Bahasa Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan pranala ke halaman disambiguasi
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 52:
 
Istilah ''bahasa Indonesia'' juga terkadang digunakan dalam [[bahasa Inggris]] dan bahasa lain untuk menyebut bahasa nasional Indonesia. ''Bahasa Indonesia'' terkadang disingkat menjadi ''Bahasa'' oleh orang asing yang menganggap bahwa itu adalah nama bahasanya. Namun, kata "bahasa" hanya berarti bahasa (''language''). Misalnya, ''Korean language'' diterjemahkan menjadi ''bahasa Korea''. Orang Indonesia pada umumnya tidak menggunakan kata ''Bahasa'' saja untuk menyebut bahasa nasionalnya.<ref>{{Cite book |last=Sneddon |first=James |title=The Indonesian language: its history and role in modern society |url=https://archive.org/details/indonesianlangua0000sned |publisher=[[University of New South Wales]] Press |year=2003 |isbn=978-0868405988 |location=Sydney |language=en}}</ref>
 
== Sejarah ==
=== Zaman kerajaan Hindu-Buddha ===
{{Terlampau panjang}}
Sejumlah prasasti berbahasa [[Bahasa Melayu Kuno|Melayu Kuno]] dari [[Sriwijaya]] ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatra. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah yang strategis untuk pelayaran dan perdagangan.
 
Bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada saat itu menunjukkan penggunaan awalan ''ni-'' dan ''mer-'', bukan ''di-'' dan ''ber-''. Contohnya ''merwuat'' "berbuat", "melakukan" dan ''nimakan'' "dimakan". Ini menunjukkan kemiripan dan relasi dengan bahasa Proto-Melayu-Polinesia dan Proto-Austronesia. Kedua awalan ini muncul di prasasti-prasasti tersebut.
 
Huruf "h" di awal kata masih dijaga, mencerminkan asalnya utamanya dari bahasa Proto-Austronesia *q. Contohnya pada kata ''hujung'' "ujung" dan ''mahu'' "mau", "bermaksud". Di beberapa dialek dan bahasa Melayu modern, "h" di awal kata masih dijaga, sementara pada yang lain hilang atau dianggap tidak baku. Misalnya, ''item'' "hitam" dan ''hutang'' "utang". Namun, beberapa kata seperti ''hati'' tidak berubah menjadi ''*ati'' dalam bahasa Indonesia. Hilangnya huruf "h" ini dapat didorong oleh pengucapan "r" yang cenderung uvular ({{IPA|[ʀ]}}, {{IPA|[ʁ]}}), lokasi yang hampir sama dengan "h".
 
Sementara itu, istilah ''Melayu'' adalah sebutan untuk [[Kerajaan Melayu]], sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang bertempat di hulu sungai [[Batang Hari]].
 
Pada awalnya, istilah tersebut merujuk pada wilayah kerajaan Melayu yang yang merupakan bagian wilayah pulau Sumatra. Namun, seiring berkembangnya zaman, istilah ''Melayu'' mencakup wilayah geografis tidak hanya merujuk pada Kerajaan Melayu, melainkan negeri-negeri di pulau Sumatra.
 
Bahasa Melayu Kuno yang berkembang di Sumatra memiliki logat "o", yang digunakan pada Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang, dan Bengkulu.
 
Dalam perkembangannya, bangsa Melayu melakukan migrasi besar-besaran ke Semenanjung Malaysia (Hujung Medini) dan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka pada masa perkembangannya. Istilah Melayu kemudian bergeser kepada Semenanjung Malaka (Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Semenanjung Tanah Melayu. Akan tetapi, kenyataannya adalah istilah Melayu itu berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
 
Pada tahun [[1512]], Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh [[Bangsa Portugis|Portugis]] sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, yang membuat kemungkinan bahwa pemakai bahasa Melayu pertama bukanlah penduduk Sumatra, melainkan Kalimantan. Suku Dayak diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu Kuno di Sumatra, misalnya: Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban. Aksen Melayu pada saat itu berlogat "a" seperti bahasa Melayu baku. Penduduk Sumatra menuturkan bahasa Melayu setelah kedatangan leluhur suku Nias dan suku Mentawai.
 
Dalam perkembangannya, istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
 
Secara sudut pandang historis, istilah Melayu juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, terutama dalam konsep [[Proto Melayu]] dan [[Deutero-Melayu]], migrasi bangsa Melayu yang dibagi dalam dua gelombang. Saat ini konsep dua gelombang migrasi tersebut sudah dianggap usang, karena sekarang dipahami bahwa nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara dikenal sebagai rumpun [[Melayu-Polinesia]], salah satu dari dua cabang utama suku bangsa Austronesia (lainnya adalah [[Formosa]]).
 
Selanjutnya setelah sampai pada kedatangan dan perkembangan agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya di dalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnik.
 
M. Muhar Omtatok, seorang seniman, budayawan, dan sejarawan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnik, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling, dan lainnya". Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa komunitas berdarah Batak yang mengaku sebagai Orang Kampong–Puak Melayu".
 
Diketahui, [[kerajaan Sriwijaya]] menuturkan bahasa Melayu (sebagai [[bahasa Melayu Kuno]]) sebagai bahasa kenegaraan sejak abad ke-7 M. Lima [[prasasti]] kuno yang ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari [[bahasa Sanskerta]], suatu [[Rumpun bahasa Indo-Eropa|bahasa Indo-Eropa]] dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan juga dokumen-dokumen dari abad berikutnya di [[Pulau Jawa]]<ref>Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat [[Bogor]] ([[Prasasti Bogor]]) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di [[Pulau Jawa]]</ref> dan [[Pulau Luzon]].<ref>[[Keping Tembaga Laguna]] (900 M) yang ditemukan di dekat [[Manila]], [[Pulau Luzon]], berbahasa Melayu Kuno, menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.</ref> Sejak itu, kata-kata seperti ''istri, raja, putra, kawin'', dan lain-lain masuk pada periode tersebut hingga abad ke-15 M.
 
=== Melayu sebagai basantara ===
{{See also|Bahasa Melayu#Sejarah}}Pada abad ke-15, berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (''classical Malay'' atau ''medieval Malay''). Bentuk ini dipakai oleh [[Kesultanan Melaka]], yang perkembangannya kelak disebut sebagai [[bahasa Melayu Tinggi]]. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar [[Sumatra]], [[Jawa]], dan [[Semenanjung Malaya]].{{fact}} Laporan [[Portugal|Portugis]], misalnya oleh [[Tome Pires]], menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatra dan Jawa. [[Magellan]] dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari [[bahasa Arab]] dan [[bahasa Parsi]], sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti ''masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas'', serta kata-kata Parsi seperti ''anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau'' masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
 
Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti ''gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela''. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti ''asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel'' adalah pinjaman dari bahasa ini.
 
Bahasa yang dipakai pendatang dari Tiongkok juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti ''pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.''
 
[[Jan Huyghen van Linschoten]] pada abad ke-17 dan [[Alfred Russel Wallace]] pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu atau Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di "dunia timur".<ref name="indodic">[http://www.indodic.com/Interlang.htm Best of The Best (Crème de la Crème)] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20090522070220/http://www.indodic.com/Interlang.htm |date=2009-05-22 }}
<!-- Wallace menuliskan di buku tulisannya, ''[[Malay Archipelago]]'', bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda." --><!--
 
Di dalam buku ''[[Itinerario]]'' ("Perjalanan") karyanya, van Linschotten menuliskan bahwa "[[Malaka]] adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh." --></ref>
Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian tempatan (lokal) dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan [[bahasa Portugis]], [[bahasa Tionghoa]], maupun bahasa setempat. Terjadi proses [[Pijin|pemijinan]] di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di [[Manado]], [[Kota Ambon|Ambon]], dan [[Kupang]]. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pijin. Terdapat pula [[bahasa Melayu Tionghoa]] di [[Batavia]]. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).<ref>Hal ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu berasal dari etnik [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]].</ref> Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan [[bahasa Melayu Pasar]] oleh para peneliti bahasa.
 
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 [[Raja Ali Haji]] dari istana [[Kesultanan Riau-Johor|Riau-Johor]] (pecahan Kesultanan Melaka) menulis [[kamus]] ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang ''full-fledged'', sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
 
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang ''colloquial'' dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya, tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai ''[[lingua franca]]'', tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
<!--
=== Melayu Kuno ===
Penyebutan pertama istilah "bahasa Melayu" sudah dilakukan pada masa sekitar [[683]]-[[686]] M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa [[prasasti]] ber[[bahasa Melayu Kuno]] dari [[Palembang]] dan [[Bangka]]. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan [[aksara Pallawa]] atas perintah raja [[Kerajaan Sriwijaya|Sriwijaya]], kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 sampai ke-12. [[Wangsa Syailendra]] juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di [[Jawa Tengah]].
 
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:
# [[Prasasti Kedukan Bukit]] di [[Palembang]], tahun 683
# [[Prasasti Talang Tuo]] di Palembang, tahun 684
# [[Prasasti Kota Kapur]] di [[Bangka Barat]], tahun 686
# [[Prasasti Karang Brahi]] antara [[Jambi]] dan [[Sungai Musi]], tahun 688
Yang kesemuanya beraksara [[Pallawa]] dan bahasanya bahasa Melayu Kuno memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
 
Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno juga terdapat di
# [[Jawa Tengah]]: [[Prasasti Gandasuli]], tahun 832, dan [[Prasasti Manjucrigrha]]
# [[Kabupaten Bogor|Bogor]], [[Prasasti Bogor]], tahun 942
Kedua-dua prasasti di pulau [[Jawa]] itu memperkuat pula dugaan bahwa bahasa Melayu Kuno pada ketika itu bukan saja dipakai di Sumatra, melainkan juga dipakai di Jawa.
 
=== Melayu Klasik ===
 
Karena terputusnya bukti-bukti tertulis pada abad ke-9 hingga abad ke-13, ahli bahasa tidak dapat menyimpulkan apakah [[bahasa Melayu Klasik]] adalah kelanjutan dari Melayu Kuno. Catatan ber[[bahasa Melayu Klasik]] pertama berasal dari [[Prasasti Terengganu]] berangka tahun [[1303]].
 
Seiring dengan berkembangnya [[agama]] [[Islam]] dimulai dari [[Aceh]] pada [[abad ke-14]], bahasa Melayu klasik lebih berkembang dan mendominasi sampai pada tahap di mana ekspresi “Masuk Melayu” berarti masuk agama Islam.
-->
 
=== Era kolonial Belanda ===
[[Berkas:Kaboedajaän dan Masjarakat Magazine 1939.jpg|jmpl|Majalah{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }} ''Keboedajaän dan Masjarakat'' (1939) menggunakan [[ejaan Van Ophuijsen]].]]
Pemerintah [[kolonial]] Hindia Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan), sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam pembakuan bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
 
Pada awal abad ke-20, perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai [[Hindia Belanda]]) mengadopsi [[ejaan Van Ophuijsen]] dan pada tahun 1904 [[Persekutuan Tanah Melayu]] (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah [[Inggris]] mengadopsi [[ejaan Wilkinson]].<ref name="indodic" /> Ejaan Van Ophuijsen diawali dari penyusunan [[Kitab Logat Melayu]] (dimulai tahun 1896) [[van Ophuijsen]], dibantu oleh [[Nawawi Soetan Makmoer]] dan [[Moehammad Taib Soetan Ibrahim]].
 
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya ''Commissie voor de Volkslectuur'' ("Komisi Bacaan Rakyat"–KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi [[Balai Pustaka]]. Pada tahun 1910, komisi ini di bawah pimpinan [[D.A. Rinkes]], melancarkan program [[Taman Poestaka]] dengan membentuk [[perpustakaan]] kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.<ref>[http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/11/25/1520409/Balai.Pustaka..Berbenah.Setelah.Satu.Abad Balai Pustaka, Berbenah Setelah Satu Abad] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20091128094906/http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/11/25/1520409/Balai.Pustaka..Berbenah.Setelah.Satu.Abad |date=2009-11-28 }}. Kompas daring, 25 November 2009.</ref> Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti [[Siti Nurbaya]] dan [[Salah Asuhan]], buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
 
Bahasa Melayu yang disebarkan oleh Balai Pustaka sesungguhnya merupakan bahasa Melayu Tinggi yang bersumber dari bahasa Melayu Riau-Lingga, sedangkan bahasa Melayu yang lebih populer dituturkan kala itu di Hindia Belanda adalah bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar. [[Kwee Tek Hoay]], sastrawan Melayu Tionghoa mengkritik bahasa tinggi ini sebagai bahasa yang tidak alamiah, seperti barang bikinan, tidak mampu melukiskan tabiat dan tingkah laku sesungguhnya, seperti pembicaraan dalam pertunjukan wayang yang tidak ditemukan dalam pembicaraan sehari-hari."<ref>{{Cite book|last=Marcus|first=A. S.|last2=Benedanto|first2=Pax|date=2001|url=https://books.google.com/books?id=fHtWhjG5TU4C&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PR17&dq=melayu+tinggi+melayu+rendah+indonesia&hl=id|title=Kesastraan Melayu Tionghoa dan kebangsaan Indonesia|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|isbn=978-979-9251-51-0|language=id|access-date=2021-11-04|archive-date=2023-04-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20230416140348/https://books.google.com/books?id=fHtWhjG5TU4C&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PR17&dq=melayu+tinggi+melayu+rendah+indonesia&hl=id|dead-url=no}}</ref>
 
Pada tanggal 16 Juni 1927, [[Jahja Datoek Kajo]] menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertama kalinya dalam sidang [[Volksraad]], seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.<ref>{{cite book|last=Etek|first=Azizah|title=Kelah Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927–1939|publisher=LKiS|year=2008}}</ref>
 
=== Kelahiran Bahasa Indonesia ===
[[Berkas:Youthpledge.jpg|jmpl|Keputusan ketiga dari naskah [[Sumpah Pemuda]] menyatakan bahwa Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan bagi [[bangsa Indonesia]]]]
Bahasa Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat [[Sumpah Pemuda|Kongres Pemuda II]] tanggal [[28 Oktober]] [[1928]] yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional berdasarkan usulan [[Muhammad Yamin]]. Dalam pidatonya pada kongres tersebut, Yamin mengatakan,
 
{{quote|"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Akan tetapi, dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."<ref>[http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/2008/10/27/LK/mbm.20081027.LK128564.id.html Majalah Tempo Interaktif]{{Pranala mati|date=Juli 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>}}
Penggantian nama dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia mengikut usulan dari [[M. Tabrani|Mohammad Tabrani]] pada [[Kongres Pemuda|Kongres Pemuda I]] yang beranggapan bahwa jika tumpah darah dan bangsa tersebut dinamakan Indonesia, maka bahasanya pun harus disebut bahasa Indonesia. Kata "bahasa Indonesia" sendiri telah muncul dalam tulisan-tulisan Tabrani sebelum Sumpah Pemuda diselenggarakan. Kata "bahasa Indonesia" pertama kali muncul dalam harian [[Hindia Baroe]] pada tanggal 10 Januari 1926. Pada 11 Februari 1926 di koran yang sama, tulisan Tabrani muncul dengan judul "Bahasa Indonesia" yang membahas tentang pentingnya nama bahasa Indonesia dalam konteks perjuangan bangsa. Tabrani menutup tulisan tersebut dengan:<ref>{{Cite news|last=Adib|first=Holy|date=30 Agustus 2020|title=Meresmikan Hari Lahir Bahasa Indonesia|url=|work=Jawa Pos|access-date=}}</ref>
 
{{quote|"Bangsa dan pembaca kita sekalian! Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia itu. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu. Karena menurut keyakinan kita kemerdekaan bangsa dan tanah air kita Indonesia ini terutama akan tercapai dengan jalan persatuan anak-Indonesia yang antara lain-lain terikat oleh bahasa Indonesia."}}
 
Selanjutnya, perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan [[Minangkabau]], seperti [[Marah Rusli]], [[Abdul Muis]], [[Nur Sutan Iskandar]], [[Sutan Takdir Alisyahbana]], [[Hamka]], [[Roestam Effendi]], [[Idrus]], dan [[Chairil Anwar]]. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, [[sintaksis]], maupun morfologi bahasa Indonesia.<ref>{{cite book|last=Teeuw|first=A|title=Modern Indonesian Literature I|publisher=Foris Publication|year=1986}}</ref> Pada tahun 1933, berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai [[Pujangga Baru]] yang dipimpin oleh [[Sutan Takdir Alisjahbana]]. Pada tahun 1936, Sutan Takdir Alisjahbana menyusun ''Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia''. Meskipun Pujangga Baru membawa pembaruan bagi bahasa dan sastra Indonesia, tetapi bahasa yang dipakai masihlah bahasa Melayu Tinggi yang "murni". Perbedaan bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Rendah baru mulai pudar setelah munculnya Chairil Anwar.<ref>{{Cite book|last=Rosidi|first=Ajip|date=2018-07-25|url=https://books.google.com/books?id=efikDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA20&dq=pujangga+baru+bahasa+melayu+tinggi&hl=id|title=Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia|publisher=Dunia Pustaka Jaya|isbn=978-979-419-567-3|language=id|access-date=2021-11-04|archive-date=2023-04-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20230416140418/https://books.google.com/books?id=efikDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA20&dq=pujangga+baru+bahasa+melayu+tinggi&hl=id|dead-url=no}}</ref>
 
Pada tanggal 25-28 Juni 1938, dilangsungkan [[Kongres Bahasa Indonesia]] I di [[Solo]]. Dari hasil kongres itu, dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Kongres Bahasa Indonesia kemudian rutin digelar lima tahunan untuk membahasa perkembangan bahasa Indonesia.{{further|Kongres Bahasa Indonesia}}
 
=== Bahasa Indonesia masa kini ===
{{further|Bahasa gaul}}
[[Berkas:Utamakan Bahasa Indonesia, Yogyakarta.jpg|jmpl|[[Papan tanda]] anjuran untuk mengutamakan bahasa Indonesia, Yogyakarta.]]
Meskipun menyandang nama bahasa persatuan, bahasa Indonesia digunakan sebagai [[bahasa ibu]] hanya oleh sebagian kecil saja dari penduduk Indonesia (terutama orang-orang yang tinggal di sekitar Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang sebagian besar berbahasa Indonesia seperti [[Kota Medan|Medan]] dan [[Kota Balikpapan|Balikpapan]]), sedangkan lebih dari 200 juta orang lainnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, dengan berbagai tingkat kemahiran. Sensus tahun 2010 menunjukkan hanya 19,94% orang berusia di atas lima tahun yang menggunakan bahasa Indonesia di rumah. Di negara yang memiliki lebih dari 700 bahasa daerah dan beragam kelompok suku, bahasa Indonesia memainkan peran penting dalam mempersatukan keberagaman budaya di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa utama di media, badan pemerintah, sekolah, universitas, tempat kerja, dll.<ref>{{cite web|title=Publication Name|url=http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html|archive-url=https://web.archive.org/web/20170710134114/http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html|archive-date=10 July 2017|access-date=4 December 2018|url-status=dead|df=dmy-all}}</ref>
 
Bahasa Indonesia baku digunakan untuk keperluan penulisan buku dan surat kabar, serta untuk siaran berita televisi/radio. Bahasa Indonesia baku jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari, sebagian besar terbatas pada keperluan formal saja. Meskipun hal ini merupakan gejala yang umum terjadi pada kebanyakan bahasa di dunia (misalnya, bahasa Inggris lisan tidak selalu sesuai dengan standar bahasa tulis), bahasa Indonesia lisan cukup berbeda/jauh dari bahasa Indonesia baku, baik dalam hal tata bahasa maupun kosa kata. Hal itu utamanya disebabkan karena orang Indonesia cenderung menggabungkan aspek bahasa daerahnya sendiri (misalnya, Jawa, Sunda, dan Bali) dengan bahasa Indonesia. Hal ini menghasilkan berbagai dialek bahasa Indonesia yang kedaerahan, jenis inilah yang paling mungkin didengar oleh orang asing saat tiba di sebuah kota di Indonesia.<ref>[http://www.bbc.com/travel/story/20180703-why-no-one-speaks-indonesias-language Why no-one speaks Indonesia's language] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20201105001742/http://www.bbc.com/travel/story/20180703-why-no-one-speaks-indonesias-language |date=2020-11-05 }}, BBC, by David Fettling, 4 July 2018</ref> Fenomena ini diperkuat dengan penggunaan [[Bahasa prokem|bahasa gaul Indonesia]], khususnya di [[Kawasan perkotaan|perkotaan]]. Tidak seperti varietas baku yang relatif seragam, Bahasa Indonesia daerah menunjukkan tingkat variasi geografis yang tinggi, meskipun bahasa Indonesia gaul ala Jakarta berfungsi sebagai norma ''de facto'' bahasa informal dan merupakan sumber pengaruh yang populer di seluruh Indonesia.<ref name=":0" /> Pemisahan bahasa Indonesia baku dan [[bahasa gaul]] Jakarta ini, oleh [[Ben Anderson|Benedict Anderson]], disebut sebagai gejala [[kramanisasi]].<ref>{{Cite book|last=Anderson|first=Benedict R. O'G|date=2006|url=https://books.google.co.id/books?id=05cZ6dxZYLcC&pg=PA145&dq=kramanization&redir_esc=y#v=onepage&q=kramanization&f=false|title=Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia|publisher=Equinox Publishing|isbn=978-979-3780-40-5|language=en|access-date=2020-09-26|archive-date=2023-04-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20230416140424/https://books.google.co.id/books?id=05cZ6dxZYLcC&pg=PA145&dq=kramanization&redir_esc=y#v=onepage&q=kramanization&f=false|dead-url=no}}</ref>
 
== Klasifikasi dan bahasa terkait ==