Dinasti Ayyubiyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 51:
'''Dinasti Ayyubiyah''' atau '''Bani Ayyubiyah''' ({{lang-ar|الأيوبيون}} ''{{transl|ar|al-Ayyūbīyūn}}''; {{lang-ku|خانەدانی ئەیووبیان}} ''{{transl|ku|Xanedana Eyûbiyan}}'') adalah sebuah dinasti Muslim berlatar belakang [[suku Kurdi|Kurdi]]<ref name="Humphreys1987">{{harvnb|Humphreys|1987}}</ref><ref name="Ozoglu46">{{harvnb|Özoğlu|2004|p=46}}</ref><ref name="Bosworth73">{{harvnb|Bosworth|1996|p=73}}</ref> yang didirikan oleh [[Salahuddin Ayyubi]] dan berpusat di [[Mesir pada Abad Pertengahan|Mesir]]. Dinasti tersebut memerintah sebagian besar wilayah [[Timur Tengah]] pada abad ke-12 dan ke-13. Salahuddin mulai menjabat sebagai wazir di [[Kekhalifahan Fatimiyyah|Mesir Fatimiyah]] pada tahun 1169. Ia kemudian melengserkan Fatimiyah pada tahun 1171. Tiga tahun kemudian, setelah kematian atasannya dari [[Dinasti Zankiyah]], [[Nuruddin Zanki]], Salahuddin dinyatakan sebagai sultan.<ref name="Eiselen89">{{harvnb|Eiselen|1907|p=89}}</ref> Dalam kurun waktu satu dasawarsa kemudian, Ayyubiyah mengobarkan perang penaklukan di wilayah Timur Tengah. Pada tahun 1183, mereka telah menguasai Mesir, [[Bilad al-Syam|Suriah]], [[Mesopotamia]] utara, [[Hijaz]], [[Yaman]], dan pesisir [[Afrika Utara]] hingga mencapai perbatasan [[Tunisia]] modern. Sebagian besar wilayah [[Kerajaan Yerusalem]] jatuh ke tangan Salahuddin setelah ia berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang dalam [[Pertempuran Hittin]] pada tahun 1187. Namun, [[Tentara Salib]] berhasil merebut kembali wilayah pesisir [[Palestina (kawasan)|Palestina]] pada dasawarsa 1190-an.
 
Setelah Salahuddin menjemput ajalnya pada tahun 1193, putra-putranya saling memperebutkan kekuasaan. Pada akhirnya adik Salahuddin yang bernama [[al-Adil]] berhasil menjadi sultan pada tahun 1200. Semua sultan Ayyubiyah di Mesir pada masa selanjutnya adalah keturunannya. Pada dasawarsa 1230-an, amir-amir di Suriah mencoba memisahkan diri dari Mesir, dan Kesultanan Ayyubiyah pun terpecah sampai Sultan [[as-Salih Ayyub]] berhasil menyatukannya kembali dengan menaklukkan sebagian besar wilayah Suriah (kecuali [[Aleppo]]) pada tahun 1247. Pada masa yang sama, dinasti-dinasti Muslim setempat telah mengusir Ayyubiyah dari Yaman, Hijaz, dan sebagian wilayah Mesopotamia. Setelah as-Salih Ayyub tutup usia pada tahun 1249, [[al-Mu'azzam Turansyah]] menggantikannya di Mesir. Namun, al-Mu'azzam Turanshah dilengserkan tidak lama kemudian oleh para jenderalpanglima [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Mamluk]] yang sebelumnya berhasil menghalau serangan Tentara Salib ke [[Delta Nil]]. Maka kekuasaan Dinasti Ayyubiyah di Mesir pun berakhir. Upaya para amir Suriah (yang dipimpin oleh [[an-Nasir Yusuf]] dari Aleppo) untuk merebut kembali Mesir juga tidak membuahkan hasil. Pada tahun 1260, [[Kekaisaran Mongol|bangsa Mongol]] [[Pengepungan Aleppo (1260)|menjarah Aleppo]] dan kemudian menaklukkan wilayah-wilayah Ayyubiyah yang tersisa. Kesultanan Mamluk berhasil mengusir bangsa Mongol dan membiarkan seorang penguasa Ayyubiyah berkuasa di [[Hamat]] sampai penguasa terakhir wilayah tersebut dilengserkan oleh Mamluk pada tahun 1341.
 
Walaupun dinasti ini tidak bertahan lama, masa kekuasaan Ayyubiyah telah membawa kesejahteraan bagi rakyat di wilayah yang mereka kuasai. Mereka juga mendukung para cendekiawan dan mendirikan fasilitas-fasilitas pembelajaran yang diperlukan oleh mereka, sehingga mereka berhasil membangkitkan kembali kegiatan keilmuwan di [[dunia Islam]]. Selain itu, Dinasti Ayyubiyah berupaya memperkuat dominasi [[Sunni]] di wilayah mereka dengan mendirikan sejumlah [[madrasah]] di kota-kota besar.
Baris 147:
 
==== Kembalinya persatuan ====
Pada tahun 1244–1245, as-Salih Ayyub telah merebut wilayah [[Tepi Barat]] dari an-Nasir Dawud. Ia juga berhasil menguasai Yerusalem, dan kota Damaskus kemudian dapat diambil alih dengan mudah pada Oktober 1245.<ref name="RichardBirrell330"/> Tak lama setelah itu, Saifuddin Ali menyerahkan wilayah miliknya di [[Ajlun]] kepada as-Salih Ayyub. Persekutuan antara Khwarezmia dengan as-Salih Ayyub juga bubar, dan pasukan Khwarezmia kemudian dihancurkan oleh pasukan amir Ayyubiyah di Homs, [[al-Mansur Ibrahim]], pada Oktober 1246.<ref name="RichardBirrell330"/> Berkat kekalahan Khwarezmia, as-Salih Ayyub dapat menaklukkan seluruh wilayah Suriah selatan.<ref name="Humphreys288">{{harvnb|Humphreys|1977|p=288}}</ref> JenderalnyaPanglimanya yang bernama Fakhruddin lalu menundukkan wilayah-wilayah an-Nasir Dawud. Ia menjarah kota Karak, dan kemudian mengepung bentengnya yang terletak di atas bukit. Kebuntuan kemudian terjadi karena pasukan an-Nasir Dawud dan Fakhruddin sama-sama tidak dapat mengungguli yang lainnya. Mereka kemudian memuat kesepakatan yang menyatakan bahwa an-Nasir Dawud diperbolehkan mempertahankan bentengnya, tetapi ia harus menyerahkan wilayahnya yang lain kepada as-Salih Ayyub. Setelah menyelesaikan urusan di Palestina dan Transyordania, pasukan Fakhruddin bergerak ke arah [[Busra]] di utara, yang merupakan tempat terakhir yang masih dikuasai oleh as-Salih Ismail. Saat kota tersebut sedang dikepung, Fakhruddin jatuh sakit, tetapi para komandannya melanjutkan serangan mereka hingga kota tersebut jatuh pada Desember 1246.<ref name="Humphreys290">{{harvnb|Humphreys|1977|p=290}}</ref>
 
Pada Mei 1247, as-Salih Ayyub menjadi penguasa wilayah Suriah yang terletak di sebelah selatan [[Danau Homs]] setelah berhasil menguasai [[Banyas]] dan Salkhad. Maka musuh-musuh as-Salih Ayyub dari pihak Ayyubiyah semuanya sudah ditundukkan (kecuali Aleppo yang masih dikuasai [[an-Nasir Yusuf]]), alhasil as-Salih Ayyub mulai melancarkan serangan terhadap Tentara Salib dan mengirim Fakhruddin untuk memimpin pasukan ke wilayah Tentara Salib di Galilea. [[Tiberias]] berhasil direbut pada tanggal 16 Juni. [[Gunung Tabor]] dan [[Kaukab al-Hawa]] juga jatuh ke tangan Ayyubiyah tidak lama sesudahnya. Kota [[Safad]] dengan benteng Kesatria Kenisahnya tampaknya tidak dapat direbut, sehingga pasukan Ayyubiyah bergerak ke arah selatan menuju Ashkelon. Walaupun Tentara Salib memberikan perlawanan yang sengit, armada Mesir dikirim oleh as-Salih Ayyub untuk membantu pasukan Ayyubiyah. Pada tanggal 24 Oktober, pasukan Fakhruddin berhasil menembus tembok kota dan membunuh atau menawan semua garnisun Tentara Salib. Kota tersebut kemudian dihancurkan dan yang tersisa hanyalah puing-puing.<ref name="Humphreys290"/>
Baris 158:
Pada tahun 1248, armada Tentara Salib yang terdiri dari 1800 perahu dan kapal mendatangi pulau [[Siprus]] dengan maksud untuk menaklukkan Mesir sebagai bagian dari [[Perang Salib Ketujuh]]. Komandan mereka, [[Louis IX dari Prancis|Louis IX]], mencoba mengajak bangsa [[Kekaisaran Mongol|Mongol]] melancarkan serangan yang terkoordinasi ke Mesir, tetapi ajakan tersebut tidak membuahkan hasil. Maka Tentara Salib memutuskan untuk berlayar ke Dimyath dan penduduk setempat langsung melarikan diri setelah mereka mendarat. ash-Shalih Ayyub sendiri sedang berada di Suriah pada saat itu. Setelah mendengar kabar mengenai serangan tersebut, ia bergegas kembali ke Mesir, tetapi ia tidak mendatangi Dimyath. Ia pergi ke Manshurah dan di situ ia mengumpulkan pasukan yang melancarkan serangan-serangan untuk mengganggu Tentara Salib.<ref name="Ali35">{{harvnb|Ali|1996|p=35}}</ref>
 
Ash-Shalih Ayyub jatuh sakit dan kesehatannya makin menurun akibat tekanan dari Tentara Salib. Istrinya yang bernama [[Syajaruddur]] menyerukan pertemuan para jenderalpanglima dan kemudian ia menjadi panglima tertinggi pasukan Mesir. Syajaruddur memerintahkan agar Mansurah dibentengi, dan juga agar persediaan-persediaan ditimbun di tempat tersebut. Selain itu, ia menitahkan agar pasukan Mesir dipusatkan di Mansurah, dan ia juga mengatur armada Mesir dan menempatkannya di berbagai tempat strategis di sepanjang Sungai Nil. Maka upaya Tentara Salib untuk merebut Mansurah berhasil dipatahkan, dan Raja Louis tiba-tiba menghadapi situasi yang genting. Ia memutuskan untuk menyeberangi Sungai Nil dan melancarkan serangan kejutan terhadap Mansurah. Sementara itu, ash-Shalih Ayyub tutup usia. Walaupun begitu, jenderalpanglima-jenderalpanglima [[dinasti Bahri|Mamluk Bahri]] yang tunduk kepada Syajaruddur dan as-Salih Ayyub (termasuk [[Baibars|Ruknuddin Baibars]] dan [[Aybak]]) melancarkan serangan balasan dan menimbulkan korban jiwa yang besar di pihak Tentara Salib. Pada saat yang sama, pasukan Mesir memutus jalur persediaan Tentara Salib dari Dimyath, sehingga bala bantuan tidak dapat didatangkan. Anak laki-laki As-Salih Ayyub yang baru saja dinyatakan sebagai sultan Ayyubiyah yang baru, [[al-Mu'azzam Turansyah]], juga berhasil mencapai Mansurah pada saat itu dan [[Pertempuran Al Mansurah|semakin memperhebat pertempuran]] melawan Tentara Salib. Tentara Salib akhirnya menyerah dalam [[Pertempuran Fariskur]], dan Raja Louis dan para pengikutnya ditangkap.<ref name="Ali36">{{harvnb|Ali|1996|p=36}}</ref>
 
Setelah berhasil mengalahkan Tentara Salib, hubungan Al-Mu'azzam Turansyah dengan Mamluk semakin memburuk, dan Turansyah berulang kali mengancam mereka dan Syajaruddur. Kelompok Mamluk tidak ingin kehilangan kekuasaan mereka, sehingga mereka memberontak melawan sultan dan menghabisi nyawanya pada April 1250.<ref name="MeriBacharach84"/> Aybak menikahi Syajaruddur dan kemudian memerintah Mesir sebagai perantara Sultan [[Al-Asyraf Musa, Sultan Mesir|al-Asyraf II]]. Walaupun al-Asyraf II merupakan sultan Ayyubiyah secara resmi, statusnya hanya berupa gelar saja.<ref name="RichardBirrell349">{{harvnb|Richard|Birrell|1999|p=349}}</ref>
Baris 183:
An-Nasir Yusuf kemudian mengirim seorang utusan untuk menghadap Hulagu, dan utusan tersebut menegaskan bahwa an-Nasir Yusuf menolak tunduk kepada Mongol. Hulagu tidak dapat menerima hal tersebut, sehingga an-Nasir Yusuf memohon bantuan dari Kairo. Permohonan tersebut bertepatan dengan berlangsungnya sebuah kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Mamluk terhadap sisa-sisa kepemimpinan Ayyubiyah di Mesir. [[Qutuz]] kemudian menjadi sultan di Mesir. Sementara itu, pasukan Ayyubiyah dikumpulkan di [[Barzeh, Suriah|Birzeh]] (tepat di sebelah utara Damaskus) untuk mempertahankan kota tersebut dari serangan bangsa Mongol yang sedang bergerak menuju Suriah utara. [[Pengepungan Aleppo (1260)|Aleppo kemudian dikepung]] selama seminggu, dan pada Januari 1260, kota tersebut jatuh ke tangan bangsa Mongol. [[Masjid Agung Aleppo|Masjid Agung]] dan [[Benteng Aleppo]] dihancurkan dan sebagian besar penduduknya dibunuh atau dijual sebagai budak.<ref name="Burns197"/> Kehancuran kota Aleppo membuat panik kaum Muslim Suriah. Amir Ayyubiyah di Homs, al-Asyraf Musa, menawarkan persekutuan dengan bangsa Mongol ketika pasukan Mongol sedang mendekati kota tersebut, dan Hulagu kemudian mengizinkan sang amir untuk tetap berkuasa di Homs. Kota Hamat juga menyerah tanpa perlawanan, tetapi mereka tidak bersekutu dengan Mongol.<ref name="Grousset362">{{harvnb|Grousset|2002|p=362}}</ref> An-Nasir Yusuf sendiri memutuskan untuk melarikan diri dari Damaskus untuk mencari perlindungan di Gaza.<ref name="Burns197">{{harvnb|Burns|2005|p=197}}</ref>
 
Hulagu bertolak ke Karakorum dan menugaskan [[Kitbuqa]], seorang jenderalpanglima [[Kristen Nestorian]], untuk melanjutkan perang penaklukan. Damaskus menyerah setelah kedatangan pasukan Mongol, tetapi kota tersebut tidak dihancurkan seperti kota-kota Muslim lainnya yang telah ditaklukan oleh Mongol. Sementara itu, dari Gaza, an-Nasir Yusuf berhasil menggerakkan garnisun di Benteng Damaskus untuk memberontak melawan penjajah Mongol. Mongol membalasnya dengan melancarkan serangan artileri besar-besaran ke benteng tersebut. Ketika garnisun tersebut sadar bahwa an-Nasir Yusuf tak dapat menyelamatkan mereka, mereka memutuskan untuk menyerah.<ref name="Burns197"/>
 
Tentara Mongol lalu menaklukkan Samaria, membantai sebagian besar garnisun Ayyubiyah di Nablus, dan kemudian bergerak ke arah selatan hingga ke Gaza tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. An-Nasir Yusuf kemudian ditangkap oleh pasukan Mongol dan dimanfaatkan untuk meyakinkan garnisun di Ajlun untuk menyerah. Sesudah itu, seorang gubernur Ayyubiyah yang bernama [[Banyas]] bersekutu dengan Mongol.<ref name="Grousset362"/> Maka Mongol telah menguasai sebagian besar wilayah Suriah dan al-Jazira, sehingga mengakhiri kekuasaan Ayyubiyah di wilayah tersebut. Pada tanggal 3 September 1260, pasukan Mamluk yang berpusat di Mesir pimpinan Qutuz dan [[Baibars]] berani menantang bangsa Mongol dan berhasil mengalahkan pasukan Mongol dalam [[Pertempuran Ain Jalut]]. Lima hari kemudian, pasukan Mamluk merebut kota Damaskus. Dalam waktu sebulan, sebagian besar wilayah Suriah berhasil dikuasai oleh Bahri Mamluk.<ref name="Burns197"/> Sementara itu, an-Nasir Yusuf dibunuh saat masih ditawan oleh bangsa Mongol.<ref name="AbulafiaMcKitterickFouracre616">{{harvnb|Abulafia|McKitterick|Fouracre|2005|p=616}}</ref>
Baris 201:
Kekuasaan politik terpusat di rumah tangga Ayyubiyah yang tidak hanya terikat oleh hubungan darah; budak dan orang-orang terdekat dapat memperoleh kekuasaan yang besar atau bahkan yang tertinggi. Seringkali ibu kandung seorang penguasa Ayyubiyah yang masih muda bertindak secara independen atau bahkan sebagai penguasa. Para [[kasim]] juga memiliki kekuasaan yang besar di Ayyubiyah. Mereka berperan sebagai pengiring dan ''[[atabeg]]'' di dalam rumah tangga atau sebagai amir dan panglima pasukan di luar rumah tangga. Salah satu pendukung Salahuddin yang paling penting adalah kasim [[Bahauddin bin Syaddad]] yang membantunya melengserkan Fatimiyah, merampas harta benda mereka, dan membangun tembok benteng Kairo. Sepeninggalan al-Aziz Utsman, Bahauddin menjadi wali anak laki-laki Utsman, al-Mansur, sehingga ia sempat menguasai Mesir hingga al-Adil naik ke tampuk kekuasaan. Sultan-sultan berikutnya mengangkat kasim sebagai wali sultan dan bahkan menganugerahi mereka dengan kedaulatan atas kota-kota tertentu, seperti Syamsuddin Sawab yang dianugerahi kota [[Amid]] dan Diyar Bakr pada tahun 1239.<ref name="DalyPetry239-240">{{harvnb|Daly|Petry|1998|pp=239–240}}</ref>
 
Dalam sistem pemerintahan dinasti Ayyubiyah, terdapat tiga cara utama dalam merekrut elit-elit terdidik yang diperlukan untuk memerintah kota-kota. Cara pertama adalah dengan memberikan dukungan ekonomi dan politik kepada para [[syekh]] yang mengabdi kepada keluarga penguasa Ayyubiyah di tingkatan daerah. Cara lainnya adalah dengan memberikan kepada para syekh pendapatan yang diperoleh ''[[diwan]]'', yakni badan pemerintahan negara. Metode ketiga adalah dengan memberikan [[wakaf]] kepada para syekh.<ref name="DalyPetry231">{{harvnb|Daly|Petry|1998|p=231}}</ref> Seperti negara-negara pendahulunya, Dinasti Ayyubiyah hanya memiliki segelintir lembaga negara. Untuk membentuk ikatan dengan elit-elit terdidik di kota-kota Ayyubiyah, mereka menjalankan praktik [[patronase]]. Praktik pemberian wakaf kepada golongan elit mirip dengan pemberian [[fief]] (''iqta'at'') kepada para panglima dan jenderal. Dengan ini, Dinasti Ayyubiyah dapat merekrut elit yang bergantung kepada mereka, tetapi tidak terhitung sebagai bawahan secara administratif.<ref name="DalyPetry232">{{harvnb|Daly|Petry|1998|p=232}}</ref>
 
Setelah berhasil menaklukkan Yerusalem pada tahun 1187, Dinasti Ayyubiyah di bawah pemerintahan Salahuddin mungkin merupakan negara pertama yang menciptakan jabatan ''[[amir al-hajj]]'' (panglima peziarahan) untuk melindungi karavan [[Haji]] tahunan yang bertolak dari Damaskus ke [[Mekkah]], dan Salahuddin menganugerahkan jabatan tersebut kepada Tughtakin bin Ayyub.<ref name="Sato134">{{harvnb|Sato|2014|p=134}}</ref>