara Lontara
Lontara
Hingga 2018, usulan diakritik tambahan tidak memiliki status resmi maupun konsensus umum sehingga bentuk diakritik antar pihak bisa jadi kontradiktif.<ref name="uni2">{{cite journal|url=http://www.unicode.org/L2/L2016/16075-buginese-virama-signs.pdf|first=Anshuman|last=Pandey|title=Proposal to encode VIRAMA signs for Buginese|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=L2/16-075|date=2016-04-28 |publisher=Unicode}}</ref><ref>{{cite book|url=https://ojs.unm.ac.id/semnaslemlit/article/viewFile/8151/4694|first=Abd. Aziz|last=Ahmad|title=Prosiding Seminar Nasional Lembaga Penelitian Universitas Negeri Makassar: Pengembangan tanda baca aksara Lontara|page=40-53|isbn=978-602-5554-71-1|year=2018}}</ref>{{sfn|Jukes|2014|pp=7–8}} Satu hal yang pasti ialah diakritik pemati tidak pernah muncul dalam konteks penggunaan tradisional dan naskah historis nyata
{| class="wikitable"
Baris 287:
|-
! rowspan=2 colspan=2 style="text-align: center"| Virama <br> Bima/Ende<ref name="uni2"/>
! colspan=5 style="text-align: center"| Rekaan Modern
|-
! style="text-align: center"| Virama <br> Alt.1<ref name="uni2"/>
Baris 320:
== Sandi ==
[[Berkas:Buginese_cypher_script_cited_by_matthes.jpg|ka|240px|jmpl|Tabel sandi ''lontara bilang-bilang'' beserta ekivalen lontara standarnya sebagaimana dicatat oleh Matthes<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books/about/Eenige_proeven_van_Boegineesche_en_Makas.html?id=Ru4UAAAAYAAJ&redir_esc=y|title=Eenige proeven van Boegineesche en Makassaarsche Poëzie|first=B F|last=Matthes|publisher=Martinus Nijhoff|year=1883}}</ref>]]
Aksara Lontara memiliki versi [[sandi (kriptografi)|sandi]] bernama '''''[[Lontara Bilang-bilang]]''''' yang kadang digunakan dalam sastra Bugis untuk fungsi spesifik penulisan ''basa to bakke''', semacam teka-teki permainan kata, serta ''élong maliung bettuanna'', puisi dengan makna tersembunyi yang memanfaatkan ''basa to bakke'''. Dalam sandi ini, tiap aksara dasar dalam Lontara standar digantikan dengan bentuk-bentuk yang diturunkan dari [[abjad Arab|abjad]] dan [[angka Arab timur|angka Arab]]. Diakritik tidak diubah dan digunakan sebagaimana dalam Lontara standar, tetapi menempel pada aksara dasar yang bentuknya telah disandikan. Sandi ini merupakan adaptasi dari sandi [[abjad Arab]] yang tercatat pernah digunakan di wilayah Pakistan-Afghanistan. Prinsip dasar dari sandi ini adalah pengalihan atau subtitusi huruf [[huruf Arab|Arab]] menjadi stilisasi [[angka Arab|angka]] dari nilai masing-masing huruf berdasarkan [[sistem bilangan abjad|sistem bilangan abjad Arab]]. Dalam versi ''Lontara Bilang-bilang'', beberapa huruf untuk bunyi Arab yang tidak digunakan dalam bahasa Bugis dihilangkan, sementara huruf-huruf untuk bunyi yang muncul dalam bahasa Melayu dan
== Contoh teks ==
Berikut adalah cuplikan permulaan ''attoriolong'' Kerajaan [[Kerajaan Bone|Boné]] (naskah NBG 101 koleksi Universitas Leiden) yang ditulis dalam bahasa Bugis Menggunakan Aksara Makassar. Bagian ini mengisahkan legenda ''tomanurung'' ("ia yang turun") yang mengawali munculnya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.{{sfn|Macknight|Paeni|Hadrawi|2020|pp=33–34}} Alih aksara dan terjemahan bebas diadaptasi dari Macknight, Paeni & Hadrawi (2020).{{sfn|Macknight|Paeni|Hadrawi|2020|pp=54, 77–78, 109–110}}
{| class="wikitable"
Baris 412:
== Perbandingan dengan aksara Makassar ==
Bahasa [[bahasa Makassar|Makassar]] pada awalnya ditulis menggunakan sebuah [[aksara Makassar|aksara asli Makassar]] sebelum berangsur-angsur tergantikan sepenuhnya dengan aksara Lontara
{| class="wikitable"
Baris 442:
! ha
|-
! rowspan=2 style="text-align: center"|
| [[Berkas:lon_ka.png|40px]]
| [[Berkas:lon_ga.png|40px]]
Baris 491:
| style="text-align: center" |{{script|lont|ᨖ}}
|-
! rowspan=2 style="text-align: center"|
| [[Berkas:mak_ka.png|40px]]
| [[Berkas:mak_ga2.png|40px]]
Baris 565:
! ne
|-
! rowspan=2 style="text-align: center"|
| [[Berkas:lon_na.png|40px]]
| [[Berkas:lon_ni.png|40px]]
Baris 580:
| style="text-align: center" |{{script|lont|ᨊᨛ}}
|-
! rowspan=2 style="text-align: center"|
| [[Berkas:mak_na.png|40px]]
| [[Berkas:mak_ni.png|40px]]
Baris 604:
|+ style="text-align: center;" | Tanda baca
|-
! rowspan=3 style="text-align: center"|
! pallawa
! akhir bagian
Baris 614:
| style="text-align: center" | {{script|lont|᨟}}
|-
! rowspan=3 style="text-align: center"|
! passimbang
! akhir bagian
|