Hak menentukan nasib sendiri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Anatolia.kr (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 12 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
(29 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Zuid-Molukkers demonstreren bij Indonesische Ambassade in Den Haag tegen schendi, Bestanddeelnr 933-7169.jpg|jmpl|Protes terhadap perlakuan pemerintahan Presiden Soeharto terhadap [[Timor Timur]] di Belanda, 1986.]]
'''Hak menentukan nasib sendiri''' (''{{lang-en|right to'' ''self-determination''}}) adalah hak setiap orang untuk secaraara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status [[politik]] dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang [[ekonomi]], [[sosial]], serta [[budaya]]. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, oleh sebab itu terletak pada adanya [[kebebasan]] dalam membuat pilihan.<ref name=":0">{{Cite web|url=http://www.unpo.org/article/4957|title=UNPO: Self-determination|website=www.unpo.org|language=en|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-06-08|archive-url=https://web.archive.org/web/20230608045316/https://unpo.org/article/4957|dead-url=no}}</ref> Namun demikian, dewasa ini, penggunaan menentukan nasib sendiri lebih mengacu pada hak untuk menentukan nasib politik.  Namun dalam acuan tersebut, tidak ada kriteria hukum yang menjelaskan siapa orang/pihak yang dimaksud, atau kelompok mana yang dapat secara sah membuat klaim terhadap hak tersebut dalam kasus tertentu, yang menjadikannya salah satu di antara isu kompleks yang dihadapi para pembuat kebijakan.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://web.archive.org/web/20080220083041/http://findarticles.com/p/articles/mi_gx5215/is_2002/ai_n19132482|title=Self-Determination {{!}} Encyclopedia of American Foreign Policy {{!}} Find Articles at BNET.com|date=2008-02-20|access-date=2017-12-06|archive-date=2015-10-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20151016041019/http://findarticles.com/p/articles/mi_gx5215/is_2002/ai_n19132482|dead-url=unfit}}</ref>
[[Berkas:Suharto is a Neo-Colonialist - Freedom for Timor Timur.jpg|jmpl|Protes terhadap perlakuan pemerintah Suharto terhadap Timor Timur, 1986]]
Istilah ''right to self determination'' atau hak untuk menentukan nasib sendiri mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia pada proses penyelesaian konflik yang sangat sensitif, termasuk peristiwa referendum [[Timor Timur]] pada tahun 1999 dan perundingan [[Aceh]] yang kemudian melahirkan [[Otonomi Khusus]].<ref name=":12">{{Cite web|url=http://nasional.kompas.com/read/2017/09/01/23091381/hak-menentukan-nasib-sendiri-alternatif-penyelesaian-konflik-rohingya|title=Hak Menentukan Nasib Sendiri, Alternatif Penyelesaian Konflik Rohingya Halaman all|last=Media|first=Kompas Cyber|website=KOMPAS.com|access-date=2017-12-10}}</ref> Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang [[Eropa]] pasca-[[Perang Dunia I]].<ref name=":0" /> Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri mendapat pembelaan dari tokoh internasional yang memiliki landasan [[ideologi]] berbeda, yakni [[Vladimir Lenin]] (dari 1903 sampai 1917)<ref name=":2">http://etheses.lse.ac.uk/923/1/Knudsen_Moments_of_Self-determination.pdf</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1914/self-det/ch01.htm|title=Lenin: 1914/self-det: 1. WHAT IS MEANT BY THE SELF-DETERMINATION OF NATIONS?|last=Lenin|first=V.I.|website=www.marxists.org|access-date=2017-12-07}}</ref> dan presiden [[Woodrow Wilson]] (pada 1918)<ref name=":2" />.<ref name=":3">{{Cite web|url=http://www.austlii.edu.au/au/journals/MqLJ/2003/3.html|title=SELF-DETERMINATION, INTERNATIONAL SOCIETY AND WORLD ORDER - [2003] MqLJ 3; (2003) 3 Macquarie Law Journal 29|website=www.austlii.edu.au|access-date=2017-12-06}}</ref> Pidato Lenin bersifat lebih universal, meskipun pada akhirnya kurang berpengaruh. Sebaliknya, [[14 Pokok Wilson]] menguraikan sejumlah prinsip berkenaan dengan menentukan nasib sendiri,<ref name=":11">{{Cite journal|title=Self|url=http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873|language=en|doi=10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873}}</ref> namun hanya diterapkan untuk orang-orang Eropa,<ref name=":4">{{Cite news|url=https://www.beyondintractability.org/essay/self-determination|title=Self-Determination Procedures|last=corissajoy|date=2016-07-13|newspaper=Beyond Intractability|language=en|access-date=2017-12-06}}</ref> dimana gagasan menentukan nasib sendiri tersebut berkembang secara berbeda di [[Eropa Tengah]] dan [[Eropa Timur]], dengan di [[Eropa barat]].<ref>Thomas D. Musgrave, Self-Determination and National Minorities (New York: Oxford University Press, 1997), chr. 1.</ref> Berkembangnya negara-negara moderen di Eropa, dan meningkatnya kesadaran nasional yang tengah populer di masa itu, meningkatkan status ‘menentukan nasib sendiri’ sebagai prinsip politik.<ref name=":1" />
 
Istilah  ''right to self determination''  atau hak untuk menentukan nasib sendiri mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia pada proses penyelesaian konflik yang sangat sensitif, termasuk peristiwa referendum [[Timor Timur]] pada tahun 1999 dan perundingan [[Aceh]] yang kemudian melahirkan [[Otonomi Khusus]].<ref name=":12">{{Cite webnews|url=http://nasional.kompas.com/read/2017/09/01/23091381/hak-menentukan-nasib-sendiri-alternatif-penyelesaian-konflik-rohingya|title=Hak Menentukan Nasib Sendiri, Alternatif Penyelesaian Konflik Rohingya Halaman all|last=Media|firstwork=[[Kompas Cyber|website=KOMPAS.com]]|access-date=2017-12-10|editor-last=Sodikin|editor-first=Amir|date=2017-09-01|first=Agus|last=Suntoro|archive-date=2022-08-11|archive-url=https://web.archive.org/web/20220811111608/https://nasional.kompas.com/read/2017/09/01/23091381/hak-menentukan-nasib-sendiri-alternatif-penyelesaian-konflik-rohingya|dead-url=no}}</ref> Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang [[Eropa]] pasca-[[Perang Dunia I]].<ref name=":0" /> Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri mendapat pembelaan dari tokoh internasional yang memiliki landasan [[ideologi]] berbeda, yakni [[Vladimir Lenin]] (dari 1903 sampai 1917)<ref name=":2">{{Cite web |url=http://etheses.lse.ac.uk/923/1/Knudsen_Moments_of_Self-determination.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2017-12-06 |archive-date=2023-05-23 |archive-url=https://web.archive.org/web/20230523012714/http://etheses.lse.ac.uk/923/1/Knudsen_Moments_of_Self-determination.pdf |dead-url=no }}</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1914/self-det/ch01.htm|title=Lenin: 1914/self-det: 1. WHAT IS MEANT BY THE SELF-DETERMINATION OF NATIONS?|last=Lenin|first=V.I.|website=www.marxists.org|access-date=2017-12-07|archive-date=2023-07-28|archive-url=https://web.archive.org/web/20230728192907/https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1914/self-det/ch01.htm|dead-url=no}}</ref> dan presiden [[Woodrow Wilson]] (pada 1918)<ref name=":2" />.<ref name=":3">{{Cite web|url=http://www.austlii.edu.au/au/journals/MqLJ/2003/3.html|title=SELF-DETERMINATION, INTERNATIONAL SOCIETY AND WORLD ORDER - [2003] MqLJ 3; (2003) 3 Macquarie Law Journal 29|website=www.austlii.edu.au|access-date=2017-12-06|archive-date=2021-02-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20210225032516/http://www.austlii.edu.au/au/journals/MqLJ/2003/3.html|dead-url=no}}</ref> Pidato Lenin bersifat lebih universal, meskipun pada akhirnya kurang berpengaruh. Sebaliknya, [[14 Pokok Wilson]] menguraikan sejumlah prinsip berkenaan dengan menentukan nasib sendiri,<ref name=":11">{{Cite journal|title=Self|url=http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873|language=en|doi=10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873|access-date=2017-12-07|archive-date=2022-11-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20221127092447/https://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873|dead-url=no}}</ref> namun hanya diterapkan untuk orang-orang Eropa,<ref name=":4">{{Cite news|url=https://www.beyondintractability.org/essay/self-determination|title=Self-Determination Procedures|last=corissajoy|date=2016-07-13|newspaper=Beyond Intractability|language=en|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-06-09|archive-url=https://web.archive.org/web/20230609103926/https://www.beyondintractability.org/essay/self-determination|dead-url=no}}</ref> dimana gagasan menentukan nasib sendiri tersebut berkembang secara berbeda di [[Eropa Tengah]] dan [[Eropa Timur]], dengan di [[Eropa barat]].<ref>Thomas D. Musgrave, Self-Determination and National Minorities (New York: Oxford University Press, 1997), chr. 1.</ref> Berkembangnya negara-negara moderenmodern di Eropa, dan meningkatnya kesadaran nasional yang tengah populer di masa itu, meningkatkan status ‘menentukan nasib sendiri’ sebagai prinsip politik.<ref name=":1" />
Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh ''League of Nations'' ([[liga bangsa-bangsa]] – LBB) untuk memeriksa kasus [[pulau Aland]], wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang [[Swedia]], dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara [[Finlandia]] yang baru merdeka dari [[kekaisaran Rusia]] pada Desember 1917.<ref name=":5">{{Cite web|url=https://pesd.princeton.edu/?q=node/254|title=Legal Aspects of Self-Determination {{!}} Encyclopedia Princetoniensis|website=pesd.princeton.edu|access-date=2017-12-06}}</ref> Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik moderen, terutama sejak Perang Dunia I, prinsip ini tidak ditemukan dalam perjanjian LBB.<ref name=":11" /> Pengakuan prinsip menentukan nasib sendiri pada sejumlah perjanjian internasional tertentu tidak dapat dianggap cukup untuk prinsip ini dapat diletakkan pada kaki yang sama dengan [[peraturan positif]] Hukum Bangsa-Bangsa ''(Law of Nations'').<ref>Report of the International Committee of Jurists entrusted by the Council of the League of Nations with the task of giving an advisory opinion upon the legal aspects of the Aaland Islands question, League of Nations Off. J., Spec. Supp. No. 3 (Oct. 1920) at 5.</ref> Kelompok ahli kedua mencapai simpulan yang hampir serupa dengan lingkup menentukan nasib sendiri kelompok pertama, mengistilahkannya sebagai “sebuah prinsip keadilan dan kebebasan yang diekspresikan dalam formula yang samar-samar dan umum, sehingga menimbulkan bermacam-macam interpretasi dan pendapat yang berbeda-beda.”<ref>The Aaland Islands Question, Report presented to the Council of the League by the Commission of Rapporteurs, League of Nations Doc. B.7.21/68/106 (1921) at 27.</ref>
 
Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh ''League of Nations'' ([[liga bangsa-bangsa]] – LBB) untuk memeriksa kasus [[pulau Aland]], wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang [[Swedia]], dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara [[Finlandia]] yang baru merdeka dari [[kekaisaran Rusia]] pada Desember 1917.<ref name=":5">{{Cite web|url=https://pesd.princeton.edu/?q=node/254|title=Legal Aspects of Self-Determination {{!}} Encyclopedia Princetoniensis|website=pesd.princeton.edu|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-02-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20230205230011/https://pesd.princeton.edu/?q=node/254|dead-url=no}}</ref> Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik moderenmodern, terutama sejak Perang Dunia I, prinsip ini tidak ditemukan dalam perjanjian LBB.<ref name=":11" /> Pengakuan prinsip menentukan nasib sendiri pada sejumlah perjanjian internasional tertentu tidak dapat dianggap cukup untuk prinsip ini dapat diletakkan pada kaki yang sama dengan [[peraturan positif]] Hukum Bangsa-Bangsa ''(Law of Nations'').<ref>Report of the International Committee of Jurists entrusted by the Council of the League of Nations with the task of giving an advisory opinion upon the legal aspects of the Aaland Islands question, League of Nations Off. J., Spec. Supp. No. 3 (Oct. 1920) at 5.</ref> Kelompok ahli kedua mencapai simpulan yang hampir serupa dengan lingkup menentukan nasib sendiri kelompok pertama, mengistilahkannya sebagai “sebuah prinsip keadilan dan kebebasan yang diekspresikan dalam formula yang samar-samar dan umum, sehingga menimbulkan bermacam-macam interpretasi dan pendapat yang berbeda-beda.”<ref>The Aaland Islands Question, Report presented to the Council of the League by the Commission of Rapporteurs, League of Nations Doc. B.7.21/68/106 (1921) at 27.</ref>
 
== Varian interpretasi ==
Di dalam konteks masyarakat internasional yang semakin berkembang, beberapa masalah timbul dari prinsip menentukan nasib sendiri. Salah satu manifestasi menentukan nasib sendiri yakni menentukan nasib sendiri nasional, yang merupakan solusi terkait masalah teritorial yang kronis dalam [[hubungan internasional]], namuntetapi di lain pihak merupakan sumber ancaman bagi stabilitas teritorial.<ref name=":3" /> Mendekati abad ke-20, prinsip ini dapat berarti:<ref name=":1" />
# hak orang-orang dalam wilayah perbatasan tertentu untuk memilih bentuk pemerintahan mereka sendiri, atau mendapatkan kemerdekaan mereka dari tangan [[kolonial]].
# hak suatu kelompok etnis, bahasa, atau agama untuk mendefinisikan ulang batas-batas wilayah mereka agar memperoleh kedaulatan nasional yang terpisah, atau lebih sederhananya mendapatkan derajat [[otonomi]] dan bahasa atau identitas agama yang lebih besar, di dalam sebuah negara yang berdaulat.
# hak sebuah unit politik di dalam suatu sistem federal seperti [[Kanada]], [[Chechnya]], [[Uni Soviet]], atau [[Yugoslavia]] untuk melepaskan diri dari federasi dan menjadi negara independen yang berdaulat.
Demikian lebarnya pandangan-pandangan berlainan terkait situasi dalam suatu negara menyebabkan sulitnya menemukan definisi yang pasti mengenai hak menentukan nasib sendiri agar bisa digunakan sebagai alat hukum untuk menyelesaikan perselisihan.<ref name=":5" /> Kebingungan mengenai prinsip menentukan nasib sendiri, yakni bersumber dari kegagalan mendefinisikan pihak yang berhak membuat klaim yang dimaksud dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia internasional- orang perseorangan, kelompok, atau bangsa- dan seperti apa hak tersebut diberikan. Presiden Woodrow Wilson merupakan negarawan yang teridentifikasi paling dekat dengan prinsip menentukan nasib sendiri.<ref name=":6">{{Cite web |url=https://www.usip.org/sites/default/files/pwks7.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2017-12-06 |archive-date=2023-05-16 |archive-url=https://web.archive.org/web/20230516103743/https://www.usip.org/sites/default/files/pwks7.pdf |dead-url=no }}</ref>  Ia mempertimbangkan penerapan beberapa prinsip untuk mengakhiri perang dan mendasari era baru perdamaian dan keadilan.<ref name=":7">{{Cite news|url=http://www.e-ir.info/2014/04/17/what-is-self-determination-using-history-to-understand-international-relations/|title=What Is Self-Determination? Using History to Understand International Relations|newspaper=E-International Relations|language=en-GB|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-01-30|archive-url=https://web.archive.org/web/20230130231329/http://www.e-ir.info/2014/04/17/what-is-self-determination-using-history-to-understand-international-relations/|dead-url=no}}</ref> Namun, istilah/prinsip menentukan nasib sendiri itu tidak muncul dalam ‘''Fourteen Points’'' (14 pokok) yang dikemukakannya mengenai hak minoritas di dalam negara yang lebih besar, dan ia juga tidak pernah menyebutkan pendirian negara baru yang independen.<ref name=":6" /> Prinsip menentukan nasib sendiri kemudian terdapat pula dalam [[piagam Atlantik]] dan [[proposal Dumbarton Oaks]].<ref name=":0" />
 
Menentukan nasib sendiri menjadi resmi secara hukum setelah tahun 1945, ketika prinsip ini dimuat dalam [[Piagam PBB]], meskipun prinsip ini diterapkan untuk negara yang sudah ada, dan bukan untuk kelompok orang atau kelompok bangsa.<ref name=":6" /> Prinsip menentukan nasib sendiri dalam piagam PBB berada dalam konteks pengembangan hubungan persahabatan antar negara-negara dan yang bersinggungan dengan prinsip persamaan hak. Konteks ini jelas berada di luar konteks negara, termasuk di dalamnya wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri, sehingga orang/pihak yang dimaksud dalam konteks tersebut tentu belum mencapai pengertian apa yang disebut saat ini dengan [[swapraja]] atau daerah yang berpemerintahan sendiri.<ref name=":5" /> Meski demikian, menentukan nasib sendiri secara cepat berkembang dari sebuah prinsip menjadi sebuah hak, terutama setelah deklarasi tahun 1960, ketika istilah tersebut digunakan untuk menandakan [[dekolonialisasi]]. Pada saat itu, penerapan menentukan nasib sendiri tetap pada wilayah, dan bukan pada kelompok orang.<ref name=":6" /> Dengan berlangsungnya proses dekolonialisasi, prinsip penentuan nasib sendiri yang definisinya dalam Piagam PBB bersifat samar-samar, semakin berkembang menjadi “hak” untuk menentukan nasib sendiri. Perkembangan ini mencapai puncaknya pada dekade antara 1960 dan 1970 ketika sebagian besar negara jajahan meraih kemerdekaan.<ref name=":5" />
Baris 18 ⟶ 19:
 
=== Periode pertama ===
Periode pertama konsep menentukan nasib sendiri dimulai pada abad ke-19, bertahan hingga zaman pemerintahan [[Amerika Serikat]] dipimpin oleh presiden Woodrow Wilson, dan berakhir pada sekitar tahun 1945. [[John Stuart Mill]], di antara ahli yang lainnya, menyatakan bahwa keterkaitan antara etnisitas; bahasa; dan budaya pada satu sisi, dan status sebagai negara pada sisi lain, merupakan pijakan yang melatarbelakangi  pergerakan nasional dipada abad ke-19. Namun Hanum berpendapat, pergerakan nasional klasik pada periode tersebut bukanlah untuk memecah suatu kekuasaan, melainkan untuk menggabungkan kelompok-kelompok/bangsa-bangsa, seperti yang terjadi di [[Jerman]] dan [[Italia]]. Menentukan nasib sendiri sebagai kekuatan politik dalam masyarakat internasional merupakan fenomena yang baru muncul sebagai akibat dari perang dunia I, dan akibat pemecahan wilayah yang termasuk dalam [[kekaisaran Ottoman]] dan [[kekaisaran Austro-HongariaHungaria]]. Kelompok-kelompok nasional yang lebih kecil di dalam kekaisaran berkehendak menarik diri dan membagi wilayah mereka. Menentukan nasib sendiri setelah terdisintegrasinya kekaisaran Ottoman dan kekaisaran Austro-HongariaHungaria, dengan demikian, mengambil bentuk berupa pembagian/pemisahan diri daripada penggabungan teritorial.<ref name=":11" /><ref name=":6" />
 
====== Konferensi perdamaian ======
[[Berkas:The Big Four, Paris peace conference.jpg|jmpl|"Empat Besar" (''the Big Four'') pembuat keputusan utama dalam Konferensi Perdamaian Paris (dari kiri ke kanan, [[David Lloyd George]]  dari Inggris,  Vittorio Emanuele Orlando  dari [[Italia]],  [[Georges Clemenceau]]  dari [[PerancisPrancis]],  Woodrow Wilson  dari Amerika Serikat)]]
Periode pertama setelah perang dunia I ini yang menyebabkan menentukan nasib sendiri menjadi terkemuka secara internasional, dimana prinsip menentukan nasib sendiri suatu bangsa berubah menjadi hak suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan.<ref name=":1" /><ref name=":7" /> Oleh sebab itu, dalam istilah umum, prinsip ini disederhanakan menjadi suatu kepercayaan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membuat negara sendiri dan menentukan pemerintahan mereka sendiri.<ref name=":1" /> Namun pada Konferensi Perdamaian Paris (''Paris Peace Conference'') dipada tahun 1919, [[kekuatan kolonial]] (''colonial powers'') terlibat dalam sebuah perdebatan yang berujung pada suatu kesimpulan bahwa tidak mungkin menentukan nasib sendiri diberikan kepada semua orang.<ref name=":7" /><ref>Manela, Erez. The Wilsonian Moment : Self-Determination and the International Origins of Anticolonial Nationalism. Oxford; New York: Oxford University Press, 2007.</ref> Perwakilan kekuatan kolonial berpendapat bahwa pada saat itu, orang-orang jajahan harus dikecualikan dari proses karena belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik. Menentukan nasib sendiri oleh sebab itu menjadi sebuah prinsip ''[[Ad hoc|''ad hoc]]'']] (khusus) yang dapat diberikan hanya kepada negara-negara yang terkait dengan berakhirnya perang.  Dengan demikian, pihak yang dapat menjalankan menentukan nasib sendiri ialah kelompok etnis yang dimobilisasi secara nasional selama abad ke-19 di bawah kekaisaran Austro-HongariaHungaria, [[kekaisaran Jerman]], kekaisaran Ottoman, dan kekaisaran Rusia.<ref name=":7" /> Dengan cepat, menentukan nasib sendiri bergulir menjadi isu [[etnis]]. Pemahaman kedaulatan menjadi berakar pada ide bangsa, dan bangsa secara spesifik terdefinisi menjadi istilah nasional-etnis (''ethno-national''). Selama konferensi perdamaian tersebut diketahui mustahil untuk menetapkan batas negara dari negara-negara yang baru terbentuk pascapemecahan area-area dalam kekaisaran tersebut.<ref name=":7" /> Konstitusi negara-negara baru yang berada di wilayah yang sebelumnya dimiliki oleh kekaisaran Eropa dinyatakan dalam basis persamaan [[warga negara]], dan mereka memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi beberapa bulan setelah pembentukan negara secara resmi, otoritas domestik meletakkan prioritas kelompok-kelompok populasi berdasarkan identifikasi etnis masing-masing. Praktik-praktik diskriminasi seperti itu seringkalisering kali dibenarkan secara domestik atas nama menentukan nasib sendiri dan toleransi internasional, disebabkan karena formulasi yang ambigu dari prinsip hak minoritas.<ref name=":7" />
 
====== Praktik diskriminasi ======
[[Berkas:Čuvajte Jugoslaviju.jpg|jmpl|"Jaga/Lindungi Yugoslavia" (''Čuvajte Jugoslaviju''), variasi kalimat yang dianggap sebagai kalimat terakhir Raja Aleksander, dalam sebuah ilustrasi orang-orang [[Yugoslavia]] menarikan tarian bernama [[kolo]].]]
[[Kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia]] (Kerajaan Yugoslavia) merupakan kasus yang menjadi simbol untuk praktik diskriminasi etnis. Terbentuk sehari sebelum Konferensi Perdamaian Paris, dan secara resmi dibentuk berdasarkan persamaan orang-orang yang berada di dalamnya, negara berbentuk kerajaan tersebut diakui oleh ''[[Entente Powers|]]''Entente Powers'']] (aliansi informal) beberapa bulan kemudian dengan penandatanganan [[Perjanjian Saint-Germain-en-Laye (1919)|Perjanjian Saint-Germain]]. Serupa dengan perjanjian lain yang mengakui negara-negara baru antara tahun 1919 dan 1923, dokumen dalam perjanjian Saint-Germain secara simultan mengatur perlakuan terhadap minoritas di dalam Kerajaan.<ref>Djokic, Dejan. Pasic & Trumbic : The Kingdom of Serbs, Croats and Slovenes. London: Haus, 2010.</ref> Penandatanganan perjanjian sebagai persyaratan pengakuan internasional terhadap Kerajaan bersifat kondisional, yakni apabila otoritas nasional kerajaan dapat menjamin bahwa persamaan individu dalam pemerintahan, dan pengakuan kelompok etnis yang berbeda dapat dihormati. Namun demikian, sementara delegasi nasional mendeklarasikan bahwa kerajaan tersebut seperti halnya terdiri dari satu orang, namuntetapi dengan tiga nama- [[Serbia]], [[Kroasia]], dan [[Slovenia]]- sensus terakhir yang dilakukan [[Austro-HongariaHungaria]] pada tahun 1910 mengindikasikan bahwa di daerah yang termasuk wilayah negara baru tersebut, sekurangnya terdapat sembilan kelompok etnis berbeda yang hidup berdampingan disana.<ref name=":7" /> Setelah perpanjangan diskusi dalam konferensi perdamaian tersebut, pada akhirnya diputuskan bahwa empat minoritas diakui secara internasional, yaitu: orang-orang [[Bulgaria]], orang-orang [[Austria]], orang-orang [[HongariaHungaria]], dan “orang-orang [[Muslim]],” meski tetap tidak ada kejelasan mengenai bagaimana hasil seleksi itu dibuat.<ref name=":7" /> Hasil langsung pengakuan politik yang tidak seimbang itu berdampak pada sering dikecualikannya pihak minoritas yang tidak diakui secara internasional, dari keikutsertaan penuh mereka dalam komunitas politik nasional.<ref name=":7" /> Konferensi Perdamaian Paris hanya menciptakan lebih banyak subkelompok yang tidak diberikan negara mereka sendiri, dan secara formal hanya diberikan jaminan untuk menjaga budaya mereka. Pemenang Perang Dunia I mensyaratkan negara-negara baru di Eropa Tengah dan Eropa Timur menerima kondisi tersebut agar dapat diakui, tetapi menolak untuk menerima kewajiban tersebut untuk diri mereka sendiri.<ref name=":4" /> Terobsesi oleh ide keseragaman nasional, negara-negara yang terbentuk setelah pemecahan kekaisaran itu mendirikan administrasi pemerintahan terpusat, dan melakukan [[denasionalisasi]] atau penghilangan hak kebangsaan terhadap orang-orang [[minoritas]].<ref>Claude, Inis. National Minorities an International Problem,. Cambridge: Harvard University Press, 1955.</ref> Selain itu, sebagaimana sejumlah [[petisi]] diterima oleh [[Liga Bangsa-Bangsa]] sejak tahun 1920an, praktik denasionalisasi tersebut seringkalisering kali disertai dengan penggunaan [[kekerasan]] oleh [[negara]] dan [[otoritas lokal]] sebagai bentuk [[intimidasi]]. Praktik-praktik diskriminasi telah dijadikan instrumen oleh pihak otoritas negara, dengan mengatasnamakan menentukan nasib sendiri dan hak minoritas.<ref name=":7" />
 
=== Periode ke-duakedua ===
[[Berkas:Nazi Holocaust by bullets - Jewish mass grave near Zolochiv, west Ukraine.jpg|jmpl|Sisa-sisa korban orang Yahudi setelah dieksekusi peluru oleh Nazi Jerman di dekat Zolochiv, [[Ukrania]] barat]]
Periode ke-duakedua konsep menentukan nasib sendiri ditandai dengan berdirinya ''United Nation'' – UN ([[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] – PBB) dipada tahun 1945.<ref name=":6" /> Menentukan nasib sendiri [[kelompok etnis]], seperti yang didefinisikan dalam [[Konferensi Perdamaian Paris 1919|Konferensi Perdamaian Paris]], yang muncul dari [[Perang Dunia II]] ini relatif lebih lemah daripada akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I sebelumnya. Penerapan menentukan nasib sendiri yang dilakukan secara sistematik justru berakibat pada bencana yang terjadi secara tidak parallel.<ref name=":7" /> Para penganut [[nazisme]] dan [[fasisme]] telah menggunakan konsep menentukan nasib sendiri untuk menghilangkan kelompok minoritas dan merasionalkan [[pembunuhan]].<ref>Mazower, Mark. Dark Continent : Europe’s Twentieth Century. New York: A.A. Knopf : Distributed by Random House, 1999.</ref> Semakin meluasnya pandangan mengenai menentukan nasib sendiri muncul setelah beberapa dekade akibat sejumlah alasan tertentu, antara lain:<ref name=":4" />
# adanya ketegangan ekonomi dan politik yang menurunkan keinginan [[kekuatan Eropa]] untuk mempertahankan koloni/wilayah jajahan mereka.
# pertempuran [[perang dingin]] yang mengekspos [[kontradiksi]] klaim barat dalam membela kebebasan, namuntetapi pada saat yang sama mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan mereka.
# bahaya [[perang nuklir]] dan kepentingan yang saling menguntungkan di antara negara-[[negara adidaya]] dalam menopang supremasi mereka, menempatkan sebuah batas ketat pada derajat masing-masing negara [[Dunia Ketiga|dunia ketiga]] untuk meraih apa yang disebut sebagai prinsip ‘menentukan nasib sendiri’.<ref name=":3" />
# kegiatan para aktivis dalam memperjuangkan [[hak asasi manusia]] yang mendapat perhatian luas internasional.
Pada tahun 1945, blok sekutu mengakui adanya dua kelemahan utama dalam konsep menentukan nasib sendiri dari yang diformulasikan setelah Perang Dunia I. Kelemahan pertama ialah norma etnis yang melekat pada konsep menentukan nasib sendiri, dan definisi orang-orang, yang dapat digunakan untuk mendukung praktik-praktik yang tidak boleh dilakukan. Kelemahan kedua ialah kurang terformulasikan dengan jelasnya konsep menentukan nasib sendiri setelah Perang Dunia I, sehingga menyebabkan digunakannya konsep tersebut sebagai instrumentalisasi berbahaya dan menciptakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya secara internasional.<ref name=":7" /> Di [[musim semi]] tahun 1945, [[Pihak Sekutu di Perang Dunia II|blok sekutu]] menghadapi tanggung jawab melakukan rekonstruksi pascaperang. Di antara tugas mereka ialah mengutuk dan memberikan penghukuman atas kejahatan sistematik terhadap populasi domestik yang dilakukan atas nama prinsip yang diakui secara internasional, menentukan nasib sendiri. Di dalam konteks yang tengah dihadapi oleh blok sekutu pada saat itu, satu hal yang jelas bagi mereka ialah peninjauan dan formulasi ulang yang harus dilakukan terhadap prinsip menentukan nasib sendiri. Oleh sebab itu, prinsip tersebut kemudian diformalkan dalam [[hukum internasional]] melalui inklusinya di dalam [[piagam PBB]].<ref name=":7" />
====== Piagam PBB ======
[[Berkas:UN charter logo.png|jmpl|Lambang yang ditampilkan di halaman depan Piagam PBB, 26 Juni 1945, yang kemudian diadopsi menjadi bendera PBB]]
Menentukan nasib sendiri di dalam PBB menempati posisi yang lebih penting dibandingkan di dalam organisasi pendahulunya, LBB,<ref name=":8"><nowiki>https://scholarship.law.duke.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.google.com/&httpsredir=1&article=1957&context=dlj</nowiki> </ref> karena menentukan nasib sendiri secara jelas tertera  dalam artikel Piagam PBB.<ref name=":0" /> Perjanjian LBB tidak menyebut secara langsung prinsip menentukan nasib sendiri (tidak menggunakan kata/istilah tersebut) di dalam sistem mandat yang didirikannya, dan identifikasi mandat dan implementasi sistem sepenuhnya bergantung pada politik, bukan pada hukum.<ref name=":5" /><ref>Quincy Wright, Mandates under the League of Nations (Chicago: Univ. of Chicago Press, 1930); R.N. Chowdhuri, International Mandates and Trusteeship Systems: A Comparative Study (The Hague: Martinus Nijhoff, 1955).</ref> Tidak seperti dalam perjanjian LBB, Piagam PBB menyebut menentukan nasib sendiri sebanyak dua kali.<ref name=":6" /> Artikel 1(2) Piagam PBB secara eksplisit menyebutkan bahwa tujuan PBB ialah menjadi pengembang “hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri orang-orang, dan mengambil langkah yang sesuai untuk memperkuat kedamaian universal.” Artikel 55 piagam PBB, berhubungan dengan ekonomi internasional dan kerjasama sosial, menyatakan bahwa PBB akan mendorong obyektif tertentu “dengan pandangan untuk menciptakan kondisi yang stabil dan kesejahteraan yang diperlukan untuk kedamaian dan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri…”<ref name=":8" /> Pencantuman menentukan nasib sendiri dalam Piagam PBB menandai pengakuan universal prinsip ini sebagai dasar pemeliharaan hubungan perdamaian dan persahabatan di antara negara-negara.<ref name=":0" /> Namun seperti halnya dalam Konferensi Perdamaian Paris, menentukan nasib sendiri terdefinisi secara lepas dan mengundang perbantahan karena mengandung norma yang diduga melebihi ukuran yang dapat terjadi pada semua pihak.<ref name=":7" /> Istilah dalam piagam tersebut merujuk pada negara, dan bukan pada orang-orang atau kelompok. Meskipun demikian, dengan dituliskannya di dalam piagam, gagasan tersebut segera berkembang dari sebuah prinsip menjadi sebuah hak.<ref name=":6" /> Pada artikel 73 Piagam PBB bahkan ditekankan mengenai keunggulan pemerintahan kolonial atas nama “kesejahteraan penduduk wilayah (yang tidak diperintah sendiri).”<ref name=":11" /> Hal ini mengungkap kontradiksi yang semakin berkembang, yang oleh delegasi kekuatan kolonial itu temukan dalam diri mereka sendiri.<ref name=":7" /> Referensi mengenai menentukan nasib sendiri lebih jauh ditelusuri hingga ke proposal Dumbarton Oaks, yang merupakan rancangan yang dibuat oleh anggota pendiri PBB pada saat akan mendirikan PBB.<ref name=":8" />
 
====== Pekerjaan persiapan (''travaux preparatoires'') ======
Dalam proposal Dumbarton Oaks, pada artikel 1(2) dan artikel 55 tidak mengandung referensi apapun mengenai menentukan nasib sendiri. Proposal Dumbarton Oaks sesuai artikel 1(2) dirancang sederhana “untuk mengembangkan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa dan mengambil langkah dalam memperkuat kedamaian internasional.” Pernyataan “berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri orang-orang” ditambahkan untuk pertama kalinya di [[Konferensi San Fransisco]], pada saat empat kekuatan pendukung- [[Tiongkok]], [[Kerajaan Inggris]], Amerika Serikat, dan Uni Soviet- berkumpul.<ref name=":8" /> Disebutkan bahwa Uni Soviet menginisiasi penambahan yang muncul di artikel 1(2) proposal Dumbarton Oaks, yang mengandung referensi untuk “menentukan nasib sendiri orang-orang.” Dalam menjelaskan lingkup konsep tersebut, Tuan [[Molotov]] dilaporkan telah mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa Uni Soviet “meletakkan kepentingan peringkat pertama” prinsip “persamaan dan menentukan nasib sendiri bangsa-bangsa” yang baru ditambahkan tersebut. Tujuan penambahan tersebut dituduh dapat “menarik perhatian populasi tertentu dari berbagai koloni dan wilayah-wilayah yang dimandatkan,” yang dapat membantu merealisasikan kepentingan mereka dengan segera.<ref name=":8" /><ref>Russell & Muther, A History of the United Nations Charter 810-811 (1958).</ref> Keempat kekuatan pendukung tidak meninggalkan penjelasan definitif mengenai pengertian menentukan nasib sendiri, ataupun konteks dalam kedua artikel yang mencantumkan konsep menentukan nasib sendiri. Namun demikian, komite yang mendiskusikan konsep tersebut telah mengatakan bahwa: berkenaan dengan prinsip menentukan nasib sendiri, ditekankan dengan kuat pada satu sisi bahwa prinsip ini menerangkan keinginan orang-orang dimanapun berada, dan oleh karena itu sudah seharusnya secara jelas disampaikan di dalam isi Bab; di sisi lain, dikatakan bahwa prinsip menentukan nasib sendiri sesuai dengan tujuan piagam hanya sejauh apabila prinsip tersebut menyiratkan hak pemerintahan sendiri dari orang-orang, dan bukan hak untuk melepaskan diri (''secession'').<ref name=":8" /><ref>Doc. No. 343, I/1/16, 6 U.N. Conf. Int'l Org. Docs. 296 (1945).</ref>
 
====== Pendapat hukum ======
Pendapat hukum menghasilkan jawaban yang bervariasi atas pertanyaan sifat alami prinsip menentukan nasib sendiri. Beberapa pendapat menyatakan bahwa prinsip menentukan nasib sendiri merepresentasikan sebuah perkembangan baru dalam hukum internasional.<ref name=":8" /><ref>Wright, International Law and the United Nations 49 (1960).</ref> Pendapat lainnya mengatakan bahwa prinsip tersebut tidak berarti lebih daripada deklarasi aturan yang sudah ada dalam hukum internasional.<ref name=":8" /><ref>Lachs, The Law in and of the United Nations, 1 Indian J. Int’l. L. 429, 432 (1961).</ref> Terlepas dari kedua pandangan tersebut, tersisa fakta bahwa menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari Piagam PBB dan mempunyai signifikansi hukum yang mendalam terhadap dunia politik moderen.<ref name=":8" />
 
====== Dekolonialisasi ======
Transformasi besar terjadi pada tahun 1950an ketika delegasi dari negara dunia ketiga yang telah independen menggunakan PBB sebagai arena politik untuk menegakkan perkara menentukan nasib sendiri untuk orang-orang yang masih berada di bawah pemerintahan kolonial.<ref name=":7" /> Perang dingin turut memberikan dampak pula dengan batas tertentu terhadap proses dekolonialisasi.<ref name=":3" /> Dengan berakhirnya perang dingin, semakin banyak negara yang menagih hak untuk menentukan nasib sendiri, yang berarti mereka menginginkan negara bangsa mereka sendiri, atau beberapa tingkat otonomi di dalam negara bangsa lainnya.<ref name=":4" />  Pergerakan tersebut mengimbangi keinginan negara induk koloni, namuntetapi tetap memerlukan hingga sepenuh dekade, atau selama keseluruhan periode negosiasi ''UN Covenants on human rights'' (perjanjian PBB mengenai hak asasi manusia) untuk dapat mewujudkannya. Selama dekade tersebut, negara-negara pascakolonial berusaha mencangkok “hak menentukan nasib sendiri” menjadi norma hak asasi manusia.<ref name=":7" /><ref>Reus-Smit, Christian. Individual Rights and the Making of the International System, Cambridge: Cambridge University Press 2013.</ref>
 
Pada gilirannya, kelompok elit pribumi di dalam koloni mengatur untuk menangkap bahasa [[hak asasi manusia]] dalam menjustifikasi klaim mereka mengenai menentukan nasib sendiri dan persamaan. Pencapaian ini termaktub dalam ''1960 General Assembly’s Resolution 1514'' (resolusi 1514 majelis umum 1960), yang meminta penghentian kolonialisme. Selain permintaan menentukan nasib sendiri dan hak asasi manusia, Resolusi 1514 juga bermuara pada pembentukan serangkaian negara baru di [[Asia]] dan [[Afrika]].<ref name=":7" /> Naskah terkemuka pertama pada era [[Pascakolonialisme (hubungan internasional)|pascakolonialisasi]],<ref name=":5" /> sekaligus dokumen yang paling penting dalam mempromosikan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan juga salah satu dokumen yang memberikan indikasi jelas mengenai makna menentukan nasib sendiri selama periode ke-duakedua ialah ''Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples'' (deklarasi pengabulan kemerdekaan terhadap negara jajahan dan orang-orang di dalamnya) oleh [[Majelis Umum PBB]] pada tahun 1960.<ref name=":6" /> Kriteria yang mendasari hak tersebut tidak termasuk pemilikan etnis, bahasa, atau budaya yang berbeda, namuntetapi menentukan nasib sendiri dalam dokumen tersebut merupakan istilah yang digunakan untuk dekolonialisasi. Pada kenyataannya terdapat empat prinsip yang menandai gagasan menentukan nasib sendiri selama periode dua ini, yaitu:<ref name=":6" />
# menentukan nasib sendiri hanya merujuk pada dekolonialisasi, dengan kolonialisme merupakan satu-satunya bentuk interferensi yang dapat menjamin pengaplikasian prinsip menentukan nasib sendiri.<ref name=":3" />
# tidak diterapkan pada orang-orang, tetapi pada wilayah.
# menentukan nasib sendiri pada saat itu dipertimbangkan sebagai hak mutlak- meskipun, sekali lagi, hanya diterapkan untuk koloni; prinsip ini menandakan perubahan signifikan dari periode sebelumnya.
# menentukan nasib sendiri tidak mengizinkan penarikan/pemisahan diri; melainkan integritas teritorial dari negara yang sudah ada, dan diasumsikan untuk wilayah jajahan.
[[Berkas:Africa independence dates.PNGsvg|jmpl|Tahun kemerdekaan negara-negara Afrika]]
[[Euforia]] umum yang menimbulkan opini publik internasional sedemikian halnya sehingga menandakan tahun 1960 sebagai “tahun Afrika,” tidak terjadi dengan cara yang sama di antara beberapa negara yang baru terbentuk. Ketika negara bekas jajahan menarik batas komunitas politik mereka, diskriminasi seringkalisering kali masih berlaku dengan suatu pengecualian kecil, pemimpin dari negara yang baru diproklamirkan menetapkan praktik diskriminasi formal dan informal, dan sering melibatkan ikatan kekerabatan yang dekat dengan mereka untuk menyokong kelompok domestik tertentu atas kelompok lainnya.<ref name=":7" /> Perangkat nilai yang mengatur orde [[liberal]] internasional dalam negara yang baru dibentuk, secara sederhana tidak tecermin dalam wilayah negara baru tersebut. Hal itu dapat dipahami karena negara-negara baru tersebut tidak mempunyai pengalaman dengan struktur negara dan pengakuan [[hak]]. Negara-negara baru tersebut kesemuanya terbentuk mengikuti prinsip arbitrase ''[[Uti possidetis|''uti possidetis]]'']], bahwa status negara merdeka diberikan dengan syarat mengikuti panduan formal dari negara-negara kolonial/penjajah mereka.<ref name=":7" /> Meski demikian, penjelasan yang menekankan persistensi norma kolonial di dalam negara yang baru terbentuk, tidak mendapatkan banyak popularitas. Sebagai gantinya, sebagian besar ahli berpendapat bahwa diskriminasi terjadi karena penerapan menentukan nasib sendiri berakibat pada kemerdekaan yang prematur, atau pada suatu [[retribalisasi]] politik.<ref name=":7" /><ref>Mazrui, Ali A. Africa’s International Relations: The Diplomacy of Dependence and Change. London [u.a.]: Heinemann [u.a.], 1977.</ref>
 
Menentukan nasib sendiri merupakan prinsip yang menyebabkan berakhirnya sejumlah kekaisaran, yang pertama terjadi di Eropa, dan kemudian di wilayah kolonial, selanjutnya pada konstitusi kemerdekaan di berbagai negara.<ref name=":7" /> Untuk beberapa kasus, karena adanya norma tidak campur tangan (''non-interference'') selama perang dingin,<ref name=":7" /><ref>Glanville, Luke. Sovereignty and the Responsibility to Protect: A New History, 2014.</ref> bila kekerasan terjadi setelah kemerdekaan, hal tersebut secara fundamental menjadi masalah domestik. Prinsip menentukan nasib sendiri, meski demikian, terdapat pula dalam artikel pertama perjanjian PBB mengenai Hak Sipil dan Hak Politik tahun 1966- walaupun dokumen tersebut telah dinegosiasi di sepanjang tahun 1950an, dan sekali lagi definisi menentukan nasib sendiri tidak sepenuhnya tepat.<ref name=":7" /><ref>Nowak, Manfred. UN Covenant on Civil and Political Rights : CCPR Commentary. Kehl [u.a.]: Engel, 1993.</ref>
 
=== Periode ke-tigaketiga ===
Periode ke-tigaketiga perkembangan prinsip menentukan nasib sendiri dimulai dengan berakhirnya masa dekolonialisasi di akhir tahun 1970an, dan berlanjut hingga ke masa sekarang. Tahap ini ditandai dengan percobaan dalam beberapa dekade terakhir untuk menggabungkan dua periode menentukan nasib sendiri sebelumnya, yaitu hak etnis dan budaya minoritas, seperti yang dicetuskan presiden Woodrow Wilson, dengan absolutisme teritorial dekolonialisasi. Periode ketiga ini menghasilkan kecenderungan untuk mendefinisikan ulang gagasan menentukan nasib sendiri yang berarti setiap etnis atau kelompok nasional berbeda mempunyai hak untuk merdeka.  Meskipun gagasan menentukan nasib sendiri dalam pengertian populer telah diartikan sedemikian, pengertian tersebut tidak diterima oleh negara manapun, ataupun oleh hukum internasional.<ref name=":6" /> Selanjutnya prinsip menentukan nasib sendiri disebut dalam ''1975 Helsinki Final Act'' (undang-undang akhir Helsinki), yang memberikan asal-mula pada konferensi untuk keamanan dan kerjasama di Eropa (''Conference for Security and Cooperation in Europe''). Namun, [[Koskenniemi]] berpendapat bahwa suatu hal yang meragukan, apakah pernyataan prinsip yang dimaksud akan diambil secara harfiah, sebab potensi revolusioner prinsip yang dihasilkan dari konferensi tersebut menekankan pada integritas teritorial.<ref name=":7" />
 
Pada periode ke-tigaketiga ini telah terdapat gerakan untuk mengombinasikan gagasan hak minoritas dan dekolonialisasi, yang mendukung pendefinisian menentukan nasib sendiri sebagai hak untuk setiap kelompok etnis. Sisi menarik dari nilai [[demokratis]] juga mendorong kesadaran diri masyarakat etnis, dan pada beberapa kasus menyebabkan gerakan pemisahan diri. [[Komunikasi massa]] oleh sebab itu, memiliki peran yang besar pula dalam penyebaran gagasan menentukan nasib sendiri seperti yang diartikan dalam periode ke-tigaketiga ini. [[Nasionalisme]], [[etnisitas]], dan [[agama]] semakin meningkat penggunaannya sebagai alat untuk mengekspresikan ketidakseimbangan kekuatan ekonomi serta bentuk kerugian lain yang dialami, dan utamanya lebih terlihat di beberapa negara dunia ketiga yang tengah menghadapi perkembangan ekonomi yang cepat, serta [[urbanisasi]], seiring dengan merosotnya [[pelayanan publik]]. Di negara-[[negara berkembang]], kelompok-kelompok marjinal mencari sumber identitas dan loyalitas baru di luar negara yang mengabaikan mereka. Alternatif sumber identitas seperti etnisitas dan agama, dan penggunaannya sebagai instrumen politik, oleh sebab itu, menjadi semakin meningkat.<ref name=":6" />
 
====== Pemisahan Yugoslavia ======
Sementara waktu perdebatan atas menentukan nasib sendiri dianggap telah berakhir, pemisahan Yugoslavia membawa kembali klaim nasional menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas kepada dunia internasional. Menentukan nasib sendiri pada kasus pemisahan Yugoslavia diformulasikan untuk mengesahkan negara-negara baru, dan juga untuk menjustifikasi praktik pembersihan etnis secara fisik dan administratif.<ref name=":7" /> Meskipun PBB telah mendorong pemerintahan ideal yang tidak bergantung pada etnis setelah Perang Dunia II, etnisitas sebagai kategori identifikasi tidak pernah benar-benar hilang dari [[Balkan]].<ref name=":7" /><ref>Stiks, Igor. “A Laboratory of Citizenship: Nations and Citizenship in the Former Yugoslavia and Its Successor States.” 2009.</ref> Menentukan nasib sendiri mengandung konflik antara dua komponen di dalamnya yang saling bersaing.<ref name=":3" />  Setelah hampir setengah abad, pada kenyataannya, etnisitas tetap menjadi permasalahan yang berkaitan dengan pengakuan politik nasional.<ref name=":7" /> Setelah berakhirnya perang dingin, bentuk disintegrasi merupakan hasil yang diambil untuk kasus menentukan nasib sendiri antara Uni Soviet dan Yugoslavia.<ref name=":3" /> Dengan kematian [[Josip Broz Tito]] dipada tahun 1980 dan diikuti dengan krisis yang berakhir dengan pemecahan Yugoslavia, dunia menemukan keberlanjutan klaim menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas. Di samping itu, klaim tersebut juga dibuat secara tepat di area dimana pada tahun 1919, para penggagas Konferensi Perdamaian Paris mencoba memberikan jaminan pada proses transisi dari kekaisaran menuju negara-bangsa. Perbedaannya ialah, ketika dipada tahun 1990an para pemimpin yang baru memproklamirkan diri menyampaikan klaim menurut perspektif mereka sendiri, sedangkan dipada tahun 1919 klaim yang dibuat tidak ditoleransi secara internasional. Dengan kata lain, upaya mengonstitusikan negara-etnis bangsa diterima sebagai suatu penyimpangan dari ide liberal mengenai hak asasi manusia dan status negara yang sah.<ref name=":7" />
[[Berkas:Yugoslavia ethnic map.jpg|jmpl|Map etnik Yugoslavia berdasarkan data sensus 1991]]
Pada tahun 1991, lebih dari satu tahun setelah Kroasia dan Slovenia menunjukkan tanda-tanda awal mereka ingin memproklamasikan kemerdekaan dari Serbia, ''Council of Ministers of the European Community'' – EC (dewan menteri komunitas Eropa) membentuk komisi arbitrase khusus, yang dikenal dengan nama [[Komite Badinter]].  Pada September 1991, dimulai Konferensi Internasional mengenai Yugoslavia yang dipimpin oleh Sekretaris Luar Negeri Inggris [[Lord Carrington]]. Konferensi ini terdiri dari para mediator dewan komunitas Eropa dan perwakilan pihak-pihak yang terlibat, yakni delegasi Yugoslavia dan perwakilan masing-masing republik konstituen. Beberapa bulan kemudian, Komite konferensi tersebut mengikuti prinsip ''uti possidetis'' mengakui batas antara Kroasia, Bosnia, dan Serbia. Dengan menerapkan prinsip kolonial pengakuan batas kepada orang-orang Balkan, Konferensi mengakui batas internal yang diakui sebelumnya, sebagai perbatasan internasional yang baru. Dalam melakukan hal tersebut, Konferensi mengakui kemungkinan adanya kebetulan (''coincidence'') di antara batas-batas negara-negara baru tersebut dengan klaim bangsa etnis. Maka sejak tahun 1990an, pemimpin yang baru memproklamirkan diri menemukan di dalam pengakuan internasional, adanya justifikasi tidak langsung untuk membentuk negara berdasar pada etnis.<ref name=":7" />
 
Kebingungan yang meliputi respon terhadap klaim menentukan nasib sendiri etnis menjadi semakin menonjol. Intervensi terakhir yang terjadi di [[Bosnia]], bersamaan dengan pendirian daerah perlindungan internasional, stigmatisasi Serbia, dan indulgensi internasional terhadap Kroasia, diikuti dengan kejadian panjang di Kosovo, mengendapkan hal yang diistilahkan sebagai krisis menentukan nasib sendiri internasional.<ref name=":7" /> Dalam pidato di depan Majelis Umum PBB pada tahun 1991, pangeran [[Hans-Adam II dari Liechtenstein]] mengutarakan niatnya untuk mengejar arahan baru untuk menentukan nasib sendiri. Pandangan yang ia terangkan ialah untuk menciptakan kerangka hukum baru dengan tujuan memberikan administrasi sendiri yang lebih besar kepada komunitas lokal. Ia berharap agar dalil menentukan nasib sendiri menjadi berkurang, kaitannya dengan batas nasional. Beberapa pihak melihat manfaat proposal dari pangeran [[Liechtenstein]] itu berpotensi menegaskan hak menentukan nasib sendiri secara simbolik, dan pada saat yang sama membatasi potensi yang dapat membuat sistem internasional menjadi tidak stabil.<ref name=":4" /><ref>Richard Falk, Self-Determination Under International Law: The Coherence of Doctrine Versus the Incoherence of Experience. In The Self-Determination of Peoples: Community, Nation, and State in an Interdependent World, ed. Wolfgang Danspeckgruber (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2002).</ref>
 
== Dalam hukum internasional ==
Menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional mengambil dua bentuk. Satu bagian yakni mengembangkan hukum hak asasi manusia, yang disebutkan dalam gagasan memberikan kepada setiap individu kendali yang lebih besar atas kehidupan mereka. Bagian lainnya, yaitu bagian yang lebih mengundang perdebatan, melibatkan kelompok yang membuat klaim untuk mendirikan negara independen yang berkedaulatan.<ref name=":4" /><ref name=":9">Richard Falk, Self-Determination Under International Law: The Coherence of Doctrine Versus the Incoherence of Experience. In The Self-Determination of Peoples: Community, Nation, and State in an Interdependent World, ed. Wolfgang Danspeckgruber (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2002), 42-3.</ref> Atau dalam gagasan moderen mengenai hak menentukan nasib sendiri diusulkan adanya spektrum atau rentang dimana hak tersebut dapat diterapkan, yang dapat dibedakan menjadi menentukan nasib sendiri internal dan eksternal. Menentukan nasib sendiri internal mengacu pada variasi hak politik dan sosial, dan menentukan nasib sendiri eksternal mengacu pada kemerdekaan hukum penuh atau pemisahan diri untuk segolongan orang dari segi politik-hukum (''politico-legal'') yang lebih besar, misalnya negara.<ref>{{Cite web|url=https://www.law.cornell.edu/wex/self_determination_international_law|title=Self determination (international law)|last=Mamlyuk|first=Boris|date=2010-04-04|website=LII / Legal Information Institute|language=en|access-date=2017-12-06|archive-date=2017-09-06|archive-url=https://web.archive.org/web/20170906153402/https://www.law.cornell.edu/wex/self_determination_international_law|dead-url=no}}</ref> Namun demikian, klaim mendirikan negara dengan dalil menentukan nasib sendiri seperti yang diakui dipada era 1960an, ditafsirkan sebagai hak menentukan nasib sendiri bagi wilayah kolonial untuk merdeka, atau menggunakan status lain yang mereka pilih atau inginkan. Etnis atau kelompok yang berbeda di dalam koloni tidak mempunyai hak untuk memisahkan diri dari orang-orang di wilayah yang sama dengan mereka secara keseluruhan.<ref name=":5" /> Hak untuk menentukan nasib sendiri terpisah dari hak untuk melepaskan diri dan membentuk negara merdeka, sebagaimana tidak ada hak untuk membentuk negara baru yang tercantum di dalam hukum internasional.<ref name=":6" />
[[Berkas:Flag of Quebec.svg|jmpl|Bendera Quebec]]
[[Berkas:Québec, Canada (bleu).svg|jmpl|[[Provinsi Quebec]] ditunjukkan dalam peta Kanada dengan warna biru]]
Baris 85 ⟶ 86:
{| class="wikitable"
|+Tipe klaim menentukan nasib sendiri
| colspan="2" |'''Tipe A - Klaim pemisahan diri dan otonomi''' 
|-
|Orde pertama:
|dekolonialisasi; eliminasi pemerintah asing  (contoh: [[Indonesia]], [[India]], [[Tunisia]])
|-
|Orde ke-duakedua:
|pemisahan diri oleh satuan federal dalam hubungannya dengan pemerintah pusat (contoh: Slovenia, Kroasia, [[Bosnia dan Herzegovina]], [[Slovakia]], [[Kashmir]], dan [[Quebec]])
|-
|Orde ke-tigaketiga:
|satuan unit administratif (contoh: Chechnya, Kosovo, [[Dagestan]])
|-
|Orde ke-empatkeempat:
|komunitas atau bangsa asli (contoh: [[Cree]], [[Navajo]], [[Zapatistas]])
|-
Baris 104 ⟶ 105:
|pilihan status kolonial [[Falkland|kepulauan Falkland]]
|-
|Orde ke-duakedua:
|pilihan [[federalisme]]
|-
|Orde ke-tigaketiga:
|pilihan hukum pemerintah menjamin dan melindungi hak atas akses, partisipasi, dan persamaan
|-
|Orde ke-empatkeempat:
|pilihan pengaturan [[jaminan fidusia]] diberikan oleh kedaulatan wilayah tradisional, sebagai usaha untuk mempertahankan hak tradisional menyakralkan teritori (termasuk berburu dan mencari ikan) dan cara hidup orang-orang asli dan minoritas
|}
[[Berkas:Burnt down house in northern Rakhine State (Moe Zaw-VOA).jpg|jmpl|Sebuah rumah yang dibakar di desa Rohingya di bagian utara [[Rakhine]] akibat adanya konflik sektarian pada Agustus 2017]]
Penerimaan menentukan nasib sendiri yang terlalu bermurah hati dapat berakibat pada fragmentasi dan meningkatnya intoleransi karena tidak diperlukan lagi adanya hidup berdampingan dengan damai.<ref name=":4" /> Sementara itu, tantangan utama pendefinisian menentukan nasib sendiri dengan mengeluarkan pemisahan diri dari dalam definisi, dapat digambarkan dengan situasi di [[Kosovo]] yang diatur oleh kekuatan/pihak berwenang PBB sejak berakhirnya kampanye pengeboman oleh [[NATO]] pada tahun 1999 sampai deklarasi kemerdekaan [[unilateral]] Kosovo pada Februari 2008.<ref name=":5" /> Kemerdekaan Kosovo diakui oleh hampir seratus negara hingga pertengahan tahun 2010, namuntetapi tidak oleh Serbia yang menetapkan Kosovo tetap merupakan bagian integral Serbia. Sebagian karena alasan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Kosovo antara tahun 1989 dan 1999 dan selama kampanye NATO, para pengamat Barat memberikan simpati terhadap klaim kemerdekaan yang dibuat Kosovo. Misalnya 22 negara anggota [[Uni Eropa]], Amerika Serikat, [[Australia]], dan Kanada di antara negara-negara lainnya mengakui kemerdekaan negara baru tersebut. Namun demikian, tidak ada yang menghubungkan keinginan pemisahan diri Kosovo secara spesifik dengan tingginya tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi disana, dan deklarasi kemerdekaan Kosovo itu sendiri teramati sebagai kasus khusus dari pemisahan non-konsensual Yugoslavia yang tidak dapat dijadikan pedoman untuk situasi lainnya.<ref name=":5" /> Kelompok tersebut berbagi [[suku]], [[bahasa]], serta karakteristik yang sama lainnya, namuntetapi hak menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional, sebagaimana bertentangan dengan beberapa keterangan dan anjuran yang bersifat tidak mengikat, tidak memberikan hak khusus kepada kelompok-kelompok demikian yang terjadi di Kosovo.<ref name=":5" /> Di masa sekarang, keadaan yang kurang lebih serupa terjadi pada warga [[Rohingya]] di [[Myanmar]]. Selain anggapan bahwa warga Rohingya adalah pendatang di Myanmar, faktor yang menimbulkan  konflik berkepanjangan ialah penghapusan Rohingya dari konstitusi (''Constitution of the Republic of the Union of Myanmar 2008''). Secara resmi otoritas Myanmar hanya mengakui 135 kelompok etnis berbeda, yang dikelompokan dalam delapan ras etnis nasional utama, yaitu [[Kachin]], [[Kayah]], [[Kayin]], [[Chin]], [[Mon]], [[Bamar]], [[Rakhine]], dan [[Shan]]. Dewan HAM  PBB  yang telah menyetujui resolusi untuk meluncurkan penyelidikan terhadap pemerintah Myanmar yang diduga kuat melakukan pelanggaran HAM dan pembersihan terhadap etnis Rohingya mendapat kecaman dan penolakan dari otoritas Myanmar yang menilai bahwa pembentukan misi pencari fakta internasional, bukan menyelesaikan masalah, namuntetapi justru akan semakin membakar konflik. Tantangan secara politik, teknis, dan proses yang ditunjukkan dalam situasi tersebut merupakan cerminan relatif sulit dipenuhinya pemenuhan hak untuk menentukan nasib sendiri.<ref name=":12" /> Terlepas dari problematika yang melingkupinya, klaim atas hak menentukan nasib sendiri tidak menjadi berkurang, dan diperlukan pengembangan yang lebih baik oleh komunitas internasional dalam menghadapi permintaan tersebut agar dapat menghindari tindakan kekerasan dan konflik yang merusak.<ref name=":4" /> Sampai definisi hak ini menjadi jelas, hak menentukan nasib sendiri tetap menjadi alat retorika yang dipergunakan kelompok-kelompok di dalam negara yang menginginkan kemerdekaan, otonomi, atau menginginkan kendali atas permasalahan yang secara langsung berhubungan dengan kepentingan mereka.<ref name=":5" />
 
== Lihat pula ==
* [[Pemerintahan sendiri]]
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
[[Kategori:Hukum internasional]]