Astini

pelaku pembunuh berantai

Astini atau lebih lengkap sering ditulis secara lengkap oleh media sebagai Nyonya Astini adalah pembunuh berantai dengan motif tersinggung saat ditagih hutang. Astini membunuh tiga penagih hutangnya, antara lain Puji Astutik, Rahayu, dan Sri Astutik.[1]

Penagihan hutang

Astini memang terkenal sering meminjam uang kepada tetangga-tetangganya. Kepada Puji Astutik, ia berhutang Rp 20 ribu. Kepada Ibu Sukur atau Rahayu ia berhutang sebesar Rp 1.250.000. Kepada Sri Astutik Wijaya, ia berhutang Rp 250 ribu dan Rp 300 ribu. Semuanya ditolak untuk dibayar dan membuat si penagih berkata-kata kasar. Inilah yang kemudian menjadi dalih tersinggung saat dihina.[1]

Pembunuhan

Pembunuhan terhadap Puji Astuti dilakukan pada Februari 1996, pukul 16.00 WIB di rumah Astini. Puji Astuti mengeluarkan kata-kata kasar saat menagih utang, yang membuat Astini tersinggung dan meraih sepotong besi lalu menghantamkannya ke kepala Puji. Setelah meregang nyawa, jenazahnya diseret ke dapur dan menutupnya dengan tikar. Pukul 2:00 dinihari, jenazah korban dimutilasi menjadi 10 bagian, yang kemudian ditebar ke berbagai tempat sampah dan sungai di Surabaya.

Penangkapan

Potongan tubuh Puji Astuti kemudian ditemukan warga Kampung Wonorejo, Surabaya dalam kantong plastik di Sungai Wonorejo, yang kemudian diamankan polisi dan diidentifikasi oleh keluarga korban, yang mengkonfirmasi itu adalah kepala Puji Astuti yang dilaporkan hilang. Kebetulan saksi melihat bahwa terakhir kali Puji Astuti sebelum hilang masuk ke rumah Astini di Kampung Malang. [1][2]

Penahanan

Polisi segera menahan Astini dan menginterogasinya. Berdasarkan pengakuan Astini, ia melakukan hal serupa kepada Rahayu dan Sri Astutik yang juga hilang dari Kampung Malang. Kejahatannya juga sama persis, bermotif tersinggung karena ditagih hutang dengan kata-kata kasar. Ia juga memotong-motong tubuh keduanya menjadi sepuluh bagian.[1]

Vonis dan Eksekusi

Setelah dihukum mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 17 Oktober 1996, Astini masih berupaya mengulur waktu eksekusi dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sembari menunggu banding, ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sukun Malang, Jatim. Hasilnya, bandingnya ditolak pada Januari 1997. Pengadilan Tinggi Jatim malah menguatkan putusan PN Surabaya. Ia lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 1997 MA kembali menguatkan putusan tersebut. Ia mencoba lagi PK ke MA yang juga ditolak. Permohonan Grasinya kepada Presiden juga tak dikabulkan. [1]


Sebelum eksekusi, Astini dipindah dari LP Sukun Malang ke Rutan Medaeng, Sidoarjo, lalu menjalani masa isolasi selama lima hari dari 15-19 Maret 2005. Ia dieksekusi dengan cara ditembak di daerah jantung oleh 12 personel regu tembak Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur, dengan enam peluru. Jasadnya dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah dokter Soetomo Surabaya, Jatim untuk diotopsi. Ia dinyatakan mati pukul 01.20 WIB.[1][3]

Peninggalan rumah

Rumah kontrak Astini kemudian dikontrakkan kepada beberapa keluarga, namun warga menyatakan rumah tersebut jadi terlihat seram dan mengeluarkan bau amis darah. Kamar yang dulunya dapur tempat pembunuhan terjadi, tidak ada yang berani menggunakan sebagai kamar tidur. Kini rumah tersebut dikontrak keluarga Soekardi dan Supriyadi.[4]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Matinya Seorang Jagal. dari situs liputan6.com
  2. ^ Ini Kasus Pembunuhan Berantai Paling Heboh di Jatim. dari situs jatimnet
  3. ^ Kami Puas Hutang Nyawa Dibayar Nyawa. dari situs berita tempo
  4. ^ Rumah Astini Bernuansa Horor. dari situs berita detik