Filsafat Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Nampak, +Tampak; -nampak, +tampak; -Nampaknya, +Tampaknya; -nampaknya, +tampaknya)
belbagai: berbagai
 
(21 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{refimprove}}
{{gaya penulisan}}'''Filsafat Indonesia''' adalah sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam pelbagaiberbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' ''Bahasa Indonesia'', meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli.
 
== Istilah dan Definisi ==
Istilah ''Filsafat Indonesia'' berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh [[M. Nasroen]], seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di [[Universitas Indonesia]], yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti [[Sunoto]], [[R. Parmono]], [[Jakob Sumardjo]], dan [[Ferry Hidayat]]. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas [[Filsafat]] di [[Universitas Gajah Mada]] (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama ''Jurusan Filsafat Indonesia''. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
[[Berkas:Bukunasroen.jpg|jmpl|Buku{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }} M. Nasroen berjudul ''Falsafah Indonesia'' (1967), yang darinya kajian filsafat Indonesia berasal mula.]]
 
Istilah ''Filsafat Indonesia'' berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh [[M. Nasroen]], seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di [[Universitas Indonesia]], yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti [[Sunoto]], [[R. Parmono]], [[Jakob Sumardjo]], dan [[Ferry Hidayat]]. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas [[Filsafat]] di [[Universitas Gajah Mada]] (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama ''Jurusan Filsafat Indonesia''. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktik-praktik asli dari ''mupakat'', ''pantun-pantun'', ''Pancasila'', ''hukum adat'', ''gotong-royong'', dan ''kekeluargaan'' (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38). Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri'' (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ''...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah'' (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...pemikiran primordial...'' atau ''pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya...'' (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan [[kajian-kajian budaya]] dan [[antropologi]]. Secara kebetulan, ''Bahasa Indonesia'' sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari [[teologi]], [[seni]], dan [[sains]]. Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, ''budaya'' atau ''kebudayaan'', yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata ''budaya'' tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan ''budayawan'' (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.
 
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktik-praktik asli dari ''mupakat'', ''pantun-pantun'', ''Pancasila'', ''hukum adat'', ''gotong-royong'', dan ''kekeluargaan''.<ref>{{Cite (Nasroenbook|title=Falsafah Indoensia|last=Nasroen|first=M.|date=1967:|publisher=Penerbit Bulan Bintang|isbn=|location=Jakarta|pages=14, 24, 25, 33, dan 38).|url-status=live}}</ref> Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri'',<ref>{{Cite (Sunotobook|title=Menuju Filsafat Indonesia|last=|first=Sunoto|date=1987:|publisher=Hanindita Offset|isbn=|location=Yogyakarta|pages=ii),|url-status=live}}</ref> sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ''...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah''.<ref>{{Cite (Parmonobook|title=Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia|last=|first=Parmono|date=1985:|publisher=Andi Offset|isbn=|location=Yogyakarta|pages=iii).|url-status=live}}</ref> Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...pemikiran primordial...'' atau ''pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya...''.<ref>{{Cite (Jakobbook|title=Mencari SumardjoSukma Indonesia|last=Sumardjo|first=Jakob|date=2003:116).|publisher=AK Group|isbn=|location=Yogyakarta|pages=22-23, 25, 53, 58|url-status=live}}</ref> Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan [[kajian-kajian budaya]] dan [[antropologi]]. Secara kebetulan, ''Bahasa Indonesia'' sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari [[teologi]], [[seni]], dan [[sains]]. Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, ''budaya'' atau ''kebudayaan'', yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata ''budaya'' tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan ''budayawan''.<ref>{{Cite (book|title=Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Ditinjau dari Jurusan Nilai-Nilai|last=Alisjahbana|first=S. Takdir|date=1977:|publisher=Yayasan Idayu|isbn=|location=Jakarta|pages=6-7).|url-status=live}}</ref> Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.
{{terjemahan|en||version=}}== Mazhab Pemikiran ==
 
{{terjemahan|en||version=}}== Mazhab Pemikiran ==
Ada 6 (enam) mazhab pemikiran yang berkembang di Indonesia. Kategorisasi mazhab didasarkan pada tiga hal: ''pertama'', didasarkan pada segi keaslian yang dikandung suatu mazhab filsafat tertentu (seperti pada 'mazhab etnik'); ''kedua'', pada segi pengaruh yang diterima oleh suatu mazhab filsafat tertentu (seperti 'mazhab Tiongkok', 'mazhab India', 'mazhab Islam', 'mazhab Kristiani', dan 'mazhab Barat'), dan ''ketiga'', didasarkan pada kronologi historis (seperti 'mazhab paska-Soeharto'). Berikut ini adalah sketsa mazhab-mazhab pemikiran dalam Filsafat Indonesia dan filsuf-filsuf mereka yang utama.
Baris 27 ⟶ 31:
=== Mazhab Tiongkok ===
 
Para filsuf etnik masih menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan migrantmigran-migran Tiongkok antara tahun 1122-222 SM. yang membawa-serta dan memperkenalkan [[Taoisme]] dan [[Konfusianisme]] kepada mereka.<ref>{{Cite (Laropebook|title=IPS Sejarah|last=Larope|first=J.|date=1986:|publisher=Penerbit Palapa|isbn=|location=Surabaya|pages=4).|url-status=live}}</ref> Dua filsafat asing itu bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan berbaur; begitu tercampurnya, sehingga filsafat-filsafat itu tak dapat lagi dicerai-beraikan.<ref>{{Cite (SarDesaibook|title=Southeast 1989Asia: Past & Present|last=SarDesai|first=D.R.|date=1989|publisher=Westview Press|isbn=|location=San Fransisco|pages=9-13).|url-status=live}}</ref> Salah satu dari sisa baurnya filsafat-filsafat tadi, yang hingga kini masih dipraktikkan oleh semua orang Indonesia, adalah ajaran ''hsiao'' dari [[Konghucu]] (bahasa Indonesia, ''menghormati orangtuaorang tua''). Ajaran itu menegaskan bahwa seseorang harus menghormati orangtuanya melebihi apapun. Ia harus mengutamakan orangtuanya sebelum ia mengutamakan orang lain.
 
Mazhab Tiongkok kelihatan eklusif, karena semata banyak dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Tiongkok di Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang disumbangkan oleh mazhab ini bagi tradisi kefilsafatan di Indonesia, sangat penting. [[Sun Yat-senisme]], [[Maoisme]], dan [[Neo-maoisme]] merupakan filsafat-filsafat penting yang menyebar-luas seantero Indonesia pada awal 1900-an, bersamaan dengan pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI).<ref>{{Cite (Suryadinatabook|title=Mencari 1990Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien|last=Suryadinata|first=Leo|date=1990|publisher=LP3ES|isbn=|location=Jakarta|pages=15).|url-status=live}}</ref>
 
Filsuf-filsuf utama dari mazhab ini, di antara yang lainnya, adalah: [[Tjoe Bou San]], [[Kwee Hing Tjiat]], [[Liem Koen Hian]], [[Kwee Kek Beng]], dan [[Tan Ling Djie]].
Baris 37 ⟶ 41:
Pembauran atau difusi filsafat-filsafat terus berlanjut bersamaan dengan kedatangan kaum [[Brahmana]] [[Hindu]] dan penganut [[Buddhisme]] dari India antara tahun 322 SM-700 M. Mereka memperkenalkan kultur Hindu dan kultur Buddhis kepada penduduk asli, sementara penduduk asli meresponinya dengan menyintesa dua filsafat India itu menjadi satu versi baru, yang terkenal dengan sebutan [[Tantrayana]]. Ini jelas tercermin pada bangunan [[Candi Borobudur]] oleh Dinasti Sailendra pada tahun 800-850 M. (SarDesai, 1989:44-47). [[Rabindranath Tagore]], seorang filsuf India yang mengunjungi Borobudur pertama kalinya, mengakui candi itu sebagai candi yang ''tidak''-India, karena relik-relik yang dipahatkan padanya merepresentasikan pekerja-pekerja lokal yang berbusana gaya Jawa asli. Ia juga mengakui bahwa tarian-tarian asli Jawa yang terilhami dari epik-epik India tidak menyerupai tarian-tarian India, meskipun tarian-tarian dua negeri tersebut bersumber dari sumber yang sama.
 
[[konghucuKonghucu]] dan [[Buddhisme]]—dua filsafat yang saling berlawanan di India—bersama-sama dengan filsafat Jawa asli dapat didamaikan di Indonesia oleh kejeniusan [[Sambhara Suryawarana]], [[Mpu Prapanca]], dan [[Mpu Tantular]].
 
=== Mazhab Islam ===
 
10-abad proses Indianisasi ditantang oleh kedatangan [[Sufisme]] Persia, dan Sufisme mulai mengakar dalam perbincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya. Perkembangan Sufisme itu dipicu oleh berdirinya [[kerajaan]]-kerajaan dan [[kesultanan]]-kesultanan Islam yang masif di Indonesia.<ref (name=":0">{{Cite book|title=Islamic Spirituality II: Manifestations|last=Nasr|first=Syed Hossein|date=1991:|publisher=Crossroad|isbn=|location=New York|pages=262)., 282-287|url-status=live}}</ref> [[Monarki|Raja]]-raja dan [[sultan]]-sultan seperti [[Sunan Giri]], [[Sunan Gunungjati]], [[Sunan Kudus]], [[Sultan Trenggono]], [[Pakubuwana II]], [[Pakubuwana IV]], [[Sultan Ageng Tirtayasa]], [[Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah]], [[Engku Haji Muda Raja Abdullah Riau]] hingga [[Raja Muhammad Yusuf]] adalah ''raja-sufi''; mereka mempelajari Sufisme dari guru-guru [[Sufi]] terkemuka.<ref>{{Cite book|title=Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa dan Sebaliknya: Seri Kliping (Perpustakaan Nasional dalam Berita Vol.II No.1|first=Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|date=2001:|publisher=Sub Bagian Humas Perpustakaan Nasional RI|isbn=|location=Jakarta|pages=12-39).|url-status=live}}</ref>
 
Sufisme di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok: [[Ghazalisme]] dan [[Ibn Arabisme]]. Ghazalisme utamanya terinspirasi oleh ajaran-ajaran [[Al-Ghazali]], sedangkan Ibn Arabisme dari doktrin-doktrin [[Ibn Arabi]]. Sufi-sufi dari jalur Al-Ghazali adalah seperti [[Nuruddin Al-Raniri]], [[Abdurrauf Al-Singkeli]], [[Abd al-Shamad Al-Palimbangi]], dan [[Syekh Yusuf Makassar]], sementara yang dari jalur Ibn Arabi adalah [[Hamzah Al-Fansuri]], [[Al-Sumatrani]], [[Syekh Siti Jenar]], dan lain-lain.<ref (Nasr 1991name=":282-287).0" />
 
[[Wahhabisme]]-Arab juga pernah diadopsi oleh Raja [[Pakubuwana IV]] dan [[Tuanku Imam Bonjol]], yang misi utamanya ialah menghapus Sufisme dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran Quranik.<ref>{{Cite (Hamkabook|title=Perkembangan Kebatinan di Indonesia|first=Hamka|date=1971:|publisher=Penerbit Bulan Bintang|location=Jakarta|pages=62-64).|url-status=live}}</ref>
 
Di saat [[Modernisme Islamik]], yang memiliki program yaitu menyintesis ajaran-ajaran Islam dengan [[filsafat Pencerahan]] Barat, dimulai oleh [[Muhammad Abduh]] dan [[Jamaluddin Al-Afghani]] di Mesir tahun 1800-an, maka [[muslim]]-muslim di Indonesia juga mengadopsi dan mengadaptasinya. Ini tampak jelas dalam karya-karya yang dihasilkan oleh [[Syaikh Ahmad Khatib]], [[Syaikh Thaher Djalaluddin]], [[Haji Abdul Karim Amrullah]], [[Kyai Ahmad Dahlan]], [[Mohammad Natsir]], [[Oemar Said Tjokroaminoto]], [[Haji Agus Salim]], [[Haji Misbach]], dan lain-lain.<ref>{{Cite (Noerbook|title=Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942|last=Noor|first=Deliar|date=1996:37).|publisher=LP3ES|location=Jakarta|url-status=live}}</ref>
 
=== Mazhab Barat ===
Baris 53 ⟶ 57:
Sejak pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menerapkan ‘Politik Hati Nurani’ (''Politik Etis'') pada awal tahun 1900-an, lembaga-lembaga pendidikan bergaya Belanda menjamur dimana-mana dan terbuka untuk anak-anak pribumi dari kelas-kelas feudal, yang hendak bekerja di lembaga-lembaga kolonial. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda itu mengajarkan [[Filsafat Barat]] sebagai mata-pelajarannya. Misalnya, [[Filsafat Pencerahan]]—filsafat yang diajarkan secara amat terlambat di Indonesia, setelah 5 abad kemunculannya di Eropa (Larope 1986:236-238). Banyak alumni sekolah tersebut yang melanjutkan studi mereka di universitas-universitas Eropa. Mereka lantas muncul sebagai kelompok elit baru di Indonesia yang merupakan generasi pertama ''intelligentsia'' bergaya Eropa, yang kelak menganut [[Filsafat Barat]] untuk menggantikan filsafat etnik mereka yang asli.
 
Filsafat Barat mengilhami banyak lembaga sosio-politis Indonesia modern. Pemerintahan [[republik]] Indonesia, [[konstitusi]]nya serta distribusi kekuasaan (''distribution of power''), [[partai politik]] dan perencanaan ekonomi nasional jangka-panjang, semuanya dilakukan atas model Barat. Bahkan [[ideologi]]nya ``Pancasila’’[[Pancasila]]’’ (Yang telah diciptakan oleh [[Soekarno]] atau yang kemudian disalahgunakan oleh [[Soeharto]]), terinspirasi dari ideal-ideal Barat tentang [[humanisme]], [[demokrasi-sosial]], dan [[sosialisme nasional]] Nazi Jerman, seperti yang tampak dalam pidato-pidato anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 (Risalah Sidang 1995:10-79). Fakta ini menggiring pada kesimpulan, bahwa ‘Indonesia Modern’ dibangun di atas cetak-biru Barat.
 
Sangat menarik untuk diamati, bahwa meskipun elit itu menganut Filsafat Barat sepenuh hati, mereka masih merasa perlu mengadaptasikan filsafat itu kepada kegunaan dan situasi Indonesia yang kontemporer dan kongkritkonkret. Misalnya, Soekarno, yang mengadaptasi [[demokrasi]] Barat dengan situasi rakyat Indonesia yang masih berjiwa feudalistik, sehingga ia menciptakan apa yang kemudian disebut ''Demokrasi Terpimpin''.<ref>{{Cite (Soekarnobook|title=Di Bawah Bendera Revolusi|first=Soekarno|date=1963:|publisher=Panitya Penerbitan|location=Jakarta|pages=376).|url-status=live}}</ref> [[D.N. Aidit]] dan [[Tan Malaka]] mengadaptasikan [[Marxisme-Leninisme]] dengan situasi Indonesia<ref>{{Cite (book|title=The Indonesian Revolution and The Immediate Tasks of Communist Party of Indonesia|last=Aidit|first=D. N.|date=1964:|publisher=Foreign Languages Press|location=Beijing|pages=i-iv;|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite Tanbook|title=Aksi Massa|last=Tan|first=Malaka |date=2000:|publisher=CEDI & Aliansi Press|isbn=|location=Jakarta|pages=45-56)46|url-status=live}}</ref> dan [[Sutan Syahrir]] yang mengadaptasikan [[Demokrasi-Sosial]] dengan konteks Indonesia.<ref>{{Cite (journal|last=Rae |first=Lindsay|year=1993|editor-last=McIntyre|editor-first=Angus|title=Sutan Syahrir and the Failure of Indonesian Socialism|url=|journal=Indonesian Political Biography: In Search of Cross-Cultural Understanding|publisher=Monash University|volume=|issue=|pages=46).|doi=}}</ref>
 
=== Mazhab Kristiani ===
 
Bersama-sama dengan pencarian [[kapitalis]] Barat akan koloni-koloni di Timur, ajaran [[Kristen]] mendatangi pedagang-pedagang Indonesia pada pertengahan abad 15.<ref (Lubisname=":1">{{Cite 1990book|title=Indonesia: Land Under the Rainbow|last=Lubis|first=Mochtar|date=1990|publisher=Oxford University Press|isbn=|location=Singapore City|pages=78)., 85, 99|url-status=live}}</ref> Pertama-tama yang datang ialah pedagang-pedagang Portugis, lalu kapitalis-kapitalis [[Belanda]] yang berturut-turut menyebarkan ajaran [[Katolik]] dan ajaran [[Yohanes Calvin|Calvin]]. [[Fransiskus Xaverius]], pewarta Katolik pertama dari [[Spanyol]] yang menumpang kapal [[Portugis]], menerjemahkan ''Credo'', ''Confession Generalis'', ''Pater Noster'', ''Ave Maria'', ''Salve Regina'', dan ''Sepuluh Perintah Tuhan'' ke [[bahasa Melayu]] antara tahun [[1546]]-[[1547]], yang melaluinya ajaran Katolik dapat disebar-luaskan kepada penduduk Hindia Belanda.<ref (Lubisname=":1" 1990:85)./> Gereja-gereja Katolik pun didirikan dan penganut Katolik Indonesia berjejalan, namun tak lama kemudian para pastor Katolik diusir dan umatnya dipaksa untuk pindah ke Kalvinisme oleh penganut-penganut Kalvin Belanda yang datang ke Indonesia pada sekitar tahun [[1596]]. [[Gereja Reformasi Belanda]] (Nederlandse Hervormde Kerk) didirikan sebagai gantinya. [[Jan Pieterszoon Coen]], salah seorang [[Gubernur-Jenderal]] VOC tahun 1618, adalah contoh dari penganut Kalvinis yang saleh. Ia mendudukkan semua pewarta Kalvinis (yang dalam bahasa Belanda disebut ''Ziekentroosters'') di bawah kendalinya.<ref (Lubisname=":1" 1990:99)./>
 
Sekolah-sekolah Katolik bergaya Portugis-Hispanik dan lembaga-lembaga pendidikan Kalvinis bergaya Belanda terbuka untuk penduduk Hindia Belanda. Tidak hanya diajarkan [[teologi]] di dalamnya, tapi juga [[Filsafat Kristen]] (''Christian Philosophy''). Satu sekolah lalu menjadi beribu-ribu jumlahnya. Hingga kini masih ada (dan terus ada) universitas-universitas swasta Katolik dan [[Protestan]] yang mengajarkan Filsafat Kristen di dalamnya. Misioner-misioner dan pewarta-pewarta Injil dari Barat yang telah bertitel ''Master'' dalam bidang filsafat dari universitas Eropa, berdatangan untuk memberikan kuliah pada universitas Kristen Indonesia.<ref>{{Cite (Hiorthbook|title=Philosophers 1987in Indonesia:4) Southeast Asian Monograph Series No.12|last=Hiorth|first=Finngeir|date=1983|publisher=James Cook University of North Queensland|isbn=0-86443-083-3|location=Townsville|pages=4|url-status=live}}</ref> Dari universitas-universitas tersebut keluarlah banyak lulusan yang menguasai Filsafat Kristen, seperti [[Leo Kleden]], [[Nico Syukur Dister]], [[J.B. Banawiratma]], [[Franz Magnis-Suseno]], [[Paulus Budi Kleden]], [[Ignaz Kleden]], [[Kondrat Kebung]], [[Robert J. Hardawiryana]], [[Y.B. Mangunwijaya]], [[TH. Sumartana]], [[Martin Sinaga]], dan lain-lain. Di Sumatera Utara, Sekolah Katolik yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat adalah Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Adelbert Snijder adalah guru besar di sekolah tersebut, dan dikenal sebagai filsuf metafisika. Ungkapan yang terkenal dari dia adalah: "Seluas Segala Kenyataan'.
Di Sumatera Utara, Sekolah Katolik yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat adalah Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Adelbert Snijder adalah guru besar di sekolah tersebut, dan dikenal sebagai filsuf metafisika. Ungkapan yang terkenal dari dia adalah: "Seluas Segala Kenyataan'.
 
Di Indonesia timur, khususnya di Nusa Tenggara Timur, Filsafat sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan di wilayah tersebut. Di wilayah ini filsafat berkembang setelah masuknya misionaris eropa SVD di wilayah itu dan mendirikan salah satu sekolah Tinggi filsafat di Maumere flores, NTT. Sekolah Tinggi itu adalah [[Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero]] / STFK Ledalero. Di sekolah ini keilmuan dalam bidang filsafat dikembangkan dengan berbagai pendekatan sosial. Dari sekolah ini banyak terlahir pemikir dan pengajar serta relawan kemanusiaan yang tersebar di hampir 300 negara di dunia. Di sekolah ini terdapat berbagai grup diskusi filsafat yang kemudian memberikan warna tersendiri bagi khasanah filsafat sebagai ilmu. Beberapa nama yang menjadi pelopor perkembangan filsafat di Ledalero adalah Fritz Braun, Joseph Pianezek, Leo Kleden, [[Paulus Budi Kleden]], Kondrad Kebung dan Lain sebagainya.
 
=== Mazhab Paska-Pasca''Soeharto'' ===
 
Mazhab ini terutama mengedepan untuk mengritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998. Perhatian utama mereka ialah [[Filsafat Politik]], yang misi utamanya ialah mencari alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani menantang Soeharto, setelah ia berhasil membisukan semua filsuf lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan mazhab ini, telah ada beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto dipada era 1970-an, namun mereka dipukul keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai ''Peristiwa ITB Bandung 1973'' dan ''Peristiwa Malari 1974''. Sejak praktik kekerasan itu, filsafat hanya dapat dipraktikkan dalam [[utopia]]; [[praksis]] dan [[inteleksi]] dipisahkan dari filsafat. Praksis dilarang, dan hanya [[penalaran]] yang mungkin bisa bertahan. Era Soeharto, dalam kacamata filsafat, dapat disebut sebagai ‘era candu filsafat’, dimana segala jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup tapi tak dapat dipraktikkan dalam kenyataan. Filsafat hanya menjadi ‘latihan akademis’ dan ditundukkan. [[Pancasila]] menjadi satu-satunya ideologi dan filsafat dipada era itu (tentunya, Pancasila yang ditafsirkan menurut kepentingan Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945).<ref>{{Cite (Hidayatbook|title=Sketsa 2004:49Sejarah Filsafat Indonesia|last=Hidayat|first=Ferry|date=1971|publisher=|isbn=|location=|pages=62-55).64|url-status=live}}</ref>
 
Dalam ‘lingkaran setan’ rezim Soeharto muncullah pemberani-pemberani yang kelak memutuskan mata-rantai lingkaran itu, dan mereka disebut disini sebagai ‘filsuf paska-Soeharto’, di antaranya seperti: [[Sri-Bintang Pamungkas]], [[Budiman Sudjatmiko]], [[Muchtar Pakpahan]], [[Sri-Edi Swasono]], dan [[Pius Lustrilanang]].
 
== Referensi ==
{{reflist|30em}}
 
=== Referensi Bahasa Indonesia ===
 
* Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitya Penerbitan, 1963.
* Nasroen, M., Falsafah Indonesia, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967.
* Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
* Alisjahbana, S. Takdir., Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Ditinjau dari Jurusan Nilai-Nilai, Jakarta: Yayasan Idayu, 1977.
* Parmono, R., Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset, 1985.
* Larope, J., IPS Sejarah, Surabaya: Penerbit Palapa,1986.
* Sunoto, Menuju Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Hanindita Offset1987
* Suryadinata, Leo., Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien, Jakarta: [[LP3ES]], 1990.
* BPUPKI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia, 1995.
* Noor, Deliar., Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: [[LP3ES]], 1996.
* Malaka, Tan., Aksi Massa (Mass Action), Jakarta: CEDI & Aliansi Press, 2000.
* Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa dan Sebaliknya: Seri Kliping Perpustakaan Nasional dalam Berita Vol.II No.1, Jakarta: Sub Bagian Humas Perpustakaan Nasional RI, 2001.
* Sumardjo, Jakob., Mencari Sukma Indonesia, Yogyakarta: AK Group, 2003.
* Hidayat, Ferry., Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, paper yang tidak diterbitkan, 2004.
 
=== Referensi dalam Bahasa Inggris ===
 
* Alisjahbana, S. Takdir. Indonesia in The Modern World (translated into English by Benedict R. Anderson), New Delhi: Prabhakar Padhye, 1961.
* Aidit, D.N., The Indonesian Revolution and The Immediate Tasks of Communist Party of Indonesia, Peking: Foreign Languages Press, 1964.
* Hiorth, Finngeir., Philosophers in Indonesia: Southeast Asian Monograph Series No.12, Townsville: James Cook University of North Queensland, 1983. ISBN 0-86443-083-3 (Australia)
* SarDesai, D.R., Southeast Asia: Past & Present, San Francisco: Westview Press, 1989.
* Lubis, Mochtar., Indonesia: Land under The Rainbow, Singapore: Oxford University Press, 1990. ISBN 0-19-588977-0
* Nasr, Syed Hossein., Islamic Spirituality II: Manifestations, New York: Crossroad, 1991.
* Rae, Lindsay. (1993) 'Sutan Syahrir and the Failure of Indonesian Socialism' dalam McIntyre, Angus (ed.), Indonesian Political Biography: In Search of Cross-Cultural Understanding, Victoria: Monash University, Centre of Southeast Asian Studies. ISSN 0727-6680
 
== Pranala luar ==
{{wikiquote-id}}
* [http://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home Ensiklopedi Filsafat Indonesia Online] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20201015150247/https://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home |date=2020-10-15 }}
* [http://indonesianphilosophy.blogspot.com/ Blog Filsafat Indonesia: Artikel Serius dengan Bahasa Santai] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20230205065347/https://indonesianphilosophy.blogspot.com/ |date=2023-02-05 }}
 
== Lihat pula ==
* [[Daftar Filsuf Indonesia]]
 
{{Authority control}}
 
[[Kategori:Filsafat Indonesia| ]]
[[Kategori:Filsafat|Indonesia]]