Buddha yang tidak sempurna atau dikenal pula dengan nama Buddha yang belum selesai (bahasa Inggris= Unfinished Buddha) adalah sebuah nama yang diberikan kepada sebuah patung yang diperkirakan berasal dari stupa terbesar di Candi Borobudur. Asal-usul patung ini tidak diketahui, tetapi pernah disebutkan bahwa patung ini berada di bawah sebuah pohon di samping Candi Borobudur.

Penamaan

Patung Buddha yang tidak sempurna disebut tidak sempurna karena terlihat belum selesai dalam pengerjaannya. Meskipun ukiran wajah sempurna, tetapi detail ukiran tidak ada. Misalnya, tangan kanan yang berbentuk persegi[1] (jari-jari tidak lengkap dan ada satu hilang), lengan kanan yang tidak sama panjang dengan lengan kiri, ikal rambut yang belum dipahat, pahatan lipatan baju tidak halus, salah satu bahu tangan yang lebih besar daripada bahu tangan yang lain.[2]

Sejarah

Stupa besar di tengah yang menjadi puncak mahkota monumen Borobudur memiliki ruang kosong dan tertutup secara sempurna dari luar. Saat dibuka untuk restorasi, di dalam stupa tersebut konon ditemukan sebuah patung Buddha yang belum selesai yang mewakili sebuah kondisi spiritual transendental.[3] Meskipun kini dipercaya bahwa patung tersebut berasal dari dalam stupa utama Borobudur, kemungkinan patung tersebut bukan menjadi simbol religius yang signifikan. Terdapat kemungkinan bahwa patung tersebut cacat saat dikerjakan. Namun, daripada menghancurkan sebuah patung Buddha, pengawas pembangunan mungkin memasukkannya ke dalam stupa utama.[1]

Sebelum restorasi pertama oleh Van Erp, bagian puncak candi didirikan sebuah gubug sebagai gardu pandang sekaligus kedai teh. Ada kemungkinan pada masa itu patung Buddha yang tidak sempurna ini disingkirkan dari atas dan dipindahkan ke bawah candi.

Pada tahun 1907-1911, Van Erp memimpin pemugaran Borobudur. Ia menemukan stupa induk yang kosong, dan ternyata di dalamnya terdapat patung unfinished Buddha yang tertimbun tanah. Karena tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai asal-usulnya, Van Erp meletakkannya di bawah pohon kenari di halaman candi. Ia meyakini bahwa patung tersebut adalah patung gagal yang diafkir. Pendapat Van Erp didukung oleh Prof. Soekmono (1973), yang juga mendasarkan keyakinannya pada saat penemuan Borobudur di era Raffles di tahun 1814, yang tidak menyebutkan penemuan patung cacat tersebut.[2]

Namun, tindakan Van Erp dikritik oleh beberapa arkeolog yang berpendapat seharusnya Van Erp mengembalikan patung tersebut ke dalam stupa. Menurut Bernard Kempers, arca tersebut memang disengaja untuk tidak diselesaikan pembuatannya, dan berdasarkan catatan China tahun 604 M, di India pernah terdapat patung Buddha cacat seperti itu.[2]

Pada tahun 1994, Prof. Soekmono menulis jurnal arkeologi yang menyatakan bahwa di tahun 1973 ia tidak mengembalikan patung Buddha yang tidak sempurna ke dalam stupa utama dengan alasan bahwa mereka harus melubangi stupa yang sudah ditutup oleh Van Erp. Hal tersebut bertentangan dengan spirit rekonstruksi. Ia yakin bahwa "arca cacat" itu memang letaknya di dalam stupa utama. Berdasarkan serat Centhini pupuh 105 bait 8-9, Prof. Soekmono menemukan cerita mengenai arca itu. Dikisahkan bahwa pada suatu malam, Mas Cebolang tidur dekat stupa induk Borobudur dan melihat arca besar Buddha yang belum selesai. Cebolang bertanya bagaimana di puncak ada arca yang belum lengkap, kemudian menganggapnya arca itu memang sengaja dibuat rusak.[2]

Kini patung Buddha tidak sempurna bisa dilihat di Museum Karmawibhangga yang dibangun didekat Borobudur pada saat restorasi yang disponsori oleh pemerintah Indonesia dan UNESCO sekitar tahun 1970an.[1]

Bentuk dan lambang

Meskipun tidak diukir sempurna dan berbentuk kotak, tangan kanan patung Buddha tidak sempurna jelas menunjukkan mudra bhūmiśparsa mudrā (mudra menyentuh bumi).[1][4]

Lambang Adi Buddha Vairochana

Sebagian peneliti mempercayai bahwa patung tersebut tidak terselesaikan karena memiliki makna simbolis sehingga diletakkan di pusat stupa.[1] Salah satu hal yang menjadikan dasar dugaan bahwa patung ini merupakan perlambangan dari Adi Buddha adalah tafsiran mengenai bentuknya yang tidak sempurna. Dalam hal ini nampak local genius seniman pada masa itu. Bentuk yang tidak sempurna ini menggambarkan moksa: dari ada bentuk ke tiada bentuk, dari rupa ke arupa.

Bagi yang mempercayai pendapat bahwa patung Buddha tidak sempurna ditemukan di tengah stupa utama Borobudur, terdapat dua pilihan: figur Buddha yang diletakkan di pusat Candi Borobudur adalah Buddha Wairocana tetapi dengan posisi mudra yang tidak biasanya (yaitu bhūmiśparsa mudrā), atau figur Buddha tersebut bukanlah Buddha Wairocana (yang dianggap sebagai salah satu wujud Adi Buddha.[1]

Bagi yang tidak mempercayai bahwa patung Buddha yang tidak sempurna ditemukan di dalam stupa utama Borobudur, harus ada penjelasan mengapa Buddha Wairocana yang biasanya berada di pusat (lihat Lima Buddha Kebijaksanaan) tidak ditampilkan. Meskipun demikian, patung-patung di Borobudur tidak menuruti pola Lima Buddha Kebijaksanaan dengan sempurna, karena Borobudur memiliki setidaknya enam atau kemungkinan tujuh figur Buddha yang berbeda.[1]

Lambang Buddha Sakhyamuni

Sebagai Mandala 3 dimensi, Borobudur tidak merujuk pada mandala Tibetan maupun Jepang. Kedua jenis mandala yang terakhir, menampilkan serombongan makhluk suci (Buddha, Bodhisatwa, Dharmapala), sementara Borobudur hanya menampilkan sekitar enam atau tujuh bentuk patung saja.[1] Terdapat dua kitab yang diasosiasikan dengan stupa Borobudur, yaitu Avatamsaka sutra (terutama bab Gandavyuha) dan sebuah kitab yang tidak jelas (kemungkinan kitab-kitab Mahāvairocana, seperti Mahāvairocanasūtra, Vajraśekhara, Sarvatathāgatatattvasaṃgraha, atau Sarvadurgatipariśodhanatantra).[4]

Dengan mendasarkan penelitian pada Avatamsaka Sutra, sebagian peneliti beranggapan bahwa patung Buddha tidak sempurna di tengah Borobudur merupakan perwujudan dari Buddha Sakyamuni sendiri. Terdapat sebuah tradisi bahwa Avatamsaka Sutra diajarkan Buddha Sakyamuni sesaat setelah ia mencapai pencerahan.[4]

Pendapat tersebut didukung kenyataan bahwa Buddha Sakyamuni, pada saat baru mencapai pencerahan, menunjuk bumi sebagai saksi bahwa beliau telah benar-benar mencapai pencerahan dengan membentuk bhūmiśparsa mudrā. Sementara itu, Buddha Wairocana ditampilkan sebagai 72 Buddha dengan dharmacaktamudrā yang terletak pada tiga tingkat paling atas Borobudur yang berbentuk bundar (tingkatan yang bawah berbentuk persegi). Di seluruh Asia, Buddha Wairocana beberapa kali ditampilkan membentuk bhūmiśparsa mudrā, misalnya di Dunhuang.[4]

Namun, pendapat ini ditentang oleh sebagian ahli yang menganggap bahwa tidak masuk akal setelah kita dibawa ke puncak pencapaian yang paling atas, kita dibawa kembali ke bumi, pada masa paling awal yaitu saat Sakyamuni membabarkan dharma.[4]

Bhatara Buddha

Menurut penelitian W.F. Sttuterheim, ahli purbakala dari Belanda, terhadap kitab Sanghyang Kamahayanikan, disebutkan jumlah arca Buddha di Borobudur sebanyak 505 buah. Arca pengejawantahan tertinggi adalah arca Bhatara Buddha yang tak nampak. Karena jumlah arca di Borobudur kini hanya 504 buah, Sttuterheim menyimpulkan bahwa arca "Buddha Cacat" tersebut adalah sang Bhatara Buddha.[2]

Unfinished Solomon

Menurut metode Matematika Islam, sebuah cabang ilmu baru yang diciptakan oleh KH. Fahmi Basya, candi Borobudur dianggap sebagai bangunan yang didirikan oleh pasukan jin Nabi Sulaiman. Berdasarkan keyakinan tersebut, KH. Fahmi Basya mewisuda patung Unfinished Buddha sebagai Unfisnished Solomon. Patung tersebut ditinggalkan tidak selesai oleh para jin setelah mereka mengetahui Nabi Sulaiman telah wafat.[5]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h Julie Gifford. 2011. "Buddhist Practice and Visual Culture: The Visual Rhetoric of Borobudur", hal. 32. New York: Routledge. ISBN 978-0-203-82981-3. (Inggris)
  2. ^ a b c d e Seno Joko Suyono. 28 Februari 2005. Majalah Tempo Interaktif, "'Buddha Cacat' menurut Daoed Joesoef". Link asli tidak ditemukan, disimpan oleh Majalah Arkeologi Indonesia.
  3. ^ Plan And Symbolism Of Candi Borobudur. (Inggris)
  4. ^ a b c d e Marijke J. Klokke dan Pauline Lunsingh Scheurleer. 1994. "Ancient Indonesian Sculpture", hal. 139-149. Leiden, Belanda: KITLV Press. (Inggris)
  5. ^ Bagong Yoyok. 2 Juli 2011. Kompasiana, Sejarah, Kontroversi Borobudur: Peninggalan Solomon..?.

Lihat pula

Pranala luar

Bacaan lain