Di dalam ilmu kimia, energi aktivasi atau tenaga penggiat merupakan sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Svante Arrhenius,[1] yang didefinisikan sebagai energi yang harus dilampaui agar reaksi kimia dapat terjadi. Energi aktivasi bisa juga diartikan sebagai energi minimum yang dibutuhkan agar reaksi kimia tertentu dapat terjadi.[2] Energi aktivasi sebuah reaksi biasanya dilambangkan sebagai Ea, dengan satuan joule (J) atau kilojoule per mol (kJ/mol) atau kilokalori per mol (kkal/mol).[3]

Percikan api yang dibuat dengan memukul baja pada sepotong batu memberikan energi aktivasi untuk memulai reaksi pembakaran di Bunsen ini. Nyala api biru bertahan dengan sendirinya setelah percikan berhenti karena pembakaran nyala yang berkelanjutan sekarang menguntungkan secara energetik.

Energi aktivasi dapat dianggap sebagai besarnya penghalang potensial (kadang-kadang disebut penghalang energi) yang memisahkan minima dari energi potensial permukaan yang berkaitan dengan keadaan termodinamika awal dan akhir. Agar reaksi kimia[4] dapat berlangsung pada laju yang masuk akal, suhu sistem harus cukup tinggi sehingga terdapat sejumlah molekul dengan energi translasi yang sama dengan atau lebih besar dari energi aktivasi.

Terkadang suatu reaksi kimia membutuhkan energi aktivasi yang teramat sangat besar, maka dari itu dibutuhkan suatu katalis agar reaksi dapat berlangsung dengan pasokan energi yang lebih rendah.

Pengaruh suhu dan hubungannya dengan persamaan Arrhenius sunting

Persamaan Arrhenius menyediakan dasar kuantitatif bagi hubungan antara energi aktivasi dan laju ketika suatu reaksi berlangsung. Dari persamaan ini, energi aktivasi dapat dinyatakan melalui hubungan

 

yang dalam persamaan ini, A adalah faktor pra-eksponensial bagi reaksi, R adalah konstanta gas semesta, T adalah suhu mutlak (biasanya dalam Kelvin), dan k adalah koefisien laju reaksi. Meski nilai A tidak diketahui, Ea dapat ditentukan dari variasi dalam koefisien laju reaksi sebagai fungsi suhu (di dalam keabsahan persamaan Arrhenius).

Katalis sunting

 
Hubungan antara energi aktivasi ( ) dan entalpi pembentukanH) dengan dan tanpa katalis, diplot bersama koordinat reaksi. Posisi energi tertinggi (posisi puncak) mewakili keadaan transisi. Dengan katalis, energi yang dibutuhkan untuk memasuki keadaan transisi berkurang, sehingga mengurangi energi yang diperlukan untuk memulai reaksi.

Zat yang mengubah keadaan transisi untuk menurunkan energi aktivasi disebut katalis; sebuah katalis yang hanya terdiri dari protein dan (jika ada) kofaktor molekul kecil disebut enzim. Katalis meningkatkan laju reaksi tanpa dikonsumsi dalam reaksi.[5] Selain itu, katalis menurunkan energi aktivasi, tetapi tidak mengubah energi reaktan atau produk awalnya, sehingga tidak mengubah kesetimbangan.[6] Sebaliknya, energi reaktan dan energi produk tetap sama dan hanya energi aktivasi yang diubah (diturunkan).

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Activation Energy and the Arrhenius Equation – Introductory Chemistry- 1st Canadian Edition". opentextbc.ca (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-08. Diakses tanggal 2018-04-05. 
  2. ^ "Activation Energy". www.chem.fsu.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-07. Diakses tanggal 2017-01-13. 
  3. ^ Pratt, Thomas H. "Electrostatic Ignitions of Fires and Explosions" Wiley-AIChE (15 Juli 1997) Center for Chemical Process Safety[halaman dibutuhkan]
  4. ^ Terracciano, Anthony C; De Oliveira, Samuel; Vazquez-Molina, Demetrius; Uribe-Romo, Fernando J; Vasu, Subith S; Orlovskaya, Nina (2017). "Effect of catalytically active Ce 0.8 Gd 0.2 O 1.9 coating on the heterogeneous combustion of methane within MgO stabilized ZrO 2 porous ceramics". Combustion and Flame. 180: 32. doi:10.1016/j.combustflame.2017.02.019. 
  5. ^ "General Chemistry Online: FAQ: Chemical change: What are some examples of reactions that involve catalysts?". antoine.frostburg.edu. Diakses tanggal 2017-01-13. 
  6. ^ Bui, Matthew. "The Arrhenius Law: Activation Energies". Chemistry LibreTexts. UC Davis. Diakses tanggal 17 Februari 2017.