Allang, Leihitu Barat, Maluku Tengah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Roi Sipahelut (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(22 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{negeri
|peta =
|nama =Allang<br>''Hina Allane''
|provinsi =Maluku
|dati2 =Kabupaten
|nama dati2 =Maluku Tengah
|kecamatan =Leihitu Barat
|luas =... km²
|penduduk =... jiwa
|kepadatan =... jiwa/km²
}}
'''Allang''' adalah [[negeri (Maluku Tengah)|negeri]] di [[Kecamatan]] [[Leihitu Barat, Maluku Tengah|Leihitu Barat]], Kabupaten [[Maluku Tengah]], Provinsi [[Maluku]], [[Indonesia]].
 
== Demografi ==
Mayoritas penduduknya dan semua penduduk aslinya beragama [[Kristen Protestan]].
 
== Hubungan sosial ==
SEJARAH BERDIRINYA NEGRI ALLANG
Negeri Allang terikat hubungan ''gandong'' atau persaudaraan sedarah dengan dua negeri tetangga yang mayoritas beragama Islam, [[Larike, Leihitu Barat, Maluku Tengah|Larike]] dan [[Negeri Lima, Leihitu, Maluku Tengah|Negeri Lima]].<ref>{{cite news |author=<!--not stated--> |title=Penobatan Raja Allang Dilakukan Dengan Protokol Kesehatan |url=https://www.kompas.tv/article/117331/penobatan-raja-allang-dilakukan-dengan-protokol-kesehatan |work= Kompas TV |date=20 Oktober 2020 |acess-date=13 Juni 2022}}</ref> Kedua negeri ''gandong'' berada di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon. Sementara itu, hubungan [[pela]] diikat dengan Negeri [[Latuhalat, Nusaniwe, Ambon|Latuhalat]].{{sfn|L. Wattimena|2010|90}} Terdapat larangan kawin-mengawini antara penduduk Allang dengan Latuhalat.
 
== Tokoh terkenal ==
Sejarah Perjalanan Sembilan Keluarga Sehingga Terbentuknya Negeri Allang…!!
Negeri ini merupakan kampung halaman mantan [[Gubernur Maluku]] [[Karel Albert Ralahalu]].
 
== Referensi ==
Sembilan keluarga yang pada akhirnya dikenal dengan nama Pattasiwa Allane berasal dari berbagai tempat di kepulauan Maluku Utara, antara lain: Tidore, Ternate, Bacan, Obi dan Halmahera.
{{reflist}}
 
== Daftar pustaka ==
Secara bergelombang keluarga-keluarga datang dan bergabung di pulau Bacan dengan maksud yang sama yaitu ingin berpindah dari tempat asalnya mencari tempat yang lain demi anak cucu dikemudian hari.
* {{cite journal
|author= L. Wattimena
|date= 2010
|title= Pela antara Negeri Latuhalat dan Negeri Alang, Perspektif Antropologi-Sosiologi dalam Dinamika Sosial Budaya
|journal= Kapata Arkeologi
|volume= 6
|issue= 10
|pages= 90-100
|doi= 10.24832/kapata.v6i10.133
|ref= harv}}
 
{{Leihitu Barat, Maluku Tengah}}
Pada mulanya hanya delapan keluarga yang sudah bersepakat masing-masing : Sabandar, Soumahu, Nussy, dan Patty yang datang dari Tidore dan Ternate bertemu dengan keluarga Huwae, Pelasula, Lopumeten dan Pelahule yang juga datang dari Bacan dan Obi, tetapi pada saat-saat persiapan keluarga ini, datang lagi keluarga Siwalette dan minta bergabung.
{{Authority control}}
Diantara sembilan keluarga tersebut terdapat 4 (empat) orang Kapitan masing-masing:
1. Kapitan Maheri dari Sabandar
2. Kapitan Hatu Rosu dari Siwalette
3. Kapitan Adam Tapilatu dari Huwae
4. Kapitan Samala dari Nussy
 
{{Negeri-stub}}
Karena pada saat itu sering terjadi kekacauan di sekitar tempat tinggal keluarga-keluarga para datuk, maka rencana perpindahan sembilan keluarga diatur dengan sangat hati-hati agar tidak diketahui oleh para perampok dan pembajak dalam upaya mempersiapkan alat angkutan dan sarana perlengkapannya yang disebut dengan nama “Masohi” serta tempat pembuatannyapun sangat rahasia.
 
setelah selesainya pembuatan alat angkutan seperti sopa-sopa dan perbekalan yang diperlukan, sembilan keluarga mulai mengadakan kembali suatu musyawarah yang sangat menentukan perjalanan dan keselamatan keluarga. Dan dalam musyawarah tersebut, para datuk leluhur memutuskan demi keutuhan dan keselamatan perlu ditunjuk seorang pemimpin yang mampu membawa dan bertanggungjawab atas keselamatan perjalanan sembilan keluarga. Dan semua keluarga harus taat dan setia serta tunduk kepada semua ketentuan yang diberikan.
 
Akhirnya melalui pertemuan dan musyawarah tersebut diputuskan menunjuk Kapitan Maheri dari Marga Sabandar sebagai pemimpin rombongan dibantu dengan Kapitan Hatu Rosu dari Marga Siwalette, yang diberi nama Kapitan Laut dan Kapitan Darat. Dengan terpilihnya Kapitan Maheri sebagai pemimpin rombongan maka tibalah saatnya keluarga para datuk akan melakukan suatu perjalanan panjang dengan berbagai tantangannya.
 
Kapitan Maheri dalam memikul tanggungjawab memimpin sembilan keluarga dengan berbagai latar belakang kehidupan mereka menyadari semua keluarga sebelum berangkat tinggalkan Maluku Utara terlebih dahulu harus dipersatukan dengan ikatan sumpah yang keluar dari ketulusan hati agar tetap bersatu bilamana terjadi ancaman dan hambatan dari pihak lain maupun dari dalam keluarga sendiri selama dalam perjalanan.
 
Sumpah itu disebut “K a h o r i” yang mempunyai arti bahwa tidk ada perbedaan dalam derajat hidup sembilan keluarga, semua adalah satu keluarga se-ibu se-bapak, hidup saling mengasihi bersatu sampai titik darah penghabisan, berjuang melawan setiap ancaman dengan semangat pantang mundur, walau terpisah dalam perjalanan tetapi tetap berusaha untuk bersatu kembali. Dengan air sumpahan yangtelah diminum dan ikrar bersama semanagt Kahori, maka rombongan mulai tinggalkan tempat asalnya Maluku Utara menuju ke Selatan.
 
Tepat di Tahun 1452 rombongan sembilan keluarga dibawah pimpinan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu mulai berangkat dengan tujuan melalui Selat Misol karena menurut dugaan jalan yang ditempuh tersebut akan luput dari serangan bajak laut yang sedang mengganas di sepanjang perairan Maluku Utara. Dengan anugerah dan Kasih Sayang Tuhan Yang Maha Esa perjalanan sembilan keluarga melalui selat Misol disertai angin dan arus yang tenang maka satu demi satu rombongan ini mulai mendarat di pesisir pantai Seram Utara dan singgah disuatu tempat yang kemudian diberi nama oleh rombongan keluarga sembilan “Wapai” (sekarang Wahai).
 
Ditempat ini, atas perintah pimpinan rombongan untuk tinggal sementara waktu guna mencari makanan bagi keluarga. Justru karena ditempat ini tidak terdapat seorang penduduk didalamnya, hingga kesunyian tempat tersebut membuat keluarga sembilan bertanya-tanya “Wapai” artinya sekarang kita berada dimana. dengan pertanyaan ini, nama dari tempat itu sudah disebut dengan nama “Wahai”. Pertanyaan keluarga tersebut disebabkan sekitar tempat yang mereka diami tidak kelihatan suatu apapun apalagi manusianya, sehingga tanda-tanda hidup seolah-olah tidak ada sama sekali. Itulah sebabnya disebut dengan Wapai. karena tempat ini sunyi dan tidak ada seorang manusiapun maka keluarga sembilan hanya tinggal untuk sementara waktu dan siap melanjutkan perjalanan kembali.
 
Disaat-saat para datuk leluhur sedang mencari makanan untuk keluarga, turunlah rombongan penduduk asli Seram Timur, dengan tujuan akan menyerang para datuk leluhur kita, namun dengan keberanian dan rasa persaudaraan, para datuk leluhur berhasil mengajak penduduk asli tersebut untuk berdialog menjalin rasa persaudaraan.
 
Dengan berhasilnya ajakan tersebut, penduduk asli Seram Timur menjelaskan bahwa pulau seram terbagi atas dua bagian yaitu: Seram Timur danSeram Barat. Seram Timur dikuasai oleh Pattalima dan Seram Barat dikuasai oleh Pattasiwa. Setelah keluarga sembilan tinggal untuk beberapa waktu guna mencari makanan bagi keluarganya, terjadi sebuah persoalan antara penduduk asli dengan keluarga sembilan yang menjurus kepada kekerasan, maka oleh pertimbangan datuk leluhur adalah lebih baik meninggalkan tempat tersebut daripada harus terjadi permusuhan yang dapat mengakibatkan korban jiwa. Akhirnya keluarga sembilan dan para datuk leluhur kita menlanjutkan perjalanan dengan menyusur pantai dan tinggal sementara pada beberapa tempat seperti : Tehang buli-buli, Hulung Kasi, dan tiba di suatu tempat yang kemudian diberi nama Taniwa (sekarang disebut Taniwel). Kini perjalan datuk leluhur kita telah memakan waktu 2 (dua) Tahun (1452-1454).
 
Di Taniwa (Taniwel) para datuk leluhur memang merasa senang dan puas karena tempatnya cukup baik. Namun mengingat tempat inipun masih berada dalam petuanan kekuasaan warga Pattalima yang sering berkeliaran di sekitar tempat tinggal keluarga sembilan, yang sewaktu-waktu dapat mengundang kesalahpahaman, maka diputuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan menyusur pesisir pantai menuju ke arah selatan dan tiba di sebuah tanjung yang disebut Tanjung Kawa. Pimpinan rombongan melihat dihadapan mereka terbentang sebuah pulau kecil, sehingga ia memerintahkan agar haluan menuju pulau tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama pulau “Buano”. Rombongan keluarga sembilan berhenti dan menetap di pulau ini untuk bekerja dan mencari makanan selama beberapa tahun. Perjalanan keluarga sembilan telah memakan waktu 7 (tujuh) tahun (1459).
 
Atas upaya pimpinan rombongan sembilan keluarga datuk leluhur telah mencapai kepuasan, karena ditempat itu banyak diperoleh makanan dan berkat yang berkemlimpahan. Akan tetapi sering pula timbul keresahan bila musim panas tiba karena sulit mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Maka setelah diadakan musyawarah, pimpinan rombongan memerintahkan sembilan keluarga untuk mencari tempat lain yang dapat memberikan kebahagiaan dan kesenangan bagi kemuarga sembilan. Sebelum keluarga sembilan tinggalkan tempat itu atas persetujuan bersama melalui suatu musyawarah maka tempat itu diberi nama “Hato Allang Buano”, dan nama tersebut masih tetap disebut hingga sekarang.
 
Selanjutnya rombongan keluarga sembilan melanjutkan perjalanan menyusur pesisir pantai pulau Seram. Keberangkatan keluarga sembilan dibawah pimpinan Kapitan Maheri Sabandar dan Kapitan Hatu Rosu di bantu Kapitan Samala Nussy dan Kapitan Adam Tapilatu Huwae, mereka singgah di suatu tempat di jazirah/petuanan Huamual dan tempat itu diberi nama Hanunu yang adalah bagian dari Pattasiwa Huamual. Ditempat ini atas perintah pimpinan rombongan maka keluarga sembilan berusaha mencaru makanan bagi keluarga untuk perjalanan selanjutnya. Namun disaat-saat keluarga sembilan sedang berusaha mencari makanan dan air minum sebagai persiapan perjalanan selanjutnya, tiba-tiba mereka dihadang oleh sekelompok penduduk asli Seram Barat dari Pattasiwa Huamual atau Alifuru Seram Barat dan mengancam akan diserang, karena mereka tidak ingin orang lain yang bukan penduduk asli masuk dalam daerah petuanan mereka.
 
Para datuk keluarga sembilan memang menyadari hal ini maka Kapitan Maheri selaku pimpinan rombongan berusaha menengahi persoalan dengan memberi penjelasan dan membeujuk penduduk asli bahwa keluarga sembilan tidak bermaksud tinggal dan berdiam di tempat milik mereka, karena keluarga sembilan sedang dalam perjalanan dan singgah sebentar utnuk mencari makanan dan sesudah itu akan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri pesisir pantai Seram Barat.
 
Namun semua usaha yang diberikan kepada penduduk asli Seram Barat (Alifuru) tidak digubris bahkan mereka tidak mengenal kompromi dengan setiap orang yang masuk dalam daerah milik Pattasiwa Huamual tanpa ijin harus berhadapan dengan kekuatan pasukan perang Pattasiwa Huamual untuk berperang sampai hidup atau mati.
 
Berdasarkan jawaban pimpinan Pattasiwa Huamual bahwa tidak ada maaf dan perundingan damai dengan Datuk Leluhur, maka sungguhpun berat bagi para datuk akan tetapi demi keselamatan keluarga sembilan maka Kapitan Maheri selaku pimpinan rombongan menyatakan menerima ancaman Pattasiwa Huamual dan siap berperang hingga tetesan darah terakhir dimanapun. Akhirnya waktu dan tempat ditentukan, dimana Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu dibantu Kapitan Adam Tapilatu Huwae dan Kapitan Samala Nussy dan dengan semangat Sumpah Kahori yang membakar jiwa keberanian para datuk leluhur maka mereka berangkat menuju medan perang yang terletak di suatu tempat bernama Kota Hato, kini benteng pertempuran itu disebut Kota Halu.
Pasukan Keluarga Sembilan dibawah pimpinan Kapitan Maheri memberi perintah “Serang”!!! dan terjadilah suatu perang tanding dengan pasukan Pattasiwa Huamual Alifuru yang sangat dahsyat dimana korban demi korban berjatuhan di pihak Pattasiwa Huamual sehingga hanya tersisa beberapa orang dari pasukan Pattasiwa Huamual yang harus berhadapan dengan keganasan pasukan keluarga Siwalima, tiba-tiba teriakan pimpinan pasukan Pattsiwa Huamual yang menyatakan : “Semua pasukan perang meletakkan senjata, Pasukan Pattasiwa Huamual menyerah kalah dan pasukan pendatan dinyatakan menang, dan pimpinan pasukan Pattasiwa Huamual siap menjadikan keluarga sembilan sebagai adik kandung dan menerima Keluarga Sembilan untuk memilih tempat disepanjang pantai Huamual sebagai milik dan tempat tinggal selanjutnya”.
 
Dengan pernyataan ini Pattasiwa Huamual memberikan suatu tanda jasa mengikat hubungan persaudaraan antara kedua marga besar yang diberikan kepada pimpinan tertinggi keluarga sembilan Kapitan Maheri dengan Julukan “PATTASIWA ALLANE”. Itulah nama yang pertama diberikan kepada Kapitan Maheri selaku tanda terima kasih dan ikatan persaudaraan antara dua keturunan yang berbeda harkat dan martabatnya sebagai wujud cinta kasih antara sesama ALLANE dan HUAMUAL.
 
Dengan ikatan persaudaraan dua keluarga besar Pattasiwa Allane dan Pattasiwa Huamual, maka rombongan Pattasiwa Allane dilepaskan dalam suatu upacara adat, dimana keluarga sembilan ini akan melanjutkan perjalanan mereka. Akhirnya tibalah keluarga sembilan dan datuk leluhur kita di suatu tempat yang kemudian diberi nama “Assauri”. Sekarang tempat tersebut dikenal dengan nama “Allang Asaude” yang mempunyai arti “Satu Himpunan atau Satu Kumpulan” kata Assauri terdiri dar dua suku kata yakni : Assa dan Uri. Assa berarti Satu dan Uri berarti Kumpulan atau kesatuan.
 
Nama Assauri yang diberikan oleh datuk leluhur kita terhadap tempat tersebut selain kemenangan gemilang yang diperoleh dalam peperangan di benteng kotahato, juga sebagai wujud sumpah setia keluarga sembilan dibawah pimpinan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu dengan sumpah “Kahori”. Artinya biar apapun yang terjadi kita adalah satu keluarga yang tidak dapat dipisahkan untuk selama-lamanya. Keluarga-keluarga diperintahkan untuk membuat rumah tempat tinggal dan berusaha mencari dan bekerja demi jaminan hidup keluarga masing-masing.
 
Dibawah pimpinan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu datuk-datuk mulai bekerja untuk mencari makan bagi keluarga. Mereka hidup dengan tenang dibawah pimpinan yang bijaksana, namun dari waktu ke waktu terjadi lagi keresahan dalam keluarga. Mereka merasa tidak senang sebab tempat yang kini datuk leluhur kita tinggal terlalu dekat dengan benteng pertempuran Kotahato yang mungkin sewaktu-waktu bisa terjadi lagi kerusuhan dengan sisa-sisa pasukan Pattasiwa Huamual yang tidak ikut berperang dalam pertempuran di Benteng Kotahato. Maka diadakan kembali musyawarah lalu diambil pertimbangan dan memutuskan kalau memang demikian baiklah kita lanjutkan kembali perjalanan menuju pesisir Pantai Huamual untuk mencari tempat yang lebih baik demi anak cucu keluarga sembilan.
 
Akhirnya keluarga sembilan berangkat melalui beberapa tempat seperti Ulatet, Waisala, Tanah Merah sampai ujung Pintu Haya (pintu Tanjung Huamual). Perlu diingat bahwa tatkala rombongan para datuk tiba di Ulatete yang waktu itu belum diberi nama oleh para datuk kita terhadap tempat itu, telah terjadi suatu peristiwa berdarah dengan datuk kita, karena rombongan keluarga sembilan diserang dengan tiba-tiba oleh sisa-sisa keluarga Pattasiwa Huamual yang tidak turut dalam pertempuran di benteng Kotahato dan tidak turut dalam perjanjian melalui suatu sumpah setia yang pernah diikrarkan oleh Pattasiwa Huamual dan Pattasiwa Allane. Akhirnya terjadilah pertempuran kecil yang memakan korban hampir seluruh pasukan Pattasiwa Huamual, dimana mereka dipotong dan dicincang halus-halus, akibatnya tempat itu diberi nama Ulatete yang artinya dincang halus-halus. Nama itu hingga sekarang masih tetap disebut.
 
Rombongan keluarga sembilan akhirnya melanjutkan perjalanannya mempertahankan sopa-sopa melawan arus dan gelombang yang deras lalu akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang diberi nama “Hato Allana”/Hato Allang. Atas perintah pimpinan tertinggi maka dibangunlah rumah-rumah tempat tinggal dan bekerja untuk mencari makanan. Disini mereka tinggal selama 7 (tujuh) tahun.
 
Di Hato Allang sebenarnya para datuk leluhur merasa puas dan senang akan tetapi sering terjadi peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga seperti anak-anak dimakan buaya, tenggelam di laut, serta bergabungnya beberapa keluarga baru, seperti Keluarga SOHILAIT dari Luhutubang (Manipa), Keluarga KAYA dari Maulana dan Keluarga MAUWA dari Banda. Atas pertimbangan-pertimbangan itulah maka diputuskan untuk segera melanjutkan perjalanan mencari tempat yang lebih baik lagi.
 
Perjalanan para datuk leluhur kita telah mencapai 33 tahun lamanya (1452-1485). Bergabungnya tiga keluarga tersebut dengan tujuan yang sama yaitu mencari tempat baru yang lebih layak bagi anak cucu mereka dikemudian hari. Seperti Keluarga Kaya yang datang dari pulau Maulanan dibawah pimpinan Kapitan Iyal Huana Riler Kaya”, sedangkan Keluarga Mauwa datang dari Banda yang mana dalam pelayarannya mereka terdampar di Hato Allang. Keluarga Sohilait semula melarikan diri dan berpindah dari kota Tuban Jwa Timur setelah pecah perang Majapahit, yang mana dalam pelayarannya mereka terdampar di Pulau Manipa dan tinggal disana dan kemudian memberi nama tempat itu Luhutubang hingga sekarang.
 
Akan tetapi sebelum para datuk leluhur kita meninggalkan tempat yang penuh susu dan air madu itu, mereka menyadari sungguh bahwa apa yang mereka peroleh selama ini sejak perjalanan mereka hingga pertempuran melawan pasukan Pattasiwa Huamual serta tantangan lainnya semata-mata adalah karena kasih Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu sebagai tanda ucapan syukur keluarga datuk leluhur dibuatlah suatu mezbah pengucapan syukur dengan menyusun batu menyerupai sebuah tugu peringatan dari batu-batu tuni atau batu hitam dan diberi nama “Hato Al Lana” yang mengandung arti : Hato…..= Batu, Al……= Allah dan Lana……= lindung/tadah/bungkus. Sehingga arti dan tujuan dari nama tempat tersebut adalah “Batu peringatan akan besarnya Kasih Allah kepada seluruh keluarga sembilanselama dalam perjalanan mereka meninggalkan kampung halamannya dalam menghadapai berbagai tantangan dan rintangan satu demi satu, hanya Allah saja yang mereka percaya bahwa hanya ada satu Allah yang hidup yang dalam tanganNya datuk leluhur terpelihara.” (ini terjadi pada tahun 1485)
 
Tibalah saatnya saatnya datuk leluhur kita meninggalkan kampung Hato Allang dan bukan lagi sembilan keluarga melainkan dua belas keluarga dan lima Kapitan yakni : Kapitan Maheri Sabandar, Kapitan Hatu Rosu dari Siwalette, Kapitan Samala Nussy, Kapitan Adam Tapilatu dari Huwae, dan Kapitan Iyal Huana Riler Kaya.
 
Mereka berangkat menyisir pantai Huamual dan setiap tempat yang disingahi selalu diberi nama seperti: Tapinalu, Erang, Telaga, Hatoaluta, dan Sial. Setelah rombongan datuk leluhur tiba di sebuah Tanjung yang diberi nama Tanjung Sial, karena banyak batu-batu bertebing tinggi dan terjal, serta ombak-ombak besar yang memukul tersebut, sehingga terlihatlah oleh pimpinan rombongan sebuah pulau terbentang didepan mereka dalam keadaan yang samar-samar, karena terbungkus oleh awan di pagi hari. Lalu melalui perundingan diputuskan untuk berlayar menuju pulau tersebut, mereka dibawa oleh arus dan angin dan terdampar disebuah pelabuhandan singgahlah rombongan datuk leluhur dengan keluarga satu per satu.
 
Ditempat tersebut, datuk mengetahui bahwa sudah ada penduduk yang mendiami tempat tersebut dibawah pimpinan seorang Kapitan yang terkenal dan yang berhati mulia. Oleh pimpinan Kapitan Maheri, dan Kapitan Hatu Rosu melaporkan diri dan rombongan kepada Kapitan Hitu yang saat itu dikenal bernama Kapitan Tulukabessy tentang maksud dan tujuan datuk leluhur kita dalam perjalanan mereka. Sesudah melapor dan menjawab semua pertanyaan Kapitan Hitu, maka Kapitan Hitu dengan hati serta tgan terbuka menerima pimpinan rombongan den seluruh keluarganya dan menjalin rasa persaudaraan sebagai adik dan kakak kandung hidup saling berdampingan dan saling mengasihi satu dengan yang lain antara Hitu dan Allang sebagai adik dan kakak. Lalu merekapun berjabatan tangan dengan janji untuk hidup berdampingan satu dengan yang lainnya, dengan memberi kuasa kepada Kapitan Maheri untuk memilih dengan sesuka hati tempat di sepanjang pesisir Hitu hingga tanjung asamjawa Asilulu. Kapitan Hitu memberi kuasa kepada Kapitan Maheri untuk menguasai Hitu bagian Selatan, sedangkan Hitu bagian Utara dikuasai oleh Kapitan Hitu. Kemudian Kapitan Hitu Tulukabessy memberi gelar kepada pimpinan Kapitan Maheri dengan julukan “Raja Timur Pahlawan Allang”
 
Sesudah prjanjian dan pemberian kuasa dilakukan, maka rombongan datuk leluhur meninggalkan tempat itu berangkat menuju pesisir pantai jasirah Leihitu bagian selatan, dan mereka tiba di suatu tempat bernama “Lai”. Dari tempat ini rombongan melanjutkan perjalanan menyusur tepi pantai kemudian tiba disebuah pelahuan yang kemudian diberi nama “Tapi”. Ditempat ini rombongan tinggal untuk beberapa waktu guna mencari makanan. Akan tetapi suatu ketika anak perempuan dari Kapitan Darat “Siwalette” kehilangan satu helai kain sarungnya yang diambil oleh orang tak dikenal maka terjadilah keresahan dan kegelisahan bagi keluarga Siwalette, sehingga oleh pimpinan rombongan diputuskan melalui musyawarah untuk meninggalkan tempat tersebut menuju ke arah timur pesisir pantai. Dalam perjalanan rombongan datuk leluhur yang dibawa arus dan angin, tibalah mereka disebuah pelabuhan yang sungguh menarik hati bagi pimpinan rombongan dan keluarganya. Maka diputuskan untuk berhenti dan tinggal untuk seterusnya. Sehingga tempat itu diberi nama “N a m a n a” yang mengandung arti “Berhenti”.
 
Nama untuk negeri yang diberikan datuk leluhur kita kini disebut dengan nama “Allang Lama” sedangkan Namana hanya disebut dalam acara bahasa tanah/bahasa asli untuk leluhur kita. Perjalanan panjang datuk leluhur kita dan keluarganya, tampaknya akan berakhir sudah, sebab tekad para datuk dengan keluarga untuk tidak pindah lagi sebagai wujud dari nama yang diberikan bagi tempat tersebut, apalagi pekerjaan-pekerjaan seperti cocok tanam dan keadaan sekitar tempat tinggal cukup bagus untuk masa depan. Namun dipihak lain ganjalan yang menimpa keluarga para datuk justru datangnya dari penduduk asli yang dikenal dengan Alifuru berkeliaran dipedalaman sekitar tempat tinggal datuk leluhur. Mereka mendiami tujuh buah kampung sekitar pegunungan terdiri dari marga : MANUHUA,RALAHALU,SIPAHELUT,LOUPULUA,dan LALIHATU dengan Kapitannya Urbanus Lalihatu yang datang dari Negeri Lima bergabung dengan keluarga-keluarga diatas.
 
Keluarga datuk leluhur merasa terganggu, sehingga mereka ingin pindah tinggal tempat tersebut. Namnun atas kebijakan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu, keluarga datuk dapat diyakinkan dan berjanji akan turunkan keluarga asli untuk bergabung dengan keluarga datuk leluhur. Usaha ini mulanya ditantang oleh penduduk asli hingga hampir-hampir terjadi bentrokan, akan tetapi melihat keberanian dan ketangguhan datuk dibawah semangat sumpah setia, maka penduduk asli kahirnya menyerah dan mau bergabung dan keluarga datuk leluhur dan bersedia dibawa pulang untuk disatukan dengan keluarga datuk leluhur kita. Semua kampung yang ditinggalkan adalah : Hina Muang, Hina Siung, Hina Mutua, Hina Haang, Hina Laeng, dan Hina Latal. Dengan bergabungnya lima keluarga asli penduduk negeri Allang berarti telah bertambah menjadi Tujuh Belas Keluarga di bawah pimpinan Kapitan Maheri dan Kapitan Hatu Rosu. Perjalanan keluarga datuk leluhur kita telah mencapai 45 Tahun (1452-1497)
 
Rasa kesetiakawanan yang sangat mendalam ditunjukan oleh kelaurga-keluarga ini, sehingga membesarkan hati kedua tokoh pimpinan rombongan. Namun disuatu waktu terjadi keresahan karena anak-anak sebagai generasi penerus mengalami musibah seperti tenggelam di sungai, hanyut dan mati karena terbawa banjir, mati karena dimakan buaya serta peristiwa-peristiwa lainnya. Hal ini menyebabkan keluarga meminta kepada pimpinan rombongan agar pindah dari tempat tersebut walau telah disepakati agar tidak lagi pindah. Permintaan tersebut ditantang dan ditolak oleh keluarga penduduk asli dengan alasan bahwa mereka telah bergabung dengan keluarga pendatang dan telah diturunkan dari kampung di pedalaman dan tetap tidak mau untuk pindah. Apabila penduduk pendatang ingin berpindah dari tempat itu, maka terlebih dahulu kami harus dikembalikan ke tempat asal di pedalaman. Persoalan ini semakin meruncing hingga hampir terjadi bentrokan.
 
Disaat pertengkaran makin memuncak yang menjurus kepada kekerasan, hadirlah keluarga KAYA yang dikenal sebagai Kapita Iyal Huana Riler Kaya sambil menegur katanya: “Bukankah kita semua telah dipersatukan sebagai saudara kandung se ibu se bapak dan hidup dibawah sumpah setia, baiklah persoalan ini kita serahkan kepada pemimpin kita untuk memutuskan karena setiap keputusan pemimpin selalu adil dan bijaksana dan dapat diterima oleh semua pihak”.
 
Akhirnya musyawarah besar antara keluarga dua belas dengan keluarga penduduk asli dilaksanakan dibawah pimpinan Kapitan Maheri Sabandar dan Kapitan Hatu Rosu dan didampingi oleh Kapitan Adam Tapilatu, Kapitan Samala Nussy, Kapitan Iyal Huana Riler Kaya, dan Kapitan Urbanus Lalihatu. Musyawarah tersebut melahirkan keputusan : “Demi generasi penerus/ demi kepentingan kelanjutan hidup anak cucu keluarga dikemudian hari setelah mempertimbangkan semua pendapat dan saran maka keluarga harus pindah dari tempat tersebut”. Dan perpindahan keluarga dilakukan dengan mengundi atau dengan kata lain tempat itu ditentukan dengan cara melempar sebuah tombak bernyala dengan syarat dimana ujung tombak tertancap ke bumi, diditulah akan dibangun tempat tinggal baru bagi keluarga untuk selamanya. Apapun yang terjadi baik atau buruk susah atau senang akan kita hadapi bersama-sama secara Masohi dibawah sumpah setia “K a h o r i “
 
Pemimpin rombongan memerintahkan mengambil tiga buah kuming kelapa kering dan diikat menyerupai tombak, kemudian malan hari ujungnya dibakar lalu Kapitan Maheri sendiri yang melemparnya. Saat pelemparan tombak, diperintahkan semua laki-laki mencari tombak tersebut, dan pada pagi harinya salah seorang laki-laki dari keluarga Kapitan Adam Tapilatu Huwae menemukan tombak tersebut dengan ujungnya masih bernyala tertancap di tanah (ditengah-tengah rumah adat Baileo sekarang) dan ujungnya (berada di gereja sekarang). Disinilah tempat itu dijadikan sebagai pusat Negeri Allang, jerih payah datuk leluhur kita yang diwarikan kepada anak cucu sekarang dan yang akan datang.
 
Penemuan Negeri Allang tercinta yang kemudian disusul dengan peletakan batu pertama serta nama negeri yang diberikan datuk leluhur sebagai wujud rasa syukur atas kebesaran Kasih Allah Yang Maha Kuasa kepada datuk leluhur kita yang sejak memulai perjalanan meninggalkan kampung halamannya di Kepulauan Maluku Utara dengan segala suka dukanya selama 45 tahun (1452 – 1497) kini telah dapat berteduh hati karena perjalanan panjang mengarungi lautan dan daratan telah berakhir dengan selamat.
 
itulah sebabnya walaupun saat itu datuk leluhur belum mengenal suatu agama tetapi kepercayaan datuk hanyalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, satu-satunya penolong hidup mereka sehingga nama dari negeri waktu itu disebut : “A L L A N A” yang mengandung arti: Allah telah menolong, Allah telah melindungi, Allah telah membungkus. Nama dari negeri ini terdiri dari dua suku kata yaitu Al dan Lana. Al artinya Allah dan Lana artinya Lindungi, Tolong dan bungkus.
 
kini datuk leluhur memasuki perjuangan baru dengan membangun negeri tercintadengan semangat Masohi sebagai warisan untuk anak cucu yang akan kita ikuti bersama dengan segala suka dukanya.
 
Negeri Allang hingga saat ini terbuka untuk semua golongan dan kalangan yang ingin datang dan mencari hidup baru yang lebih baik asal tidak mempunyai maksud-maksud jahat, maka usaha dan pekerjaan kita pasti akan diberkati oleh Tuhan. Saat ini ada banyak keluarga yang telah menetap bahkan mungkin hanya tinggal sementara karena menikah /kawin dengan orang Allang di Negeri Allang diantaranya: PATTY, HUWAE, SOHILAIT, SIWALETTE, RALAHALU, HALAWANE, KAIYA, SIPAHELUT, LALIHATU, SABANDAR, MAUWA, LOUPULUA, PELASULA, PELAHULE, LOPUMETEN, SAPAKOLY, PATTYSAPAKOLY, KAIPATTY, MANUHUA, NUSSY, SOUMAHU, HEHANUSSA, de FRETES, LAMBIOMBIR, BATMOMOLIN, RIEUWPASSA, PELAPORY, MARANTIKA, WALANGSENDOU, PATTIPEILOHY, MALAWAU, HAUMAHU, HATTU, WARAHUWENA, HUKOM, LESTALUHU, NOYA, FERDINANDUS, RIRY, TUHUMURY, AKOLLO, SIHASALE, ALKIHARY, SEPTORY, TALAHATU, DELANGHALA, serta beberapa keluarga lainnya.
 
Sejarah ini dikutip dari dalam naskah asli yang tersimpan dalam arsip Pemerintah Negeri Allang oleh Almarhum Bpk. ZADRACK KAIPATTY, sewaktu almarhum menjabat sebagai Sekretaris Pemerintah Allang Tahun 1915.
 
{| class="wikitable"
|-
! No !! Marga !! Arti !! Asal !! Pangkat Untuk Laki - laki !! Pangkat untuk Perempuan
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|-
| Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel || Teks sel
|}
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
KAMUS BAHASA NEGRI ALLANG :
 
Kamus Bahasa Allang
A – a
Acuh – lelekisma
ada – he, mise, ria, raiaya, se
adat – adate
adik – wale
air – weilu
air laut – meita
air naik – seko
air surut – mite
air tawar – weilu
akal- akale
akang punya – ina
akibat – ulana
alas – naeu
alat memarut – lapa, tala
ale – wale
ale punya – amu
Allang – Alane
ambil – tana
Ambon – Aponu
Amerika – Amerika
ampun – ampun
anak – ana, koho, kohonananu
anak panah – orea
angin – aninu
angin ribut – lihuta
angkat – loit
angkat bubu – talia
anjing – aso
antara – antar, antara
anyam – kasi, raku
apa – unsa
apa-apa – saesasiu , lihat : sae
api – awo
aren – maka
aro-aro – a’olita
asam – malinu
asap – peita
asma – kasnawata
ascend – hua
atap – kaha
atas – hahanu, lete
atau – pi atur – atur
Asturalia – Australia
ayam – manua
 
B – b
babi – haho
bagaimana – unapa
bagi – rama
bagian laut – lo
bagian – hama, pale
bagian bawah – lihu
bagian bawah perut – tahunu
bagian darat – la
bagus – ntola, intola, ntola
bahasa – sou
baik – iyana
baju – lapunu
bakal – era
bakar – tunu
bak – bak
baku – masing , lamunu
bakul – lahanu, taha
balik – hali
balum – tau
bambu – wanata
bambu betung – telhuo
bambu duri – tewa-tewa
bambu pagar – pagare
bambu racun – tui
bambu tomar – tomolu
baner – lareli
bangun – hanu
banjir – henelu
bantal – karnulu
banyak – he’enu
bapak – ama, papa
barang – lohari, saelohari, sae
barat – halata, hale
baru – hilo
basah – lopo
batang – etena, hatana
batu – hato
baju jangkar – bubu, ilita
batuk – puhu
bauh – hounu
bawa – kae, tepu
bawa dalam baju – laha
bawa dekat dada – liku
bawang – bawang
bayar – seli
bayem – paenu
bagini – unanei
bagitu – unama
belah – ha’a
belajar – ajar
belakang – mulinu
Belanda – Wolanda
Belanda – Belanda
belanja – pasnahilu
balas – husai
beli – sahilu, sali
benam – sina
bensin – bensin
benteng – benteng
batuk serang ayam – tipilu
berak – lumei
berapa – ilai, lapila
beras – ala
berat – muhila
berbuah – puhunua
berdiri – kelenu
berenang – tuhu
bereskan – paseleu
berhenti – berhenti, brenti
beri – lope
berjalan – sanapau
berkata – hetenu
berlayar – sopalu
bersama – palaloi
bersih – marhina
bersin – hute’e
bertelu – patilo
bertiup – kihu
besar – elake, ilata
besok – nalisa
beta – ai, au
beta punya – aku
betul – iyana, manisa
biasa – biasa
bibir – hihilu-ulunu, lihat bibir, hihilu
bican – pate
bicara – lepa
biking api – palehi
bingun – hili
batul – sasiri
biru – biru
bisa – bisa
bisu – naonao
bisul – ulumutulu
boba – inari
bodoh – konanahao
boleh – bole
buah – huanu
buah pelir – lasilu
bual bual – horale
buang – hiru, kisi, lekekesia, nahu
buat – puna
buat basah – topo
buaya – huwae
bubu – huho
bubu kecil – lapepeta, lihat bubu – lepe
bubur – bubure
bujangan – kareu
buka – hera
buka bubu – tila
buka pintu – mitalulunu
buku – tapunu, utahuri
buku – buku
bulan – hulanu
bulu – wanata
bulu betung – telhuo
bulu duri – tewa-tewa
bulu pagar – pagare
bulu racun – tui
bulu tomar – tomolu
bumi – umi umenu
bundar – rololu
bunga – pauri, sowori, uturi
bungsu – pakamule
bunuh – hunu
buru-buru – matahae
busuk – pota
buta – matapute, pute C – c
Cabe – eili
cabut – hihu
cacar – saelati
cacing – ulu
cacing laut – lakulu
cacing tanah – puka
cairan – weina
cambuk – hoha
campak – sarampa, kisi
capai – kolau
cari – sewa
cari tahu – sue
caritera – caritra
cabur – sahu
cece – upo
celana – kata
celup – lema
cemara – lawelu
cempeda – ana’a
cengkeh – pakalawantu
cepat – kakei
ceregen – ceregen
ceret – silinu
cerita – paltenu
cermin – cermine
cium – boka
cium bau – pahuniunu
coba – coba
cokelat – coklat
cubit – tuke
cuci – musu
cuci muka – pandalu
cuci pakaian – patanoi
cucu – upo
cuka – upio
cuup – malumae
 
D – d
Dada – iluta
dagu – alalihunu
dahi – isinhahanu
daki – laeit
dalam – halalenu
dan – laha
dapat – supu
dapur – huto
darah – lalai
dari – hilu, la
dari hutan – puka
dari mana – lapae, lahapa
dari atas – lalete
dari barat – lahale
dari bawah – lahale
dari timur – lali
dasar – wakanu
dasar laut – salo
datang – lae
daun – huta, lounu
daun gatal – sala
daun sagu – leru
daun sirih – kandounu
dayung – ahata
dekat – masu
delapan – walu
demam – lirinu
dengan – laha, lahu, tia
dengar – paneneu
depan – minanu
dermaga- titalu
desa – hina
desah, hoso
di – he, ne, se
dimana – hapa
dia – mane
dia punya – mana
diam – ndene
dinding rumah – lesta
dingin – paliri
disini – hanei, nei
disitu – hama, haulise
dong – mati
dong dua – matua
dong punya – matir
dua – lua
dubur – wakarowo
duduk – tolanu
duku – duku
dukun – maule
dukung hitam – suanggi
dulu – minanu
duri – maralu
durian – durenu
E – e
ekor – eluna
ela – ela
ember – ember
empat – ati
enak – ntele
enam – neni
 
G – g
gaba-gaba – lounu
gadis – undua
gali – hei
gampang – gampang
gantung – lole
garam – sila
garuk – kakinu
gata-gata- atanu
gatal – rene, kapapileu
gelambir – gelambir
gelas – glas
gelikan – kili-kili
gemetar – hehele
gempa bumi – wisolu
gemuk – rukunu
gendong – haha
gereja – misa
gesik – kueta
geyang – kaenu
gigi – niria
gigit – kie
gili – sikilu
gili-gili – kili-kili
goreng – gorenu
gosok – pulu
goti – lipita
goyang – kalirota
gubernur – gobenor
gula – nasu
guling – loli
guna-guna – maolete
guna – guna
gunter – kukulu
gunung – nunua, ulatuanu
guru – tungguru, guru
H – h
habis – posia
half – setengah
hamil – hamil
hampir – masu
hangat – pikuta
hanya – to
harga – hilana
hari – pito
hari ini – nawenae
harus – harus, musti,
hati – hutua
harus – ause
helai – ulu
hias – hias
hijau- biru
hinggap – hua
hitam- meteta
hiu – wiwo
hotel – hotel
hujan – ulanu
hulu – ulanu
hutan – waslalinu
hutang – panghitinu
 
I – i
ibadah – misa
ibu – ina, mama
ikan – ianu
ikan bubara – inu walo, ianu
ikan jurung – walo
ikan lalosi – ianu aenu
ikan tola -tola
ikat – heke
ikat konde – wito
ikut – esui
indah – moso, ntola
ingatan – palalae
ini – hinei
ipar – roua
iris – kukuru
isap – rosou
isi – isinu, kato
islam – moru
istetri – kawenu
isteri saudara laki-laki dari ibu – yaya
istirahat – istirahate
itu – hama, hima
itu punya – ina
iya – iyo, ya
 
J – j
jadi – una, jadi
jagung – jagung
jahat – jahate
jahe – siwa
jala – uweta
jalan – lalanu
jalan-jalan – luwai
jambu – jambu
jam – oras
jamur – pu’unu
jangan – ya’a, naka
jangkar – tanamata
janji – jaji
jantung – osona
jaring – jarenu
jarum – eta
jatuh – mulu, kate
jauh – luo
jawab – suhu
jelek – haenu, itanotal, ntola
jemur – pakualia
jendela – jendela
jengger – jengger
jerat – houlu
jeruk – mause
jilat – lamun
jinjing – wara
jual – paulili
jualan – jualari
juga – lahue
jumat – Ari
junjung – ririnu
 
K- k
kacamata – cermine
kacang – kacang
kadal – upue
kakek – a’a
kaki – ei
kaku – mamule
kalau – kalau
kalian – imi
kalian beruda – irua
kalian punya – imir
kemaluan laki-laki – ute
kamar tidur – lumisinu
kambing – pipe
kami – ami
kami punya – amir
karena – tagal
karun – lahanu
karung – aluta
kasbi – kasbi
kasih sayang – sayang
katong – ami
katong punya – ite, iter
katong berdua – arua
kaya – kaya
kayu – likata
kayu waru – waru
ke – he
kemana – hapa
keatas – ndete
kebarat – nale
kebawah – nehe
kebenaran – kebenaran
kebun – lawa
kecil – koki, ananu, koile
kedalam – lemata
kedarat – hila, nda
kejangkitan – bajangke
kejut – hitilia
keladi – inanu
kelapa – nuelu
kelaut – hilo, ndo
kelelawar – ralunu
kelengkapan – kelengkapan
kelereng – mutel
keliling – kaholi
keluar – husa
keluarga – famili, keluarga
kemaluan perempuan – uwe
kemarin – nanila
kembali – hali, leli
kena – ria
kenal – atina
kening – wauri
kentut – ituta
kepala – ulo kepala desa – latu, raja
kepangkatan – mara, upu
kepentingan – kepentingan
keras – makana, rua
kering – kalotolu
keringat – pasae
kerja – peseu
kertas – kertase
kerusuhan – kerusuhan
ke sana – hama, nise
ketiak – kekelihunu
ke timur – ndi
ketupat – katupa
kilap – kalala, kaleu, strelia
kilat – mitia
kira – kira
kiri – hakeke
kirim – katua
kita – ite
kita berdua – arua
kita punya – iter
kolera – kolera
konde – ulohuto
kopi – kopi
koporasi – koporasi
kosong – hukena
kota – kota
kotor – panosote
kristen – kristen
kuah – meita ulonu, meita
kuat – kuate
kuburan – huelu
kucing – mawo
kuku – talikilu
kukuruku – kukuruku
kulit – ulina, usana
kumpul – lehunu, lulu, tili
kumur – almumunu
kuning – porolu
kunyit – uninu
kupas – luke, ripi
kurang bergaul – nohoke
kurap – kikili
kursi – kadera
kurus – koki
kuskus – marilu
kusta – potolu L – l
lagi – haluke, sala
lahirkan – liana
lahir – jadi
lain – eleta
laki-laki – undana
lalu – lalu
lama – lou, tuale, usa
lambat – awela
lampu minyak – padamaranu
langit – lanita
langsat – puanu
lantai – umena, umenu
laos- lakuase
lapar – luareneu
lari – lawa
larikae – rikelu
laut – laute
layar – leulu
lebih – lebi
leher – selenu
lelah – mahe
lembut – pasii
lempar – lisa
lengkap kona
lepas – tia
lewat – lewate, sui
lewat – langgar
licin – muala
lidah – male
lihat – kari’i
Liliboi – lilipoi
lima – lima
lincah – kueta
listrik – listrik
loteng – lalohahanu
lobang – nupelu
lupa – matalinu
lutut – titaulunu
 
M – m
mabuk – kasili
mahal – mahale
main – palimenu
maka – maka
makan – kanu
makanan – anuta
makola – katola
maksud – maksud
malaikat – malekat
malam – melenu, lupito
malas – pamalase
malu – pasasumiu
maluku – maluku
mana – hapa
mandi – hoi
mangkas – pameliu
manis – susunu
marah – mara
marga – fam, lumatau
marga – marga
mari – knei
masak – hutawo, hutuo, masa, suku
masak kembali – maleu
masalah – masala
masa – masa
masih – sala
masing, baku- lumanu
masuk – nusu
masukkan – katou
mata – matanu
matahari – liamatanu
mata kail – awilu
matang – wapenu
mati – mata
mau – na, nau
meja – lahuanu, lesa,
meja – meja
melenyeh – tone
melinjo – suwa
memandang – palawe
menanamkan – patananinu, lihat – tananinus
mendidih – horale
mengantuk – katatilo
mengapa – kula
mengelem – kapulu
menguap – nawaisi
menjangan – menjangan
menonton – palawe
mentah – mumata
menyapu – salaya
menyeberang – tita menyelam – nuli
merah – routa
mereka – mati
mereka berdua – muatua
mereka punya – matir
mesin – mesin
mimpi – muni
Minggu – misa
minta – sali
minum – ninu
minyak – wakilu
miskin – malarate
mobil – oto
moyang – moyang
muatan – malianu
muda – walenu, hilo
mufakat – mupakat
muka – walalinu, minanu
mulai – mulai
mulut – hihilu
mundur – helau
muntah – luwau
muntah-muntah – naluau
 
N – n
Nafas – nawao
naik – hara, sa’a
nama – nalanu
nanah – nanai
nanas – arnasinu
nangis – rani
nanti – lali
nasi – ala
nyala – kalela
negeri – hina
nenek – nene
nikah – kawenu
nipis – nipis
numpang – sau
nyamuk – umuta
nyiru – sisata, takalase
 
O – o
obat – likatowanu
omong kosong – horale
orang – maka, mansia
orang asliuku – malia
orang dulu – orangtatuae
orang tua – orangtatua
osok kelapa – liuta
 
P – p
Pacar – lewa
pada – ka, ria
padi – ala, padi
pagi – huluketenu, rina
pagi-pagi – hulu-huluketenu, kete-ketenu
paha – kalaka
pahit – mila
pai-pai – tahule
pak – pa
pakai – pake
pakaian – pakeu
paku-paku – latalu
pala – pala
palapon – lalohahanu
paling – huralu
palu – martelu
pameli – pameliu
panah – husulu
panas – pikuta
panas matahari – pusua
panci – panci
pancing – huwanunu, panahu, nahu
pancuran – sasaluta, salu
pandangan – pandangan
panggal – uruna
panggil – hiha, kalou
pantai – laute
pantat – wakalu
papeda – lupia
parang – tulia
parut – luku
pasang – tunu
pasar – asalu, pasar
pesawat – pesawat
pasir – mulaenu
percik – suhu
perempuan – urpaenu, urpaenu
perempuan tua – atahina
pergi – kene, suwau
perigi – perigi
perkebunan – dusun
permana – pute
permukaan – ulinu
persiapan – persiapan
pertama – pertama
pertanyaan – pertanyaan
perut – tia
pesan – manolu, panou
petik – amili, tili
pikir – pikir
pikul – hala
pilih – amilih
pimpinan – kapitan
pinang – huwa
pincang – sikele
pindah – helau, suwau
pinggan – kole
pinggir – ulonu
pinggul – kaleke
pintar – pintar
pintu – alea
piring – pakului, pikalu
Piru – pilu
pisah – pisa
pisang – ure
pisau – tuletenu
potong – rolo, soka
prahu – haka, sope-sope
perahu motor – speed
prihal – sae
pucat – misi
pukul – hoha, hunu, nahu, rau, sau
pulan g- hotu, welau
pulau – hualu, nusa
puluh – hutu
puncak – uanu, ulunu
pundak – lahuanu
punggung – unua
punya – na
pusar – uselu
pusing – hatolo
putih – putita
 
Q – q
q – to
R – r
rabo – sampitu
raja – latu
ramas – rami
rambut – walanu
rantai – rante
rasa – rasa
ratus – utu
rencana – rencana
renggang – hihi
ribu – usata
ribut – tole
ringan – tamuhila
rintangan – rola
robek – hisi
rok – rok
rokok – sarutu, rokok
rondah – luwai
rotan – ua
roti – brotu
rumah – luma
rumah adat – ta’ilanu
rumah kebun – so’o
rumah tangga – rumah tangga
rumpun – kulunu
rumput – unuhu
runut – lunuta
rupa – rupah
rupiah – rupia
rusak – pota, rika
 
S – s
Sabtu – sabtu
sagu lempeng – pao
sagu – lupia
saja – mana
sakit – hitinu, pali
salah – sala
salin – lihi
sama – palaha
sambal – sambal
sampai – nala
sandang – sakeke
santan – santanu
sapu – rekilu, salaya
sarung – tapi
satu – ienu, iana, na, tisa
satu-satu – sasa
saudara – leko
saudara laki-laki dari ibu – memo
saudara – saudara
saudara perempuan dari ibu – uwa
sauh – tanamata
saya – ai, au
saya punya – aku
sayap – ahena, ihena
sayur – utanu
sebab – sebab
sebelah – kalinu
sebentar – lohasa, sate
sedang – sedang
sedap – ntele
sedia – ria
sedikit – lohana
sageru – tua
sejarah – sejara
sekali – paskali
sekarnag – sekarang
sekolah – skola
selatan – selatan
selat – selat
selesai – pea
selesaikan – paslata
seluruh – tounu
semadi – lisa
sembab – ha’anu
sembilan – siwa
sempurna – kona
semua – lalaina
semut – selimenu
senang – senang
senapan – hola
sendiri – kakisa
sendok – sondo
seng – tahi
seng ada – tahi
senin – mandag
seok-seok- kakoli
sepak – rutala
sepoi – hute
sepuluh – husaa
sepupuh – palehahati, renelu
seram – hualu, serane
serdawa – kotala
seseorang – sasasei
sesuatu – sesuatu
setelah – setelah
setengah kering – maher
setiap – ria
siang – luata
siap a- sei
siku – sio
siram – sohan, sahira
sisa – lisi
sisa-sisa – lisina, lisi
sm bambu – oulu, telenu
sm bulu – wanata
sm ikan – hulipaser, lalosi
sm ikan – bubara,
sm kari – sumuru
sm kuah – colo-colo
sm makan ringan – tatoneta, tone
sm pakis – lei
sm penyakit telinga – toe
sm pohon – hulahulunu, salatenu
sm tumbuhan – pandusta
sm tumbuhan merabat – hua-hua
soa – uru
sopi – kalawater
sore – tarawau
suami – kawenu
suami saduara perempuan dari bapak – wate
sudah – mae, se
suka – suka
sukun – su’unu
sulung – pakamina
suntik – loro
supaya – supaya
surat – surate
suruh – siha
susah – susa
 
T – t
tabang – tala
tadi – niko
tahan – tahanu
tahu – tuenu
tahun – nalia
tajam – mouta
takut – paltau, ntau
tali – walita
tali bubu – wana
tali jangkar – hatateinu
tambah – liti
tanah – umenu
tanam – taha
tanaman – tananinu
tangan – lima
tangga – lianu
tangkap – pese
tanjung – titunu
tanya – pakunia
tarik – salu, lihi, tili
taroh – peu
tas – tase
tebal – hutilo
tebar – hiru
tebuh – utiho
reduh – rolanu, undina
tegel – tegel
teh – te
telan – rele
televisi – televisi
telingan – talina
telur – tilonu
teman – lalahane
tembak – tunu
tembaku – tabako
tembus – roro
tempat – wala
tempat pijak – sanisa
tempat sirih – ulite
tempat tidur – tapalanu
tengah – hatalae
tengah malam – ramalua
tenggorokan – gergantang
tentang – hilu
tenun – kasi
tepat – panuhu
terasi – blacang
teras – teras
terbakar – pikuta
terbang – rihu
terbenam – moro
tergelincir – hasala terong – tolonu
tersalah – hasala
tersayat – apa
tertawa – hoka
terus – nanala
tetapi – po, tapi, tetapi
tetes – titi
tiang – lile
tidak – tahi
tidak ada – tahi
tidur – makeu, ntilo
tiga – tilu
tikam – roro, taha, tupu
tikar – haelu
tikus – undaha
tilur- mantilonu
timah – tamulu
timbah – repanu
timbah air – lalimata
timbang – nika
timur – hili, li, timulu
tindih – lepe
tindis – lepe
tinggal – tue
tinggi – atata
tipis – muni
tokoh – toko
toko – toko
tolong – tolon, tolong
tombak – tupa
tombak ikan besar – tatelata
tombak ikan kecil – kalawae
tongkat – toanu
tonton – lia, nonton
topan, lihuta
topi – capeo
tua – ntua, mutonu
tuak – sageru, sopi
tuang – silo
Tuhan – Tuhan
tujuan – tujuan
tujuh – itu
tulang – lulina
tuli – haruke
tulis – tuliu
tumang – tuman
tumbuhan merambat – walita
tumbuhan merambat besar – waweta
tumit – tolenu
tunas – ukuna
tunduk – moro
tunggu – lali
tunjuk – tope
turun – hotu, solou, toti
turunan – turunan
tusuk – rahikilu
tutup – riku, sahu’u U – u
uang – pise, kepeng
udang laut – sasuati
udang tawar – untiho
udik – ulunu
uji – uji
ujung – matahuluna, titunu, uanu, ulunu, huhunu
ujur – sou
ulang – pakaheluke, paheluke
ular – nia
umpan – anae
umur – umuru
undang – kolou
untuk – ria
untung – untunu
usaha – usaha
usus – apona
utara – marmato W – w
wajan – ulalite
wajid – waji
Wakasihu – waesiho
waktu – pito, nala, waktu
walang – paparisa
wilayah – uli