Atheis (novel): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Karta-> Achdiat. Bahasa Indonesia lebih lazim menggunakan nama depan |
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5 |
||
(44 revisi perantara oleh 28 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{
{{Infobox book <!-- See Wikipedia:WikiProject Novels or Wikipedia:WikiProject Books -->
| name = Atheis
| title_orig =
| translator =
| image =
| image_caption = Halaman sampul cetakan ke-32
| author = [[Achdiat Karta Mihardja]]
Baris 11:
| language = [[Bahasa Indonesia]]
| series =
| genre = [[Novel]], [[roman]]
| publisher = [[Balai Pustaka]]
| release_date = 1949
Baris 23:
| followed_by =
}}
'''''Atheis''''' adalah sebuah [[novel]] karya [[Achdiat Karta Mihardja]] yang diterbitkan oleh [[Balai Pustaka]] pada
Achdiat, seorang [[jurnalis]] serta [[redaktur]] yang pernah bergabung dengan penyair eksentrik [[Chairil Anwar]] dan [[Partai Sosialis Indonesia]], menulis ''Atheis'' antara bulan Mei 1948 dan Februari 1949. [[Bahasa Indonesia]] yang digunakannya dipengaruhi oleh [[bahasa Sunda]], dan gaya penulisannya lebih mirip gaya [[Suku Minangkabau|penulis Minang]] dari periode sebelumnya daripada para penulis kontemporer. Terutama membahas mengenai keimanan, novel ini juga menyinggung hubungan modernitas dan tradisionalisme. Biarpun Achdiat menegaskan bahwa karya ini dimaksud untuk [[realisme (seni rupa)|realis]], perlambangan dan hubungan simbolis pernah diusulkan tentang ''Atheis''.
Terjadi pembahasan yang cukup panas saat ''Atheis'' terbit. Tokoh-tokoh agama, Marxis-Leninis, dan anarkis menolak novel ini karena kurang menjelaskan ideologi mereka masing-masing, sementara tokoh-tokoh sastra dan masyarakat banyak memuji roman ini. Penerimaan baik ini mungkin disebabkan diperlukannya penyatuan nasional oleh [[Pemerintah Indonesia]]. Sebelum tahun 1970, ''Atheis'' sudah diterjemahkan ke dalam [[bahasa Melayu]], dan pada
== Alur ==
Alur ''Atheis'' bersifat tidak linier. Menurut ahli sastra Indonesia asal [[Belanda]] [[A. Teeuw]], plot novel ini menggunakan urutan sebagaimana dirumuskan di bawah. Huruf A mewakili masa yang dibahas dalam tulisan tokoh Hasan (dari masa kecil sampai bercerai dengan Kartini), huruf B mewakili masa yang diceritakan narator, dan huruf C mewakili waktu Hasan terbunuh.{{sfn|Teeuw|1980|p=273}}
Baris 35:
Ringkasan cerita di bawah ditulis secara kronologis.
Hasan, yang lahir di Panyeredan di keluarga penganut [[Tarekat Naqsyabandiyah]], adalah siswa
Di Bandung, Hasan bekerja untuk [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|pemerintah pendudukan Jepang]] dan hidup secara asketik; dia sering berpuasa berhari-hari dan
Pada suatu hari, Hasan kembali ke Panyeredan bersama Anwar untuk
Tiga tahun kemudian, hubungan Hasan dengan Kartini sudah memburuk. Mereka saling mencurigai. Akhirnya, Hasan melihat Kartini meninggalkan hotel bersama Anwar dan menduga kalau dia selingkuh - dugaan ini tidak benar. Hasan segera mencerai istrinya itu dan meninggalkan rumah. Tidak lama kemudian, dia jatuh sakit
Dalam keadaan sakit-sakitan, Hasan mendekati seorang jurnalis dan menyerahkan suatu tulisan berisi riwayat hidupnya; jurnalis ini bersedia menerbitkan karya Hasan itu bilamana terjadi sesuatu kepada Hasan. Tak lama kemudian, Hasan keluar rumah setelah [[jam malam]] dan tertembak oleh patroli Jepang. Dia lalu meninggal setelah disiksa, dengan kata-kata terakhirnya "[[Allahu Akbar]]". Hari berikutnya, Rusli dan Kartini menjemput mayatnya.
== Tokoh dan penokohan ==
{{anchor|Hasan}}
;Hasan
:Hasan adalah [[protagonis]] utama novel. Dibesarkan seorang Muslim yang saleh, Hasan mulai meragukan kepercayaannya
:Menurut kritikus sastra [[Maman S. Mahayana]], Oyon Sofyan, dan Achmad Dian, perjuangan psikologis Hasan mencerminkan teori [[psikoanalisis]] yang diajukan [[Sigmund Freud]].{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=80}} Teeuw mencatat bahwa Hasan tampak kecewa bahwa pengasuhannya yang mengutamakan agama tidak cukup untuk mengatasi godaan dunia modern.{{sfn|Teeuw|1980|p=274}} Penyair sekaligus kritikus sastra Indonesia [[
{{anchor|Rusli}}
;Rusli
:Rusli adalah sahabat kecil Hasan yang bertemu lagi di Bandung. Seorang Marxis-Leninis, Rusli mempunyai pendidikan tinggi dan fasih berbicara; hal-hal ini
:Hendrik Maier, seorang profesor sastra Asia tenggara di [[Universitas California, Riverside]], menyebut Rusli sebagai protagonis yang paling berkeseimbangan.{{sfn|Maier|1996|p=141}}
{{anchor|Kartini}}
;Kartini
:Kartini adalah seorang perempuan [[Marxisme–Leninisme|Marxis-Leninis]] yang diperkenalkan Rusli kepada Hasan. Karena Kartini mirip dengan cinta Hasan yang pertama, Hasan jatuh cinta padanya. Namun, setelah mereka menikah Hasan menjadi semakin cemburu dan mempertanyakan hubungan Kartini dengan Anwar, yang suka main mata dengannya. Ketika Anwar menjemput dia dari stasiun kereta api sehabis Kartini menjenguk tantenya, Anwar berusaha untuk memaksakan Kartini berhubungan mesra. Kartini menolak dan meninggalkan hotel, diikuti oleh Anwar. Setelah Hasan mencerainya karena interpretasinya atas kejadian ini, Kartini tinggal sendirian. Akhirnya Kartini menangis keras ketika mengetahui Hasan telah meninggal.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|pp=78–79}}
[[
{{anchor|Anwar}}
;Anwar
:Anwar adalah seorang anarkis dan [[Nihilisme|nihilis]] yang merasakan dirinya sebagai Tuhan. Dia terkenal sebagai pemain wanita yang kasar dan tidak berhalangan memanfaatkan orang lain demi kepentingannya sendiri. Melalui tindakannya, Anwar
:Anwar diperkirakan telah didasarkan pada penyair [[Chairil Anwar]],{{sfn|Maier|1996|p=131}} seorang anarkis individualis yang terkenal kasar, suka mencuri, dan suka main wanita.{{sfn|Yampolsky 2002, Chairil Anwar: Poet}}
{{anchor|Anwar}}
;Narator
:Narator, yang hanya muncul di bagian novel yang dia
== Gaya penulisan ==
''Atheis'' adalah novel Indonesia pertama yang menggunakan tiga gaya naratif.{{sfn|Teeuw|1980|p=273}}{{sfn|Sastrowardoyo|1983|p=159}} Awal roman dimulai dengan penjelasan kunjungan Rusli dan Kartini ke markas polisi Jepang setelah mendengarkan berita Hasan telah mati
Teeuw menulis bahwa gaya penceritaan dalam roman ini bersifat [[:wikt:didaktis|didaktis]], yang dia menganggap sebagai suatu kekurangan. Namun, dia juga mencatat bahwa Achdiat adalah anggota aliran sastra yang dipimpin oleh [[Sutan Takdir Alisjahbana]] yang beranggapan bahwa sastra bertujuan untuk mendidik; Teeuw juga menulis bahwa gaya penceritaan serupa sudah umum di sastra Indonesia pada saat itu.{{sfn|Teeuw|1980|p=275}}
[[Diksi]] dalam ''Atheis'' menunjukkan pengaruh [[bahasa Sunda]] yang besar. Menurut Teeuw, [[bahasa Indonesia]] yang digunakan kadang-kadang seakan dipaksakan, dengan bentuk kalimat menyimpang dari kebiasaan penulis-penulis [[Orang Minang|Minang]] yang mendominasi dunia sastra Indonesia pada saat itu. Menurut Teeuw, ini karena Achdiat dibesarkan dengan bahasa Sunda dan [[bahasa Belanda|Belanda]]; dengan demikian, bahasa Indonesianya kurang lancar dibanding penulis Minang atau yang lebih muda.{{sfn|Teeuw|1980|p=275}} Maier menulis bahwa roman ini menggunakan "simile dan metafor yang aneh tetapi cocok", dengan gaya yang mirip karya-karya yang sudah ada seperti ''[[Salah Asuhan]]'' (1928) karya [[Abdul Muis]], ''[[Layar Terkembang]]'' (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan ''[[Belenggu (novel)|Belenggu]]'' (1940) karya [[Armijn Pane]].{{sfn|Maier|1996|p=131}} Balfas mencatat bahwa ada kemiripan lain dengan karya sebelumnya, termasuk kematian protagonis di puncak cerita,{{sfn|Balfas|1976|p=91}} sementara Sastrowardoyo berpendapat bahwa ''Belenggu'' malah lebih modern biarpun diterbitkan sembilan tahun sebelum ''Atheis''.{{sfn|Sastrowardoyo|1983|p=162}}
== Tema ==
Pada tahun 1986, Achdiat Karta Mihardja menulis bahwa ''Atheis'' dimaksud untuk mempertimbangkan [[Filsafat ketuhanan|ada-tidaknya Tuhan]].{{sfn|Mihardja|2009|p=180}} Menurut Mahayana dkk., tema utama ini terdapat di seluruh novel; mereka juga mencatat bahwa saat ''Atheis'' diterbitkan pertanyaan tersebut belum pernah dibahas dalam karya sastra Indonesia modern.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=80}} Maier berpendapat bahwa rasa bersalah, ketakutan, dan penyesalan menjadi dorongan kuat untuk novel ini.{{sfn|Maier|1996|p=142}}
Teeuw menjelaskan bahwa novel ini mengangkat tema klasik hubungan dunia modern dan tradisi dengan cara duniawi, yang beda dari karya-karya sebelumnya.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}} Balfas menulis bahwa pendekatan tema serupa ini di kemudian hari digunakan oleh [[penulis]] lain.{{sfn|Balfas|1976|p=91}}
== Simbolisme ==
Biarpun Achdiat menegaskan bahwa ''Atheis'' dimaksud untuk bersifat realistis dan bukan simbolis, ada sejumlah pembacaan simbolik yang pernah diusulkan. Menurut Achdiat, yang paling umum ialah bahwa kematian Hasan dimaksud untuk menggambarkan kemenangan atheisme atas
Menurut Maier, ''Atheis'' menjadi suatu [[alegori]] untuk perkembangan negara Indonesia. Hasan, yang mewakili tradisionalisme, dibunuh oleh orang Jepang, yang telah mengubah keadaan di [[Hindia Belanda]] saat menduduki Nusantara pada tahun 1942. Sementara, Anwar yang cenderung [[anarki]]s tidak mempunyai tempat di dunia modern. Hanya tokoh modern yang bertanggung jawab, yaitu Rusli, mampu menguatkan negara Indonesia, sebagaimana diwakili Kartini, untuk menghadapi dunia baru.{{sfn|Maier|1996|p=147}}
== Penulisan dan ilham ==
Achdiat Karta Mihardja, yang lahir dan dibesarkan di [[Garut]], [[Jawa Barat]], dididik sebagai jurnalis{{sfn|Maier|1996|p=130}} sebelum berpindah ke Batavia pada tahun 1941 untuk bekerja pada penerbit resmi [[Hindia Belanda]], [[Balai Pustaka]]. Saat di Batavia, pada tahun 1945 dia mulai bergabung dengan kelompok sastranya [[Chairil Anwar]], Republika. Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] dan mulainya [[Sejarah Indonesia (1945–1949)|Perang Kemerdekaan]], Achdiat melarikan diri ke Jawa Barat dan bergabung dengan [[Partai Sosialis Indonesia]] yang dipimpin [[Sutan Sjahrir]]. Latar belakang ini digunakan untuk menulis ''Atheis'' dari bulan Mei 1948 sampai Februari 1949.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}}
Menurut Achdiat, beberapa ideologi yang paling umum di Indonesia pada saat itu ialah Marxisme–Leninisme, nihilisme, dan anarkisme; ini mempengaruhi pilihannya untuk menggambarkan Rusli dan Anwar sebagai penganut ideologi tersebut.{{sfn|Mihardja|2009|p=192}} Pada saat itu, penulis baru seperti [[Idrus]], [[Asrul Sani]], dan Chairil Anwar menjadi semakin kritikal terhadap generasi penulis Indonesia sebelumnya, yang mereka anggap berpikiran sempit dan kurang nasionalis.{{sfn|Maier|1996|p=130}} Achdiat, yang lebih tua daripada kebanyakan penulis kontemporer dan mempunyai gaya yang mirip seperti mereka, tidak suka akan hal tersebut; menurut Maier, ini mungkin membuat dia menggambarkan Chairil Anwar sebagai tokoh Anwar yang banyak kekurangannya.{{sfn|Maier|1996|p=130}}
== Penerbitan ==
''Atheis'' diterbikan pada tahun 1949 oleh [[Balai Pustaka]], yang menjadi penerbit nasional Indonesia merdeka;{{sfn|Maier|1996|p=129}} ''Atheis'' merupakan novel Achdiat yang pertama.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=79}} Menurut Teeuw, dengan diterbitkannya ''Atheis'' Achdiat langsung menjadi terkenal.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}} Maier mencatat bahwa sambutan baik ini mungkin tidak hanya karena kekuatan roman, melainkan juga karena kepribadian dan kedudukan Achdiat, yang sejalan dengan perlunya negara untuk menggunakan sastra, sebagai kebudayaan nasional yang paling berkembang, untuk membangun negara.{{sfn|Maier|1996|p=134}}
Pada tahun 1969 ''Atheis'' menerima penghargaan sastra dari pemerintah Indonesia, dan sehingga tahun 1970 sudah dicetak tiga kali dalam [[bahasa Melayu]].{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=80}} Pada tahun 1972 roman ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R. J. Macguire sebagai bagian proyek [[UNESCO Collection of Representative Works]],{{sfn|UNESCO, Atheis}} dan dua tahun kemudian [[Sjumandjaja]] mengadaptasinya menjadi film dengan [[Atheis (film)|judul yang sama]].{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=80}}
Achdiat sendiri menghasilkan dua novel lain: ''Debu Cinta Bertebaran'' (1973), yang diterbitkan di [[Singapura]]; dan ''Manifesto Khalifatullah'' (2005), yang diterbitkan di Jakarta.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=79}}{{sfn|The Jakarta Post 2010, Obituary: 'Atheist' writer}} Pada peluncuran ''Manifesto Khalifatullah'', sebuah novel bertema agama, Achdiat menyatakan bahwa itu merupakan "balasan atas ''Atheis''", setelah dia menyadari bahwa "Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi wakil-Nya di Bumi, bukan Setan.".{{sfn|The Jakarta Post 2010, Obituary: 'Atheist' writer}}
== Penerimaan terhadap novel ==
Menurut Achdiat, tokoh agama menolak keras novel ini karena menggambarkan Hasan, yang mereka menganggap sebagai wakil agama dan orang beriman, sebagai orang yang tidak dapat mengatasi godaan; mereka juga tidak setuju dengan kurangnya pembahasan doktrin agama.{{sfn|Mihardja|2009|p=183}} Tokoh-tokoh Marxis dan anarkis juga merasa bahwa ideologi mereka kurang dijelaskan, dan menganggap bahwa tokoh Rusli dan Anwar tidak benar-benar mencerminkan pemikiran para filsuf seperti [[Karl Marx]] dan [[Friedrich Nietzsche]].{{sfn|Mihardja|2009|p=184}} Sebagai tanggapan, Achdiat menulis bahwa tokoh-tokoh tersebut dimaksud untuk realistis, dan jarang ada orang di kehidupan nyata yang mempunyai pengetahuan tentang suatu ideologi yang sangat mendalam seperti yang diinginkan para kritikus.{{sfn|Mihardja|2009|p=185}}
Namun, pembaca lain – terutama dari dunia sastra – memuji ''Atheis'', termasuk [[Pramoedya Ananta Toer]] dan [[Hamka|Haji Abdul Malik Karim Amrullah]].{{sfn|Maier|1996|p=129}} Sastrowardoyo menyebutnya suatu "well made novel", dengan kisah diakhiri dengan baik ketika Hasan meninggal.{{sfn|Sastrowardoyo|1983|p=158}} Teeuw menulis bahwa ''Atheis'' adalah roman pertama yang benar-benar menarik setelah perang kemerdekaan.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}}
==
;Catatan kaki
{{reflist|colwidth=30em}}
Baris 110:
;Bibliografi
{{refbegin|colwidth=30em}}
* {{cite web
|title=Atheis
|language=Inggris
Baris 117:
|accessdate=4 March 2012
|ref={{harvid|UNESCO, Atheis}}
|archiveurl=
|archivedate=
|dead-url=no
}}
* {{cite book
}}
* {{cite journal
|last1=Djamin
|first1=Nasjah
Baris 146 ⟶ 147:
|year=1972
|title=Les Derniers Moments de Chairil Anwar
|language=
|trans_title=Saat-saat Terakhir Chairil Anwar
|journal=Achipel
Baris 158 ⟶ 159:
}}
* {{cite book
}}
* {{cite book
}}
* {{cite book
}}
* {{cite news
|dead-url=no
}}
* {{cite book
}}
* {{cite book
}}
* {{cite web
|url=http://www.seasite.niu.edu/flin/literature/chairil-anwar_lat15.html
|title=Chairil Anwar: Poet of a Generation
|trans_title=Chairil Anwar: Penyair Sebuah Generasi
|language=Inggris
|last1=Yampolsky
|first1=Tinuk
Baris 259 ⟶ 261:
|work=SEAsite
|publisher=Center for Southeast Asian Studies, Northern Illinois University
|ref={{harvid|Yampolsky 2002, Chairil Anwar: Poet}}
|archive-date=2014-03-14
}}▼
|archive-url=https://web.archive.org/web/20140314041813/http://www.seasite.niu.edu/flin/literature/chairil-anwar_lat15.html
|dead-url=yes
▲ }}
{{refend}}
{{featured article}}▼
{{Authority control}}
[[Kategori:
[[Kategori:
[[Kategori:Novel Balai Pustaka]]
▲{{featured article}}
|