Djadoeg Djajakoesoema: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(21 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{artikel pilihan}}
{{Infobox person
| name = Djadoeg Djajakoesoema
Baris 18 ⟶ 19:
* kritikus budaya
}}
| years_active =
}}
'''Djadoeg Djajakoesoema'''{{efn|Ejaan lain dari nama depannya termasuk Djadug, Djadoek, dan Djaduk, sedangkan nama belakangnya mungkin juga dieja Djajakusuma}} ({{IPA-id|dʒaˈdʊʔ dʒajakuˈsuma|}}; {{lahirmati|[[Temanggung]], [[Jawa Tengah]]|1|8|1918|[[Jakarta]]|28|10|1987}}) adalah seorang sutradara film dan promotor seni tradisional asal Indonesia.
Pada tahun 1951, Djajakoesoema bergabung dengan [[Perfini|Perusahaan Film Nasional]] (Perfini) atas undangan dari [[Usmar Ismail]]. Setelah memulai debut karier penyutradaraannya dengan film ''[[Embun (film)|Embun]]'', Djajakoesoema merilis sebelas film
Djajakoesoema dikenal sebagai sosok yang berdedikasi tinggi, tetapi mudah marah. Ia juga dipengaruhi oleh pandangan [[Realisme (seni rupa)|realis]] Ismail, walaupun ia lebih fokus pada aspek tradisional dari kehidupan. Pertunjukan teatrikalnya berusaha memodernisasi bentuk-bentuk tradisional agar dapat lebih diterima di dunia modern. Ia dipuji karena merevitalisasi bentuk teater [[orang Betawi|Betawi]], [[lenong]], dan telah menerima berbagai penghargaan atas film buatannya, termasuk penghargaan pencapaian seumur hidup pada [[Festival Film Indonesia]].
Baris 28 ⟶ 29:
== Biografi ==
=== Masa muda ===
Djajakoesoema lahir pada tanggal 1 Agustus 1918 di Parakan, [[Temanggung]], [[Jawa Tengah]], [[Hindia Belanda]]<ref>{{harvnb|Setiawan 2009, National Film Month}}; {{harvnb|Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma}}</ref> sebagai anak seorang [[priayi]], Raden Mas Aryo Djojokoesomo dari pernikahannya dengan Kasimah. Ia merupakan anak kelima dari enam bersaudara, yang hidup nyaman dengan gaji sang ayah sebagai pejabat pemerintah.{{sfn|Hoerip|1995|p=104}} Semasa muda, ia gemar menonton pertunjukan panggung, seperti [[wayang]] kulit dan tari tradisional [[tayuban]];{{sfn|Hoerip|1995|pp=2–3}} terkadang ia diam-diam meninggalkan rumahnya di malam hari untuk dapat menonton pertunjukan-pertunjukan tersebut. Bersama teman-temannya, ia lalu memerankan cerita pengantar tidur yang diceritakan oleh ibunya kepadanya.{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} Ketika film-film impor [[Sinema Amerika Serikat|Hollywood]] mulai diputar di Indonesia, ia menjadi penonton
Berkat kedudukannya sebagai anak seorang bangsawan, Djajakoesoema pun dapat mengenyam pendidikan. Ia menyelesaikan studinya di [[Semarang]], Jawa Tengah
Djajakoesoema lalu bekerja di Pusat Kebudayaan{{efn|Pusat Kebudayaan dikenal dengan nama Indonesia dan Jepang. Nama Indonesianya adalah {{lang|id|Poesat Keboedajaan}}, sedangkan nama Jepangnya adalah {{nihongo|''Keimin Bunka Shidōsho''|啓民文化指導所}}. Pusat Kebudayaan mempromosikan pertumbuhan berbagai bentuk seni, termasuk film dan drama, dengan tujuan akhir menyediakan propaganda untuk posisi politik Jepang {{harv|Hoerip|1995|p=8}}.}} sebagai penerjemah dan aktor di bawah [[Armijn Pane]].<ref>{{harvnb|Pemprov DKI Jakarta, Djaduk Djajakusuma}}; {{harvnb|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}}</ref> Karya yang ia terjemahkan antara lain, sejumlah karya dari dramawan Swedia, [[August Strindberg]] dan dramawan Norwegia, [[Henrik Ibsen]],{{efn|Baik Norwegia maupun Swedia tidak sedang berperang dengan Jepang pada saat itu, sehingga terjemahannya dianggap dapat diterima oleh atasan Djajakoesoema.{{harv|Hoerip|1995|p=9}}}}{{sfn|Biran|2009|p=331}} serta sejarah Jepang dan sejumlah drama panggung [[kabuki]].{{sfn|Hoerip|1995|p=8}} Saat bekerja di Pusat Kebudayaan, Djajakoesoema juga menulis sejumlah sandiwara panggungnya sendiri.{{sfn|Hoerip|1995|p=10}} Di waktu senggangnya, Djajakoesoema pun membantu mendirikan perusahaan teater amatir Maya, bersama seniman seperti [[HB Jassin]], [[Rosihan Anwar]], dan [[Usmar Ismail]]. Kelompok tersebut, dibentuk sebagai tanggapan terhadap keinginan akan kebebasan artistik yang lebih besar
=== Revolusi Nasional Indonesia ===
Presiden [[Soekarno]] memproklamasikan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaan Indonesia]] pada tanggal 17 Agustus 1945
Pada awal tahun 1946, karena pasukan kolonial Belanda berhasil menguasai Jakarta, Djajakoesoema lalu melarikan diri ke ibu kota Indonesia yang baru, [[Yogyakarta]].{{sfn|Biran|2009|p=354}} Di sana, ia bekerja di kantor berita nasional [[Antara (kantor berita)|Antara]],{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}} sebelum kemudian bergabung ke divisi pendidikan [[Tentara Nasional Indonesia|militer]]
Djajakoesoema lalu dipekerjakan oleh [[Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia|Departemen Penerangan]] pada tahun 1947 untuk mengajar di sebuah sekolah seni pertunjukan, yakni Stichting Hiburan Mataram.{{sfn|Biran|2009|p=356}} Melalui Hiburan Mataram, ia dan Ismail lalu dikenalkan kepada sineas [[Andjar Asmara]], Huyung, dan Sutarto; ia dan Ismail pun belajar dari tiga orang yang telah lebih dulu berkecimpung di bidang pembuatan film tersebut. Sementara itu, Djajakoesoema juga ditugaskan untuk menyensor siaran radio di daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik, sebuah tugas yang ia emban hingga [[
[[Berkas:Usmar Ismail Sewindu Perfini p11.jpg|kiri|jmpl|[[Usmar Ismail]], yang mengajak Djajakoesoema ke Perfini pada tahun 1951.]]
Setelah [[Revolusi Nasional Indonesia]] berakhir dengan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, Djajakoesoema tetap bekerja sebagai jurnalis untuk ''Patriot'' (sebelumnya bernama ''Tentara'') dan majalah ''Kebudajaan Nusantara''.{{sfn|Pemprov DKI Jakarta, Djaduk Djajakusuma}} Hiburan Mataram lalu dibuka kembali
=== Karier dengan Perfini ===
Untuk film keduanya, ''[[Enam Djam di Jogja]]'', Ismail
Saat Ismail, yang masih menjadi pimpinan Perfini, pergi ke luar negeri untuk belajar sinematografi di Sekolah Teater, Film, dan Televisi di [[Universitas California, Los Angeles]], Djajakoesoema pun mulai mengambil peran yang lebih besar di Perfini. Ia lalu memulai karier penyutradaraannya pada tahun 1952 dengan ''[[Embun (film)|Embun]]'', yang menceritakan tekanan psikologis yang dihadapi oleh para tentara setelah kembali ke desa mereka pasca revolusi.<ref>{{harvnb|Pemprov DKI Jakarta, Djaduk Djajakusuma}}; {{harvnb|Said|1982|p=55}}</ref> Film tersebut direkam di [[Wonosari, Gunungkidul|Wonosari]], yang saat itu sedang mengalami kekeringan, untuk memberikan metafora visual mengenai jiwa para pejuang yang mengering.{{sfn|Hoerip|1995|p=28}} Karena menggambarkan takhayul tradisional, film tersebut lalu dipermasalahkan oleh lembaga sensor dan para kritikus, sebab takhayul dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan modernisasi dari republik yang baru.{{sfn|Said|1982|p=55}} Perilisan ''Embun'' menjadikan Djajakoesoema sebagai salah satu dari empat sutradara yang bekerja untuk Perfini; selain Ismail, [[Nya'
Produksi Djajakoesoema berikutnya, ''Terimalah Laguku'' (1952), adalah sebuah [[film musikal|musikal]] mengenai seorang musisi tua miskin yang menjual [[Saksofon|saksofonnya]] untuk membantu karier mantan muridnya.{{sfn|Hoerip|1995|pp=39–40}} Meskipun kualitas teknis dari film tersebut buruk, Ismail tetap puas dengan film tersebut ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1953
[[Berkas:D. Djajakusuma boarding ship Perfini booklet p22.JPG|jmpl|Djajakoesoema menaiki kapal untuk pergi ke [[Sumatra]] untuk syuting ''Arni'', {{circa}} 1955.]]
Pada tahun 1954, Djajakoesoema menyutradarai dua film komedi, ''Putri dari Medan'' dan ''Mertua Sinting''. Film pertama menceritakan tiga pria muda yang memutuskan untuk tidak menikah, tetapi keyakinan mereka kemudian goyah setelah bertemu dengan sejumlah wanita dari [[Medan]],{{sfn|Film Indonesia, Putri dari Medan}} sedangkan film kedua menceritakan seorang pria yang menolak calon istri dari putranya
Djajakoesoema lalu belajar sinematografi di Amerika Serikat, awalnya di [[Universitas Washington]] di [[Seattle]]
Sekembalinya ke Indonesia, Djajakoesoema juga mulai mengerjakan ''[[Tjambuk Api]]'' (1958), sebuah kritik terhadap maraknya [[korupsi di Indonesia]]; tema tersebut pun menyebabkan film tersebut ditahan oleh lembaga sensor selama hampir satu tahun.{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}} Sang sutradara lalu lanjut dengan merilis drama ''Pak Prawiro'', yang disponsori oleh [[Bank Tabungan Negara|Bank Tabungan Pos]] dan dimaksudkan untuk menyampaikan pentingnya memiliki [[tabungan]].{{sfn|Film Indonesia, Pak Prawiro}} Selama periode ini, ia juga mempelajari teater tradisional India, dengan bepergian ke [[Calcutta]], [[Chennai|Madras]], dan [[New Delhi]]; Ia berharap bahwa kunjungannya tersebut akan menginspirasinya untuk memproduksi film bertema cerita tradisional Indonesia.<ref>{{harvnb|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang}}; {{harvnb|Hoerip|1995|p=106}}</ref>
Pada tahun 1960, Djajakoesoema merilis film pertamanya yang didasarkan dari cerita wayang tradisional, yakni ''Lahirnja Gatotkatja'';<ref>{{harvnb|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}}; {{harvnb|Film Indonesia, Filmografi}}</ref> wayang telah membuatnya terpesona saat masih kecil
Pada tahun 1963, Djajakoesoema merilis komedi lain, yakni ''Masa Topan dan Badai'', yang menceritakan tentang dinamika keluarga seorang ayah yang konservatif, ibu yang liberal, dan dua putri remaja mereka.{{sfn|Film Indonesia, Masa Topan dan Badai}} Setahun kemudian, Djajakoesoema menyutradarai film terakhirnya dengan Perfini, ''Rimba Bergema'', yang dimaksudkan untuk mempromosikan industri [[karet alam|karet]] nasional.{{sfn|Film Indonesia, Rimba Bergema}} Pada tahun itu ia juga membantu mendirikan Persatuan Karyawan Film dan TV,{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} sebagai tanggapan terhadap Liga Film Indonesia yang disponsori oleh [[Lembaga Kebudajaan Rakjat|Lekra]].{{sfn|Hoerip|1995|p=58}} Seperti halnya Ismail dan sebagian besar pegawai Perfini, Djajakoesoema juga sangat menentang Lekra yang terafiliasi dengan [[Partai Komunis Indonesia|komunis]]; kelompok budaya tersebut pun juga sangat agresif terhadap orang-orang yang terafiliasi dengan Perfini.{{sfn|Said|1982|pp=65–68}}
Baris 77 ⟶ 78:
}}
Menjelang akhir kerjanya di Perfini, Djajakoesoema kembali aktif di kesenian tradisional. Ia pun mencurahkan banyak waktu untuk mempromosikan wayang. Pada tahun 1967, ia menyelenggarakan Festival Wayang Nasional,{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}} yang dihentikan tidak lama kemudian karena kekurangan dana.{{sfn|Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia}} Pada tahun yang sama, ia juga menyutradarai film yang terinspirasi oleh wayang, yakni ''Bimo Kroda'' untuk Pantja Murti Film,{{sfn|Hoerip|1995|p=47}} yang menggunakan penghancuran [[Pandawa]] – lima laki-laki bersaudara dalam epos Hindu ''[[Mahabharata|Mahābhārata]]'' – untuk menggambarkan penculikan dan pembunuhan terhadap lima orang jenderal angkatan darat selama [[Gerakan 30 September 1965]].{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}} Keterlibatan Djajakoesoema dalam wayang berlanjut hingga awal 1970-an. Ia menyelenggarakan dua Pekan Wayang, yakni pada tahun 1970 dan 1974
Sementara itu, Djajakoesoema juga membantu mempromosikan seni lain seperti [[lenong]] [[Orang Betawi|Betawi]] dan [[ludruk]] [[Orang Jawa|Jawa]] selama beberapa tahun.<ref>{{harvnb|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}}; {{harvnb|Kadarjono|1970|p=25}}</ref> Ia pun secara khusus diakui merevitalisasi lenong.{{efn|Akademisi budaya Indonesia, SM Ardan, memuji Djajakoesoema sebagai kekuatan pendorong di balik revitalisasi lenong {{harv|Ardan 1987, Djaduk Djajakusuma}}. Penulis biografi, [[Satyagraha Hoerip]], juga mendedikasikan sejumlah halaman untuk merinci keterlibatan Djajakoesoema dalam lenong, Tingkat perinciannya serupa dengan penjelasannya mengenai peran Djajakoesoema dalam memodernisasi wayang orang. Seperti halnya Ardan, ia juga memuji Djajakoesoema atas revitalisasi tersebut. Tetapi, tidak seperti Ardan, ia mencatat bahwa dua tokoh budaya lain (Soemantri Sastro Suwondho dan Ardan) juga membantu menyelamatkan wayang orang {{harv|Hoerip|1995|pp=69–73}}.}} Mulai tahun 1968, Djajakoesoema muncul di televisi untuk mengadvokasi lenong
Djajakoesoema juga mempromosikan kegiatan-kegiatan budaya non-tradisional, baik budaya modern maupun asing. Pada tahun 1968, ia menjadi ketua [[Dewan Kesenian Jakarta]], sebuah jabatan yang dijabatnya hingga tahun 1977,{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} dan pada tahun 1970, ia mengadakan sebuah festival musik [[keroncong]].{{sfn|Dharyono 1987, Selamat Jalan Djadug Djajakoesoema}} Pada tahun 1970 juga, ia mulai menjadi dosen sinematografi di Institut Pendidikan Kesenian Jakarta, yang kemudian menjadi [[Institut Kesenian Jakarta]] (IKJ). Untuk lebih memahami teater dunia, ia lalu pergi ke Jepang dan Tiongkok pada tahun 1977 untuk mempelajari tradisi mereka.{{sfn|Hoerip|1995|p=69}} Ia kemudian memimpin mahasiswanya untuk melakukan berbagai pertunjukan panggung, termasuk adaptasi dari karya ''[[noh]]'' Jepang dan [[opera Tiongkok]],{{sfn|Hoerip|1995|p=32}} yang mana sejumlah pertunjukan tersebut diadakan di Taman Ismail Marzuki.{{sfn|Pemprov DKI Jakarta, Djaduk Djajakusuma}} Pada dekade 1970-an, Djajakoesoema memegang berbagai posisi di organisasi film, termasuk sebagai anggota Dewan Film (1974–76), anggota dewan pengawas Siaran Radio dan TV (1976), serta anggota Biro Pengembangan Film Nasional (1977–78).{{sfn|Hoerip|1995|pp=106–107}}
Namun, produktivitas Djajakoesoema di industri film menurun. Pada tahun 1971, ia menyutradarai film terakhirnya, yakni ''Api di Bukit Menoreh'' dan ''[[Malin Kundang (film)|Malin Kundang (Anak Durhaka)]]''. Film pertama dirilis untuk Penas Film Studio dan didasarkan pada novel karya Singgih Hadi Mintardja. Film tersebut mengikuti tentara dari [[Kerajaan Pajang]] dalam upaya mereka untuk menaklukkan tentara dari Kerajaan Jipang.{{sfn|Hoerip|1995|pp=49–50}} Sementara film kedua adalah adaptasi dari cerita rakyat Melayu dengan [[Malin Kundang|nama yang sama]].{{sfn|Darmawi 1982, Djadoeg Djajakusuma}} Dibintangi oleh [[Rano Karno]] dan Putu Wijaya sebagai karakter utama, film tersebut mengikuti seorang anak muda yang lupa akan akarnya setelah menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di laut.{{sfn|Hoerip|1995|pp=52–53}} Peran terakhirnya sebagai pembuat film adalah pada tahun 1977, saat ia membantu memproduksi komedi [[Fritz G. Schadt]], ''Bang Kojak'' (1977).{{sfn|Hoerip|1995|p=30}}
=== Tahun-tahun terakhir dan kematian ===
Pada tahun 1977, Djajakoesoema menjadi juri pada [[Festival Film Indonesia]] (FFI).{{efn|Djajakoesoema kemudian beberapa kali menjadi juri {{harv|Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia}}.}} Saat sedang membacakan keputusan juri pada festival tersebut, ia pingsan dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit
Meskipun kesehatannya terus memburuk, Djajakoesoema tetap aktif dalam bidang seni. Pada tahun 1980, ia bahkan tampil di depan layar untuk pertama dan terakhir kalinya, yakni pada film ''[[Perempuan dalam Pasungan]]'' karya [[Ismail Soebardjo]].<ref>{{harvnb|Film Indonesia, Filmografi}}; {{harvnb|Film Indonesia, Perempuan dalam Pasungan}}</ref> Ia dan [[Sofia WD]] memerankan orang tua yang secara rutin menempatkan putri mereka dalam [[pasung]]an untuk menghukumnya karena tidak patuh.{{sfn|Hoerip|1995|p=55}} Dalam sebuah wawancara dengan ''[[Suara Karya]]'', Soebardjo mengingat bahwa, sejak ia menulisnya, ia hanya mempertimbangkan Djajakoesoema untuk memainkan peran tersebut.{{sfn|Iskandar 1983, Sebagia Besar Hidupnya}} ''Perempuan dalam Pasungan'' lalu berhasil memenangkan [[Film Cerita Panjang Terbaik Festival Film Indonesia|Penghargaan Citra untuk Film Terbaik]] pada [[Festival Film Indonesia 1981]]
Pada awal tahun 1987, dokter mendiagnosis Djajakoesoema dengan [[penyakit jantung]]
Pada tanggal 28 Oktober 1987, Djajakoesoema kembali pingsan saat sedang memberi pidato pada upacara peringatan [[Sumpah Pemuda]] di IKJ
Djajakoesoema tidak pernah menikah, tetapi ia memiliki sejumlah keponakan yang ia besarkan seperti anak sendiri.<ref name="ReferenceA"/> Setelah kematiannya, surat kabar di seantero Jakarta pun memuat obituari Djajakoesoema dari sejumlah tokoh budaya dan film, seperti [[Sutan Takdir Alisjahbana|Alisjahbana]], produser [[Misbach Yusa Biran]]
== Gaya ==
[[Berkas:Lahirnja Gatotkatja Nasional 26 September 1960 p3.jpg|jmpl|kiri|Suasana syuting film ''Lahirnja Gatotkatja'' karya Djajakoesoema pada tahun 1960. Film ini adalah salah satu dari dua film karya Djajakoesoema yang sangat dipengaruhi oleh cerita [[wayang]].]]
Seperti Usmar Ismail, Djajakoesoema juga dipengaruhi oleh realisme. Namun, dibanding Ismail yang lebih memilih untuk fokus pada tema-tema tingkat nasional, Djajakoesoema lebih tertarik pada alur cerita yang sederhana dan relevan secara lokal dengan pesan-pesan pendidikan.{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}} Realisme tersebut pun dibawa oleh Djajakoesoema ke dalam karyanya di bidang [[wayang|pewayangan]]. Latar belakang adegan digambar secara tradisional dan dibuat seperti [[Latar teatrikal|set]] tiga dimensi, termasuk untuk menggambarkan pohon, batu, dan air.{{sfn|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Pencetus}} Menurut Soemardjono
Djajakoesoema juga kerap memasukkan seni tradisional ke dalam film-filmnya.{{sfn|Setiawan 2009, National Film Month}} Dua film di antaranya (''Lahirnja Gatotkatja'' dan ''Bimo Kroda'') bahkan didasarkan pada cerita wayang tradisional serta menggunakan kostum dan tempo yang terinspirasi oleh wayang.<ref>{{harvnb|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}}; {{harvnb|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang}}</ref> Fokus pada aspek budaya tradisional tersebut lalu menjadi kurang diminati oleh masyarakat setelah tahun 1965
Sosiolog Indonesia [[Umar Kayam]], yang pernah menjabat di Dewan Kesenian Jakarta bersamanya, menyebut Djajakoesoema sebagai orang yang sangat disiplin. Biran juga menggambarkan Djajakoesoema sebagai orang yang mudah marah secara tiba-tiba, tetapi dapat kembali tenang dengan cepat apabila pemicu kemarahannya dapat diselesaikan. Sejumlah orang yang pernah bekerja dengan Djajakoesoema pun menyatakan hal serupa.{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}} Liputan di majalah film ''Djaja'' menggambarkan Djajakoesoema sebagai seorang pekerja keras yang berdedikasi tinggi pada karyanya, sedemikian hingga ia meninggalkan kehidupan percintaannya.{{sfn|Kadarjono|1970|p=25}}
== Penerimaan ==
Salah satu film karya Djajakoesoema, yakni ''Harimau Tjampa'', mendapat Penghargaan Skenario Terbaik di Festival Film Asia 1954.{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}} Sementara satu filmnya yang lain, yakni ''Bimo Kroda,'' diakui oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia karena mempromosikan budaya tradisional.{{sfn|Biran|1979|p=123}} Pada tahun 1970, ia mendapat Penghargaan Seni dari pemerintah Indonesia atas "jasa terhadap Negara sebagai Pembina Utama Drama Modern".{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}} Pada [[Festival Film Indonesia 1987]], ia mendapat penghargaan khusus atas kontribusinya di industri film Indonesia,{{sfn|Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia}} dan pada bulan November 2003, ia secara anumerta juga dianugerahi Penghargaan Budaya [[Bintang Budaya Parama Dharma|Parama Dharma]] oleh Presiden [[Megawati Soekarnoputri]] atas kontribusinya dalam mengembangkan kebudayaan Indonesia.{{efn|Penerima penghargaan lainnya termasuk pelawak [[Bing Slamet]] dan pemeran [[Fifi Young]] {{harv|Unidjaja 2003, Megawati awards}}.}}{{sfn|Unidjaja 2003, Megawati awards}}
Penerimaan terhadap karya Djajakoesoema cenderung positif. Sutradara [[Teguh Karya]] menyebut karya Djajakusuma, Usmar Ismail, dan Asrul Sani sebagai "legendaris" serta menjadi salah satu pengaruh terbesar untuknya.{{sfn|National Library of Indonesia, Pandangan Tokoh: Teguh Karya}} Koreografer [[Bagong
== Filmografi ==
Baris 258 ⟶ 259:
|accessdate=6 Agustus 2012
|archivedate=6 Juli 2022
|archiveurl=https://web.archive.org/web/20220706121726/http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad55edfa3_d-djajakusuma/filmography
|ref={{sfnRef|Film Indonesia, Filmografi}}
|dead-url=no
Baris 282 ⟶ 283:
|location=Bandung
|year=2006
|access-date=2014-06-19
|archive-date=2022-10-20
|archive-url=https://web.archive.org/web/20221020161435/https://books.google.ca/books?id=sl92GYNaKJIC&hl=en
|dead-url=no
}}
* {{Cite news
Baris 517 ⟶ 522:
{{DEFAULTSORT:Djajakusuma, D.}}
[[Kategori:Pemenang Festival Film Indonesia]]
[[Kategori:Pemeran laki-laki Indonesia]]
|