Filsafat hak asasi manusia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 54:
[[Berkas:Karl_Marx_by_Oe_Lien.jpg|bingkai|ka|Karl Marx]]
 
Teori dan ideologi Marxisme ini dipelopori oleh sang filsuf besar, [[Karl Marx]]. Di dalam Kamus Webster, Marxisme sejatinya adalah paham, kebijakan, dan prinsip politik, ekonomi, serta sosial yang dicetuskan, dikembangkan, dan dipertahankan oleh Karl Marx. Contohnya, teori dan praktik sosialisme yang meliputi teori nilai [[buruh]], [[materialisme dialektis]], perjuangan kelas, pertentangan antargolongan atau antarkelas, dan [[diktator|kediktatoran]] kaum [[proletar]] hingga padaada perkembangannyaperkembangan yang terjadi pada kelas-kelas di masyarakat tersebut, dengan akhirnya akan muncul masyarakat tanpa kelas. “''The political, economic, and social principles and policies advocated by Marx; esp.: a theory and practice of socialism including the labor theory of value, dialectical materialism, the class struggle, and dictatorship of the proletariat until the establishment of a classless society''."<ref> Woolf 1979, hlm. 699.</ref> Sementara di Ensiklopedia yang dibesut oleh Webster, Marxisme disebut sebagai inti dari doktrin yang dirumuskan oleh Karl Marx dan Friederich Engels yang membangun fondasi sosialisme dan komunisme.<ref>Landau 1996, hlm. 442.</ref>
 
=== Karl Marx ===
Fondasi ideologi yang diajarkan Marx terletak pada keberpihakan terhadap golongan yang termarginalkan, khusunya kaum buruh. Gagasan yang dimiliki oleh Marx sesungguhnya bermanfaat bagi kaum buruh, kaum miskin, serta setiap pihak yang membela kaum buruh ataupun kaum miskin lainnya. Hingga bisa dikatakan bahwa ideologi Marx adalah senjata moral kaum buruh, kaum papa, dan segala bangsa yang keberadaannya tertindas di sepenjuru bumi. Marx secara moral membersitkan gagasan kepada kaum buruh, kaum miskin, serta kaum terjajah mengenai keadaan mereka dan menyokong mereka untuk mengubah keadaan, kemudian melakukan revolusi demi adanya perubahan sistem sosial. Pun perbedaan paham Marxisme dari filsuf sosialisme lainnya terdapat pada gagasan Marx yang menitikberatkan kepada perjuangan berupa revolusi secara besar-besaran di masyarakat demi membebaskan rakyat jelata dari jerat kemiskinan sehingga kerajaan dunia tanpa penderitaan pun dapat dibangun. Para pelaku sosialisme lain sebelum Marx pada umumnya berpihak kepada kaum papa dan memberikan ilham gerakan sosialisme, namun bertindak sekadar di lingkup yang lebih kecil dibandingkan cita-cita Marx. Sebagaimana yang dilakukan oleh [[Robert Owen]] yang membela hak-hak kaum buruh, terutama di kalangan karyawannya sendiri dengan memperpendek jam kerja serta menaikkan upah, bahkan menyekolahkan anak-anak dari para buruhnya dan seluruh biayanya ditanggung oleh perusahaan. Tindakan nyata Owen tidak berhenti hanya di situ, karena kemudian Owen mendirikan toko perusahaan yang menyediakan kebutuhan para buruh yang bekerja kepadanya. Toko perusahaan ini merupakan rintisan sistem korporasi yang menjadi cikal bakal koperasi modern hingga Owen dikenal sebagai Bapak Koperasi. Sementara pada satu sisi, Marx sempat bersinggungan dengan ajaran Hegel—hal ini terjadi sewaktu Marx belajar di Berlin—terutama di sisi paham dialektikanya, dan karenanya, di satu titik maupun lainnya, Marxisme terpengaruh oleh Hegel yang mengajarkan integralisme. Marx dengan demikian, menawarkan teori berbeda mengenai hak asasi manusia di dalam Marxisme, di mana Marxisme hanya mengakui hak secara kolektif, bukan hak secara individu.<ref>Darsono 2007, hlm. 14-15.</ref>
 
Ditinjau dari sisi ilmiah, Marx memandang bahwa hukum kodrati termasuk idealistis dan berlawanan dengan sejarah. Dengan demikian, Marxisme menolak adanya teori [[hak alami]]. Marx tidak membiarkan hak asasi manusia sebagai argumen untuk memberikan batasan hak warga negara dengan memandang mereka sekadar sebagai alat yang semata patuh terhadap jaminan hak yang tidak politis. Mengenai hak asasi, Marx juga sebatas menyatakan bahwa hak asasi manusia sekadar bahwa negara tidak mendiskriminasi manusia dalam pilihan agamanya sebagaimana negara tidak memiliki hak untuk melakukan [[diskriminasi]] terhadap [[Yahudi]], ataupun Kristen yang tidak ada hak untuk mengajukan tuntutan atas [[Ateisme]] sebagai syarat warga negara. Marx nyata-nyata menolak konsep hak yang tidak dapat dicabut, namun Marx yang membela kaum akar rumput, melegalkan adanya aturan untuk pembatasan hari kerja bagi para pekerja. Hukum di dalam Marxisme menata bahwa harus ada aturan jelas kapan berakhirnya waktu seorang pekerja menjual dirinya sendiri, dan kapan waktu untuknya sendiri dimulai. Dalam praktik politiknya, Marx meyakini bahwa beberapa hak terkait hak manusia merupakan prasyarat yang dibutuhkan demi kemajuan menuju sosialisme. Bahkan demi mencapai titik di mana makna praktis proyek komunis mengena, Marx sungguh-sungguh memperjuangkan agar hak memilih yang universal, hak untuk berkumpul dan berserikat dengan damai, hak dalam kebebasan pers dan hak edukasi publik tanpa sensor oleh negara menjadi hak-hak yang harus diperoleh.
 
Baris 63 ⟶ 65:
Hak di dalam Marxisme dianggap [[transendental]], sehingga bertolak belakang dengan hak pada liberalisme yang bersifat [[kekal]]. Hak di dalam masyarakat komunis tercapai apabila sudah tidak ada kelas-kelas lagi, tidak ada pemilikan pribadi atas sumber alam serta tidak ada pemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan hasil produksinya. Semua sudah menjadi milik bersama seluruh masyarakat.<ref>Darsono 2007, hlm. 112.</ref>
 
DalamDasar pemikiran Marx mengenai hak asasi yang hanya diakui bila hak-hak tersebut berupa hak kolektif terletak pada pemikiran Marx bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia sendiri pada dasarnya adalah manusia konkret, yakni orang-orang yang hidup pada zaman tertentu serta hidup sebagai bagian dari anggota masyarakat tertentu. Keberadaan dan kondisi manusia ditentukan oleh keadaan masyarakat di mana dirinya hidup. Dengan demikian, manusia disebut sebagai makhluk sosial, sebab, dirinya hanya dapat hidup serta bisa bekerja di dalam suatu tatanan masyarakat yang ditemuinya ketika dirinya dilahirkan, dibesarkan, serta bertumbuh kembang. Manusia yang satu tidak bisa dilepaskan dari manusia yang lainnya di dalam tata masyarakat tersebut, harus terdapat suatu keseluruhan, di mana unsur-unsur yang membentuknya tidak berdiri sendiri serta tidaklah mungkin dapat terlepas satu sama lain. Setiap manusia yang menjadi bagian dari masyarakat tersebut harus mampu bekerja dan berproduksi bersama-sama dan terhubung satu sama lain secara dialektik.. Hasil kerja manusia pada hakikatnya untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dan itu berarti bahwa hasil kerja tersebut diakui oleh orang lain dan artinya ia manusia berguna. Oleh karenanya, dapat dimaknai bahwa manusia sudah semestinya merasa puas dan senang dalam bekerja. Kemudian pada akhirnya, pekerjaan tersebut menjadi jembatan emas antarmanusia yang di dalam prosesnya, manusia dapat merealisasikan diri serta dapat bekerja bersama manusia lain sehingga menciptakan sejarah antarmanusia. Hal ini berbeda apabila manusia bekerja semata terpaksa untuk kebutuhan dan kepentingan orang lain. bukan karena kemauannya sendiri, apalagi bila tindakan dalam segala pekerjaan tersebut sekadar atas perintah orang lain serta hasilnya menjadi milik orang lain, maka manusia tidak merasa senang dan tidak puas, bahkan terasing dari pekerjaan dan hasil kerjanya tanpa bisa menikmati dengan baik. Lebih-lebih bila manusia bekerja harus bersaing dengan manusia lainnya. Sehingga tidak terhindarkan adanya pemikiran bahwa manusia sekadar menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan manusia lain, lebih lagi bila manusia sekadar diperalat uang yang menjadi target ambisinya dalam bekerja.<ref>Darsono 2007, hlm. 26-27.</ref> Dengan kata lain, di dalam Marxisme, manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat dan selalu beraktivitas agar produktif sehingga terlibat dalam proses produksi. Seluruh perasaan dan pikiran masyarakat sudah tercurah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan hasilnya untuk kepentingan bersama. Semua orang bekerja menurut kemampuannya dan mendapatkan bagian hasil sesuai dengan kebutuhannya.<ref>Darsono 2007, hlm. 112-113.</ref> Hubungan kemasyarakatan yang terjalin saat bekerja dan berproduksi bersama mengantarkan manusia pada ditorehkannya sejarah. Keterkaitan masyarakat dengan sejarah dan filsafat tersebut yang kemudian disebut sebagai materialisme dialektis dalam Marxisme.
Sebab itulah, hak yang diketahui dalam masyarakat Marxisme adalah hak kolektif, alih-alih perseorangan. Pun di dalam pandangan Marxisme, hak asasi manusia terkait keadilan dan kemerdekaan. Keadilan dan kemerdekaan bisa dicapai ketika pengisapan manusia oleh manusia lainnya tiada lagi.<ref>Njoto 2003, hlm. 2-3.</ref>