Djadoeg Djajakoesoema: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(6 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{artikel pilihan}}
{{Infobox person
| name = Djadoeg Djajakoesoema
Baris 35 ⟶ 36:
=== Revolusi Nasional Indonesia ===
Presiden [[Soekarno]] memproklamasikan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaan Indonesia]] pada tanggal 17 Agustus 1945. Peristiwa ini terjadi beberapa hari setelah [[
Pada awal tahun 1946, karena pasukan kolonial Belanda berhasil menguasai Jakarta, Djajakoesoema lalu melarikan diri ke ibu kota Indonesia yang baru, [[Yogyakarta]].{{sfn|Biran|2009|p=354}} Di sana, ia bekerja di kantor berita nasional [[Antara (kantor berita)|Antara]],{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}} sebelum kemudian bergabung ke divisi pendidikan [[Tentara Nasional Indonesia|militer]] sampai berpangkat kapten.{{sfn|Said|1982|p=139}} Selama bertugas di militer, Djajakoesoema juga menjadi penyunting untuk koran mingguan ''Tentara''; ia juga menulis artikel untuk majalah budaya milik Ismail, ''Arena''.{{sfn|Hoerip|1995|pp=20–21}} Terlepas dari keterlibatannya di bidang pers, ia tidak meninggalkan teater; bersama Surjo Sumanto, ia mendirikan sebuah kelompok yang tampil di hadapan tentara untuk mengangkat moral mereka, terkadang juga bepergian ke garis depan pertempuran.{{sfn|Hoerip|1995|p=22}}
Baris 50 ⟶ 51:
Saat Ismail, yang masih menjadi pimpinan Perfini, pergi ke luar negeri untuk belajar sinematografi di Sekolah Teater, Film, dan Televisi di [[Universitas California, Los Angeles]], Djajakoesoema pun mulai mengambil peran yang lebih besar di Perfini. Ia lalu memulai karier penyutradaraannya pada tahun 1952 dengan ''[[Embun (film)|Embun]]'', yang menceritakan tekanan psikologis yang dihadapi oleh para tentara setelah kembali ke desa mereka pasca revolusi.<ref>{{harvnb|Pemprov DKI Jakarta, Djaduk Djajakusuma}}; {{harvnb|Said|1982|p=55}}</ref> Film tersebut direkam di [[Wonosari, Gunungkidul|Wonosari]], yang saat itu sedang mengalami kekeringan, untuk memberikan metafora visual mengenai jiwa para pejuang yang mengering.{{sfn|Hoerip|1995|p=28}} Karena menggambarkan takhayul tradisional, film tersebut lalu dipermasalahkan oleh lembaga sensor dan para kritikus, sebab takhayul dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan modernisasi dari republik yang baru.{{sfn|Said|1982|p=55}} Perilisan ''Embun'' menjadikan Djajakoesoema sebagai salah satu dari empat sutradara yang bekerja untuk Perfini; selain Ismail, [[Nya' Abbas Akup]], dan [[Wahyu Sihombing]].{{sfn|Anwar|2004|p=84}}
Produksi Djajakoesoema berikutnya, ''Terimalah Laguku'' (1952), adalah sebuah [[film musikal|musikal]] mengenai seorang musisi tua miskin yang menjual [[Saksofon|saksofonnya]] untuk membantu karier mantan muridnya.{{sfn|Hoerip|1995|pp=39–40}} Meskipun kualitas teknis dari film tersebut buruk, Ismail tetap puas dengan film tersebut ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1953
[[Berkas:D. Djajakusuma boarding ship Perfini booklet p22.JPG|jmpl|Djajakoesoema menaiki kapal untuk pergi ke [[Sumatra]] untuk syuting ''Arni'', {{circa}} 1955.]]
Baris 92 ⟶ 93:
Pada awal tahun 1987, dokter mendiagnosis Djajakoesoema dengan [[penyakit jantung]] sehingga Djajakoesoema mulai berdiet dan berhenti merokok.{{sfn|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}} Ia pun tetap dihormati di kalangan perfilman Indonesia, tetapi ia tidak senang dengan kondisi industri film tanah air yang ia anggap berada di ambang kehancuran. Ia menyalahkan kondisi tersebut kepada [[imperialisme budaya]] Amerika Serikat yang membuat sebagian besar bioskop lebih suka memutar film asing, terutama dari Hollywood dan membuat pemuda Indonesia tidak lagi menciptakan karya dengan identitas Indonesia yang unik.<ref>{{harvnb|Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia}}; {{harvnb|Hoerip|1995|p=59}}</ref>
Pada tanggal 28 Oktober 1987, Djajakoesoema kembali pingsan saat sedang memberi pidato pada upacara peringatan [[Sumpah Pemuda]] di IKJ sehingga kepalanya terbentur anak tangga yang terbuat dari batu. Setelah dilarikan ke Rumah Sakit Umum Cikini, ia dinyatakan meninggal pada pukul 10.05 waktu setempat (UTC+7).
Djajakoesoema tidak pernah menikah, tetapi ia memiliki sejumlah keponakan yang ia besarkan seperti anak sendiri.<ref name="ReferenceA"/> Setelah kematiannya, surat kabar di seantero Jakarta pun memuat obituari Djajakoesoema dari sejumlah tokoh budaya dan film, seperti [[Sutan Takdir Alisjahbana|Alisjahbana]], produser [[Misbach Yusa Biran]] dan juru kamera Perfini Soemardjono. Obituari tersebut menekankan pada peran Djajakoesoema dalam mengembangkan industri film Indonesia dan melestarikan budaya tradisional. Pada upacara peringatan lima tahun meninggalnya Djajakusuma, semua dokumen dan bukunya disumbangkan ke perpustakaan IKJ.{{sfn|Hoerip|1995|pp=80–84}}
Baris 99 ⟶ 100:
[[Berkas:Lahirnja Gatotkatja Nasional 26 September 1960 p3.jpg|jmpl|kiri|Suasana syuting film ''Lahirnja Gatotkatja'' karya Djajakoesoema pada tahun 1960. Film ini adalah salah satu dari dua film karya Djajakoesoema yang sangat dipengaruhi oleh cerita [[wayang]].]]
Seperti Usmar Ismail, Djajakoesoema juga dipengaruhi oleh realisme. Namun, dibanding Ismail yang lebih memilih untuk fokus pada tema-tema tingkat nasional, Djajakoesoema lebih tertarik pada alur cerita yang sederhana dan relevan secara lokal dengan pesan-pesan pendidikan.{{sfn|Marselli 1987, Mengenang D. Djajakusuma}} Realisme tersebut pun dibawa oleh Djajakoesoema ke dalam karyanya di bidang [[wayang|pewayangan]]. Latar belakang adegan digambar secara tradisional dan dibuat seperti [[Latar teatrikal|set]] tiga dimensi, termasuk untuk menggambarkan pohon, batu, dan air.{{sfn|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Pencetus}} Menurut Soemardjono
Djajakoesoema juga kerap memasukkan seni tradisional ke dalam film-filmnya.{{sfn|Setiawan 2009, National Film Month}} Dua film di antaranya (''Lahirnja Gatotkatja'' dan ''Bimo Kroda'') bahkan didasarkan pada cerita wayang tradisional serta menggunakan kostum dan tempo yang terinspirasi oleh wayang.<ref>{{harvnb|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}}; {{harvnb|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang}}</ref> Fokus pada aspek budaya tradisional tersebut lalu menjadi kurang diminati oleh masyarakat setelah tahun 1965
Sosiolog Indonesia [[Umar Kayam]], yang pernah menjabat di Dewan Kesenian Jakarta bersamanya, menyebut Djajakoesoema sebagai orang yang sangat disiplin. Biran juga menggambarkan Djajakoesoema sebagai orang yang mudah marah secara tiba-tiba, tetapi dapat kembali tenang dengan cepat apabila pemicu kemarahannya dapat diselesaikan. Sejumlah orang yang pernah bekerja dengan Djajakoesoema pun menyatakan hal serupa.{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}} Liputan di majalah film ''Djaja'' menggambarkan Djajakoesoema sebagai seorang pekerja keras yang berdedikasi tinggi pada karyanya, sedemikian hingga ia meninggalkan kehidupan percintaannya.{{sfn|Kadarjono|1970|p=25}}
== Penerimaan ==
Salah satu film karya Djajakoesoema, yakni ''Harimau Tjampa'', mendapat Penghargaan Skenario Terbaik di Festival Film Asia 1954.{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}} Sementara satu filmnya yang lain, yakni ''Bimo Kroda,'' diakui oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia karena mempromosikan budaya tradisional.{{sfn|Biran|1979|p=123}} Pada tahun 1970, ia mendapat Penghargaan Seni dari pemerintah Indonesia atas "jasa terhadap Negara sebagai Pembina Utama Drama Modern".{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}} Pada [[Festival Film Indonesia 1987]], ia mendapat penghargaan khusus atas kontribusinya di industri film Indonesia,{{sfn|Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia}} dan pada bulan November 2003, ia secara anumerta juga dianugerahi Penghargaan Budaya [[Bintang Budaya Parama Dharma|Parama Dharma]] oleh Presiden [[Megawati Soekarnoputri]] atas kontribusinya dalam mengembangkan kebudayaan Indonesia.{{efn|Penerima penghargaan lainnya termasuk pelawak [[Bing Slamet]] dan pemeran [[Fifi Young]] {{harv|Unidjaja 2003, Megawati awards}}.}}{{sfn|Unidjaja 2003, Megawati awards}}
Penerimaan terhadap karya Djajakoesoema cenderung positif. Sutradara [[Teguh Karya]] menyebut karya Djajakusuma, Usmar Ismail, dan Asrul Sani sebagai "legendaris" serta menjadi salah satu pengaruh terbesar untuknya.{{sfn|National Library of Indonesia, Pandangan Tokoh: Teguh Karya}} Koreografer [[Bagong
== Filmografi ==
Baris 258 ⟶ 259:
|accessdate=6 Agustus 2012
|archivedate=6 Juli 2022
|archiveurl=https://web.archive.org/web/20220706121726/http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad55edfa3_d-djajakusuma/filmography
|ref={{sfnRef|Film Indonesia, Filmografi}}
|dead-url=no
Baris 282 ⟶ 283:
|location=Bandung
|year=2006
|access-date=2014-06-19
|archive-date=2022-10-20
|archive-url=https://web.archive.org/web/20221020161435/https://books.google.ca/books?id=sl92GYNaKJIC&hl=en
|dead-url=no
}}
* {{Cite news
Baris 517 ⟶ 522:
{{DEFAULTSORT:Djajakusuma, D.}}
[[Kategori:Pemenang Festival Film Indonesia]]
[[Kategori:Pemeran laki-laki Indonesia]]
|